*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Satu hal yang juga dianggap penting pada hari pertama Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 adalah tertangkapnya Jenderal Soedirman (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-12-1948). Ini diluar dugaan. Jenderal Soedirman adalah Panglima Angkatan Perang Repunlik Indonesia. Yang juga menjadi pertanyaan adalah mengapa Jenderal Soedirman begitu mudah ditangkap?
Satu hal yang juga dianggap penting pada hari pertama Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 adalah tertangkapnya Jenderal Soedirman (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-12-1948). Ini diluar dugaan. Jenderal Soedirman adalah Panglima Angkatan Perang Repunlik Indonesia. Yang juga menjadi pertanyaan adalah mengapa Jenderal Soedirman begitu mudah ditangkap?
Trouw, 21-12-1948 |
Tertangkapnya Jenderal
Soedirman menjadi berita penting pada surat kabar yang terbit di Indonesia
maupun di Belanda. Disebutkan Jenderal Soedirman ditangkap di Poerworedjo, 60
Km sebelah barat kota Jogjakarta. Setelah tertangkapnya Jenderal Soedirman
menyusul ditangkapnya sejumlah pemimpin Indonesia seperti Ir. Soekarno, Mohamad
Hatta dan tokoh lainnya. Lantas bagaimana Jenderal Soedirman tertangkap? Itu
yang akan ditelusuri.
Membaca pendapat sejumlah pelaku
sejarah di dalam otobiografinya (Soekarno, Simatupang, Nasution, Soeharto dan
lainnya) tentang seputar Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta tanggal 19
Desember 1948 terdapat banyak yang tidak sinkron satu sama lain. Itu dapat
dimaklumi karena mereka tidak melihat gambar besarnya. Masing-masing hanya
merasakan apa yang dialami sendiri, tetapi tidak mengetahui secara keseluruhan
apa yang terjadi di luar pengetahuannya. Jadi sumber masing-masing bersifat
parsial dan tidak dapat dijadikan untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang
sebenarnya. Namun ada sumber lain yakni surat kabar yang hari demi hari
memberitakan kejadian tersebut. Dalam artikel ini semua berita dari surat kabar
baik yang terbit di Indonesia dan Belanda digabung untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan. Mari kita periksa berita-beritanya.
Jenderal Soedirman Ditangkap
Pada tanggal 20 Desember
1948 surat kabar yang terbit di Belanda memberitakan Jenderal Soedirman
ditangkap (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-12-1948). Pada
tanggal yang sama berita ini tidak terdapat dalam surat kabar yang terbit di
Indonesia. Boleh jadi surat kabar De Tijd mendapat berita terbaru (breaking
news). Itu kaena ada perbedaan waktu antara Indonesia dan Belanda. Sore dan
malam hari di Indonesia, di Belanda masih pagi dan siang hari. Berita
tertangkapnya Jenderal Soedirman baru terpublikasikan surat kabar yang terbit
di Indonesia keesokan harinya tanggal 21 Desember 1958.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1948:
‘Dikonfirmasi bahwa Panglima Tertinggi Partai Republik, Jenderal Sudirman,
ditangkap pada malam hari dari hari Minggu sampai Senin. Pada hari Minggu
pasukan Belanda menduduki Poerworedjo. Terjadi pertempuran ringan’. Dalam
berita ini kapan persisnya Jenderal Soedirman ditangkap tidak diketahui secara
jelas, tetapi hanya perkiraan pada rentang waktu antara larut malam Minggu
(19/12) dan dinihari Senin (20/12).
Berdasarkan surat kabar
yang terbit di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra) Jenderal Soedirman ditangkap
hari Minggu (19/12) malam jelang Senin (20/12). Namun pada pagi hari Senin
(20/12) tertangkapnya Jenderal Soedirman belum diumumkan. Oleh karenanya tidak
ada surat kabar yang memberitakan pada hari Senin (20/12). Berita tertangkapnya
Jenderal Soedirman boleh jadi baru diumumkan siang atau sore hari Senin yang
memungkinkan surat kabar di Belanda memberitakannya pada hari itu (Senin,
20/12).
Het vrije volk : democratisch-socialistisch
dagblad, 20-12-1948: ‘Kami telah diserang’,
kata Sudirman. Penyiar radio Stem van Vrij Indonesië (Voice of Free Indonesia)
telah mengumumkan pada hari Minggu pagi pukul sepuluh lewat seperempat dari
komandan militer Soedirman, yang mencakup empat poin berikut: 1. Kami diserang;
2. Pada tanggal 19 Desember angkatan bersenjata Belanda membuka serangan dengan
tujuan Djokja dan Magoewo; 3. Dengan demikian mereka menolak perjanjian tersebut
untuk mengimplementasikan’.
Pada hari serangan (Minggu
19 Desember 1948) yang dimulai di lapangan terbang Magoewo pukul 6.45 pada
pukul 10.15 penyiar Radio Djogja membacakan maklumat dari Jenderal Soedirman
yang terdiri dari tiga butir. Tidak diketahui maklumat ini ditulis Jenderal
Soedirman apakah masih di dalam kota atau sudah di perjalanan ke luar kota
untuk bergerilya.
Menurut sejumlah surat kabar setelah
maklumat ini dibacakan di Radio Djogja (pukul 10.15) tidak lama kemudian siaran
berhenti dan tidak terpantau sama sekali. Mengapa demikian, diduga kuat Radio
Djogja telah diambil alih oleh militer Belanda. Dugaan ini diperkuat bahwa
militer Belanda sekitar pukul 10 pagi sudah berada di dalam Kota Jogjakarta.
Jenderal Soedirman
ditangkap pada hari Minggu (19/12) larut malam jelang dinihari Senin (20/12) sebagaimana
diberitakan surat kabar yang terbit di Medan Het nieuwsblad voor Sumatra,
21-12-1948. Disebutkan Jenderal Soedirman ditangkap di Poerworejo sekitar 60 Km
sebelah barat Kota Jogjakarta. Berita ini dengan sendirinya telah melengkapi
berita dari surat kabar De Tijd yang terbit di Belanda.
Sementara itu para
pemimpin Indonesia di dalam kota telah ditangkap pada siang hari Minggu (19
Desember) dan kemudian diinternir di dua tempat di kantor Presiden Soekarno dan
di kantor Wakil Presiden Mohamad Hatta. Pada hari Minggu sore pukul 3.30 pasukan
terjun payung Belanda menduduki kota seluruhnyan (lihat Nieuwe courant, 20-12-1948),
Surat kabar yang terbit di Surabaya ini juga mengutip berita dari kantor berita Aneta bahwa selain Djokja
yang telah diduduki adalah Kepandjen (Malang Selatan) dan juga Keboemen. Ini
mengindikasikan Poerworejo tempat dimana Jenderal Soedirman sejatinya telah terjepit
(antara Keboemen dan Jogjakarta).
Sebelum penangkapan
Soekarno dan tokoh lain dilaporkan telah ditahan satu pesawat Catalina yang
mendarat di lapangan terbang Magoewo tidak lama setelah pendudukan (lihat Nieuwe
courant, 20-12-1948). Keesokan harinya penahanan pesawat terkonfirmasi sebagai
diberitakan Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1948. Disebutkan Catalina, yang
mendarat disana hari Minggu setelah pendudukan bandara Magoewo, diawaki oleh
orang Indonesia sebagai pilot kedua, yang mendampingi pilot Amerika. Penumpang yang
berada di dalam pesawat adalah lima anggota TNI. Tampaknya Catalina ini
dimaksudkan untuk evakuasi Pemerintah Republik (Soekarno dan pemimpin Indonesia
lainnya).
Jenderal Soedirman
tampaknya telah dikejar oleh militer Belanda yang telah bergerak dari Kota
Jogjakarta. Kronologisnya adalah sebagai berikut: Andaikan saat maklumat
Jenderal Soedirman yang dibacakan di radio pada Minggu pukul 10.15 masih di
dalam kota, maka terdapat rentang waktu selama 12 jam ketika Jenderal Soedirman
ditangkap di Poerworedjo (yang dalam hal ini diasumsikan ditangkap pukul 10.15
malam). Sebagaimana disebutkan tempat ditangkapnya berjarak 60 Km dari kota
maka pergerakan Jenderal Soedirman dan pengawal dengan kecepatan sekitar lima
jam per Km dalam situasi bergegas. Ini masuk akal.
Limburgsch dagblad, 22-12-1948 |
Namun yang menjadi
persoalan dalam hal ini mengapa Jenderal Soedirman dan para pengawalnya begitu
mudah dikalahkan dan hanya terjadi pertempuran ringan lalu kemudian ditangkap?
Ada dua dugaan sebab yang saling terkait. Pertama pasukan militer Belanda yang
mengejar dan akan menangkap Jenderal Soedirman adalah pasukan khusus (Speciale
Troepen) dengan persenjataan lengkap dan modern. Kedua, pengawal dan pasukan
Jenderal Soedirman hanya berjumlah kecil mengingat situasi tidak terduga
terhadap serangan militer Belanda dan Jenderal Soedirman harus segera bergegas
menghindar untuk bergerilya kemudian.
Lantas bagaimana militer Belanda ini
mengikuti jejak Jenderal Soedirman? Ada dua dugaan sebab yang saling terkait.
Pertama, terdapat mata-mata yang memberikan petunjuk bagi militer Belanda.
Informasi dari mata-mata ini tentu masih hangat karena Jenderal Soedirman
begerak belum lama. Kedua, pasukan militer Belanda yang berada di depan dalam
memasuki lapangan terbang Magoewo dan memasuki kota Jogjakarta adalah pasukan
khusus (Speciale Troepen). Pasukan khusus ini sendiri sebagian adalah
orang-orang pribumi Jawa yang dilatih khusus. Para militer dari bilangan
pribumi Jawa ini akan mudah mengorek informasi dan juga mereka tentu paham
seluk belum jalan di seputar wilayah Jogjakarta.
Para
Pemimpin RI di Jogjakarta Diasingkan; Bagaimana dengan Jenderal Soedirman dan TNI?
Pada tanggal 22 Agustus
1948 para pemimpin RI yang ditangkap pada hari pertama serangan ke Jogjakarta dibawa
ke lapangan terbang Magoewo untuk kemudian diasingkan ke laur Jawa. Mereka ini
diberitakan berbagai surat kabar adalah Soekarno, Mohamad Hatta, Agus Salim,
Soetan Sjahrir, Pringgodigdo, Assaat, Soejadarma dan lainnya.
Pada hari Selasa tanggal
21 Desember 1948 Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan empat intelektual muda
lainnya telah dieksekusi oleh Belanda di Pakem. Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D
diculik di rumahnya di Kaliurang pada tanggal 19 Desember 1949. Mr. Masdoelhak
Nasution, Ph.D adalah penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohamad Hatta. Commissie voor Goede Diensten (CvGD) atau Komisi Tiga Negara
(KTN) sendiri bermarkas di Kaliurang. Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D yang selama
ini berinteraksi dengan KTN sebagai wakil pemerintah. Penculikan dan pembunuhan
terhadap Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D diduga kuat untuk menjauhkan (memisahkan)
Republik Indonesia dengan KTN sehingga Belanda semakin bebas melakukan aksinya..
Dalam daftar pengasingan
ini meski nama Jenderal Soedirman terdapat dalam list yang ditangkap pada
hari-hari sebelumnya tidak terberitakan sebagai bagian pemimpin yang
diasingkan. Lalu bagaimana dengan Jenderal Soedirman? Panglima Republik
Soedirman sakit parah karena penyakit yang melemahkannya dan dirawat dengan
hati-hati oleh medis Belanda (lihat Limburgsch dagblad, 22-12-1948).
Sementara Mr. Masdoelhak Nasution,
Ph.D dan lima intelektual muda Republik Indonesia lainnya telah dibunuh tanggal
21 Desember; Soekarno dan Mohamad Hatta dan sejumlah pemimpin Republik Indonesia
lainnya bersiap-siap untuk diasingkan tanggal 22 Desember; di sejumlah tempat
para pemimpin lokal (kaum federalis) yang telah membentuk negara bagian melalui
siaran radio mendukung sepenuhnya tindakan pemerintah (militer) Belanda. Mereka
itu adalah Wali Negara dari Negara Jawa Timur dan Madura; Wali Negara dari
Negara Sumatra Timur, Dr. Mansoer; Wali Negara dari Negara Pasoendan Adil
Poeradiredja; Perdana Menteri Indonesia Timur Anak Agoeng Gede Agoeng; pemimpin
dari Kalimantan Soeltan Hamid (lihat Nieuwe courant, 22-12-1948).
Republik Indonesia didukung oleh
sejumlah negara dan organisasi, antara lain: India memberikan dukung;
Negara-negara Arab (Liga Arab) mendukung Republik Indonesia; Amerika Serikat
mengecam dan meminta Dewan Keamanan PBB segera bersidang darurat; Australia
bereaksi; Inggris, Belgia dan Jerman wait and see; dan juga datang dukungan untuk
Republik Indonesia dari organisasi pembebasan dari Suraname. Surat kabar
liberal yang terbit di Amsterdam De Nieuwe Rotterdamse Courant menyatakan: ‘Belanda
harus menghadapi risiko tindakannya di Indonesia’.
Dengan ditahannya
Jenderal Soedirman dan lebih-lebih dengan dibrangusnya Radio Djogka maka
hubungan dengan para komandan-komandan militer yang bergerilya di berbagai
tempat menjadi terputus. Selama ini para kamondan yang berbekal walkie-talkie
peninggalan Jepang masih bisa berkomunikasi ke Markas Besar di Djogjakarta. Hingga
tanggal 22 Desember 1948 hanya Radio Kediri, satu-satunya stasiun penyiaran di
Jawa yang masih di tangan kaum republikan (lihat Trouw, 22-12-1948). Sudah
barang tentu situasi dan kondisi menjadi sulit. Pihak pemerintah Belanda
mengganggap akan terjadi demoralisasi di kalangan TNI. Apakah anggapan Belanda
itu sepenuhnya benar?
Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-12-1948 |
Garis komando ke atas telah
terputus. Dengan ditahannya Jenderal Soedirman dan diasingkannya Soekarno ke
Parapat (sebelumnya di Brastagi) maka hubungan keduanya telah putus. Jenderal
Soedirman hanya memiliki garis komando ke Presiden Soekarno setelah sebelumnya Jenderal
Soedirman berseteru dengan Menteri Pertahanan (yang dirangkap Perdana Menteri
Mohamad Hatta) karena kebijakan rasionalisasi TNI yang dijalankan Kabinet
Hatta. Jenderal Soedirman tidak lagi mengindahkan perintah Mohamad Hatta dan
sebaliknya kebijakan TNI justru memasukkan laskar ke dalam TNI. Jelas dalam hal
ini garis komando ke bawah juga terputus, karena Kepala Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) Jenderal Soedirman ditahan
dan Menteri Pertahanan Mohamad Hatta juga diasingkan. Kekuatan militer
Indonesia (TNI) hanya berada di tangan dua orang: Wakil Kepala APRI Letnan
Jenderal TB Simatupang dan Kepala Teritorium Jawa Mayor Jenderal Abdul Haris
Nasution.Tampak Soekarno dijemput
oleh seorang perwira Belanda dari Jogjakarta untuk menemui Jenderal Meyer,
komnadan Teritorial Belanda di Midden Java (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra,
27-12-1948)
Melihat situasi dan
kondisi yang tidak menguntungkan Jenderal Soedirman mulai menyadari tak elok
dirawat oleh medis Belanda. Apa lagi hanya Jenderal Soedirman sendiri yang
berada di Jogjakarta. Para pemmpin telah diasingkan sementara pasukan TNI terpencar-pencar
di berbagai tempat di Jawa dan Sumatra. Soedirman bukanlah
Presiden atau Menteri. Soedirman adalah Jenderal. Dalam kondisi belum sehat,
Jenderal Soedirman keluar dari Jogjakarta.
De vrije pers : ochtendbulletin, 24-12-1948:
‘Jenderal Sudirman yang sakit di Djokja dan telah dirawat di bawah perawatan
Belanda dikatakan telah bersikeras kemarin pagi untuk melanjutkan perjuangan.
Setidaknya menurut radio Madioen’.
Jenderal Soedirman boleh
jadi ‘dilepaskan’ oleh Belanda karena kesehatannya semakin melemah dan
membiarkan mencari jalannya sendiri untuk kesembuhannya.
Nieuwsblad van het
Noorden, 31-12-1948: ‘Berita terbaru Jenderal Soedirman sakit parah tetapi
tidak lagi di tangan Belanda. Berdasarkan laporan Dienst Legercontacten bahwa
komandan tertinggi TNI Jenderal Soedirman tidak berada di tangan Belanda. Sekarang
dilaporkan bahwa dimana sang jenderal sudah diketahui. Dia juga sakit parah. Sesuai
perintah harian dari Kolonel Hidayat, komandan TNI di Sumatra, ia (Kolonel
Hidayat) mengambil alih kepemimpinan pasukan Republik di seluruh Indonesia pada
tanggal 28 Desember’.
Dimana Jenderal
Soedirman berada masih belum diketahui. Yang jelas Jenderal Soedirman tidak
lagi berada di tangan medis Belanda. Juga sulit menduga jika Jenderal Soedirman
sudah bergerak jauh karena kondisinya yang masih sakit. Satu-satunya tempat
dimana Jenderal Soedirman berada adalah di kraton Jogjakarta.
Ketika terjadi
penangkapan sejumlah pimpinan Republik Indonesia pada hari pertama serangan
tanggal 19 Desember semuanya diinternir di Istana Presiden dan Kantor Wakil
Presiden. Meski Sultan Hamengkoebowoeno sebagai Menteri Negara RI tetapi pihak
Belanda meliha Sultan sebagai kepala wilayah Jogjakarta. Oleh karena itu Soeltan
Hamengkoeboewono tidak berada di tempat interniran melainkan tetap berada di
dalam kraton. Namun demikian, posisi Sultan di pihak Belanda sebagai tahanan
rumah sebab kraton sendiri berada dalam pengawasan militer Belanda.
Dalam perkembangannya, dimana
Jenderal Soedirman berada dilaporkan surat kabar Twentsch dagblad Tubantia en
Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 03-01-1949. Surat kabar ini
mengutip laporan dari United Press ‘bahwa [Jenderal] Soedirman berada di Istana
Sultan Djokja’. Sumber ini diduga ada benarnya karena kantor berita United
Press adalah kantor berita Amerika Serikat yang mana pemerintah Amerika Serikat
memiliki perhatian khusus kepada pihak Republik Indonesia.
Twentsch dagblad Tubantia courant, 03-01-1949 |
Seperti yang diharapkan
pihak Belanda bahwa anggota TNI akan mengalami demoralisasi sete;ah
tertangkapnya Jenderal Soedriman ternyata sebagian ada salahnya dan sebagian
yang lain ada benarnya. Otoritas Republik Indonesia masih eksis dan terus
memberikan gambaran nyata tentang perlawanan Republiken di lapangan sebagaimana
dilaporkan Reuter (lihat Het Parool, 03-01-1949).
Het Parool, 03-01-1949: ‘Otoritas
Republik dan mereka yang tetap di Batavia, telah menunjukkan kepada koresponden
Reuter bahwa, menurut pendapat mereka, kekuatan (militer) Republik telah
menyebar ke bagian-bagian garis depan yang akan terus menawarkan perlawanan
kepada Belanda. Soedirman mantan panglima tertinggi Republik belum dipenjara,
seperti yang awalnya dilaporkan secara resmi. Sangat mengejutkan sekarang bahwa
dia Soedirman) berada di istana Sultan Djokja. Komando sekarang sudah dialihkan
dan berada di tangan komandan di Sumatra, Kolonel Hidajat. (Adalah penting
untuk mengetahui, berdasarkan apa yang dinyatakan dalam komunike resmi 19
Desember, bahwa Soedirman berada di tangan Belanda, kini kanyataannya tidak.
Hanya dua belas hari kemudian otoritas milisi (Republik Indonesia) datang untuk
memperbaiki kesalahan’.
Diplomasi para
Republiken di Batavia/Djakarta telah memainkan peran penting di ‘kandang macan’.
Otoritas Republik Indonesia di Djakarta tidak takut dengan tekanan Belanda.
Mereka terus menjalin koneksi dengan asing (di luar Belanda) terutama dengan
Amerika yang memang berseberangan dengan Belanda soal krisis di Indonesia.
Selain di Batavia, para ‘diplomat’ Republiken juga memainkan peran di London
dan Washingtom. Diplomat Republiken di London yang diduga kuat mempublikasikan
atas pembunuhan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D pada tanggal 21 Dsember 1948. Saat
yang bersamaan di Washington Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D memainkan
peran penting untuk berhubungan dengan Pemerintah Amerika Serikat maupun PBB di
Lake Success, New York.
Yang dimaksud Otoritas
Republik Indonesia di Batavia, London dan Washington adalah perwakilan
Pemerintah Indonesia yang dingkat Pemerintah RI dan secara defacto diakui PBB.
Para Republiken ini bertindak sebagai diplomat, meski tidak dicatat sebagai Kedutaan
Besar (Kedubes) karena negara Republik Indonesia belum masuk anggota PBB.
Kepala Otoritas Republik Indonesia di Djakarta adalah Mr Arifin Harahap. Ketika
Pemerintah RI hijrah ke Jogjakarta awal tahun 1946 dan ibukota RI yang baru
ditetapkan di Jogjakarta, Mr Arifin Harahap ditunjuk sebagai kepala perwakilan
Republik Indonesia di Batavia. Sebab para Republiken masih banyak di Djakarta
dan hanya pemerintah (pejabat dan pegawai negeri) yang pindah ke Jogjakarta.
Fungsi lainnya otoritas Indonesia di Djakarta adalah untuk menjembatani dengan
atase negara asing yang membuka kantor di Batavia dan juga dengan Belanda.
Kepala perwakilan RI di Djakarta hingga Agresi Militer Belanda sejak 19
Desember 1948 masih dijabat Mr Arifin Harahap.
.
Meski para pemimpin RI
telah diasingkan dan situasi kondisi yang tidak memungkinkan di Jawa, secara
defacto (dari sisi internasional) dan secara de jure (dari sisi Indonesia) Pemerintahan
Republik Indonesia masih eksis. Selain para Jenderal yang memimpin pertempuran
di Jawa (Letnan Jenderal TB Simatupang di Banaran, Jawa Tengah dan Mayor
Jenderal Abdul Haris Nasution di Priangan di Jawa Barat) di Bukittingi dibentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Sjafroeddin
Prawiranegara; Komando Tertinggi Militer dialihkan ke Sumatra yang dipimpin
oleh Kolonel Hidayat; tiga ‘kedubes RI’ di Batavia (Mr. Arifin Harahap), di
Washington (Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D), dan di London (termasuk di
New Delhi dan Singapoera). Jangan lupa di Jogjakarta: Soeltan Hamengkoeboewono
telah ‘menyembunyikan’ Jenderal Soedirman di kraton. Apakah tindakan Soeltan
Jogja dalam hal ini harus dipandang sebagai tindakan heroik?. Tentang ini ada
baiknya dibuat artikel tersendiri..
De locomotief: Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 04-01-1949 (Pemurnian Sumatera): ‘Dari sumber-sumber resmi
bertanggal 1 ini dikomunikasikan: Di pulau-pulau lepas pantai Sumatera di Selat
Malaka berlangsung pembersihan. Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan
Belanda telah menduduki tempat ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di
Sumatera, Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga), Pagar-Alam (barat daya
Lahat) dan Loeboek Linggau (barat laut Lahat) TNI telah dimurnikan (didesak
keluar kota). Di Jogjakarta sebanyak 169 mantan perwira TNI telah melaporkan
diri’.
Meski banyak anggota TNI
yang menyerahkan diri, tetapi moral TNI kembali sudah barang tentu akan
meningkat lagi sehubungan dengan adanya pengumuman dari Sumatra. Republik Indonesia
tidak hanya telah membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) juga
pucuk kamando TNI sudah diambil alih komandan Sumatra Kolonel Hidayat. TNI
dalam hal ini kehilangan ratusan perwira di Jawa tetapi komando di Sumatra
masih eksis.
Anda mungkin juga tidak
menyangka dengan berita terbaru bahwa tidak hanya ratusan (eks) perwira TNI
yang menyerahkan diri ke Belanda, ternyata juga ada perwira tinggi sebagaimana
dilaporkan surat kabar Het nieuws : algemeen dagblad, 05-01-1949 sebagai
berikut: ‘Kolonel tentara Repoebliken Soewardi, komandan Akademi Militer
Repoeblikein dan Kolonel Lembong, komandan Brigade ke-16, mengajukan diri
kepada komandan Belanda di Jogjakarta. Surat kabar Sin Po memberitakan bahwa
komandan tentara Republiken, Soedirman, yang sakit, telah menyerahkan komando
tersebut kepada Kolonel Hidayat di Sumatra, yang saat ini berada (lingkungan)
kraton Sultan Jogjakarta. Empat hari yang lalu, militer Belanda mengumumkan
bahwa Soedirman tidak ada di tangan Belanda, seperti yang dilaporkan semula.
Wilayah Sultan Jogjakarta (sejauh ini) tidak ditempati oleh pasukan Belanda’.
Untuk sekadar catatan: Mengapa pembelotan Soewardi dan Lembong tidak tercatat dalam sejarah. Setelah penyerbuan Jogjakarta oleh militer Belanda [Letnan] Kolonel termasuk yang ditangkap. Saat diinternir inilah diduga [Letnan] Kolonel Lembong membelot dengan mengajukan diri kepada komandan Belanda sebagaimana diberitakan Het nieuws: algemeen dagblad, 05-01-1949. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, Lembong kemudian di Bandung terbunuh oleh tentara KNIL pimpinan Westerling pada tanggal; 23 Januari 1950. Apakah pembelotan Lembong ke Belanda sebelumnya tidak diterima tetapi balik kucing tetap sebagai Republik? Atas terbunuhnya Lembong, sebagaimana diketahui kelak di Bandoeng terdapat patung Adolf Lembong dan juga nama Jalan Lembong. Bagaimana itu bisa terjadi, apakah ada missing link dalam kisah Lembong?
Dalam perkembangan
terakhir kantor berita Aneta di Batavia 31 Januari 1949 yang mengutip surat
kabar Repoebliken Pedoman telah diumumkan melalui radio bahwa Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra sedang mempersiapkan para pemimpin Repoebliken
untuk di Jawa. Untuk komisaris di Jawa berada di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman
(lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 31-01-1949).
Dalam berita ini tidak disebutkan apakah Jenderal Soedirman masih berada di
kraton Jogjakarta. Namun yang jelas dalam perkembangannya Jenderal Soedirman
setuju dengan keputusan dari Sumatra tersebut.
Twentsch dagblad Tubantia courant, 14-03-1949 |
Akhirnya mulai ada
inisiatif pertemuan perwakilan Belanda dan perwakiltan Republik Indonesia yang dimulai
tanggal 14 April 1949 yang hasilnya dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen yang
ditandatangani tanggal 7 Mei 1949 di Djakarta. Selama proses perundingan Roem-Royen
pihak Republiken di Jawa telah menyelesaikan konsolidasi.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-05-1949 |
De vrije pers :
ochtendbulletin, 24-05-1949: ‘Dimanakah lokasi Sudirman? Surat kabar Keng Po coba
mengetahui dari kalangan Republiken di Batavia bahwa upaya masih dilakukan
untuk menghubungi komandan tertinggi TNI Letnan Jenderal Soedirman, yang
posisinya dalam Perjanjian Roem-Róyen masih dilakukan. Dari markas besar TNI di
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, surat kabar itu mengatakan perjanjian
tersebut telah disetujui, dan delegasi Republik juga melakukan upaya keras
untuk menghubungi Kolonel Simatoepang yang umumnya dianggap sebagai ahli TNI
dan memainkan peran penting dalam komisi gencatan senjata yang
mengimplementasikan Perjanjian Renville. Markas besar TNI di Sumatra yang dipimpin
oleh Kolonel Hidajat diketahui berdiri di belakang Pemerintahan Darurat Mr. Sjafroedin
Prawiranegara’.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-06-1949: ‘Belanda dan Mohamad Hatta telah melakukan segala upaya untuk membangun kontak sesegera mungkin dengan TNI. Kolonel Simatupang dari TNI yang pertama dipanggil, tetapi Simatupang menolak. Jenderal Sudirman kemudian berulang kali diundang, tetapi ia [Soedirman] juga menolak. Pemimpin tertinggi adalah Sjafroeddin dan dia [Soedirman] hanya mengharapkan perintah atau keputusan lebih lanjut darinya [Sjafroeddin Prawiranegara]. Oleh karena itu Mohamad Hatta melakukan perjalanan ke Sumatra, tetapi misi ini, seperti yang diketahui, tidak memberikan hasil yang diharapkan. Menurut surat kabar Republiken [di Medan] Waspada, Sjafruddin akan menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan mandat pemerintahan daruratnya kepada Mohamad Hatta, tetapi ia [untuk sementara] tidak dapat menghubungi anggota kabinet lainnya. Informasi lain menunjukkan bahwa sisa Kabinet Darurat tidak tertarik padanya [Mohamad Hatta]. Akhirnya, Mohamad Hatta kembali melakukan upaya kedua untuk bertemu dengan Pemerintah Darurat, dirinya mengakui sulit karena mereka bergerilya, dan upaya ini juga gagal. Itulah yang terjadi saat ini. Jika Djokjakarta sekarang memang memberikan ‘perintah gencatan senjata’ yang jelas dan definitif, kami [Belanda] akan segera mengetahui sejauh mana Pemerintah Darurat menjadi pemerintah kontra, dan sejauh mana Djokja masih memiliki wewenang’.
Algemeen Handelsblad, 11-05-1949 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar