Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya baru dimulai pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia yang mana sebagai cikalnya adalah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama perang kemerdekaan, BKR bertransformasi menjadi TNI (seperti yang ada sekarang). Perang kemerdekaan melahirkan TNI.
Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya baru dimulai pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia yang mana sebagai cikalnya adalah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama perang kemerdekaan, BKR bertransformasi menjadi TNI (seperti yang ada sekarang). Perang kemerdekaan melahirkan TNI.
Bandoeng, 1951 |
TNI
adalah pengawal NKRI. Lantas bagaimana sejarah tentara nasional Indonesia
berlangsung. Itu sudah banyak ditulis. Akan tetapi penulisan sejarah tentara
nasionak Indonesia sudah sedemikian rupa dibuat tetapi hanya terkesan ringkas.
Artikel ini hanya sekadar memperkaya sejarah militer agar bisa melihat detail-detail yang
memang masih diperlukan. Lantas seperti apa peran penting tentara asal Batak dalam menjaga NKRI? Mereka telah bertransformasi ke seluruh wilayah Indonesia dengan spirit cinta tanah air. Sperti kita lihat nanti, orang Jawa dan orang Batak umumnya tetap menyukai profesi militer. Mari kita telusuri.
Badan Keamanan
Rakyat Menjadi Tentara Keamanan Rakyat
Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, bukan suatu yang direncanakan tetapi terjadi
secara tiba-tiba. Setelah Jepang takluk kepada sekutu, para pemuda revolusioner
menculik dan memaksa Soekarno dan Mohamad Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Berita
kemerdekaan Indonesia cepat beredar di Djakarta dan sekitarnya dan di wilayah
Priangan. Indonesia telah merdeka di Priangan baru malam hari diketahui setelah
teks proklamasi dibacakan pukul tujuh malam hari oleh sang penyiar Radio
Bandoeng (cikal bakal RRI Bandung), Sakti Alamsyah. Siaran Radio Bandoeng ini
bahkan dapat ditangkap di Djogjakarta dan Australia. Sakti Alamsyah dalam
pengantarnya, memulai intro sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran
Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik
Indonesia alias RRI. Salinan teks proklamasi yang dibaca Sakti Alamsyah
diperoleh dari Adam Malik (pemimpin Kantor Berita Antara). Teks yang dibacakan
Sakti Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah masih berumur 23 tahun—ada
perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan teks sebagaimana
dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sakti Alamsyah justru
menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa Indonesia,
Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan kalimat yang
jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Tidak
ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal muasal perbedaan teks dan yang
dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan Sakti Alamsyah. Selain itu,
penyebutan ‘Radio Republik Indonesia’ untuk menamai diri dalam pengantar siaran,
Sakti Alamsyah justru mengabaikan nama yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio
Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi
kenyataannya bentuk negara belum disepakati. Para pemerhati, menganggap teks
‘ala’ Sakti Alamsyah itu sebagai pernyataan futuristik dari lubuk hati dirinya.
Padahal negara baru Indonesia justru setelahnya diputuskan berbentuk republik
yang notabene juga nama radio nasional baru ditetapkan kemudian persis seperti
yang diucapkan pertama kali oleh Sakti Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran
‘Radio Republik Indonesia’. Kita harus akui bahwa inisiatif para pekerja
khususnya penyiar Radio Bandung Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk menyuarakan
teks proklamasi di udara yang dapat didengar semua publik jelas-jelas sesuatu
keputusan yang berani. Tidak hanya sampai di situ para penyiar Radio Bandung
Hoshokyoku tanpa rasa takut terus berulang-ulang menyiarkan naskah proklamasi
itu setiap kali ada kesempatan untuk dibacakan kembali. Pertanyaannya: Mengapa
justru Radio Bandung yang berani menyiarkannya? Untuk sekadar diketahui, yang
membawa salinan teks proklamasi itu dari Djakarta ke Bandoeng dengan kereta api
adalah Mochtar Lubis (wartawan Kantor Berita Antara). Adam Malik (Batubara),
Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah (Siregar) berperan penting dalam tersiarnya
berita kemerdekaan di Bandoeng dan sekitarnya. Ketiga orang anak muda sebaya
(lahir di tahun yang sama) ini sama-sama pernah bekerja di Radio Militer Jepang
di Djakarta. Adam Malik diketahui sebagai pendiri kantor berita Antara; Mochtar
Lubis kelak dikenal sebagai pendiri surat kabar Indonesia Raja dan Sakti
Alamsyah (Siregar) kelak dikenal sebagai pendiri surat kabar Pikiran Rakjat
Bandung. Motto surat kabar Indonesia Raja dan Pikiran Rakjat sama persis: ‘Dari
Rakjat, Oleh Rakjat dan Oentoek Rakjat’.
Pada
tanggal 19 Agustus 1945 PPKI melakukan sidang dan memutuskan kedudukan Presiden
dan Wakil Presiden dan susunan pemerintahan (kabinet dan kepala daerah).
Kabinet bersifat presidentil yang mana sebagai Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohamad Hatta. Dua nama penting sebagai kandidat menteri dalam susunan
kabinet Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan dan Soepriadi
sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Padahal mereka berdua belum bisa dihubungi.
Mr. Amir
Sjarifoeddin dan Soepriadi adalah pemilik portofolio tertinggi dalam daftar
nama susunan kabinet RI pertama. Mr. Amir Sjarifoeddin menentang pemerintahan
militer Jepang, lalu ditangkap dan didakwa hukuman mati. Namun Soekarno melobi
militer Jepang dan akhirnya hukuman seumur hidup dan masih di dalam penjara di
Malang saat susunan kabinet dibuat. Soeperiadi adalah pemimpin pemberontakan pasukan
PETA melawan militer Jepang di Blitar pada bulan Februari 1945.
Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap dijemput ke penjara Malang dan dengan kereta api dari
Soerabaja ke Djakarta. Akan tetapi Soepriadi tidak pernah ditemukan dan namanya
tetap dicantumkan sebagai Menteri Keamanan Rakyat merangkap Panglima. Soepriadi
diberi slot Panglima dan sebagai Kepala Staf Umum Oerip Soemohardjo. Oleh
karena (Jenderal) Soepriadi tidak pernah muncul, secara defacto, Letnan
Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai puncuk pimpinan militer.
Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah terbentuk tanggal 7 Agustus
1945, setelah terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 22
Agustus 1945 melakukan sidang. Hasil keputusan sidang antara lain membentuk Komite
Nasional Indonesia (KNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Sejak
saat inilah dirasakan kebutuhan badan yang mengkoordinasikan keamanan rakyat
dan lalu dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR ini dibentuk di berbagai
tempat secara swakelola. Di Djakarta, ibukota RI dibentuk BKR oleh para pemuda.
Selain BKR juga muncul badan-badan perjuangan yang lain.
BKR Djakarta
menjadi representasi BKR Pusat karena secara langsung telah mengamankan pusat
pemerintahan di ibukota RI. Para pemuda yang membentuk BKR di Djakarta ini antara
lain Zoelkifli Lubis dan Moefreni Moe’min. Pada tanggal 29 Agustus 1945
terbentuk KNIP yang selanjutnya KNIP mengesahkan BKR Djakarta sebagai BKR
Pusat.
Pada
tanggal 8 September 1945 utusan sekutu yang dipimpin Inggris datang ke
Djakarta. Utusan ini datang setelah sebelumnya Soekarno menemui pimpinan sekutu
di Singapoera (De patriot, 18-10-1945). Kemudian tanggal 29 September 1945
pasukan sekutu Inggris telah merapat di pelabuhan Tandjong Priok.
Awalnya pasukan
sekutu untuk mengamankan tawanan perang yang selama ini dikurung oleh militer
Jepang. Namun di tengah jalan Belanda (NICA) ikut di belakang memunculkan
reaksi keras dari Indonesia. Kehadiran sekutu (Inggris) menjadi hambar apalagi
NICA telah mengkonsolidasikan eks KNIL.
Letnan
Jenderal Oerip Soemohardjo pada tanggal 1 Oktober 1945 mulai membentuk Tentara
Keamanan Rakyat (TRI). Langkah pertama yang dilakukan Letnan Jenderal Oerip
Soemohardjo adalah merekrut 17 pemuda cemerlang di Djogjakarta dengan
kualifikasi tertentu, antara lain Dr. Ibnoe Soetowo, Ir. MO Parlindungan dan
Dr. Irsan Radjamin.
Ir. MO
Parlindungan adalah insinyur kimia lulusan Teknik Delft tahun 1942. Ir. MO
Parlindungan adalah pribumi kedua yang lulus di sekolah elit dan super sulit
tersebut. Lulusan pertama adalah Ir. Soerachman tahun 1922. Mahasiswa pertama
di Teknik Delft adalah Raden Sosro Kartono (abang RA Kartini) tahun 1896, namun
gagal di tahun pertama. Dalam kabinet RI pertama ini Ir. Soerachman menjabat sebagai
Menteri Kemakmuran. Dr. Ibnoe Soetowo lulusan sekolah kedokteran Soerabaja,
1940 dan Dr. Irsan Radjamin, lulusan sekolah kedokteran di Djakarta 1943. Dr.
Irsan Radjamin adalah anak Wali Kota Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution. Kelak,
pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950) Letkol Ibnoe Soetowo
diangkat sebagai kepala permniyakan nasional (cikal bakal Pertamina); Letkol
AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai kepala Peroesahaan Sendjata dan Mesiu
di Bandoeng (cikal bakal PT Pindad); Letkol Irsan Radjamin sebagai kepala
Departemen Kesehatan Divisi-Brawijaya di Soerbaja.
Pada
tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat
pembentukan tentara nasional yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TRI).
Tidak seperti di
Djakarta dan sekitarnya serta di Priangan, di kota Medan bahkan berita kemerdekaaan Indonesia baru diumumkan ke
publik pada tanggal 6 Oktober 1945. Pengumuman itu dilaksanakan oleh Mohamad
Hasan dan M. Amir. Setelah lima hari berita kemerdekaan Indonesia diumumkan ke
publik di Medan, di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945 terjadi peristiwa
berdarah yang tidak diinginkan. Peristiwa ini baru diberitakan ke publik
tanggal 16 Oktober 1945. Sementara itu di surat kabar dilaporkan bahwa pada
tanggal 15 Oktober 1945 di Buitenzorg, 45 km di selatan Batavia tanpa insiden
diduduki oleh pasukan Inggris.
Oleh
karena begitu ngototnya Inggris untuk memasuki Indonesia, berbagai hal energi
terkuras untuk merespon Inggris. Akibatnya Presiden Soekarno tidak ada
kesempatan untuk menyempurnakan susunan menteri dalam kabinet. Kabinet
(pertama) sendiri baru terbentuk pada tanggal 13 Oktober 1945 dengan daftar
sebagai berikut (lihat Keesings historisch archief: 14-10-1945):
Raden Adipati
Aria Wiranata Koesoema (Binnenlandsche Zaken); Mr. Achmad Soebardjo
(Buitenlandsche Zaken); Prof. Mr. Raden Soepomo (Justitie); Ir.
Soerachman (Maatschappelijk werk); Ki Hadjar Dewantoro (Onderwijs); Dr.
Samsi (Financien); Dr. Boentaran Martoatmodjo (Volksgezondheid); Mr. Iwa
Koessoema Soemantri (Sociale Zaken); Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap (Voorlichting); Abikoesno Tjokrosoejoso
(Verbindingen); Selain itu nama menteri negara adalah sebagai berikut: Dr.
Amir, Wachid Hasjim, Mr. Raden Mas Sartono, Mr. Maramis en Otto Iskandar Dinata
(zonder portefeuille).
Dengan
terbentuknya kabinet RI pertama ini, paling tidak Soekarno dan Hatta tidak
sendiri lagi, sudah ada pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kata lain
sudah ada tim (kabinet) yang membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam
merumuskan dan menjalankan berbagai kebijakan dan program. Namun dari daftar
kabinet ini sungguh sangat tidak ideal karena belum ada Menteri Keamanan. Apalagi
pada saat yang bersamaan harus menghadapi sekutu yang dipimpin Inggris (yang
mana dibelakangnya menguntit Belanda/NICA/KNIL yang ingin menguasai kembali
Indonesia).
Peristiwa di
Depok tanggal 11 Oktober 1945 tidaklah berdiri sendiri. Itu bukanlah kerusuhan
biasa. Adanya kerusuhan di Depok yang menewaskan sedikitnya 15 orang Eropa/Indo
boleh jadi telah memicu emosi pasukan Belanda yang sudah mulai melakukan
aksinya di lapangan terbang Tjililitan. Berita kerusuhan di Depok secepat angin
menyebar di Belanda dan Suriname. Namun kerusuhan di Depok tidak terlalu
menyebar di kalangan nasionalis, karena media pribumi yang terbit kembali
mungkin masih terbatas dan radio yang mulai diambil alih belum memiliki
wartawan ke berbagai pelosok. Kerusuhan di Depok di kalangan nasionalis di
berbagai tempat luput dari perhatian (dan mungkin dianggap berita kecil dan
tidak menganggap penting), sementara kerusuhan di Depok di kalangan Belanda
adalah berita besar.
Tanda-tanda
perang kemerdekaaan ini sudah mulai terlihat. Ini dimulai pada tanggal 16
Oktober 1945 yang mana pasukan Belanda telah mengambil kendali lapangan terbang
Tjililitan dan pasukan tambahan telah dikirim untuk memperkuatnya. Pada tangga
17 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan nasionalis.
Dua pasukan Belanda ditembak nasionalis dari atas pohon dengan senapan mesin
(De patriot, 18-10-1945). Inilah kontak pertama nasionalis dengan (pasukan)
Belanda/NICA.
Pasukan sekutu
Inggris pada tanggal 20 Oktober 1945 mendarat di Semarang dan pada tanggal 25
Oktober 1945 di Surabaya. Lalu pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945
terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Ketika terdesak, tentara Sekutu
mengusulkan perdamaian. Pemimpin Sekutu di Soerabaya meminta pemimpin Indonesia
(Soekarno) untuk mengadakan gencatan senjata di Surabaya. Soekarno dan Amir
Sjarifoeddin ke Soerabaja. Sementara itu, berita kerusuhan di Depok telah begitu
menghebohkan. Karena kerusuhan Depok ini merupakan kerusuhan pertama yang
terjadi saat mana pasukan Inggris sudah berada di Indonesia (Djakarta, Medan
dan Buitenzorg) sedangkan pasukan Belanda/NICA telah bersiap-siap. Sejumlah
surat kabar telah melansir laporan korespondensi ANP/Aneta tersebut pada
tanggal 16 Oktober 1945, seperti: Telex, Helmondsche courant, Algemeen
Handelsblad, Friesch dagblad, De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad dan De
waarheid. Selain koran-koran ini melengkapi beritanya pada keesokan harinya (17
Oktober) juga dilansir surat kabar Provinciale Drentsche en Asser courant, Het
parool, De nieuwe Nederlander, Helmondsch dagblad, Leeuwarder koerier, Bredasche courant, Amigoe di Curacao dan
Limburgsch dagblad. Pemberitaan kerusuhan Depok ini begitu luas, mulai dari
Batavia, Nederlands hingga Suriname.
Dari
hari ke hari, tanda-tanda suhu perang semakin menguat. Presiden Soekarno dalam
dilema. Sebagian menginginkan dengan jalan tertib dan damai dan sebagian yang
lain (terutama dari kalangan pemuda) menginginkan perang. Radio Bandoeng yang
dilansir surat kabar berbahasa Belanda melaporkan bahwa Markas Barisan Rakjat tidak bisa menerimanya dan Soekarno harus
disalahkan (Provinciale Drentsche en Asser courant, 17-10-1945). Perang
akan membawa banyak korban.
Barisan pemuda
yang terus mendesak untuk perang dengan Belanda/Inggris. Pemerintah masih
berpikir keras dan lebih memilih untuk berdialog (berunding dengan jalan
damai). Dalam konteks desakan pemuda di berbagai tempat, gerakan pemuda dalam
peristiwa kerusuhan di Depok boleh jadi sudah ‘mencuri start’ dalam perang
(mempertahankan kemerdekaan) itu sendiri. Hal ini karena para nasionalis dari
golongan muda telah menyandera para pria Depok dan membawanya ke Buitenzorg.
Dengan demikian, kerusuhan di Depok bersisi dua: revolusi sosial di satu sisi
(internal) dan perang (mempertahankan) kemerdekaan di sisi lain. Sekali lagi,
dengan kata lain, kerusuhan di Depok tidak berdiri sendiri. Selain terungkap
dalam kerusuhan itu perang suci juga ada indikasi keterlibatan anggota keamanan
(yang menjaga tahanan di penjara Paledang) dalam kerusuhan di Depok seperti
yang disampaikan dua tahanan yang berhasil melarikan diri sebagaimana
dilaporkan surat kabar Telex edisi 22-10-1945
Pasukan
Belanda (NICA) terus melakukan konsolidasi dan pasukan dari waktu ke waktu
terus mengalir. Belanda semakin bernafsu untuk kembali ke Indonesia (negara
yang pernah menjadi jajahannya beberapa abad lamanya). Pasukan sekutu Inggris
yang tujuan utama untuk membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti tentara
Jepang namun dinamika politik yang terus
berlangsung (antara negara Inggris dan negara Belanda) menjadi dalam posisi
dilematis. Oleh karena itu muncul tuntutan dari (pemerintah) Indonesia yang disampaikan
kepada komandan sekutu Inggris. Tuntutan itu adalah sebagai berikut (Leeuwarder
koerier, 20-10-1945):
1.
Tidak ada pasukan Belanda di Indonesia dapat dimasukkan ke darat
2.
Semua pasukan Belanda meninggalkan Indonesia.
3.
NICA harus tetap keluar dari layanan.
4.
Pemerintah sekarang harus diakui sampai masalah ditinjau oleh ‘otoritas dunia’
yang kompeten.
5.
Pendudukan tentara sekutu tentara harus dibatasi untuk urusan yang terkait
dengan semua tawanan perang dan melucuti tentara Jepang.
Semua tuntutan
itu dalam kenyataannya tidak digubris baik oleh Inggris maupun Belanda.
Tampaknya Belanda merasa percaya diri untuk mengambil peran yang lebih luas
dari Inggris dan merasa mampu untuk menguasai Indonesia kembali. Di lain pihak,
pemerintah yang baru terbentuk di bawah Presiden Soekarno belum mampu
sepenuhnya mengkonsolidasikan kelompok-kelompok perlawanan (terutama pemuda) di
seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Para Gubernur dan Residen yang
sudah ditunjuk belum bekerja secara efektif.
Para
nasionalis (terutama pemuda) boleh jadi terbagi dua di satu pihak memang
misinya untuk mempertahankan kemerdekaan dan pihak yang lain bermotif untuk
(balas dendam) yang lalu diikuti dengan menjarah di dalam situasi yang memang
belum sepenuhnya terkendali. Di lihat dari sudut prakteknya, kerusuhan di Depok
misi mulia (bagi sekolompok) ternodai karena ulah sekolompok yang lain yang
melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab.
Proklamasi
Perang di Batavia
Dalam
perkembangan selanjutnya setelah kejadian kerusuhan di Depok, dilaporkan telah
ditangkap enam nasionalis terkemuka di Buitenzorg untuk diinterogasi yang juga
dikaitkan dengan kerusuhan di Depok (Telex, 24-10-1945). Sementara itu seorang
yang sudah berada dipenjara 10 hari malarikan diri dari penjara Paledang
(sehari sebelum pasukan sekutu Inggris tiba) menceritakan apa yang terjadi di
dalam penjara dan bagaimana kondisi para tawanan yang baru datang dibawa dari
Depok dengan kereta api dan nasib mereka selama di penjara. Orang tersebut
mengatakan mereka dipenjara karena alasan keamanan (Friesch dagblad,
24-10-1945).
Saat Jepang
takluk dan pasukan sekutu Inggris mendapat mandat untuk membebaskan tahanan
Eropa/Belanda dan melucuti tentara Jepang, polisi-polisi pribumi telah memainkan
peran pengganti Jepang. Di penjara Paledang sudah terdapat tahanan tawanan
perang. Para polisi penjaga ini juga memainkan peran ganda yakni menambah para
tahanan baru dengan merazia orang-orang Eropa/Belanda dan menjebloskannya ke
penjara yang sama dengan dalih untuk keamanan. Para sandera dari Depok menambah
para tahanan di penjara Paledang. Para polisi ini telah melakukan kekerasan
terhadap tahanan tawanan perang. Para polisi ini juga telah melakukan pembiaran
terhadap amuk massa ketika polisi dan kelompok pemuda membawa sandera dari
Depok tidak melakukan perlindungan yang maksimal ketiga para sandera mendapat
tengah digiring. Diduga karena tindakan ini, enam polisi dibawa ke Djakarta
untuk diinterogasi pasukan Inggris atas tuduhan penganiayaan tawanan perang di
penjara, pembiaran ketika melakukan evakuasi sandera dari Depok dan tidak
adanya perawatan yang dilakukan bagi yang terluka selama di penjara (Amigoe di
Curacao, 25-10-1945).
Kerusuhan
di Depok begitu menarik perhatian Belanda. Mengapa kerusuhan di Depok muncul
timbul spekulasi sebagaimana dilaporkan Provinciale Drentsche en Asser courant,
27-10-1945 dikaitkan dengan seratus lima puluh tahun lalu tentang awalnya Land
Depok oleh Cornelis Chastelein yang kemudian mewariskan lahan Depok kepada para
budaknya setelah beralih ke agama Kristen. Dalam perkembangan lebih lanjut,
kehidupan para warga Depok (Depokker), lebih-lebih dengan masuknya zending
memunculkan perbedaan standar hidup yang membedakan dengan penduduk sekitar.
Kontras standar hidup dan perbedaan agama inilah yang diduga menjadi faktor
penting yang menyebabkan munculnya kerusuhan.
Komunitas
Kristen lainnya terdapat di Toegoe dekat Tjilintjing. Dalam perkembangan lebih
lanjut dalam menanggapi kasus kerusuhan di Depok, warga Toegoe meminta
perlindungan ke pasukan Inggris agar mereka secepatnya dievakuasi dari tempat
tinggal mereka. Seorang wanita melaporkan penduduk yang beragama Islam di
sekitar terkesan semakin mengganggu. Disepakati bahwa Belanda akan memberikan
truk yang diperlukan. Warga Toegoe ini kemudian dievakuasi ke Batavia di
Pedjambon (lihat Het dagblad : uitgave
van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-01-1946).
Namun
argumen ini belum tentu sepenuhnya benar. Sebab sebelum terjadinya kerusuhan di
Depok, ekskalasi politik antara Pemerintah Indonesia dan nasionalis Indonesia
di satu pihak dengan pasukan sekutu Inggris dan NICA di pihak lain sudah
meningkat tajam.
Dalam permulaan
perang ini terindikasi hanya satu saluran pemberitaan di kalangan nasionalis
Indonesia yakni Radio Indonesia Bandoeng.-satuDe patriot, 18-10-1945
Sebagai
respon terhadap pasukan sekutu Inggris dan NICA yang tidak peduli terhadap
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lalu Tentara Rakjat Indonesia mengumumkan Proklamasi Perang pada tanggal 13 Oktober 1945 dan yang juga hal yang
sama dilakukan Oemat Islam sebagaimana dilaporkan Keesings historisch archief:
14-10-1945.
Keesings
historisch archief: 14-10-1945: ‘Pada tanggal 13 Oktober diundangkan yang
disebut Tentara Rakyat Indonesia mengeluarkan proklamasi yang menyatakan perang
terhadap Belanda, Indo, dan yang berafiliasi. Proklamasi merekomendasikan
Indonesia untuk memulai perang gerilya, mengatakan: ‘Ketika matahari terbenam
kita, masyarakat Indonesia, berperang dengan Belanda. Dalam pernyataan ini kami
sarankan semua orang Indonesia untuk mencari musuh - Belanda, Indo-Eropa atau
yang berafiliasi. Senjata militer adalah semua jenis senjata api, juga racun,
panah beracun, pembakaran, dan semua spesies hewan liar - seperti ular. Perang
gerilya akan disandingkan dengan perang ekonomi: tidak akan diizinkan untuk
menjual makanan kepada musuh. Pasar harus dimonitor dan yang menjual makanan
kepada musuh-musuh kita, akan dihukum berat. Juga dilaporkan bahwa Oemat Islam,
yang berarti semua pengikut Muhammad, juga telah membuat deklarasi perang.
Semua ulama Islamn di Batavia untuk mengadakan pertemuan doa bagi semua Muslim
di Batavia dan sekitarnya telah diadakan, sebagai awal dari sebuah perang suci
melawan ‘orang kafir’ Belanda. Selanjutnya, semua ulama dari Islam diminta
untuk menyampaikan kepada umatnya untuk menaikkan bendera merah-putih setengah
tiang dan juga semua lalu lintas, termasuk trem, sepeda, taksi dan kereta kuda
dihentikan sepenuhnya’. Soekarno dalam menanggapi proklamasi perang (dari
pemuda dan Islam) ini tidak setuju (lihat Provinciale Drentsche en Asser
courant, 17-10-1945).
Kerusuhan
di Depok yang dilakukan pada tanggal 11 Oktober 1945 seakan telah dimulai lebih
awal dan mendahului Proklamasi Perang yang diundangkan pada tanggal 13 Oktober
1945 di Batavia. Perbedaan waktu antara kerusuhan di Depok (11 Oktober) dan
maklumat perang di Batavia (13 Oktober) hanya dua hari, sementara dari sisi
jarak antara Depok dan Batavia hanya 20 Km. Secara relatif, waktu dan tempat
sangat berdekatan. Ini suatu indikasi bahwa kerusuhan di Depok tidak dipandang
sebagai kerusuhan yang bersifat lokal, melainkan lebih mencerminkan perang
nasional (memiliki keterkaitan dengan Batavia) itu sendiri yang kebetulan
TKP-nya dimulai di Depok.
Permulaan perang
juga telah direspon pasukan sekutu Inggris. Ini terkesan dari proklamasi yang dimaklumatkan Mayor Jenderal
DC Hawthorne, komandan pasukan darat sekutu di Jawa (yang juga membawahi di
Medan dan Padang) pada tanggal 14
Oktober 1945 menyatakan: ‘bahwa ia mengendalikan hukum dan ketertiban,
perusahaan publik, mengambilalih pelayanan kesehatan dan makanan. Proklamasi
mengutip fakta-fakta berikut yang akan dihukum oleh pemerintahan militer:
sabotase, penjarahan, pemogokan di perusahaan publik, menolak untuk menjual
kebutuhan untuk alasan apapun dan membawa senjata oleh orang yang bukan bagian
dari pasukan sekutu atau polisi berseragam. Semua pertemuan publik, yang
menghasut kerusuhan atau kerumunan, dilarang. Sebagian besar pelayanan publik
yang dilakukan oleh Indonesia pada saat ini, bekerja secara independen atau di
bawah kepemimpinan Jepang. Proklamasi juga menyatakan bahwa semua layanan harus
dilaksanakan sekarang memiliki orang-orang untuk bekerja sampai mereka
diambilalih oleh pemerintahan militer. Sampai saat itu akan mengontrol layanan
yang dilakukan oleh pemerintahan sipil Jepang (lihat juga Keesings historisch
archief: 14-10-1945).
Pernyataan
sekutu/Inggris pada tanggal 14 Oktober 1945 haruslah diartikan sekutu/Inggris
telah memerintah di Indonesia. Padahal sebelumnya, sekutu/Inggris meminta
Soekarno hanya sebatas membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti militer
Jepang. Perubahan sikap sekutu/Inggris besar dugaan disebabkan dua hal, yakni
adanya negosiasi Belanda/NICA di belakang sekutu/Inggris dan eskalasi politik
di dalam negeri yang sudah menimbulkan perlawanan terhadap pasukan asing
(sekutu/Inggris) yang telah memasuki wilayah Indonesia. Dalam hal inilah
kelompok perlawanan di Bandoeng menyebut Soekarno harus bertanggungjawab karena
telah memberi jalan bagi sekutu/Inggris memasuki wilayah Indonesia.
Dengan demikian
kerusuhan di Depok meski tampak sebagai yang bersifat lokal, tetapi dengan
melihat horizon kejadian di berbagai tempat pada waktu yang berdekatan,
kerusuhan di Depok adalah bagian dari perang kemerdekaan itu sendiri di area
antara Batavia dan Buitenzorg. Berikut adalah tanggal-tanggal kejadian yang
berdekatan (sejak pasukan sekutu Inggris merapat di pelabuhan Tandjong Priok
tanggal 29 September 1945):
11 Oktober 1945:
Kerusuhan di Depok yang didahului informasi pembicaraan di Singapoera tidak
menguntungkan karena pasukan sekutu Inggris di Indonesia ternyata ingin masuk
lebih jauh (ke pedalaman) untuk mendukung Kerajaan Belanda.
13 Oktober 1945:
Kabinet Indonesia pertama terbentuk dengan Menteri Penerangan Amir
Sjarifoeddin. Proklamasi perang dari (pemerintah) Indonesia (yang juga diikuti
oemat Islam). Pasukan sekutu Inggris mendarat di Medan dan di Padang.
14 Oktober 1945:
Komandan pasukan sekutu di Jawa mengumumkan proklamsi perang.
15 Oktober 1945:
Pasukan sekutu Inggris menduduki Buitenzorg.
16 Oktober 1945:
Pasukan Belanda/NICA mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan.
17 Oktober 1945
terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan nasionalis di sekitar
lapangan terbang Tjililitan.
18 Oktober 1945:
Pasukan sekutu Inggris memasuki Bandoeng.
20 Oktober 1945:
Pasukan sekutu Inggris mendarat di Semarang.
25 Oktober 1945:
Pasukan sekutu Inggris mendarat di Soerabaja.
28 Oktober
hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Ketika
terdesak, tentara sekutu/Inggris mengusulkan perdamaian. Pemimpin militer sekutu/Inggris
di Soerabaya meminta pemimpin Indonesia (Soekarno) untuk mengadakan gencatan
senjata di Surabaya. Soekarno dan Amir Sjarifoeddin berangkat ke Soerabaja.
Menteri Keamanan
Rakyat: Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
Secara
defacto, ketika Soekarno dan Amir Sjarifoeddin ke Soerabaja pasca
kerusuhan/gencatan senjata, Amir Sjarifoeddin adalah Menteri
Pertahanan/Panglima. Soepriadi kenyataannya tidak pernah muncul.
Namun dalam penulisan
sejarah (militer) Indonesia, nama Soepriadi tercatat sebagai Menteri Keamanan
Rakyat (yang pertama). Padahal secara defacto, Soepriadi tidak pernah muncul.
Heroisme Soepriadi dalam pemberontakan Blitars adalah satu hal, tetapi jabatannya
sebagai Menteri Keamanan Rakyat adalah hal lain. Di dalam catatan sejarah,
disebutkan pengganti Soepriadi adalah Soeliyoadikusoemo sejak 20 Oktober 1945.
Bagaimana mungkin nama seseorang dicatat tetapi kenyataannya yang bersangkutan tidak
pernah melakukannya.
Secara
defacto untuk urusan pertahanan negara (keamanan rakyat dan reaksi terhadap
kehadiran sekutu/Inggris) Oerip Soemohardjo adalah orang yang berperan penting.
Namun karena dirinya hanya diposisikan sebagai Kepala Staf Umum tentu tidak
maksimal dan di di dalam struktur pemerinahan dalam menghadapi situasi dan
kondisi genting menjadi tidak terkoordinasi dengan baik. Sejarusnya Panglimalah
yang mendampingi Soekarno ke Soerabaya, tidak hanya Amir Sjarifoeddin. Lantas
mengapa Soeliyoadikusoemo tidak ikut ke Soerabaja.
Soekarno dan
Mohamad Hatta mulai kewalahan menghadapi permasalahan yang super kompleks.
Soekarno mulai mendelegasikan pemerintahan ke sistem parlementer. Soekarno
membubarkan kabinet yang dibentuknya dan menunjuk Soetan Sjahrir untuk menjadi
perdana menteri dan membentuk kabinet baru. Kabinet baru (Kabinet Sjahrir)
diumumkan pada tanggal 14 November 1945. Itu terlaksana setelah terjadi perang
besar di Soerabaja pada tanggal 10 November 1945.
Dalam
susunan kabinet baru ini yang menjadi Menteri Keamanan Rakyat adalah Mr. Amir
Sjarifoeddin. Dalam kabinet ini Mr. Amir Sjarifoeddin juga merangkap sebagai
Panglima dan Menteri Penerangan. Posisi Mr. Amir Sjarifoeddin menjadi ‘double
gardan’. Ke dalam (domestik), sebagai Menteri Keamanan Rakyat untuk fungsi
perencanaan dan koordinasi keamanan strategi pertahanan sehubungan dengan
masuknya asing (sekutu/Inggris dan Belanda/NICA), ke luar sebagai Menteri
Penerangan untuk fungsi sosialisasi kemerdekaan dan fungsi pencitraan di mata
asing/PBB sehubungan dengan evakuasi meiliter Jepang dari Indonesia. Mr. Amir Sjarifoeddin,
yang anti Jepang, fortofolio dan kapasitasnya mampu mengemban tugas ini. Mr.
Amir Sjarifoeddin, seorang pemberani, secara terbuka melawan pemerintahan militer
Jepang dan seorang cerdas yang aktif berpolitik sejak muda dan orator yang mampu
memberi semangat yang setara dengan Soekarno.
Dalam situasi
dan kondisi negeri yang kompleks saat itu, figur Mr. Amir Sjarifoeddin tidak
tergantikan. Dengan posisi Mr. Amir Sjarifoeddin sebagai fungsi ‘double gardan’
akan sendirinya memuat Soekarno, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir akan bekerja
dengan efektif. Mereka berempatlah the founding father Indonesia yang
sebenarnya.
Sebagai
Menteri Keamanan Rakyat yang merangkap Panglima, Mr. Amir Sjarifoeddin mulai
melakukan pengaturan terhadap organisasi keamanan dan pertahanan yang selama
ini belum maksimal dilakukan oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.
Mr. Amir Sjarifoeddin
meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan
konferensi diantara para pimpin militer untuk menentukan pimpinannya sebagai
Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin akan fokus pada fungsi
manajemen keamanan dan pertahanan, dan Panglima yang memimpin pertempuran di
lapangan. Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta
menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan
Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai
panglima. Yang terpilih adalah Soedirman salah satu pimpinan TKR/TRI dengan
pangkat Jenderal. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteria Keamanan
Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima pada
tanggal 18 Desember 1945. Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan
(anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan
pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman. Sebagai
panglima yang baru, Mr. Amir Sjarifoeddin memberi layanan tersendiri bagi
Jenderal Soedirman dengan menunjuk dokter berbakat Dr. Willer Hutagalung
sebagai dokter pribadi Jenderal Soedirman.
Sementara
Menteri Amir Sjarifoeddin dan Panglima Soedirman mulai bekerja dalam kabinet
baru (yang secara resmi dimulai tanggal 14 November 1945), benturan antara
pasukan sekutu/Inggris dengan kelompok-kelompok perlawanan (TKR/Lanskar)
semakin memuncak. Juga tekanan pimpinan militer sekutu/Inggris yang membonceng
NICA semakin terus menekan di bidang politik. Perdana Menteri Sjahrir terus
berjuang dan berhadapan langsung dengan asing di tingkat politik. Praktis dua
matahari di kabinet ini mendapat beban pekerjaan yang tiada bandingnya.
Tekanan
sekutu/Inggris yang dibelakangnya berada pasukan-pasukan Belanda/NICA yang
terus mengalir ke Batavia/Djakarta membuat suasana pemerintahan tidak kondusif.
Lalu muncul kebijakan baru untuk memindahkan ibukota dari Djakarta ke Djogjakarta.
Sikap pasukan sekutu/Inggris sebagai korps Eropa yang membonceng Belanda/NICA
berubah dari pembebasan interniran dan pelucutan militer Jepang menjadi wujud aneksasi.
Sejak inilah pasukan sekutu/Inggris plus pasukan Belanda/NICA berperang dengan
kelompok-kelompok perlawanan Indonesia. Sementara secara berangsur-angsur
pejabat dan politisi Indonesia meninggal Djakarta/Batavia menuju Djogjakarta.
Pada saat perpindahan ini Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima terus melakukan penataan
dan pembentukan struktur organisasi tentara Indonesia agar menjadi lebih kuat
melawan para imperialis (Inggris/Belanda).
Sekutu
sudah nekad. Di Bandoeng, pimpinan pasukan sekutu/Inggris memberi ultimatum
agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat
kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan
sehari sebelumnya. Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan
Rakyat), Amir Sjarifuddin Harahap lantas bergegas ke Bandung dan
mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris
Nasution.
Pada tanggal 13
Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul
Haris Nasution sebagai Panglima). Sejak ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke
Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik
Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk
menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas
khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian
dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi
laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan
efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan
mengangkat panglimanya. Dengan struktur baru ini, Kolonel Abdul Haris Nasution
menjadi Panglima Divisi-3/Siliwangi.
Kolonel
Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi-3/Siliwangi, untuk menghindari hal yang
tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk
meninggalkan kota. Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini
terjadi pembakaran (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946). Terjadinya kobaran
api yang besar ini dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’.
Ultimatim
tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada
tanggal 21 November 1945 yang mana tentara sekutu meminta Bandung Utara
dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum
ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah
insiden. Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.
Pemerintah
RI di Djakarta/Batavia pada akhirnya evakuasi semuanya ke Djogjakarta. Rombongan
terakhir dalam perpindahan pemerintahan Republik ini berkumpul di bekas rumah Soetan
Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Penerangan
dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap
(adik Mr. Amir Sjarifoeddin). Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion
Manggarai menuju Djogjakarta yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant,
17-10-1946).
Sementara pasukan
sekutu/Inggris masih bekerja yang dibantu dari belakang oleh pasukan
Belanda/NICA, pemerintahan darurat Belanda/NICA secara perlahan dibentuk yang
dimulai di Batavia/Djakarta. Kedatangan Belanda/NICA bagi Republiken sejati
adalah perang, tetapi tidak sedikit orang Indonesia yang justru senang dengan kehadiran
Belanda. Mereka yang senang inilah faktor penting mengapa Belanda/NICA cepat
membentuk pemerintahan, sementara pemerintah RI yang terus di desak
sekutu/Inggris masih belum terkonsolidasi dengan baik. Penduduk Idnoesia
menjadi terbelah: Republiken (pejuang sejati) dan para kolaborator (penghianat
bangsa).
Tentara Republik
Indonesia: Formasi Awal Tentara Nasional Indonesia
Tentara
Republik Indonesia (TRI) berarti ada Tentara Non Republik Indonesia. Mereka ini
adalah militer sekutu/Inggris, militer Belanda/NICA dan orang Indonesia yang mengharapkan
kedatangan Belanda dan orang Indonesia yang menyeberang ke kubu lawan. Pada
saat era TRI ini, Republik Indonesia tengah berhadapan dengan Belanda yang
kembali ke Indonesia yang disebut NICA. Untuk menyempurnakan struktur
organisasi tentara Republik Indonesia dengan semakin menguatnya pasukan Belanda
yang telah mengambil alih fungsi dan peran tentara sekutu/Inggris, pemerintah
RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip
Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang
terdiri dari struktur pertahanan
(yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran (yang dipimpin
Panglima). Dalam pengumuman ini juga Soedirman dipromosikan menjadi panglima
tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946).
Nama-nama para pimpinan BKR/TKR ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan
strategis.
Nieuwe courant, 29-05-1946:
‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam
penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari
tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi
dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman
Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel
Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai
Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik;
Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala
Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat menjadi
Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri.
Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan
Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar
radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal
Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal
Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution
ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala
Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van
Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3
Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai
Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel
Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan
Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan
Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor
Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala
Staf.
Dalam
struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi
yang disebut jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat di bawahnya Letnan
Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor
Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan
Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel.
Dalam fase reorganisasi ketenataran ini, pemerintah melakukan proses politik
yang berujung pada stuatu perundingan dan perjanjian.
Pertempuran yang
tidak berkesudahan lalu kemudian terjadi proses diplomatik yang ditindaklanjuti
dengan suatu perundingan antara pemerintah Indonesia (PM Soetan Sjahrir) dengan
pajabat NICA di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai
status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Batavia.Jakarta
pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara resmi oleh kedua belah pihak pada
25 Maret 1947. Hasil perjanjian Linggarjati ini mendapat rekasi pro dan kontra
di kalangan Indonesia,
Keamanan
dan pertahanan bukanya semakin membaik. Implementasi perjanjian dari hasil
perundingan tidak berjalan dengan baik. Serangan dilawan dengan serangan. Penafsiran
terhadap butur-butir perjanjian berbeda antara Belanda dan Indonesia. Belanda/NICA
yang semakin menguat mulai bertingkah dan arogan. Gubernur Jendral HJ van Mook pada
tanggal 20 Juli 1947 menyatakan sepihak bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan
perjanjian Liggarjati sehari kemudian pada tanggal 21 Juli 1947 mulai melancarkan
aneksasi yang disebut dengan Agresi Militer Belanda I.
Reorganisasi
Militer Ala Mohamad Hatta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar