Minggu, 17 Februari 2019

Sejarah Jakarta (35): MH Thamrin Gila Bola? Hoax; Meluruskan Nama Besar MH Thamrin, Sepakbola adalah Sepakbola


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Seorang politisi tidak salah menjadi pemain bola. Pemain bola (gibol) juga banyak yang aktif berpolitik. Dalam hal ini tidak semua harus menjadi gibol. Sebab gibol adalah satu hal, sedangkan yang lainnya adalah hal lain. Namun yang jadi masalah adalah mengapa seseorang diberi label yang bukan miliknya. MH Thamrin disebut ‘gibol’. Kenyataannya MH Thamrin tidak pernah terhubung dengan sepakbola. Seharusnya sejarah dilihat apa adanya, sejarah bukan diciptakan. Biarlah MH Thamrin adalah MH Thamrin; dan sepakbola adalah sepakbola.

Patung MH Thamrin di Monas
Meski nama MH Thamrin bukan sekali dua kali dihubungkan dengan sepakbola, tetapi dalam sebuah pertemuan di Balai Kota DKI Jakarta baru-baru ini yang bertajuk ‘Dari Stadion VIJ menuju Stadion MH Thamrin’ nama MH Thamrin kembali dihubungkan dengan sepakbola. Pertemuan ini dilakukan sehubungan dengan peringatan hari ulang tahun ke-125 Mohammad Husni Thamrin. Disebutkan, nama MH Thamrin sangat berjasa melahirkan persepakbolaan di Jakarta. Juga disebutkan melalui VIJ (nama Persjia tempo doeloe) bisa memiliki lapangan sendiri berkat jasa MH Thamrin. Sebagai penggila bola, Thamrin juga disebutkan mendesak pemerintah Belanda untuk memperhatikan sepak bola yang kala itu hanya dinikmati keturunan Belanda. Klub sepak bola pribumi tak boleh merumput di lapangan-lapangan bond atau liga sepak bola Eropa (lihat Kompas.com). Apa iya? Bagaimana ceritanya/

Namun demikian, MH Thamrin tidak alergi sepakbola. MH Thamrin memiliki banyak dimensi. Satu dimensi yang tidak dimilikinya adalah soal sepakbola. Lantas mengapa hal sepakbola dipaksakan kepada MH Thamrin? Itulah yang menjadi soal. Masalahnya adalah banyak yang mengarang sejarah, sejarah yang tidak sesuai dengan orangnya. Itu namanya hoaks. Untuk meluruskan cerita-cerita yang tidak berdasar tersebut dan menjelaskan siapa MH Thamrin, mari kita telusuri sumber-sumber lama yang otentik dan kredibel.

Untuk menjadi nama stadion sepakbola tidak harus seorang yang gila bola. Ir. Soekarno sejatinya bukan orang yang gila bola. Meski demikian, Ir. Soekarno sangat menyadari perlunya stadion yang megah. Lalu muncullah stadion Ikada tahun 1951. Stadion Ikada tersebut dibongkar utuk mendirikan monumen nasional (Monas) dan pembangunan stadion sepakbola di Senayan yang kini disebut Stadion Gelora Bung Karno (SGBK). Di Padang, stadionnya diberi nama Stadion Haji Agus Salim, meski Agus Salim sendiri pernah menjadi pengurus PSSI tetapi bukan seorang gila bola. Untuk stadion di Jakarta, nama MH Thamrin pantas untuk diberi nama stadion, tetapi jangan pula MH Thamrin lalu disebut gila bola. MH Thamrin adalah MH Thamrin, sepakbola adalah sepakbola dan gibol adalah gibol. Gibol adalah peminat sepakbola, orang yang setiap saat membicarakan (dunia) sepakbola.

VIJ dan Stadion: Sesuai Peraturan Daerah (Kota)

Perserikatan sepakbola Jakarta (Voetbalbond Indonesia Jacatra, disingkat VIJ) didirikan pada tanggal 28 November 1928. Untuk memenuhi kebutuhan lapangan sepakbola bagi VIJ, Iskandar Brata dan Soekardi menyewa sebidang tanah dari Gemeente (Kotamadya) di Laan Trivelli pada tanggal 1 Januari 1931 selama 5 tahun. Lahan itu menjadi bagian rencana aloon-aloon kota yang luasnya 110.000 M2 yang telah diusulkan pemerintah ke dewan kota tahun 1930 seperti tampak dalam gambar. Proposal ini telah disetuji dewan dan segera akan dibangun (Bataviaasch nieuwsblad, 16-09-1930).

Bataviaasch nieuwsblad, 16-09-1930.

Lahan ini disebutkan jika datang dari Petodjo di Jalan Trivelli sebelah kanan. Lahan tersebut terdiri dari dua bagian yakni untuk Eropa dan pribumi yang masing-masing memiliki taman, empat lapangan tenis dan dua stadion sepakbola serta lingkaran track sepeda. Volkspark, dibangun dengan gaya Gambirpark. Lapangan inilah setelah selesai disewa oleh VIJ ke pemerintah kota. Pada saat penyewaan lahan tersebut, Iskandar Brata adalah anggota Gemeente-en Provincialen Raad Batavia. Iskandar Brata menjadi anggota Provinci Raad pada tahun 1925 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-12-1925). Iskandar Brata sebelumnya adalah ketua organisasi kebangsaan Pasoendan (Bataviaasch nieuwsblad, 14-02-1922).

Pada sidang Gemeeteraad tanggal 1 Februari 1932, Iskandar Brata keberatan dengan usulan Kantor B en W (kantor PU) agar lapangan sepakbola dipindahkan dari pusat kota. Keberatan Iskandar Brata adalah jika terlalu jauh )dari tempat yang sekarang) penonton akan berkurang. Alderman (wakil ketua dewan) mendukung BW sebab ada lahan kosong yang berada di luar area taman yang sekarang. Iskandar Brata kemudian melunak dan setuju dipindahkan tapi lahan itu harus diberikan secara cuma-cuma (gratis) dan jika lahan itu dibangun, pemerintah harus juga membangun jalan ke lokasi stadion (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 02-02-1932).

Pada tahun 1934 Iskandar Brata kembali dicalonkan untuk anggota dewan kota. Dalam pemilihan, Iskandar Brata terpilih (kembali). Ini untuk kali kedua Iskandar Brata sebagai anggota dewan kota (gemeeteraad).

Pada tahun 1935 muncul kebijakan pemerintah kota bahwa stadion dimana berada VIJ akan dihapus sebagai tanah yang disewakan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1935). Ini berarti sewa lahan stadion VIJ yang akan berakhir lima tahun mau tak mau harus berakhir. Pihak BW menyarankan untuk mempertimbangkan lahan yang akan dipersiapkan di dekat Petodjo. Pihak VIJ mengusulkan agar dewan menganggarkan sebesar f2.560 untuk pembangunan fasilitas.

Bataviaasch nieuwsblad, 16-03-1936
Perjuangan Iskandar Brata akhirnya terwujud. Setelah fasilitas lapangan sepakbola yang baru selesai di Tjideng Barat, Pemerintah Kota menyerahkan fasilitas tersebut kepada VIJ yang kini dipimpin Mr. Koesoema Atmadja (Ketua Landraad Batavia). Serah terima lapangan tersebut dilakukan dalam satu upacara pada hari Sabtu sore (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-03-1936). Dalam acara serah terima tersebut turut hadir Amangkoerat, pengurus PSSI.

Untuk sekadar catatan: Mr. Koesoema Atmadja adalah sarjana hukum bergelar doktoe (Ph.D). RM Koesoemah Atmadja lahir di Poerwakarta meraih gelar doktor (Ph.D) di Universiteit Leiden tahun 1922 dengan judul desertasi ‘De Mohammedaansche vrome stichtingen in Indie’ (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 15-12-1922). Mr. Koesoema Atmadja adalah doktor hukum kedua pribumi. Paling tidak sejak tahun 1932 Koesoema Atmadjad terdeteksi sebagai ketua Landraad Batavia (De Sumatra post, 22-04-1932). Mr. Koesoema Atmadja adalah ayah dari Prof. Mochtar Kusumaatmaja, Ph.D (Menteri Luar Negeri).

Stadion VIJ/PSSI yang baru yang berada di Tjideng Barat ini telah menambah jumlah stadion di Batavia/Djakarta. Sebelumnya sejumlah klub (terutama yang berafiliasi dengan VBO/NIVU) telah memiliki stadion sendiri-sendiri seperti klub Oliveo di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan klub VIOS di Menteng (dulu homebase Persija tetapi kemudian dijadikan taman). Stadion VIJ yang diresmikan pada tahun 1935 ini hingga kini masih eksis di Kelurahan Cideng.

Pada era pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1950) pemerintah mulai membangun stadion yang lebih representatif. Ini sehubungan dengan penyelenggaraan PON yang akan diadakan di Djakarta pada tahun 1951. Lapangan Deca Park yang menjadi lapangan pacuan kuda dekat stasion kereta apa Gambir yang sekarang dibangun stadion baru dengan nama Stadion Ikada. Stadion ini hanya dirancang dan digunakan untuk lima tahun. Sebab setelah itu akan dibangun stadion yang lebih besar di Senayan yang akan dibangun sehubungan dengan penyelenggaraan Asian Games (1962). Paralel dengan pembangunan stadion di Senayan, stadion Ikada dibongkar untuk dijadikan pembangunan monumen nasional (Monas). Stadion yang terdapat di komplek olahraga Senayan kelak disebut Stadion Gelora Bung Karno (SGBK).      

Gila Bola (gibol): Semua Golongan

Ada perbedaan pengertian gila bola (gibol) pada masa lampau dengan pada masa kini. Pada masa kini, gibol bisa siapa saja. Seorang penonton sepakbola di rumah atau dimana saya via televisi atau smartphone yang selalu intens melakukannya dapat dikatakan sebagai gibol. Sudah pasti bahwa seorang pemain bola dan pengurus sepakbola adalah gibol. Namun dalam hal ini, MH Thamrin tidak pernah terdeteksi sebagai pemain sepakbola atau sebagai pengurus sepak bola. Pada masa doeloe seorang dapat dikatakan gibol jika selalu intens datang langsung ke stadion untuk menontong pertandingan sepakbola. Sebab saat itu belum ada televisi (yang menyiarkan pertandingan sepak bola). Jadi sangat tidak mungkin MH Thamrin adalah seorang gibol.

Iskandar Brata adalah seorang gibol. Iskandar Brata dan MH Thamrin pernah sama-sama di dewan kota. Saat penyerahan stadion oleh Pemerintah Kota kepada VIJ, MH Thamrin sudah menjadi anggota Volksraad bersama Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Tidak ada anggota Volksraad yang gibol saat ini. Anggota dewan kota yang gibol selain Iskandar Brata di Batavia adalah Dr. Abdoel Hakim Nasution di Padang, Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja dan Abdoel Hakim Harahap di Medan. Tiga yang disebut terakhir disebut gibol karena selain menjadi pemain bola juga menjadi pengurus sepakbola. Dr. Abdoel Hakim dan MH Thamrin adalah hanya dua pribumi yang menjadi anggota dewan yang diangkat menjadi Wakil Wali Kota (locoburgemesster) di era kolonial Belanda. Pada tahun 1936 Dr. Abdoel Hakim dan MH Thamrin menjadi besanan: Putra Dr. Abdoel Hakim (Mr. Egon Hakim) menikah dengan putri jelita MH Thamrin. Dr. Radjamin Nasution kelak menjadi Wali Kota pertama Kota Soerabaja; sedangkan Abdoel Hakim Harahap menjadi Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta dan Gubernur Sumatra Utara yang pertama.

Pengurus VIJ dan pengurus PSSI di era kolonial Belanda adalah orang-orang gibol. Mereka datang dari berbagai profesi seperti pengusaha, pejabat pemerintah, dokter, guru, wartawan dan sebagainya. Meski umur mereka tidak muda lagi, tetapi banyak diantaranya yang masih bermain sepak bola pada usia tua (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1938). Pada era kolonial Belanda sepakbola bukanlah kegiatan yang berada di rimba belantara yang tidak jelas. Memang ada dua federasi sepakbola yakni NIVU dan PSSI. Kedua federasi ini diakui oleh pemerintah, tetapi FIFA hanya mengakui NIVU. Masih ingat PSSI vs KPSI?

Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1938
Selain itu masih ada organisasi sepakbola yakni organisasi sepakbola perkantoran (klub orang yang bekerja di badan pemerintah atau kantor-kantor swasta).  Selain itu juga ada klub yang dibentuk profesi seperti klub para dokter, klub para wartawan. Tentu saja ada klub mahasiswa dan klub pelajar. Permainan sepakbola adalah milik semua orang, permainan yang dapat dianggap sebagai permainan yang bergengsi. Seperti tampak dalam komposisi pemain tim dokter vs tim hukum plus wartawan (Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1938). Dalam daftar ini terdapat tokoh-tokoh terkenal saat itu seperti Mr. Hazairin dan Mr Soewandi kelak menjadi menteri, Parada Harahap, the King of Java Press dan Mr. Hadi anggota senior dewan kota Batavia. Sementara di tim dokteran juga terdapat nama-nama seperti Dr. Moewardi (mantan pengurus VIJ).

Semuanya hidup berdampingan. Olahraga adalah olahraga, sepakbola adalah sepakbola apapun warna kulit. Pemerintah netral dalam hal perbedaan diantara stakeholder sepakbola. Yang dipentingkan pemerintah adalah apakah dari NIVU maupun PSSI ada pemasukan dalam bentuk retribusi atau pajak. Visi misi NIVU dan PSSI ada perbedaan tetapi dalam menjalankan program masing-masing keduanya kerap bekerja sama. Memang pemain-pemain di klub PSSI hampir semuanya pribumi, tetapi pemain-pemain di klub-klub NIVU seperti di Batavia (Oliveo dan VIOS) jumlah pemain pribumi juga sangat banyak. Tim PSSI dan Tim NIVU bahkan kerap melakukan pertandingan.

Sepakbola: Bukan Alat Perjuangan, Tetapi Alat Pemersatu

Sepakbola adalah alat mempersatukan bangsa, tetapi bukan alat perjuangan bangsa. Permainan sepakbola adalah olahraga untuk tujuan kesehatan yang dapat dipertandingkan (game) tetapi bukan untuk perang yang dapat mencederai lawan atau membunuh musuh. Kompetisi dalam sepakbola adalah bersaing untuk menang (juara) di atas pondasi jiwa dan raga yang sehat (sportivitas).

Tidak ada dua tim yang bertanding atas dasar permusuhan atau pada saat situasi dan kondisi perang. Pertandingan sepakbola terjadi dalam suasana kerjasama atau situsi damai. Karena itulah ada wasit. Jika kondisi dalam situasi permusuhan atau perang, maka pertandingan sepakbola tidak (akan) dapat dilangsungkan, paling tidak salah satu tidak hadir (WO). Hal ini yang menyebabkan tidak pernah terjadi pertandingan antara Tim Indonesia dengan Tim Israel. Pada era kolonial Belanda, PSSI dan NIVU berada dalam koridor kerjasama. Kerjasama ini diperkuat dalam suatu agreement (butir-butir agreement lihat De Indische courant, 30-01-1937). Bentuk-bentuk kerjasama diwujudkan dalam bentuk pertandingan Tim PSSI vs Tim NIVU. Ketika H Agus Salim dan AM Sangaji serta kawan-kawan membuat kelompok oposisi di tubuh PSSI dalam hubungannya dengan agreement PSSI dan NIVU yang dibuat, justru kelompok oposisi ini dikeluarkan dari kepengurusan PSSI. Dalam hal ini PSSI adalah alat pemersatu diantara orang-orang pribumi yang memiliki visi dan misi yang sama. Situasi dan kondisilah yang membuat PSSI sulit melakukan kerjasama dengan NIVU, yakni kerjasama yang terkandung di dalam filosofi olahraga itu sendiri.  

Pilihan yang diambil MH Thamrin dalam mempersatukan bangsa adalah organisasi-organisasi lainnya, tetapi bukan organisasi olahraga (sepakbola). Organisasi itu adalah organisasi kebangsaan lainnya apakah organisasi Kaoem Betawi atau organissi PPPKI atau organisasi politik (Parindra). Jika organisasi sepakbola, seperti yang dilakukan Iskandar Brata dan Koesoema Atmadja, maka itu akan berpusat di Petodjo/Tjideng Barat, tempat dimana VIJ bermarkas. Organisasi kebangsaan, yang mana peran MH Thamrin sangat penting, itu akan berpusat di Gang Kenari. Jika stadion VIJ di Petodjo/Tjideng Barat adalah hanya pusat persatuan bangsa (di bidang olahraga), di Gang Kenari tidak hanya pusat persatuan bangsa, juga menjadi pusat perjuangan bangsa. Di Gang Kenarilah seharusnya MH Thamrin diposisikan, bukan di stadion VIJ Petodjo/Tjideng Barat.

Pemerintah menyediakan fasilitas umum untuk digunakan publik. Tidak hanya sekolah, rumah sakit tetapi juga lapangan. Fasilitas-fasilitas itu dapat digunakan masyarakat atau disewa oleh suatu perkumpulan. Untuk klub atau perkumpulan sepak bola yang bonafit dapat membangun stadionnya sendiri, tetapi sebagai unit usaha juga dikenakan pajak bangunan. Pemerintah tidak menyediakan fasiltas untuk kemasyarakatan (societeit), tetapi societeit sendiri yang mambangun fasilitasnya. Pada bulan September 1927, Parada Harahap, pemilik surat kabar Bintang Timoer yang juga sebagai sekretaris Sumatranen Bond menggagas perlunya persatuan diantara oraganisasi-organisasi kebangsaan yang lalu kemudian diadakan pertemuan di rumah Husein Djajadiningrat. Hasil keputusan dibentuk organisasi supra kebangsaan yang diberinama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI. Di dalam rapat yang juga turut dihadiri Ir. Soekarno (PNI), Dr. Soetomo (Boedi Oetomo) secara aklamasi mengangkat MH Thamrin (Kaoem Betawi) sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Agenda pertama kepengurusan PPPKI adalah membangun gedung kantor dan menyelenggarakan kongres PPPKI pada tahun 1928 (yang kemudian terintegrasi dengan kongres pemuda). Parada Harahap yang juga ketua pengusaha pribumi Batavia (semacam Kadin pada masa ini) menggalang dana untuk pembangunan gedung kantor PPPKI. Dalam hal ini, MH Thamrin menyediakan lahan miliknya untuk pertapakan gedung yang berlokasi di Gang Kenari. Di gedung PPPKI gang Kenari inilah Parada Harahap dan MH Thamrin berkantor, suatu gedung yang menjadi pusat pergerakan dan perjuangan bangsa. Gedung ini masih eksis hingga ini dan dikenal sebagai Gedung MH Thamrin.    

Gang Kenari adalah pusat perjuangan bangsa Indonesia. Disinilah awalnya persatuan seluruh bangsa Indonesia dilembagakan, ditumbuhkembangkan dan diperkuat satu sama lain oleh berbagai elemen bangsa Indonesia. MH Thamrin sadar dan mengetahui risiko di atas lahannya ditempatkan suatu pusat perjuangan bangsa Indonesia. Parada Harahap, sebagai kepala kantor hanya memasang tiga foto/lukisan di kantor PPPKI ini, yakni: Soeltan Agoeng, Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta. Dua tokoh pemersatu bangsa ini saling bersinergi.

Parada Harahap sudah sangat kenal dengan dua pemuda revolusioner Soekarno dan Mohamad Hatta. Parada Harahap yang masih berumur 29 tahun adalah seorang pemuda revolusioner pada usia belia sudah berani mendirikan dan sekaligus editor surat kabar yang diberi nama Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919-1922). Dengan modal inilah Parada Harahap yang pernah membongkar kasus ponalie sanctie di Medan tahun 1919 pada tahun 1923 hijrah ke Batavia dengan mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama dengan merekrut WR Supratman. Setelah memahami situasi dan kondisi di Batavia, pada tahun 1926, Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih revolusioner yang diberi nama Bintang Timoer. Ir. Soekarno yang baru lulus THS di Bandoeng, kerap mengirim tulisan ke Bintang Timoer. Sejak itulah keduanya memiliki kimia yang sama dalam perjuangan bangsa. Seperti halnya Soekarno, Parada Harahap juga tidak memiliki hutang kepada (pemerintah) Hindia Belanda. Parada Harahap hingga tahun 1926 sudah belasan kali masuk bui dengan tuduhan delik pers. Parada Harahap sudah tidak ada takutnya lagi untuk berjuang demi bangsa Indonesia. Mohamad Hatta yang kini (sejak 1924) menjabat sebagai Perhimpoenan Indonesia di Belanda sudah dikenal Parada Harahap sejak 1919 ketika kongres pertama Sumatranen Bond di Padang. Parada Harahap saat itu adalah ketua delegasi pemuda dari Tapanoeli dan Mohamad Hatta sebagai aktivis muda di Kota Padang. Pembina kongres Sumatranen Bond di Padang saat itu adalah Dr. Abdoel Hakim yang menjabat sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang. Dr. Abdoel Hakim juga ada Ketua NIP wilayah Pantai Barat Sumatra. Ketua NIP Pusat adalah Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah satu kelas di STOVIA dan sama-sama lulus tahun 1905. Dr. Abdoel Hakim Nasution kelak menjadi besan MH Thamrin (kedua tokoh nasionalis ini kebetulan pernah sama-sama menjabat sebagai wakil wali kota atau locoburgemeester). Yang mempertemukan putra Abdoel Hakim dan putri MH Thamrin sudah barang tentu adalah Parada Harahap.    

MH Thamrin (Ketua Kaoem Betawi) dan Parada Harahap (Sekretaris Sumatranen Bond) sangat sadar mereka berdua datang dari kaum minoritas, karena itu mereka berdua sangat bersemangat untuk membersarkan organisasi PPPKI. Sebab hanya dengan mempersatukan semua organisasi kebangsaan ke dalam wadah PPPKI, nama mereka menjadi sangat berarti di dalam berjuang untuk melawan praktek kolonialisme Belanda. Hanya dengan bendera PPPKI mereka berdua dapat menunjukkan visi misi dalam berbangsa. Sumatranen Bond di Sumatra memang dominan tetapi di Batavia, organisasi Sumatranen Bond dan Kaoem Betawi hanyalah minoritas. Boedi Oetomo karena dominan di Jawa, tidak merasa perlu ikut bergabung dengan PPPKI (yang bervisi nasional). Soekarno dan Soetomo sudah lama tidak terkait dengan Boedi Oetomo (yang tetap mengusung visi kedaerahan). Pasoendan sudah beberapa waktu membentuk diri dari Boedi Oetomo. Soekarno dan Soetomo kebetulan berjiwa revolusioner dan memiliki visi Indoenesia.

Gedung dan Patung MH Thamrin di Gang Kenari
Pada saat pendirian PPPKI, paling tidak sudah terhubung para revolusioner seperti Parada Harahap, Ir. Soekarno, Mohamad Hatta dan Dr. Soetomo. Di barisan senior terdapat MH Thamrin, Husein Djajadinigrat, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon serta Dr. Abdul Rivai.. Empat nama terakhir adalah mantan pendiri dan pengurus Indisch Vereeniging yang didirikan tahun 1908 di Belanda. Indisch Vereeniging pada saat kepengurusan Dr. Soetomo tahun 1920 diubah namanya menjadi Indonesiasch Vereeniging; dan pada saat kepengurusan Mohamad Hatta pada tahun 1924 Indonesiasch Vereeniging diubah namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia. Penggagas dan presiden pertama Indisch Vereeniging Soetan Casajangan pada saat pendirian PPPKI menjabat sebagai Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan presiden kedua Indisch Vereeniging Huesien Djajadiningrat pada saat pendirian PPPKI yang kebetulan diadakan di rumahnya menjabat sebagai guru besar di Sekolah Tinggi Hukum (RHS) Batavia; Mangaradja Soangkoepon adalah anggota Volksraad (bersama MH Thamrin)..    

Menjelang Kongres PPPKI 1928, Parada Harahap dan Soekarno membidani kelahiran (kembali) partai politik. Dalam suatu pertemuan (rapat) umum di Bandoeng yang juga dihadiri Parada Harahap dari PPPKI, Ir. Soekarno mengumumkan organisasi kebangsaan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) berubah menjadi organisasi politik dengan nama Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan demikian dalam Kongres PPPKI akan turut diperkaya dengan partai politik yang baru. Parada Harahap lalu menunjuk Dr. Soetomo untuk menjadi ketua panitia Kongres PPPKI.

Sehubungan dengan Kongres PPPKI bulan September 1928, kegiatan kongres pemuda diintegrasikan yang akan diadakan sebulan kemudian pada bulan Oktober 1928. Panitia Kongres Pemuda lalu ‘dibentuk’ oleh Parada Harahap dan Dr. Soetomo. Untuk ketua panitia diinisiasi Soegondo yang diawali dengan pembentukan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Soegondo mahasiswa RHS menjadi ketua PPPI dan juga akan menjadi Ketua Panitia Kongres Pemuda. Dr. Soetomo sangat dekat dengan Soegondo. Untuk sekretaris diinisiasi dua mahasiswa RHS yakni Mohamad Jamin dan sebagai bendahara Amir Sjarifoedin Harahap. Kedua mahasiswa ini adalah ‘anak buah’ Parada Harahap yang mana Mohamad Jamin dari Sumatranen Bond dan Amir Sjarifoeddin dari Bataksch Bond. Untuk sponsor dua kongres ini yakni Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) adalah para pengusaha yang dipimpin oleh Parada Harahap yang juga sebagai Ketua Kadin Batavia. Satu lagi yang diinisiasi di dalam Kongres Pemuda walau bukan berasal dari organisasi pemuda adalah musisi WR Supratman (anak buah Parada Harahap di kantor berita Alpena). Last but not least: Untuk menyemarakkan dua kongres ini, Parada Harahap, pemiliki surat kabar Bintang Timoer menerbitkan edisi Semarang (untuk Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk Oost Java).

Pada saat Kongres PPPKI perwakilan Minahasa dan Ambon tidak hadir. Tidak diketahui secara jelas mengapa tidak hadir. Boedi Oetomo meski di dalam statuta masih berbasis kedaerahan (Jawa dan Madura) tetapi mengirim delegasi yang diwakili oleh Boedi Oetomo cabang Batavia yang dipimpin oleh Dr. Sardjito. Dalam kongres PPPKI yang dilaksanakan di Gang Kenari Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta diundang untuk berbicara. Namun Mohamad Hatta tidak bisa hadir karena tugas tesis tetapi mengirim utusan dari Perhimpunan Indonesia Ali Sastroamidjojo. Hasil keputusan Kongres PPPKI yang penting adalah perubahan platform PPPKI dari berbasis organisasi kebangsaan menjadi berbasis organisasi politik. Hasil kongres juga memutuskan mengangkat Dr. Soetomo sebagai ketua yang baru. Keputusan lainnya adalah kongres berikutnya akan diadakan di Solo pada tahun 1929.

Sementara itu dalam Kongres Pemuda yang dilaksanakan tidak jauh dari Gang Kenari di Jalan Kramat, menghasilkan keputusan yang dituangkan dalam Putusan Kongres yakni memperkuat persatuan dengan ikrar Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia. Satu hal yang penting lainnya pada saat Kongres Pemuda tersebut diperdengarkan lagu Indonesia Raya yang dibawakan oleh WR Supratman.

Lantas mengapa Parada Harahap dan Dr. Soetomo menjadi begitu dekat satu sama lain. Sebagaimana sebelumnya Parada Harahap dengan Mohamad Hatta saling kenal pada saar kongres Sumatranen Bond di Padang pada tahun 1919. Saat itu Parada Harahap, usia 20 tahun pendiri dan editor surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean menjadi pimpinan utusan dari Tapanoeli. Parada Harahap saling kenal dengan Ir. Soekarno karena surat kabar Bintang Timoer di Batavia pimpinan Parada Harahap intens memberitakan kiprah Soekarno di Bandoeng, sebaliknya Soekarno kerap mengirim tulisan dari Bandoeng ke Bintang Timoer. Lantas bagaimana dengan kedekatan Parada Harahap dan Dr. Soetomo? Ceritanya sangat panjang, tetapi kronologisnya dapat diringkas sebagai berikut:

Sebagaimana Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Andul Karim satu kelas dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sewaktu kuliah di Docter Djawa School dan sama-sama lulus tahun 1905, di era STOVIA (nama baru Docter Djawa School) Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution sama-sama satu kelas dan lulus tahun 1912. Sebelumnya mereka berdua adalah sama-sama aktivis di kampus STOVIA. Soetomo adalah aktif di organisasi kampus STOVIA, Radjamin Nasution aktif sebagai pemain sepakbola STOVIA. Klub sepakbola STOVIA diberi nama Docter Djawa Clubvoetbal (mengikuti nama STOVIA terdahulu).

Docter Djawa Club yang boleh dikatakan klub pribumi berkompetisi di Bataviasch Voetbalbond (DVB). Ketika jeda kompetisi, klub-klub lain di DVB melakukan pramusim ke Jawa, Docter Djawa Club sebagai satu-satunya klub pribumi di DVB justru melawat pada pramusim ke Medan untuk melawan klub Tapanoeli Voetbal Club. Kapten Docter Djawa Club ke Medan adalah Radjamin Nasution. Tapanoeli Voetbal Club adalah klub yang dibentuk anak-anak asal Mandailing en Angkola di Medan yang tergabung dalam organisasi kebangsaan Sjarikat Tapanoeli. Sponsor Docter Djawa Club adalah NV Sjarikat Tapanoeli, suatu organ usaha syarikat.

Pada bulan Mei 1908, Soetomo dkk di STOVIA membentuk syarikat baru yang diberinama Boedi Oetomo. Boleh jadi Soetomo melalui Radjamin Nasution melihat sukses Sjarikat Tapanoeli yang mampu bersaing dengan orang-orang Tionghoa di Medan. Sjarikat Tapanoeli didirikan oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda bersama Sjech Ibrahim di Medan. Dja Endar Moeda sebelumnya di Padang surat kabarnya Pertja Barat terkena delik pers dan dihukum cambuk dan diusir dari Padang oleh Belanda. Dja Endar Moeda sebelumnya adalah pendiri organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang tahun 1900 dan menjadi direktur pertama. Medan Perdamaian adalah organisasi kebangsaan (Indonesia) pertama.

Jelang kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogjakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1980, diketahui visi misi Boedi Oetomo telah bergeser menjadi visi kedaerahan sehubungan dengan terkooptasinya Boedi Oetomo oleh para golongan senior (yang umumnya para pengeran/bupati). Para pemuda.mahasiswa di Boedi Oetomo yang sejatinya adalah penggagas dan pendiri mulai tergeser oleh para senior. Soetomo yang bervisi nasional tidak berdaya melihat perubahan visi Boedi Oetomo yang begitu cepat. Di Belanda, para mahasiswa yang mendengar dinamika yang terjadi di Boedi Oetomo, atas prakarsa Soetan Casajangan membentuk organisasi nasional dengan basis persatuan nasional dengan nama Indisch Vereeniging. Sebagai presiden secara aklamasi mengangkat Soetan Casajangan dan Raden Soemitro sebagai sekretaris dan bendahara Husein Djajaningrat serta Dr. Abdoel Rivai sebagai komisaris. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Soetan Casajangan setelah menjadi guru selam 13 tahun di Padang Sidempoean melanjutkan studi ke Belanda tahun 1905. Saat pendirian Indisch Vereeniging 1908 jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sebanyak 20 orang. Sejak Oktober inilah Boedi Oetomo mundur menjadi berbasis visi kedaerahan (sesuai statutanya hanya terbatas di Jawa dan Madura) dan sejak Oktober ini pula Indisch Vereeniging tetap berbasis dan mengusung visi nasional. Sejak kongres Boedi Oetomo ini pula Soetomo tidak banyak terlibat (lagi) di Boedi Oetomo.

Pada tahun 1912 Soetomo dan Radjamin Nasution lulus dari STOVIA dan mendapat gelar dokter. Uniknya, Dr. Radjamin Nasution setelah di bea cukai (bidang kesehatan) di Batavia, pemerintah menempatkannya di bea dan cukai Soerabaja. Sebaliknya, Dr. Soetomo ditempatkan di Tandjong Morawa, Deli. Kedua mantan aktivis ini sama-sama melihat kenyataan di masyarakat. Dr. Radjamin Nasution melihat buruh pelabuhan dalam kondisi menyedihkan. Sebagai dokter, Radjamin Nasution turut membantu peningkatan kesehatan buruh pelabuhan. Sementara itu, di Dr. Soetomo di Tandjong Morawa melihat penederitaan kuli asal Jawa di perkebunan-perkebunan. Dr. Soetomo sebagai dokter pemerintah di Tnadjong Morawa mulai melakukan advokasi kepada kuli-kuli asal Jawa.

Dr. Soetomo cukup lama di Deli dan dipindahkan ke Jawa tahun 1914. Ketika Dr. Soetomo tiba di Batavia hatinya pilu dan sedikit marah. Dr. Soetomo meminta ketua Booedi Oetomo cabang Batavia, Dr. Sardjito untuk dilakukan rapat umum. Dr. Soetomo dalam pidatonya berapi-api. Dr. Soetomo menyatakan: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo melanjutkan, ‘Kita tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakukan yang tidak adil dari para planter’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’. Pidato ini tentu dicatat intel/polisi Belanda sebab dalam rapat umum ini turut hadir pejabat-pejabat pemerintah. Mengapa Dr. Soetomo bersemangat dengan nasioalis. Sjarikat Tapanoeli di Medan, idem dito Medan Perdamian di Padang memiliki visi nasional, apalagi Indisch Vereeniging di Belanda. Apa yang diinginkan Dr. Soetomo di dalam rapat umum Boedi Oetomo di Batavia adalah bahwa menangani permasalahan kuli Jawa di Deli harus dilakukan secara nasional. Boedi Oetomo tidak bisa berpangku tangan soal poenali sanctie perkebunan-perkebunan di Deli.

Sementara itu, pada tahun yang sama (1914) Radjieoen Harahap gelar Soetan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging pulang ke tanah air setelah selesai studi dan melakukan berbagai kegiatan di Belanda. Setelah tiba di tanah air, Soetan Casajangan ditempatkan sebagai guru di sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Sembari mengajar di Soetan Casajangan membentuk organisasi masyarakat di Fort de Kock dan di Padang Sidempoenan. Oleh karena di Padang Sidempoean tidak ada media, Soetan Casajangan pada tahun 1915 mendirikan surat kabar berbahasa Batak di Padang Sidempoean yang diberi nama Poestaha. Soetan Casajangan di Belanda pernah menjadi editor suratkabar.majalah Bintang Hindia dan Bintang Perniagaan. Pengalaman ini yang diintroduksinya di kampung halamannya di Padang Sidempoean.

Pada tahun 1917 (tiga tahun sepulang Dr. Soetomo dari Deli), seorang krani (juru tulis di perusahaan perkebunan di Deli), masih belia, umur 18 tahun membongkar kasus poenalie snactie. Laporannya dikirimkannya ke surat kabar Benih Merdeka yang terbit di Medan. Editor Benih Merdeka tidak berani menerbitkannya. Namun setelah lama, pada bulan April 1918 Benih Merdeka mengolah tulisan yang dikirim krani tersebut ke dalam beberapa artikel. Artikel-artikel yang dimuat Benih Merdeka ditanggapi secara dingin di Medan karena kasus itu dianggap sebagian orang sebagai hal yang umum dan sebagian yang lain menganggap itu sebagai kabar burung. Namun menjadi berbeda ketika artikel-artikel tersebut dirilis kembali oleh surat kabar Soeara Djawa ke dalam beberapa edisi pada bulan Juni 1918. Heboh di Jawa. Semua mata melihat ke Deli. Lalu pemerintah pusat di Batavia bereaksi dan dilakukan penyelidikan. Satu yang pasti pasca penyelidikan, krani yang menjadi sumber pemberitaan itu dipecat sebagai krani dan menjadi menganggur. Krani yang dipecat itu bernama Parada Harahap.

Saat heboh kasus pembongkaran kasus ponalie sanctie di Deli, Dr. Soetomo tengah berdinas di Palembang. Tentu saja Dr. Soetomo membaa berita kasus kuli di Deli ada yang membongkar, sumringah. Mungkin Dr, Soetomo dalam hati berkata: ;Apa kubilang, kita (di Boedi Oetomo) tidak bisa hidup sendiri’. Sudah barang tentu Dr. Sardjito, mantan ketua Boedi Oetomo cabang Batavia yang bekerja di lembaga Pasteur di Batavia berpikiran sama di dalam hati: ‘Benar yang dulu dikatakan Dr. Soetomo, kita tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito adalah dua sarjana yang berseberangan dengan golongan senior. Boedi Oetomo cabang Batavia adalah satu-satunya cabang Boedi Oetomo yang bersikap kritis di dalam tubuh Boedi Oetomo. Entah ada hubungannya dengan kasus poenali sanctie yang dibongkar Parada Harahap, yang jelas Dr. Soetomo dan Dr. Satdjito ‘diasingkan’ ke Belanda yakni dengan diberikan fasilitas untuk melanjutkan studi ke Belanda agar keduanya lebih jinak. Dr. Soetomo dan Dr. Satdjito berangkat ke Belanda tahun 1919.

Di Deli, Parada Harahap yang tengah menganggur akibat dipecat dari pekerjaan sebagai krani, mulai menyingsingkan lengan baju. Dari Soengai Karang di Deli hijrah ke Medan pada kahir tahun 1918 untuk melamar menjadi wartawan Benih Merdeka. Anehnya, bukannya diterima sebagai wartawan, malahan Parada Harahap diminta pengurus untuk menjadi editor Benih Merdeka. Parada Harahap siap lahir batin. Sejak Parada Harahap ikut bergabung dengan Benih Merdeka, surat kabar-surat kabar berbahasa Belanda kerap mengutip berita-berita Benih Merdeka juga pendapat-pendapat dari Parada Harahap. Surat kabar berbahasa Belanda juga seakan berada berdiri di belakang inisiatif Parada Harahap. Oleh karena pengusaha-pengusaha perkebunan di Deli adalah gurita, maka enath bagaimana Benih Merdeka dikenakan pasal delik pers dan akhirnya dibreidel. Parada Harahap kemudian pindah menjadi editor di surat kabar Pewarta Deli. Surat kabar ini adalah organ Sjarikat Tapanoeli yang didirikan pada tahun 1909 di bawah NV Sjarikat Tapanoeli dengan editor Dja Endar Moeda. Namun, Parada Harahap tidak lama di Pewarta Deli dan pulang kampung ke Padang Sidempoean. Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan surat kabar di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka. Boleh jadi Parada Harahap sudah saatnya benih merdeka ditumbuhkembangkan menjadi Sinar Merdeka. Di Padang Sidempoean. Parada Harahap merangkap sebagai editor surat kabar Poestaha yang berubah menjadi mingguan. Poestaha didirikan Soetan Casajangan pada tahun 1915.

Di Belanda, Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito selain tekun belajar juga mulai aktif ikut di dalam Indisch Vereeniging. Di dalamnya sudah ada tokoh-tokoh radikal yang dapat dikatakan ‘anak buah’ Soetan Casajangan. Mereka itu antara lain Drh. Sorip Tagor Harahap, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Dahlan Andoellah dan Tan Malaka. Mereka inilah yang di tahun 1917 dalam kongres mahasiswa Hindia yang diketuai oleh van Mook (Indo, Tionghoa dan pribumi) mengusulkan nama Hindia Belanda diganti dengan nama Indonesiache. Untuk sekadar catatan: kelak Drh. Sorip Tagor Harahap dikenal sebagai dikter hewan pertama Indonesia yang juga adalah kakek buyut Inez dan Risty Tagor (artis) dan Deisti Astriani Tagor (istri Setua Novanto); Soetan Goenoeng Moelia (Menteri Pendidikan RI yang kedua setelah Ki Hadjar Dewantara); Dahlan Andoellah (Wali Kota Djakarta pertama); dan Tan Malaka (tokoh politik terkenal); serta van Mook (Letnan Jenderal NICA/Belanda dalam perang kemerdekaan RI).   

Ketika Indisch Vereeniging dipimpin oleh Dahlan Abdoellah tahun 1917/1918 organisasi semakin radikal. Hal ini mengikuti perubahan dalam eskalasi internasional maupun eskalasi politik di Hindia Belanda. Pada tahun 1922 Dr. Soetomo menjadi ketua Indisch Vereeniging. Pada tahun ini nama Indisch Vereeniging diubah namanya menjadi Indonesiasche Vereeniging. Pada tahun 1924 kepemimpinan dilanjutkan oleh Mohamad Hatta yang kemudian mengubah nama Indonesiasche Vereeniging menjadi sepenuhnya nama Indonesia dengan nama Perhimpoenan Indonesia (disingkat PI). Pada tahun ini (1924) Dr. Soetomo kembali ke tanah air dan lalu mendirikan studieclub (Klub Studi) di Soerabaja. Klub studi ini adalah klub studi pertama di Hindia Belanda yang dibentuk untuk menerjemahkan situasi dan kondisi ketidak adilan masyarakat pribumi Indonesia dan menyusun rekomenfasi-rekomendasi dalam peningkatan kehidupan masyarakat. Klub ini sedikit mendapat resistensi dari para tokoh-tokoh di Soerabaja yang masih berkiblat ke Boedi Oetomo. Dr. Soetomo diharapkan pemerintah menjadi jinak, malahan sepulang dari Belanda justru menjadi lebih radikal dan bahkan lebih intens mengkritisi Boedi Oetomo. Inilah yang menjadi pangkal adanya resistensi ketika studieclub dididirkan di Soerabaja.

Pada tahun 1924 Parada Harahap adalah pemimpin dan editor surat kabar Bintang Hindia di Batavia. Surat kabar ini didirikan pada tahun 1923 setelah Parada Harahap hijrah dari Padang Sidempoean ke ibukota Batavia. Parada Harahap awalnya bersama Dr. Abdoel Rivai mengelolanya, tetapi kemudian Dr, Abdoel Rivai yang sudah mulai menua lebih memilih istirahat. Bintang Hindia adalah majalah dua mingguan yang dulu pernah terbit di Belanda yang sirkulasinya di Hindia. Yang pernah menjadi editor Bintang Hindia, selain Dr. Abdoel Rivai adalah Soetan Casajangan. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama yang diberi nama (singkatan) Alpena. Parada Harahap merekrut WR Supratman dari Bandoeng sebagai salah satu wartawannya yang mana WR Soepratman tinggal di rumah Parada Harahap.

Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar baru yang lebih radikal, meniru platform surat kabarnya dulu Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dengan nama Bintang Timoer. Nama ini boleh jadi dipilih untuk meninggalkan Bintang Hindia di barat (Belanda) dan berorientasi ke bintang timur di Jepang. Saat itu sudah ada anggapan bahwa kemajuan di negara Belanda tidak ada apa-apanya lagi jika dibandingkan dengan kemajuan yang pesat di Jepang. Pada tahun ini juga (1926) Ir. Soekarno lulus dari THS Bandoeng. Mengikuti langkah Dr. Soetomo di Soerabaja, Ir. Soekarno dan kawan-kawan di Bandoeng mendirikan studieclub. Pada tahun-tahun inilah kiprah Ir. Soekarno mulai terlihat dan diliput oleh surat kabar Bintang Timoer. Parada Harahap juga mulai mengundang Ir. Soekarno untuk mengirim tulisan ke Bintang Timoer. Beberapa bulan kemudian di Batavia juga didirikan studieclub yang didalamnya termasuk Mr. Dahlan Abdoellah dan Dr. Sardjito. Semakin diperbanyaknya jatah anggota dewan kota untuk pribumi di berbagai kota seperti Batavia, Soerabaja, Bandoeng, Medan dan Padang, para mantan aktivis mahasiswa dan aktivis pergerakan juga banyak yang mulai terjun ke area politik untuk bersaing dalam perebutan menjadi anggota dewan kota. Di Batavia tiga anggota dewan kota yang terpilih dan namanya sudah terkenal adalah MH Thamrin, Mr. Dahlan Abdoellah dan Dr. Sardjito. Untuk sekadar catatan: kelak Dr. Sardjito lebih dikenal sebagai Rektor UGM pertama). Di Soerabaja, Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution juga mulai merintis jalan ke dewan kota; Di Padang, tokoh pergerakan NIP (Dr, Tjipto M) yakni Dr. Abdoel Hakim Nasution semakin menguat di dewan kota. Di Medan juga para aktivis merintis jalan ke dewan kota seperti Abdoel Hakim Harahap dan jurnalis senior Abdoellah Lubis (editor Pewarta Deli). Catatan: kelak Abdoel Hakim Harahap lebih dikenal sebagai Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta dan Gubernur Sumatra Utara pertama); dan Dr. Abdoel Hakim Nasution menjadi besan dari MH Thamrin.        

Pada tahun 1927, sang revolusioner, setelah melalui rintangan di Benih Merdeka (di Medan), Sinar Merdeka (di Padang Sidempoean) dan Bintang Timoer (di Batavia), Parada Harahap yang telah memiliki sejumlah media dan ketua pengusaha pribumi Batavia mempelopori diperkuatnya persatuan dan dibentuknya kesatuan. Lalu, lahirlah PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia) yang diadakan di rumah Prof. Husein Djajadiningrat yang juga turut dihadiri oleh Mr. Mangaradaja Soangkoepon, Mr. Soetan Casajangan dan Dr. Abdoel Rivai. Keempat nama terakhir adalah pendiri dan pengurus Indisch Vereeniging di Belanda. Dalam hal ini, dua tokoh muda, Parada Harahap dan MH Thamrin dikawal oleh tokoh-tokoh senior alumni Belanda.

Last but not least: Dalam pertemuan di rumah Prof. Huesin Djajadiningrat antara lain hadir Kaoem Betawi diwakili oleh MH Thamrin; Sumatranen Bond diwakili Parada Harahap; PNI diwakili oleh Ir. Soekarno; dan Boedi Oetomo ‘diwakili’ oleh Dr. Soetomo. Dalam hal ini sejatinya, Dr. Soetomo tidak sepenuhnya mewakili Boedi Oetomo, karena Boedi Oetomo masih nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution datang dari Soerabaja sebagai bagian dari tokoh studieclub. Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution sudah merintis organisasi kebangsaan yang baru yang disebut Persatoean Bangsa Indonesia (PBI). Lewat PBI kemudian Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota dewan kota di Soerabaja.
  
Sejak pembentukan PPPKI inilah Parada Harahap dan Dr. Soetomo mulai saling kenal, lebih-lebih diperkuat oleh Dr. Radjamin Nasution. Parada Harahap  dan Dr. Radjamin Nasution kebetulan sama-sama gibol. Sedangkan Parada Harahap dan Dr. Soetomo adalah dua insan yang saling tidak kenal di Deli pada era waktu yang berbeda memiliki visi misi yang sama. Dr. Soetomo selama di Deli (1912-1914) mengadvokasi kuli asal Jawa di Deli dan Parada Harahap pada tahun 1917/1918 membongkar kasus penindasan kuli asal Jawa di perkebunan di Deli. Langsung tidak langsung, keduanya boleh dikatakan memiliki ‘guru’ yang sama: Soetan Casajangan. Parada Harahap meneruskan kepemimpinan surat kabar/majalah Poeshan yang didirikan Soetan Casajangan di Padang Sidempoean; dan Dr. Soetomo meneruskan kepemimpinan organisasi mahasiswa Indisch Vereeniging yang didirikan Soetan Casajangan di Leiden/Belanda. 

Pada jelang Kongres PPPKI tahun 1928 (yang diintegrasikan dengan kongres pemuda) tiga tokoh yang sangat kuat sudah terbentuk di Gang Kenari yang boleh dikatakan sebagai Trio Gang Kenari: Parada Harahap, MH Thamrin dan Dr. Soetomo. Pada jajaran para pemuda juga telah terbentuk tiga tokoh mahasiswa yang boleh dikatakan sebagai Trio Kampus THS: Soegondo, Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Tentu saja sudah sejak lama terbentuk tiga tokoh senior yang kuat: Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, Husein Djajadiningrat dan Dr. Abdoel Rivai (para pendiri dan pengurus Indisch Vereeniging).

Setelah Kongres PPPKI (senior)  yang dilaksanakan di Batavia tanggal 28 September 1928 dan setelah Kongres Pemuda (junior), ketika kepemimpinan bangsa Indonesia dipimpin oleh Dr. Soetomo, MH Thamrin dan Parada Harahap kembali fokus kepada profesi masing-masing. MH Thamrin tetap berjuang di dewan, Parada Harahap tetap berjuang lewat media. Dalam perkembangannya MH Thamrin dan Parada Harahap ikut mendukung keberadaan partai politik Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution.

MH Thamrin dan Parada Harahap pada akhirnya menjadi bagian dari organisasi partai politik. Ini bermula, setelah Kongres PPPKI kedua di Solo 1929, organisasi kebangsaan PPPKI telah diubah namanya dengan nama Perhimpoenan Partai-Partai Politik Indonesia (tetap disingkat dengan PPPKI). Pada tahun 1930 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution mendirikan partai politik yang baru yakni Partai Bangsa Indonesia (PBI). Saat itu paling tidak sudah berdiri dua partai politik yang berhaluan nasional Indonesia dan mengusung semangat revolusi yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Dalam hal ini MH Thamrin dan Parada Harahap memilih bergabung dengan PBI. Sedangkan di PNI sudah tergabung Soekarno, Mohamad Hatta dan Sartono. Kedua partai ini saling mengisi dalam perjuangan, tidak pernah terjadi perselisihan dan justru yang terjadi saling memperkuat. Ibarat bertetangga saling akur (tidak seperti parati-partai masa ini yang cenderung antar partai terkesan saling bermusuhan).

Namun tidak lama kemudian datang bencana. Ir. Soekarno dan kawan-kawan di Partai Nasional Indonesia (PNI) ditangkap alalu ditahan untuk menunggu proses peradilan. Ir. Soekarno dituduh telah mengkampanyekan dan menyerang otoritas pemerintah kolonial Belanda. Sementara Ir. Soekarno masih di penjara, pers pribumi semuanya dibreidel tahun 1932, termasuk surat kabar Bintang Timoer di Batavia pimpinan Parada Harahap, Fikiran Ra’jat di Bandoeng yang didirikan ir. Soekarno dan surat kabar Soeara Oemoem di Soerabaja yang didirikan Dr. Soetomo. Catatan: Surat kabar Soeara Oemoem adalah organ PBI yang cikal bakalnya adalah surat kabar Bintang Timoer edisi Soerabaja (yang dioperasikan Parada Harahap jelang Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda). Pasca pers pribumi ini diberangus, Parada Harahap memimpi tujuh revolusioner berkunjung ke Jepang.

Melihat situasi dan kondisi yang genting ini, Parada Harahap berteriak bahwa pers Belanda juga turut melemahkan pers pribumi. Dalam kemarahan, Parada Harahap memimpin tujuh revolusioner berangkat ke Jepang. Belanda dibelakangi, Jepang mulai dirangkul. Pada bulan November 1933 dengan kapal Panama Maru, Parada Harahap dengan rombingan berangkat ke Jepang. Dalam rombongan ini turut Abdullah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan), Mr. Sjamsi Widagda (guru bergelar Ph.D di Bandoeng), Panangian Harahap (mantan guru) dan Mohamad Hatta yang baru pulang selesai studi di Belanda. Berita keberangkatan Parada Harahap ke Jepang membuat pers Belanda molohok dan pemerintah wait en see. Di Jepang menurut pers Belanda berdasarkan surat kabar di Jepang, rombongan disambut bagaikan delegasi negara (bacaL Indonesia) dan Parada Harahap dijuluki sebagai The King of Java Press.  

Sepulang dari Jepang, Parada Harahap dkk tidak langsung ke Batavia tetapi turun di Soerabaja. Pada hari yang sama tanggal 13 Januari 1934, saat Parada Harahap mendarat din pelabuhan Tandjong Perak Soerabaja, Ir. Soekarno diberangkatkan ke pengasingan di Flores melalui pelabuhan Tandjong Priok di Batavia. Di pelabuhan Tandjong Perak kemudian datang dua tokoh PBI untuk menyambut: Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution.

Setelah dianggap situasi dapat diketahui oleh rombongan, seminggu kemudian anggota delegasi ke Jepang itu kembali ke rumah masing-masing. Namun tidak lama kemudian, seminggu setelah dari Soerabaja, Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap di Batavia. Di pengadilan, keduanya tidak terbukti terhadap yang dituduhkan, karena atase Jepang di Batavia (baca: kedubes) ikut memberikan kesaksian di pengadilan. Parada Harahap dan Mohamad Hatta dibebaskan. Tetapi tidak lama kemudian, diberitakan bahwa Mohamad Hatta ditangkap lagi yang dituduh kampanye dan melakukan provonasi di surat kabar/majalah Daoelat Ra’jat enam bulan sebelumnya. Sejumlah tokoh PNI (baca: Pendidikan Nasional Indonesa, parati baru yang didirikan setelah PNI dibubarkan pasca Ir. Soekarno ditangkaop). Mereka yang ditangkap antara lain Mohamad Hatta, Soetan Sjahrir, Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin serta Abdoel Moerad (editor Daoelat Ra’jat). Oleh karena Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin masih muda dan masih berkuliah di RHS dapat pembelaan dari dosen mereka Prof. Husein Djajadiningrat dan anggota Volksraad MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon. Juga mendapat pembelaan dari Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia yang baru pulang studi dari Belanda setelah meraih gelar doktor (Ph.D). Dua tokoh muda Kongres Pemuda ini bebas. Untuk hukuman terhadao Dr. Abdoel Moerad ditetapkan dengan tahanan rumah. Lalu setelah berbagai proses peradilan, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir diasingkan ke Digoel (tetapi karena ada negosiasi dari tokoh politik seperti MH Thmarin dan Mangaradja Soeangkoepon akhirnya lokasi pengasingan dialihkan ke Bandaneira).  

Empat orang dari PBI (Dr. Soetomo, Dr. Radjamin Nasution, MH Thamrin dan Parada Harahap) masih memiliki hutang kepada rakyat Indonesia, yakni Boedi Oetomo yang belum bersedia beralih ke visi misi nasional (Indonesia). Statuta Boedi Oetomo masih terbatas di Jawa dan Madura. Dalam hal ini, jangan lupa pendiri dan ketua pertama Boedi Oetomo adalah Dr. Soetomo. Hutang ini masih tanggungan Dr. Soetomo tetapi karena Dr. Soeotmo terus didukung tiga teman baik Dr. Radjamin Nasution, MH Thamrin dan Parada Harahap maka semangat Dr. Soetamo yang terus kukuh ingin mengubah Boedi Oetomo menjadi organisasi nasionalis semakin termotiviasi. Sementara itu, pada kepengurusan di Boedi Oetomo pada tahun-tahun terakhir sudah semakin menguat dari golongan muda dan terpelajar, diantaranya Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo. Inilah saatnya bagi Dr. Soetomo untuk merangkul kembali Boedi Oetomo, suatu organisasi yang pernah dibidaninya.

Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo adalah dua tokoh muda yang memulai semangat nasional di Boedi Oetomo cabang Batavia. Dr. Sardjito alumni STOVIA (sebelum GHS) dan Mr. Soepomo alumni Recht School (sebelum menjadi RHS). Pada tahun 1914, Dr. Sardjito selaku ketua Boedi Oetomo cabang Batavia memberikan panggung kepada Dr. Soetomo dalam suatu rapat umum di Batavia sesaat Dr. Soetomo pulang dari Deli. Lalu setelah itu, Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito ‘diasingkan’ ke Belanda sebagai tugas belajar dari pemerintah. Dr. Soetomo menjadi pengurus Indisch Vereenigig dan setelah mendapat gelar dokter penuh (setara Eropa) pulang ke tanah air, sedangkan Dr. Sardjito masih lanjung ke program doktoral dan kemudian meraih Ph.D sebelum pulang ke tanah air. Dr. Soetomo ke Soerabaja, Dr. Sardjito ke Batavia. Dr. Sardjito bukan gibol, tetapi gila catur (pemain catur andal di Batavia). Sementara itu, Mr. Soepomo, meski bukan pemuda radikal seperti Sardjito, tetapi sebagai ahli hukum paham ketidakadilan. Mr. Soepomo setelah menyelesaikan program doktoral di Belanda dan mendapat gelar Ph.D kembali ke tanah air. Mr. Soepomo ditempatkan sebagai ketua Landraad di Djogjocarta. Disinilah Mr. Soepomo terpilih sebagai saltu pengurus Boedi Oetomo (pusat). Sejak inilah Mr. Soepomo memainkan peran penting dari dalam jantung tubuh Boedi Oetomo. Singkat kata: Mr. Soepomo yang meratifikasi statuta Boedi Oetomo menjadi organisasi kebangsaan menjadi visi nasional. Kelak, Dr. Sardjito, Ph.D adalah rektor UGM yang pertama; dan Mr. Soepomo, Ph.D menjadi rektor UI yang kedua.

Dengan semangat Dr. Soetomo yang didukung Dr. Radjamin Nasution, akhirnya Boedi Oetomo semakin tersudut di dalam tataran nasional lalu mulai melunak dan meratifikasi visi nasional. Ketika Boedi Oetomo sudah berada di barisan visi nasional, Dr. Soetomo mengajak Boedi Oetomo bergabung dengan partai politik PBI. Para pemimpin Boedi Oetomo kewmudian bersedia yang kemudian PBI dan Boedi Oetomo dilebur (fusi) dengan membentuk partai baru yang disebut Partai Indonesia Raya (sesuai lagu Indonesia Raya yang digubah oleh WR Supratman dan diperdengarkan di Kongres Pemuda 1928).

Selesai sudah tugas dua pionir pemersatu bangsa, Parada Harahap dan MH Thamrin. Selesai pula misi dua pionir pejuang besar ini. Mereka kemudian lengser keprabon. Para senior satu persatu tiada. Soetan Casajangan telah lama meninggal dunia, kemudian Dr. Abdoel Rivai meninggal dunia tahun 1937. Yang tidak diduga, kabar berita muncul dari Soerabaja, Dr. Soetomo tidak berumur panjang meninggal tahun 1938.

Parada Harahap, sebagai tokoh media yang tidak punya hutang ke Belanda kembali gelisah. Para senior telah tiada (Soetan Casajangan, Abdoel Rivai dan Dr. Soetomo), Sementara tokoh muda di pengasingan (Ir. Soekarno. Drs. Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir). Hanya tersisa beberapa para revolusioner yang masih eksis (Parada Harahap, MH Thamrin. Mohamd Jamin dan Amir Sjarifoeddin Harahap). Muncullah ide pembebasan Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta yang tengah berada di pengasingan. Parada Harahap tentu mengetahui betul siapa Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta. Hanya foto berdua, dan Soeltan Agong yang dipajang Parada Harahap di gedung/kantor PPPKI di Gang Kenari.

Pada tahun 1938 dua anggota Volksraad yang vokal, MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon mulai bersuara bahwa hukuman Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta perlu ditinjau kembali. Pada fase lobi-lobi ini tidak berhasil. Namun MH Thamrin, Mangaradja Soeangkoepon dan Parada Harahap tidak putus asa. Lalu muncul gagasan memindahkan pengasingan Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta untuk ditempatkan di Sumatra. Tempat pengasingan Drs. Mohamad Hatta tidak berhasil dipindahkan karena alasan pemerintah Drs Mohamad Hatta berasal dari Sumatra. Hanya pemindahan Ir. Soekarno yang berhasil yakni dipindahkan ke Sumatra dengan tempat yang dipilih di Bengkoelen. Pada saat pemindahan rute perjalanan yang dibuat adalah Flores ke Soerabaja, lalu dari Soerabaja via laut ke Batavia dan kemudian dari Batavia dengan mobil ke Anjer dan kemudian dari Anjer ke Telok Betong dan dilanjutkan ke Lahat baru kemudian ke Bengkoelen. Parada Harahap yang memiliki jaringan yang luas berkoordinasi dengan kawan-kawan sesama revolusioner. Di Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution yang diandalkan untuk bertemu dengan Ir. Soekarno; di Batavia akan dilakukan MH Thamrin dan Parada Harahap. Lalu di Lampung disiapkan dua tokoh muda ahli hukum yakni Mr. Gele Harun Nasution (cucu Dja Endar Moeda) dan Mr. Abdul Abbas Siregar (keponakan Parada Harahap). Setiba di Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution mendampingi kerabat Ir. Soekarno untuk bertemu. Dalam perjalanan ke Batavia terjadi perubahan moda secara tiba-tiba, yang awalnya via laut lalu berubah menjadi transportasi kereta api malam. Di Batavia MH Thamrin dan Parada Harahap dengan kedudukan MH Thamrin sebagai anggota Volksraad dapat bertemu dengan Ir. Soekarno. Dari Batavia dilanjutkan perjalanan ke Bengkoelen sesuai rute yang direncanakan yakni melalui Telok Betong.

Mungkin anda tidak percaya, jika di Bengkoelen sudah ada guru muda yang mengajar di sekolah swasta namanya Abdul Haris Nasution. Selama di Bengkoelen yang kerap mengunjungi Ir. Soekarno adalah Mr. Gele Harun Nasution dan Mr. Abdul Abbas Siregar yang mampir dalam perjalanan pulang kampung dari Telok Betong ke Padang Sidempoean. Kapal-kapal dari dan ke Batavia di pantai barat Sumatra selalu singgah di Bengkoelen, Padang dan Sibolga. Dari Padang juga kerap mengunjungi Ir. Soekarno di Bengkoelen oleh Mr. Egon Hakim Nasution ketika mengunjungi mertua ke Batavia. Mr. Egon Hakim Nasution adalah ahli hukum alumni Belanda, anak Dr. Abdoel Hakim Nasution dan menantu MH Thamrin sendiri.

Pada 11 Januari 1941 kabar duka diterima dan diberitakan di berbagai surat kabar. MH Thamrin telah meninggal dunia. Para revolusioner berduka, seluruh rakyat Indonesia berduka. Saat jelang meninggalnya MH Thamrin, sang revolusioner muda, sang menantu, Mr. Egon Hakim Nasution berada disampingnya. Besan MH Thamrin, yang juga ayag Mr. Egon Hakim Nasution bergegas dari Padang ke Batavia. Tentu saja Ir. Soekarno tidak bisa datang. Akan tetapi empat tokoh yang dekat dengan Ir. Soekarno di Bengkolen turut menghadiri pemakaman MH Thamrin yakni Mr. Egon Hakim Nasution, Mr. Abdoel Abbas Siergar, Mr. Gele Harun Nasution dan Sersan KNIL Abdoel Haris Nasution. Sudah barang tentu Parada Harahap yang menjadi tokoh yang dituakan dalam pemberangkatan MH Thamrin ke pemakaman. Sebagaimana Dr. Radjamin Nasution yang memberikan kata-kata terakhir sebelum ke pemajaman ketika meninggal Dr. Soetomo, Parada Harahap yang melakukan hal serupa ketika MH Thamrin diberangkatkan ke pemakaman.

Untuk sekadar catatan: empat tokoh muda revolusioner tersebut kelak dikenal sebagai berikut: pertama, Abdoel Haris Nasution (panglima militer) yang menjadi KASAD disamping Ir. Soekarno sebagai Presiden RI. Kedua, Mr. Abdoel Abbas Siregar (anggota PPKI tahun 1945, yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta). Ketiga Mr. Gele Harun Nasution, Residen pertama Lampong (yang kini tengah diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dari daerah Lampung). Keempat Mr. Egon Hakim Nasution, menantu MH Thamrin.

Mungkin anda tidak menyangka, Ir. Soekarno adalah orang yang meminta guru muda di Bengkoelen, Abdul Haris Nasution untuk beralih profesi dari guru menjadi militer. Pada tahun 1938 Pemerintah Belanda akan merekrut taruna baru untuk KNIL yang akan dilatih atau mengikuti pendidikan di Bandoeng. Dari sinilah awal karir militer Abdoel Haris Nasution. Last but not least: Mungkin anda tidak menyangka jika Mr. Egon Hakim Nasution yang menculik Ir. Soekarno di Padang. Ini terjadi pada tahun 1942 ketika terjadi penyerangan militer dan saat awal pendudukan Jepang di Indonesia. Semua pejabat Belanda akan dievakuasi ke Australia. Untuk semua pejabat Belanda yang berada di wilayah Sumatra berkumpul di pelabuhan Padang untuk berangkat dengan kapal ke Australia. Saat inilah Ir. Soekarno dan keluarga dari Bengkoelen dibawa ke Padang. Ketika situasi dan panik dalam evakuasi di Padang, Mr. Egon Hakim Nasution ‘menculik’ Ir. Soekarno dan keluarga dan mengamankannnya di rumah kediamannnya. Ketika militer Jepang dari Fort de Kock (Bukit Tinggi) merangsek ke Padang, Mr. Egon Hakim Nasution membawa Ir. Soekarno ke markas Jepang di Bukit Tinggi untuk dipertemukan dengan petinggi militer Jepang. Di Batavia, Parada Harahap memainkan peran penting dalam negosiasi dengan pemerintahan militer Jepang. Untuk sekadar diingat, nama Parada Harahap sudah sangat terkenal di Jepang, ketika Parada Harahap dan rombongan berkunjung ke Jepang tahun 1933/1934. Setelah enam bulan Ir. Soekarno di Fort de Kock lalu dipindahkan ke Batavia. Parada Harahap dan Ir. Soekarno kembali bertemu.       

Di Batavia, pada saat pendudukan Jepang ini, tiga revolusioner senior berkolaborasi dengan Jepang, yakni: Parada Harahap, Ir. Soekarno dan Dr. Mohamad Hatta. Sementara diantara tiga junior hanya Mohamad Jamin yang bersedia berkolaborasi dengan Jepang. Sedangkan dua junior tidak bersedia. Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir terang-terangan melawan Jepang. Oleh karena Amir Sjarifoeddin terlalu keras lalu ditangkap dan dibui di penjara di Malang (hingga tahun 1945).

Pada saat persiapan kemerdekaan Indonesia di era pendudukan Jepang, Parada Harahap, Soekarno dan Mohamad Hatta menjadi anggota BPUPKI. Pada saat pembentukan PPKI Parada Harahap yang sudah mulai menua dan lelah mengundurkan diri dan digantikan oleh juniornya Mr. Abdul Abbas Siregar. Ketua PPPKI adalah Ir. Soekarno dan Wakil adalah Drs. Mohamad Hatta.

Akhirnya tercapai kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pasca kemerdekaan ini, Ir. Soekarno diangkat menjadi Presiden dan Wakilnya Drs. Mohamad Hatta. Untuk memperkuat posisi kabinet di masa sekutu, Mr. Amir Sjarifoeddin yang masih dibui di Malang dijemput dan diangkat sebagai Menteri Penerangan.

Pada kabinet parlementer, diangkat perdana menteri yang pertama Soetan Sjahrir. Kemudian jabatan berikutnya sebagai Perdana Menteri adalah Amir Sjarifoeddin dan kemudian diestafetkan sebagai Perdana Menteri kepada Dr. Mohamad Hatta.

Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda hubungan Soekarno dan Mohamad Hatta melai retak dan akhirnya pecah seperti yang ditulis dalam sebuah surat kabar pada tahun 1956: Dwi Tunggal: Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal. Parada Harahap yang sudah menua tidak lagi mampu merekatkan kembali dua pemimpin yang diproyeksikannya itu ke tika dulu berkantor di gedung PPPKI. Tidak ada lagi persatuan diantara Soekarno dan Mohamad Hatta yang berujung dengan penumpasan PRRI 1958. Tidak lama setelah menghadiri wisuda anaknya yang lulus di Fakultas Hukum UI, Parada Harahap meninggal dunia dengan tenang pada tahun 1959.     .
 
Sejarah Gang Kenari berakhir. MH Thamrin dan Parada Harahap telah tiada. Di Gang Kenari nama dua tokoh pemersatu ini memulai karir politik. Gedung Gang Kenari haruslah dipandang lebih besar dari Stadion VIJ di Petodjo. MH Thamrin adalah Gang Kenari, dan Gang Kenari adalah MH Thamrin.

MH Thamrin bukan seorang gibol. MH Thamrin memulai karir sebagai pegawai pemerintah. Lalu menjadi pengusaha. Setelah itu menjadi politisi yang memulai berjuang di parlemen kota (gemeenteraad) hingga menjadi anggota parlemen pusat (Volksraad). Parada Harahap adalah seorang gibol sejak menjadi krani di perkebunan di Deli. Setelah dipecat sebagai krani karena kasus pembongkaran kasus penderitaan kuli asal Jawa di perkebunan di Deli, Parada Harahap menjadi jurnalis. Setelah hijrah ke Batavia, kegemaran bermain sepak bola ini masih diteruskan. Pada tahun 1923 di Batavia, Parada Harahap adalah pemain sekaligus pemimpin klub sepakbola Bataksch Voetbalclub. Di antara pekerjaannya sebagai jurnalis andal yang ditakuti pers Belanda, Parada Harahap aktif sebagai motor pergerakan organisasi dan sebagai motor perjuangan politik dan yang pernah memimpin tujuh revolusioner ke Jepang tahun 1933. Pada saat pendudukan Jepang,Parada Harahap adalah koordinator media pribumi di dalam pemerintahan militer Jepang, sementara Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta sebagai pemimpin rakyat Indonesia (Poesat Tenaga Ra’jat, Poetera) dan juga menjadi anggota BPUPKI. Pada saat kabinet pertama Ir. Soekarno pasca kemerdekaan RI, Parada Harahap masih diminta oleh juniornya Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang menjabat sebagai Menteri Penerangan untuk mengkoordinir pusat informasi pemerintah (Badan Informasi Kementerian Penerangan).   

MH Thamrin (1894-1941): Kiprah Mohamad Hoesni Thamrin

Sejarah MH Thmarin adalah sejarah yang panjang. Sejarah MH Thamrin adalah tokoh nasional yang penting. Tokoh yang sudah aktif sejak awal kebangkitan bangsa. Namun dalam penulisan sejarah MH Thamrin tidak terinformasikan secara lengkap. Padahal data dan informasi tentang MH Thamrin sungguh sangat banyak. Untuk mendeskripsikan sejarah MH Thamrin yang benar-benar lengkap tidak cukup dalam satu sub bab dalam artikel ini. Untuk itu, sejarah MH Thamrin yang mungkin anda tidak ketahui, sebaiknya dibuat dalam artikel tersendiri. Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar