Selasa, 02 April 2019

Sejarah Yogyakarta (32): Mengapa Jenderal Soedirman Begitu Mudah Ditangkap? Apa Ada Peran Para Penghianat? Siapa Mereka?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Satu hal yang juga dianggap penting pada hari pertama Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 adalah tertangkapnya Jenderal Soedirman (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-12-1948). Ini diluar dugaan. Jenderal Soedirman adalah Panglima Angkatan Perang Repunlik Indonesia. Yang juga menjadi pertanyaan adalah mengapa Jenderal Soedirman begitu mudah ditangkap? 

Trouw, 21-12-1948
Serangan militer Belanda ke wilayah Republik termasuk di Jogjakarta diluar dugaan para pemimpin Republik Indonesia. Pihak Indonesia paling tidak tidak menyangkan secepat itu dilakukan. Sementara itu di New York dan Washington juga tidak menyangka Belanda melakukan serangan ke wilayah Republik Indonesia. Semua surat kabar, paling tidak di dua kota tersebut menempatkannya pada headline. Juga menjadi berita heboh di radio. Radio mulai disiarkan pada Sabtu malam sekitar pukul sepuluh yang diulang jam demi jam (lihat Trouw, 21-12-1948). Catatan: ada perbedaan waktu antara Indonesia dengan Amerika Serikat, jika di Indonesia kejadian dimulai Minggu pagi maka di Amerika Serikat masih hari Sabtu malam.

Tertangkapnya Jenderal Soedirman menjadi berita penting pada surat kabar yang terbit di Indonesia maupun di Belanda. Disebutkan Jenderal Soedirman ditangkap di Poerworedjo, 60 Km sebelah barat kota Jogjakarta. Setelah tertangkapnya Jenderal Soedirman menyusul ditangkapnya sejumlah pemimpin Indonesia seperti Ir. Soekarno, Mohamad Hatta dan tokoh lainnya. Lantas bagaimana Jenderal Soedirman tertangkap? Itu yang akan ditelusuri.

Membaca pendapat sejumlah pelaku sejarah di dalam otobiografinya (Soekarno, Simatupang, Nasution, Soeharto dan lainnya) tentang seputar Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta tanggal 19 Desember 1948 terdapat banyak yang tidak sinkron satu sama lain. Itu dapat dimaklumi karena mereka tidak melihat gambar besarnya. Masing-masing hanya merasakan apa yang dialami sendiri, tetapi tidak mengetahui secara keseluruhan apa yang terjadi di luar pengetahuannya. Jadi sumber masing-masing bersifat parsial dan tidak dapat dijadikan untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang sebenarnya. Namun ada sumber lain yakni surat kabar yang hari demi hari memberitakan kejadian tersebut. Dalam artikel ini semua berita dari surat kabar baik yang terbit di Indonesia dan Belanda digabung untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Mari kita periksa berita-beritanya.

Jenderal Soedirman Ditangkap

Pada tanggal 20 Desember 1948 surat kabar yang terbit di Belanda memberitakan Jenderal Soedirman ditangkap (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 20-12-1948). Pada tanggal yang sama berita ini tidak terdapat dalam surat kabar yang terbit di Indonesia. Boleh jadi surat kabar De Tijd mendapat berita terbaru (breaking news). Itu kaena ada perbedaan waktu antara Indonesia dan Belanda. Sore dan malam hari di Indonesia, di Belanda masih pagi dan siang hari. Berita tertangkapnya Jenderal Soedirman baru terpublikasikan surat kabar yang terbit di Indonesia keesokan harinya tanggal 21 Desember 1958.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1948: ‘Dikonfirmasi bahwa Panglima Tertinggi Partai Republik, Jenderal Sudirman, ditangkap pada malam hari dari hari Minggu sampai Senin. Pada hari Minggu pasukan Belanda menduduki Poerworedjo. Terjadi pertempuran ringan’. Dalam berita ini kapan persisnya Jenderal Soedirman ditangkap tidak diketahui secara jelas, tetapi hanya perkiraan pada rentang waktu antara larut malam Minggu (19/12) dan dinihari Senin (20/12).  

Berdasarkan surat kabar yang terbit di Medan (Het nieuwsblad voor Sumatra) Jenderal Soedirman ditangkap hari Minggu (19/12) malam jelang Senin (20/12). Namun pada pagi hari Senin (20/12) tertangkapnya Jenderal Soedirman belum diumumkan. Oleh karenanya tidak ada surat kabar yang memberitakan pada hari Senin (20/12). Berita tertangkapnya Jenderal Soedirman boleh jadi baru diumumkan siang atau sore hari Senin yang memungkinkan surat kabar di Belanda memberitakannya pada hari itu (Senin, 20/12).

Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 20-12-1948: ‘Kami telah diserang’, kata Sudirman. Penyiar radio Stem van Vrij Indonesië (Voice of Free Indonesia) telah mengumumkan pada hari Minggu pagi pukul sepuluh lewat seperempat dari komandan militer Soedirman, yang mencakup empat poin berikut: 1. Kami diserang; 2. Pada tanggal 19 Desember angkatan bersenjata Belanda membuka serangan dengan tujuan Djokja dan Magoewo; 3. Dengan demikian mereka menolak perjanjian tersebut untuk mengimplementasikan’.

Pada hari serangan (Minggu 19 Desember 1948) yang dimulai di lapangan terbang Magoewo pukul 6.45 pada pukul 10.15 penyiar Radio Djogja membacakan maklumat dari Jenderal Soedirman yang terdiri dari tiga butir. Tidak diketahui maklumat ini ditulis Jenderal Soedirman apakah masih di dalam kota atau sudah di perjalanan ke luar kota untuk bergerilya.

Menurut sejumlah surat kabar setelah maklumat ini dibacakan di Radio Djogja (pukul 10.15) tidak lama kemudian siaran berhenti dan tidak terpantau sama sekali. Mengapa demikian, diduga kuat Radio Djogja telah diambil alih oleh militer Belanda. Dugaan ini diperkuat bahwa militer Belanda sekitar pukul 10 pagi sudah berada di dalam Kota Jogjakarta.

Jenderal Soedirman ditangkap pada hari Minggu (19/12) larut malam jelang dinihari Senin (20/12) sebagaimana diberitakan surat kabar yang terbit di Medan Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1948. Disebutkan Jenderal Soedirman ditangkap di Poerworejo sekitar 60 Km sebelah barat Kota Jogjakarta. Berita ini dengan sendirinya telah melengkapi berita dari surat kabar De Tijd yang terbit di Belanda.

Sementara itu para pemimpin Indonesia di dalam kota telah ditangkap pada siang hari Minggu (19 Desember) dan kemudian diinternir di dua tempat di kantor Presiden Soekarno dan di kantor Wakil Presiden Mohamad Hatta. Pada hari Minggu sore pukul 3.30 pasukan terjun payung Belanda menduduki kota seluruhnyan (lihat Nieuwe courant, 20-12-1948), Surat kabar yang terbit di Surabaya ini juga mengutip berita dari kantor berita Aneta bahwa selain Djokja yang telah diduduki adalah Kepandjen (Malang Selatan) dan juga Keboemen. Ini mengindikasikan Poerworejo tempat dimana Jenderal Soedirman sejatinya telah terjepit (antara Keboemen dan Jogjakarta).

Sebelum penangkapan Soekarno dan tokoh lain dilaporkan telah ditahan satu pesawat Catalina yang mendarat di lapangan terbang Magoewo tidak lama setelah pendudukan (lihat Nieuwe courant, 20-12-1948). Keesokan harinya penahanan pesawat terkonfirmasi sebagai diberitakan Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1948. Disebutkan Catalina, yang mendarat disana hari Minggu setelah pendudukan bandara Magoewo, diawaki oleh orang Indonesia sebagai pilot kedua, yang mendampingi pilot Amerika. Penumpang yang berada di dalam pesawat adalah lima anggota TNI. Tampaknya Catalina ini dimaksudkan untuk evakuasi Pemerintah Republik (Soekarno dan pemimpin Indonesia lainnya).

Jika dugaan ini benar maka Soekarno telah dua kali terhalang proses evakuasi. Yang pertama adalah sehari sebelum serangan 19 Desember yang seyogianya Soekarno dan pemimpin Indonesia lainnya akan berangkat Sabtu (18 Desember) ke India, namun pesawat yang akan menjemput tertahan di Singapoera (otoritas Belanda tidak memberikan izin masuk wilayah Indonesia).

Jenderal Soedirman tampaknya telah dikejar oleh militer Belanda yang telah bergerak dari Kota Jogjakarta. Kronologisnya adalah sebagai berikut: Andaikan saat maklumat Jenderal Soedirman yang dibacakan di radio pada Minggu pukul 10.15 masih di dalam kota, maka terdapat rentang waktu selama 12 jam ketika Jenderal Soedirman ditangkap di Poerworedjo (yang dalam hal ini diasumsikan ditangkap pukul 10.15 malam). Sebagaimana disebutkan tempat ditangkapnya berjarak 60 Km dari kota maka pergerakan Jenderal Soedirman dan pengawal dengan kecepatan sekitar lima jam per Km dalam situasi bergegas. Ini masuk akal.

Limburgsch dagblad, 22-12-1948
Oleh karena militer Belanda sekitar pukul 10 pagi sudah di dalam kota, Jenderal Soedirman yang juga menjadi target dalam top list tentu saja telah disusul dari belakang hingga terjadi pertempuran ringan dan menduduki Poerworedjo. Setelah pertempuran inilah diduga Jenderal Soedirman ditangkap lalu dibawa ke Jogjakarta.

Namun yang menjadi persoalan dalam hal ini mengapa Jenderal Soedirman dan para pengawalnya begitu mudah dikalahkan dan hanya terjadi pertempuran ringan lalu kemudian ditangkap? Ada dua dugaan sebab yang saling terkait. Pertama pasukan militer Belanda yang mengejar dan akan menangkap Jenderal Soedirman adalah pasukan khusus (Speciale Troepen) dengan persenjataan lengkap dan modern. Kedua, pengawal dan pasukan Jenderal Soedirman hanya berjumlah kecil mengingat situasi tidak terduga terhadap serangan militer Belanda dan Jenderal Soedirman harus segera bergegas menghindar untuk bergerilya kemudian.

Lantas bagaimana militer Belanda ini mengikuti jejak Jenderal Soedirman? Ada dua dugaan sebab yang saling terkait. Pertama, terdapat mata-mata yang memberikan petunjuk bagi militer Belanda. Informasi dari mata-mata ini tentu masih hangat karena Jenderal Soedirman begerak belum lama. Kedua, pasukan militer Belanda yang berada di depan dalam memasuki lapangan terbang Magoewo dan memasuki kota Jogjakarta adalah pasukan khusus (Speciale Troepen). Pasukan khusus ini sendiri sebagian adalah orang-orang pribumi Jawa yang dilatih khusus. Para militer dari bilangan pribumi Jawa ini akan mudah mengorek informasi dan juga mereka tentu paham seluk belum jalan di seputar wilayah Jogjakarta.

Para Pemimpin RI di Jogjakarta Diasingkan; Bagaimana dengan Jenderal Soedirman dan TNI?

Pada tanggal 22 Agustus 1948 para pemimpin RI yang ditangkap pada hari pertama serangan ke Jogjakarta dibawa ke lapangan terbang Magoewo untuk kemudian diasingkan ke laur Jawa. Mereka ini diberitakan berbagai surat kabar adalah Soekarno, Mohamad Hatta, Agus Salim, Soetan Sjahrir, Pringgodigdo, Assaat, Soejadarma dan lainnya.

Pada hari Selasa tanggal 21 Desember 1948 Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan empat intelektual muda lainnya telah dieksekusi oleh Belanda di Pakem. Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D diculik di rumahnya di Kaliurang pada tanggal 19 Desember 1949. Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D adalah penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Commissie voor Goede Diensten (CvGD) atau Komisi Tiga Negara (KTN) sendiri bermarkas di Kaliurang. Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D yang selama ini berinteraksi dengan KTN sebagai wakil pemerintah. Penculikan dan pembunuhan terhadap Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D diduga kuat untuk menjauhkan (memisahkan) Republik Indonesia dengan KTN sehingga Belanda semakin bebas melakukan aksinya..

Dalam daftar pengasingan ini meski nama Jenderal Soedirman terdapat dalam list yang ditangkap pada hari-hari sebelumnya tidak terberitakan sebagai bagian pemimpin yang diasingkan. Lalu bagaimana dengan Jenderal Soedirman? Panglima Republik Soedirman sakit parah karena penyakit yang melemahkannya dan dirawat dengan hati-hati oleh medis Belanda (lihat Limburgsch dagblad, 22-12-1948).

Sementara Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima intelektual muda Republik Indonesia lainnya telah dibunuh tanggal 21 Desember; Soekarno dan Mohamad Hatta dan sejumlah pemimpin Republik Indonesia lainnya bersiap-siap untuk diasingkan tanggal 22 Desember; di sejumlah tempat para pemimpin lokal (kaum federalis) yang telah membentuk negara bagian melalui siaran radio mendukung sepenuhnya tindakan pemerintah (militer) Belanda. Mereka itu adalah Wali Negara dari Negara Jawa Timur dan Madura; Wali Negara dari Negara Sumatra Timur, Dr. Mansoer; Wali Negara dari Negara Pasoendan Adil Poeradiredja; Perdana Menteri Indonesia Timur Anak Agoeng Gede Agoeng; pemimpin dari Kalimantan Soeltan Hamid (lihat Nieuwe courant, 22-12-1948).

Republik Indonesia didukung oleh sejumlah negara dan organisasi, antara lain: India memberikan dukung; Negara-negara Arab (Liga Arab) mendukung Republik Indonesia; Amerika Serikat mengecam dan meminta Dewan Keamanan PBB segera bersidang darurat; Australia bereaksi; Inggris, Belgia dan Jerman wait and see; dan juga datang dukungan untuk Republik Indonesia dari organisasi pembebasan dari Suraname. Surat kabar liberal yang terbit di Amsterdam De Nieuwe Rotterdamse Courant menyatakan: ‘Belanda harus menghadapi risiko tindakannya di Indonesia’.

Dengan ditahannya Jenderal Soedirman dan lebih-lebih dengan dibrangusnya Radio Djogka maka hubungan dengan para komandan-komandan militer yang bergerilya di berbagai tempat menjadi terputus. Selama ini para kamondan yang berbekal walkie-talkie peninggalan Jepang masih bisa berkomunikasi ke Markas Besar di Djogjakarta. Hingga tanggal 22 Desember 1948 hanya Radio Kediri, satu-satunya stasiun penyiaran di Jawa yang masih di tangan kaum republikan (lihat Trouw, 22-12-1948). Sudah barang tentu situasi dan kondisi menjadi sulit. Pihak pemerintah Belanda mengganggap akan terjadi demoralisasi di kalangan TNI. Apakah anggapan Belanda itu sepenuhnya benar?

Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-12-1948
Garis komando ke atas telah terputus. Dengan ditahannya Jenderal Soedirman dan diasingkannya Soekarno ke Parapat (sebelumnya di Brastagi) maka hubungan keduanya telah putus. Jenderal Soedirman hanya memiliki garis komando ke Presiden Soekarno setelah sebelumnya Jenderal Soedirman berseteru dengan Menteri Pertahanan (yang dirangkap Perdana Menteri Mohamad Hatta) karena kebijakan rasionalisasi TNI yang dijalankan Kabinet Hatta. Jenderal Soedirman tidak lagi mengindahkan perintah Mohamad Hatta dan sebaliknya kebijakan TNI justru memasukkan laskar ke dalam TNI. Jelas dalam hal ini garis komando ke bawah juga terputus, karena Kepala Angkatan Perang  Republik Indonesia (APRI) Jenderal Soedirman ditahan dan Menteri Pertahanan Mohamad Hatta juga diasingkan. Kekuatan militer Indonesia (TNI) hanya berada di tangan dua orang: Wakil Kepala APRI Letnan Jenderal TB Simatupang dan Kepala Teritorium Jawa Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution.Tampak Soekarno dijemput oleh seorang perwira Belanda dari Jogjakarta untuk menemui Jenderal Meyer, komnadan Teritorial Belanda di Midden Java (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 27-12-1948)

Melihat situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Jenderal Soedirman mulai menyadari tak elok dirawat oleh medis Belanda. Apa lagi hanya Jenderal Soedirman sendiri yang berada di Jogjakarta. Para pemmpin telah diasingkan sementara pasukan TNI terpencar-pencar di berbagai tempat di Jawa dan Sumatra. Soedirman bukanlah Presiden atau Menteri. Soedirman adalah Jenderal. Dalam kondisi belum sehat, Jenderal Soedirman keluar dari Jogjakarta.

De vrije pers : ochtendbulletin, 24-12-1948: ‘Jenderal Sudirman yang sakit di Djokja dan telah dirawat di bawah perawatan Belanda dikatakan telah bersikeras kemarin pagi untuk melanjutkan perjuangan. Setidaknya menurut radio Madioen’.

Jenderal Soedirman boleh jadi ‘dilepaskan’ oleh Belanda karena kesehatannya semakin melemah dan membiarkan mencari jalannya sendiri untuk kesembuhannya.

Nieuwsblad van het Noorden, 31-12-1948: ‘Berita terbaru Jenderal Soedirman sakit parah tetapi tidak lagi di tangan Belanda. Berdasarkan laporan Dienst Legercontacten bahwa komandan tertinggi TNI Jenderal Soedirman tidak berada di tangan Belanda. Sekarang dilaporkan bahwa dimana sang jenderal sudah diketahui. Dia juga sakit parah. Sesuai perintah harian dari Kolonel Hidayat, komandan TNI di Sumatra, ia (Kolonel Hidayat) mengambil alih kepemimpinan pasukan Republik di seluruh Indonesia pada tanggal 28 Desember’.

Dimana Jenderal Soedirman berada masih belum diketahui. Yang jelas Jenderal Soedirman tidak lagi berada di tangan medis Belanda. Juga sulit menduga jika Jenderal Soedirman sudah bergerak jauh karena kondisinya yang masih sakit. Satu-satunya tempat dimana Jenderal Soedirman berada adalah di kraton Jogjakarta.

Ketika terjadi penangkapan sejumlah pimpinan Republik Indonesia pada hari pertama serangan tanggal 19 Desember semuanya diinternir di Istana Presiden dan Kantor Wakil Presiden. Meski Sultan Hamengkoebowoeno sebagai Menteri Negara RI tetapi pihak Belanda meliha Sultan sebagai kepala wilayah Jogjakarta. Oleh karena itu Soeltan Hamengkoeboewono tidak berada di tempat interniran melainkan tetap berada di dalam kraton. Namun demikian, posisi Sultan di pihak Belanda sebagai tahanan rumah sebab kraton sendiri berada dalam pengawasan militer Belanda.

Dalam perkembangannya, dimana Jenderal Soedirman berada dilaporkan surat kabar Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 03-01-1949. Surat kabar ini mengutip laporan dari United Press ‘bahwa [Jenderal] Soedirman berada di Istana Sultan Djokja’. Sumber ini diduga ada benarnya karena kantor berita United Press adalah kantor berita Amerika Serikat yang mana pemerintah Amerika Serikat memiliki perhatian khusus kepada pihak Republik Indonesia.

Twentsch dagblad Tubantia courant, 03-01-1949
Sementara Belanda terus berkonflik dengan Republik Indonesia sesungguhnya orang-orang Amerika Serikat masih terhubung dengan orang-orang Republik bahkan di Jogjakarta sendiri. Seperti yang disebutkan di atas pesawat Catalina yang mendarat di lapangan terbang Magoewo segera setelah pendudukan militer Belanda adalah peswat milik Amerika yang dipimpin oleh seorang pilot Amerika. Beberapa hari sebelum diberitakan United Press bahwa Jenderal Soedirman di kraton Jogja, ada satu orang Amerika dan dua orang Inggris keluar dari Jogjakarta dengan ikut menumpang pesawat milik Belanda.

Seperti yang diharapkan pihak Belanda bahwa anggota TNI akan mengalami demoralisasi sete;ah tertangkapnya Jenderal Soedriman ternyata sebagian ada salahnya dan sebagian yang lain ada benarnya. Otoritas Republik Indonesia masih eksis dan terus memberikan gambaran nyata tentang perlawanan Republiken di lapangan sebagaimana dilaporkan Reuter (lihat Het Parool, 03-01-1949).

Het Parool, 03-01-1949: ‘Otoritas Republik dan mereka yang tetap di Batavia, telah menunjukkan kepada koresponden Reuter bahwa, menurut pendapat mereka, kekuatan (militer) Republik telah menyebar ke bagian-bagian garis depan yang akan terus menawarkan perlawanan kepada Belanda. Soedirman mantan panglima tertinggi Republik belum dipenjara, seperti yang awalnya dilaporkan secara resmi. Sangat mengejutkan sekarang bahwa dia Soedirman) berada di istana Sultan Djokja. Komando sekarang sudah dialihkan dan berada di tangan komandan di Sumatra, Kolonel Hidajat. (Adalah penting untuk mengetahui, berdasarkan apa yang dinyatakan dalam komunike resmi 19 Desember, bahwa Soedirman berada di tangan Belanda, kini kanyataannya tidak. Hanya dua belas hari kemudian otoritas milisi (Republik Indonesia) datang untuk memperbaiki kesalahan’.

Diplomasi para Republiken di Batavia/Djakarta telah memainkan peran penting di ‘kandang macan’. Otoritas Republik Indonesia di Djakarta tidak takut dengan tekanan Belanda. Mereka terus menjalin koneksi dengan asing (di luar Belanda) terutama dengan Amerika yang memang berseberangan dengan Belanda soal krisis di Indonesia. Selain di Batavia, para ‘diplomat’ Republiken juga memainkan peran di London dan Washingtom. Diplomat Republiken di London yang diduga kuat mempublikasikan atas pembunuhan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D pada tanggal 21 Dsember 1948. Saat yang bersamaan di Washington Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D memainkan peran penting untuk berhubungan dengan Pemerintah Amerika Serikat maupun PBB di Lake Success, New York.

Yang dimaksud Otoritas Republik Indonesia di Batavia, London dan Washington adalah perwakilan Pemerintah Indonesia yang dingkat Pemerintah RI dan secara defacto diakui PBB. Para Republiken ini bertindak sebagai diplomat, meski tidak dicatat sebagai Kedutaan Besar (Kedubes) karena negara Republik Indonesia belum masuk anggota PBB. Kepala Otoritas Republik Indonesia di Djakarta adalah Mr Arifin Harahap. Ketika Pemerintah RI hijrah ke Jogjakarta awal tahun 1946 dan ibukota RI yang baru ditetapkan di Jogjakarta, Mr Arifin Harahap ditunjuk sebagai kepala perwakilan Republik Indonesia di Batavia. Sebab para Republiken masih banyak di Djakarta dan hanya pemerintah (pejabat dan pegawai negeri) yang pindah ke Jogjakarta. Fungsi lainnya otoritas Indonesia di Djakarta adalah untuk menjembatani dengan atase negara asing yang membuka kantor di Batavia dan juga dengan Belanda. Kepala perwakilan RI di Djakarta hingga Agresi Militer Belanda sejak 19 Desember 1948 masih dijabat Mr Arifin Harahap.
.
Meski para pemimpin RI telah diasingkan dan situasi kondisi yang tidak memungkinkan di Jawa, secara defacto (dari sisi internasional) dan secara de jure (dari sisi Indonesia) Pemerintahan Republik Indonesia masih eksis. Selain para Jenderal yang memimpin pertempuran di Jawa (Letnan Jenderal TB Simatupang di Banaran, Jawa Tengah dan Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution di Priangan di Jawa Barat) di Bukittingi dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara; Komando Tertinggi Militer dialihkan ke Sumatra yang dipimpin oleh Kolonel Hidayat; tiga ‘kedubes RI’ di Batavia (Mr. Arifin Harahap), di Washington (Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D), dan di London (termasuk di New Delhi dan Singapoera). Jangan lupa di Jogjakarta: Soeltan Hamengkoeboewono telah ‘menyembunyikan’ Jenderal Soedirman di kraton. Apakah tindakan Soeltan Jogja dalam hal ini harus dipandang sebagai tindakan heroik?. Tentang ini ada baiknya dibuat artikel tersendiri.

Di sisi lain (yang juga mengejutkan) di Jogjakarta dilaporkan terdapat sebanyak 169 eks perwira TNI telah melaporkan diri. Republik Indonesia tidak hanya secara spasial telah berkurang luasanya yang mana militer Belanda telah menduduki sebagian wilayah Republik tetapi juga para intelektual Indonesia telah banyak yang dibunuh serta para pemimpin pemerintahan dan pemimpin politik Republik Indonesia telah diasingkan. Para TNI tidak hanya banyak yang gugur, tetapi ratusan perwira telah melarikan diri dan menyerahkan diri kepada militer Belanda. Para penghianat bangsa ini telah menambah barisan pada kelompok kaum federalis. Lantas apakah TNI bubar?

De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949 (Pemurnian Sumatera): ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini dikomunikasikan: Di pulau-pulau lepas pantai Sumatera di Selat Malaka berlangsung pembersihan. Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan Belanda telah menduduki tempat ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di Sumatera, Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga), Pagar-Alam (barat daya Lahat) dan Loeboek Linggau (barat laut Lahat) TNI telah dimurnikan (didesak keluar kota). Di Jogjakarta sebanyak 169 mantan perwira TNI telah melaporkan diri’.

Meski banyak anggota TNI yang menyerahkan diri, tetapi moral TNI kembali sudah barang tentu akan meningkat lagi sehubungan dengan adanya pengumuman dari Sumatra. Republik Indonesia tidak hanya telah membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) juga pucuk kamando TNI sudah diambil alih komandan Sumatra Kolonel Hidayat. TNI dalam hal ini kehilangan ratusan perwira di Jawa tetapi komando di Sumatra masih eksis.

Anda mungkin juga tidak menyangka dengan berita terbaru bahwa tidak hanya ratusan (eks) perwira TNI yang menyerahkan diri ke Belanda, ternyata juga ada perwira tinggi sebagaimana dilaporkan surat kabar Het nieuws : algemeen dagblad, 05-01-1949 sebagai berikut: ‘Kolonel tentara Repoebliken Soewardi, komandan Akademi Militer Repoeblikein dan Kolonel Lembong, komandan Brigade ke-16, mengajukan diri kepada komandan Belanda di Jogjakarta. Surat kabar Sin Po memberitakan bahwa komandan tentara Republiken, Soedirman, yang sakit, telah menyerahkan komando tersebut kepada Kolonel Hidayat di Sumatra, yang saat ini berada (lingkungan) kraton Sultan Jogjakarta. Empat hari yang lalu, militer Belanda mengumumkan bahwa Soedirman tidak ada di tangan Belanda, seperti yang dilaporkan semula. Wilayah Sultan Jogjakarta (sejauh ini) tidak ditempati oleh pasukan Belanda’.

Untuk sekadar catatan: Mengapa pembelotan Soewardi  dan Lembong tidak tercatat dalam sejarah. Setelah penyerbuan Jogjakarta oleh militer Belanda [Letnan] Kolonel termasuk yang ditangkap. Saat diinternir inilah diduga [Letnan] Kolonel Lembong membelot dengan mengajukan diri kepada komandan Belanda sebagaimana diberitakan Het nieuws: algemeen dagblad, 05-01-1949. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, Lembong kemudian di Bandung terbunuh oleh tentara KNIL pimpinan Westerling pada tanggal; 23 Januari 1950. Apakah pembelotan Lembong ke Belanda sebelumnya tidak diterima tetapi balik kucing tetap sebagai Republik? Atas terbunuhnya Lembong, sebagaimana diketahui kelak di Bandoeng terdapat patung Adolf Lembong dan juga nama Jalan Lembong. Bagaimana itu bisa terjadi, apakah ada missing link dalam kisah Lembong?

Dalam perkembangan terakhir kantor berita Aneta di Batavia 31 Januari 1949 yang mengutip surat kabar Repoebliken Pedoman telah diumumkan melalui radio bahwa Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra sedang mempersiapkan para pemimpin Repoebliken untuk di Jawa. Untuk komisaris di Jawa berada di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman (lihat  Het nieuws : algemeen dagblad, 31-01-1949). Dalam berita ini tidak disebutkan apakah Jenderal Soedirman masih berada di kraton Jogjakarta. Namun yang jelas dalam perkembangannya Jenderal Soedirman setuju dengan keputusan dari Sumatra tersebut.

Twentsch dagblad Tubantia courant, 14-03-1949
Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 14-03-1949: ‘Soedirman yang melarikan diri ketika Belanda menduduki Djokja menyatakan pada hari Sabtu melalui sumber Republik bahwa ia [Jenderal Soedirman] telah kembali ke pasukannya di hutan dan akan melanjutkan pertempuran. Semua komandan tentara Republik [TNI], kata Soedirman dalam proklamasinya, telah setuju dengan saya untuk mendukung pemerintah darurat (PDRI). ‘Berjuanglah. Kita harus mengintensifkan perjuangan kita’. Segera setelah pendudukan Djokja, pihak Belanda mengumumkan bahwa Jenderal Soedirman sedang sakit. Menambahkan bahwa dia tidak berada di tangan Belanda, tetapi bahwa keberadaannya diketahui. Menurut laporan ia dikatakan berada di kraton Sultan Djokja yang belum dimasuki oleh pasukan Belanda. Setelah serangan gerilya yang kejam di Djokja yang terjadi pada tanggal 1 Maret yang lalu terjadi, pasukan Belanda memasuki bagian kraton, pasukan Belanda memasuki bagian kraton, karena, menurut pihak Belanda, orang mengira mereka telah menembak mereka dari kraton’.

Akhirnya mulai ada inisiatif pertemuan perwakilan Belanda dan perwakiltan Republik Indonesia yang dimulai tanggal 14 April 1949 yang hasilnya dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1949 di Djakarta. Selama proses perundingan Roem-Royen pihak Republiken di Jawa telah menyelesaikan konsolidasi.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-05-1949
Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-05-1949: ‘Pemerintahan gerilya. Surat kabar Sin Min melaporkan dari pihak Republik bahwa para Republiken telah membentuk pemerintahan sendiri di Jawa yang dibagi atas 3 provinsi yaitu Barat, Tengah dan Barat. Provinsi Jawa Timur yang masing-masing gubernur Ir. Ukar, Mr. Wongsonegoro dan Dr. Murdjani (yang sebelumnya pernah ditangkap oleh Belanda). Pemerintahan ini berfungsi di bawah Pemerintahan Darurat di Sumatra di bawah Mr. Sjafroedin Prawiranegara dan Komando Militer yang telah diambil alih Kolonel Hidajat di Sumatra dari Jenderal Soedirman. Empat divisi TNI saat ini bergerilya di Jawa bekerja sama dengan organisasi tempur yang masih memiliki senjata. Komposisi unit-unit ini adalah sebagai berikut: Divisi I di Jawa Timur dipimpin oleh Kolonel Sungkono, Divisi II di Jawa Tengah di bawah Kolonel Gatot Subroto, Divisi III di Jawa Tengah Selatan di bawah Kol. Bambanß Sugeng dan Divisi IV di Jawa Barat di bawah Kolonel Sadikin. Kepala staf umum ditugaskan Jenderal Soedirman dibantu oleh Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution, Kolonel TB Simatupang, Kolonel Sukanda. Untuk setiap lokasi yang terpisah mereka saling berhubungan dengan saluran militer. Pertanian diintensifkan di bawah Djawatan Pertanian Republik untuk menyediakan makanan bagi gerilyawan. Polisi Republik, awalnya di bawah Sumarto, dipimpin oleh Sastrodanukusumo setelah penangkapannya, yang melanjutkan pekerjaannya dari luar kota Djokjakarta’

Satu yang penting dari perjanjian ini implikasinya adalah Republik Indonesia (para Republiken) kembali ke Jogjakarta yang pada gilirannya dilanjutkan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Satu hal yang menjadi pertanyaan pasca perjanjian Roem-Royen ini adalah belum diketahuinya dimana posisi (gerilya) Jenderal Soedirman.

De vrije pers : ochtendbulletin, 24-05-1949: ‘Dimanakah lokasi Sudirman? Surat kabar Keng Po coba mengetahui dari kalangan Republiken di Batavia bahwa upaya masih dilakukan untuk menghubungi komandan tertinggi TNI Letnan Jenderal Soedirman, yang posisinya dalam Perjanjian Roem-Róyen masih dilakukan. Dari markas besar TNI di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, surat kabar itu mengatakan perjanjian tersebut telah disetujui, dan delegasi Republik juga melakukan upaya keras untuk menghubungi Kolonel Simatoepang yang umumnya dianggap sebagai ahli TNI dan memainkan peran penting dalam komisi gencatan senjata yang mengimplementasikan Perjanjian Renville. Markas besar TNI di Sumatra yang dipimpin oleh Kolonel Hidajat diketahui berdiri di belakang Pemerintahan Darurat Mr. Sjafroedin Prawiranegara’.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-06-1949: ‘Belanda dan Mohamad Hatta telah melakukan segala upaya untuk membangun kontak sesegera mungkin dengan TNI. Kolonel Simatupang dari TNI yang pertama dipanggil, tetapi Simatupang menolak. Jenderal Sudirman kemudian berulang kali diundang, tetapi ia [Soedirman] juga menolak. Pemimpin tertinggi adalah Sjafroeddin dan dia [Soedirman] hanya mengharapkan perintah atau keputusan lebih lanjut darinya [Sjafroeddin Prawiranegara]. Oleh karena itu Mohamad Hatta melakukan perjalanan ke Sumatra, tetapi misi ini, seperti yang diketahui, tidak memberikan hasil yang diharapkan. Menurut surat kabar Republiken [di Medan] Waspada, Sjafruddin akan menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan mandat pemerintahan daruratnya kepada  Mohamad Hatta, tetapi ia [untuk sementara] tidak dapat menghubungi anggota kabinet lainnya. Informasi lain menunjukkan bahwa sisa Kabinet Darurat tidak tertarik padanya [Mohamad Hatta]. Akhirnya, Mohamad Hatta kembali melakukan upaya kedua untuk bertemu dengan Pemerintah Darurat, dirinya mengakui sulit karena mereka bergerilya, dan upaya ini juga gagal. Itulah yang terjadi saat ini. Jika Djokjakarta sekarang memang memberikan ‘perintah gencatan senjata’ yang jelas dan definitif, kami [Belanda] akan segera mengetahui sejauh mana Pemerintah Darurat menjadi pemerintah kontra, dan sejauh mana Djokja masih memiliki wewenang’.

Itulah fakta Jenderal Soedirman ditangkap dan kemudian kembali bergabung dengan pasukan bergerilya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa selama ini narasi ditangkapnya Jenderal Soedirman dan kembalinya Jenderan Soedirman ke pasukan bergerilya tidak terdapat dalam sejarah Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta tanggal 19 Desember 1948 dan juga tidak ditemukan dalam sejarah Jenderal Soedirman sendiri. Mengapa bisa begitu?

Algemeen Handelsblad, 11-05-1949
Untuk sekadar tambahan sisa pertempuran Republik Indonesia melawan tinggal hanya di sejumlah tempat, yakni di Jawa Barat di daerah antara Sukabumi dan Tjiandjur; di Jawa Tengah di daerah Djokja dan Solo; di Jawa Timur di daerah Kediri, Kertosono dan Malang; di Sumatera konsentrasi ini terutama di daerah sekitar Bukit Tinggi; daerah Kabandjahe (selatan Medan); Tarutung (selatan Danau Toba) dan di sekitar Padang Sidempuan (lihat Algemeen Handelsblad, 11-05-1949). Wilayah-wilayah inilah sesungguhnya pewaris Republik Indonesia (Republiken Sejati). Jasmerah!

Oerip Soemohardjo dan Soedirman

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar