*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Universitas Gadjah Mada adalah universitas negeri pertama di Indonesia. Disebutkan Universitas Gadjah Mada resmi didirikan pada tanggal 19 Desember 1949, tetapi faktanya peresmiannya dimulai pada tanggal 2 November 1949. Itu satu hal. Hal yang lainnya di dalam sejarah Universitas Gadjah Mada tidak disebutkan bagaimana proses yang sebenarnya tentang terbentuknya universitas di Jogjakarta. Tentu saja tidak ditemukan nama Menteri Pendidikan RI Soetan Goenoeng Moelia. Pada kenyataannya penulisan sejarah Universitas Gadjah Mada muncul dalam berbagai versi.
Universitas Gadjah Mada adalah universitas negeri pertama di Indonesia. Disebutkan Universitas Gadjah Mada resmi didirikan pada tanggal 19 Desember 1949, tetapi faktanya peresmiannya dimulai pada tanggal 2 November 1949. Itu satu hal. Hal yang lainnya di dalam sejarah Universitas Gadjah Mada tidak disebutkan bagaimana proses yang sebenarnya tentang terbentuknya universitas di Jogjakarta. Tentu saja tidak ditemukan nama Menteri Pendidikan RI Soetan Goenoeng Moelia. Pada kenyataannya penulisan sejarah Universitas Gadjah Mada muncul dalam berbagai versi.
Nieuwe courant, 05-11-1949 dan Prif. SG Moelia, Ph.D |
Jika dilihat dari
website resmi Universitas Gadjah Mada, sejarah Universitas Gadjah Mada hanya
dimulai dari tanggal 19 Desember 1949. Kita tidak tahu alasannya. Artikel ini
tidak membicarakan perihal sesudah tanggal tersebut, tetapi sebaliknya artikel
ini hanya tentang sejarah Universitas Gadjah Mada sebelum tanggal 19 Desember
1949. Dengan demikian akan saling melengkapi. Untuk itu kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejatinya, Universitas Gadjah Mada
didirikan pada 3 Maret 1946. Pada saat itu ibukota RI berada di Jogjakarta.
Menteri Pendidikan RI saat itu adalah Prof. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ph.D (14
November 1945 sd 2 Oktober 1946). Prof. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ph.D meraih
gelar doktor (Ph.D) tahun 1933 di Universiteit Leiden di bidang filsafat dan
sastra. Sementara delegasi Indonesia ke konferesi KMB di Den Haag Prof. Mr. Sutan
Gunung Mulia, Ph.D memimpin delegasi Indonesia ke Sidang Umum PBB yang diadakan
pada tanggal 20 September 1950 di New York. Setelah pengakuan kedaulatan
Inonesia oleh Belanda pada tangga 27 Desember 1949, Indonesia kemudian menjadi
anggota PBB tanggal 28 September 1950. Prof. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ph.D juga
adalah penggagas pendirian Fakultas Pedagogik di Bandung tahun 1951 (cikal
bakal Universitas Pendidikan Indonesia).
Mendirikan sebuah
sekolah apalagi perguruan tinggi tidaklah mudah. Sangat berbeda dengan
seseorang yang ingin melamar menjadi dosen atau merekrut dosen untuk tenaga
pengajar. Proses ini sangat mudah. Akan tetapi membangun sebuah perguruan
tinggi tidak hanya karena ketersediaan tenaga pengajar dan ketersediaan jumlah
mahasiswa. Membagun sebuah perguruan tinggi harus dilakukan atau paling tidak
diarahkan seorang yang memiliki kompetensi untuk itu. Intinya kompetensi untuk
mengajar dan kompetensi untuk membangun dari nol sebuah perguruan tinggi
memerlukan keahlian khusus dan pengalaman. Keahlian itu hanya dimiliki oleh Prof.
Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D.
Pada saat era perang
kemerdekaan Indonesia, hanya ada dua sarjana Indonesia yang memiliki keahlian
di bidang pedagogik, salah satu diantaranya adalah Prof. Mr. Soetan Goenoeng
Moelia, Ph.D yang saat itu menjadi Menteri Pendidikan Republik Indonesia
(menggantikan Ki Hadjar Dewantara).
Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D tidak hanya bergelar guru besar sebagai
pengadjar di Rechthoogeschool (Fakultas Hukum) di era kolonial Belanda, Prof.
Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah lulus doktor (Ph.D) di bidang
pendidikan kekhususan filsafat dan kesusatraan tahun 1933. Sebelum melanjutkan
studi doktoral ke Belanda, Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah
Direktur sekolah guru (Normaalschool) di Meester Cornelir (kini Jatinagara) dan
anggota Volksraad (lihat Nieuwe Apeldoornsche courant, 31-08-1927). Pada tahun
1929 Soetan Goenoeng Moelia juga diangkat anggota komite pendidikan nasional
(satu-satunya pribumi). Setelah mendapat gelar Ph.D tahun 1933 Prof. Mr. Soetan
Goenoeng Moelia, Ph.D menjadi dosen di Rechthoogeschool di Batavia (kini
Jakarta).
Pada saat era perang
ketika ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta,
mulai muncul kebutuhan untuk pengadaan sarjana yang lebih banyak. Untuk itu
diperlukan suatu perguruan tinggi di Jogjakarta. Itulah mengapa muncul gagasan
pembangunan sebuah perguruan tinggi yang kemudian disebut Universitas Gadjah
Mada. Pendirian ini dtesmikan pada tanggal 3 Maret 1946. Menteri Pendidikan
saat itu adalah Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, seorang akademisi yang
masternya di bidang hukum (Mr) dan doktornya di bidang pendidikan filsafat dan
sastra.
Het nieuws: algemeen dagblad, 13-03-1946 |
Peran Universitas Gadjah
Mada tidak hanya untuk menyiapkan sarjana Indonesia, Universitas Gadjah Mada
juga telah turut memberi kontribusi bagi pemerintah RI. Ini sehubungan dengan
draf perjanjian Linggarjati yang dari pihak Indonesia juga dibahas di
Universitas Gadjah Mada (lihat Friesch dagblad, 26-11-1946). Sebagaimana dalam
awal peresmiannya Universitas Gadjah Mada telah memiliki Fakultas Hukum.
Tidak semua sarjana Indonesia ikut
pindah ke Jogjakarta karena alasan yang berbeda-beda. Ada yang tetap Republiken
tetapi lebih memilih di Djakarta dan ada juga yang berada di Djakarta ingin
berkolaborasi dengan Belanda. Salah satu Republiken yang hijrah ke Jogjakarta
adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D yang menjabat sebagai penasehat pemerintah
(Soekarno dan Mohamad Hatta). Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D adalah sarjana
hukum yang meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1942 di Univeristeit Leiden.
Besar dugaan di luar dinas Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D juga menjadi pengajar
di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D
yang teridentifikasi Republiken bergelar doktor hukum di Jogjakarta adalah Mr.
Soepomo, Ph.D dan Mr. Djokosoetono, Ph.D. Keutamaan Mr. Masdoelhak Nasution,
Ph.D dalam hal ini karena masih muda dan meraih gelar Ph.D dengan predikat Cum
Laude.
De waarheid, 25-03-1947 |
Jogjakarta sebagai
ibukota RI tidak hanya muncul sebagai kota pendidikan yang baru, Jogjakarta
juga menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda/NICA. Paling tidak hal itu telah
disemanganti dengan berbagai spanduk di seumlah titik strategis di dalam kota. Perlawanan
yang tiada henti di berbagai daerah telah menyulut Belanda untuk melakukan
Agresi Militer yang dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 di tiga daerah: Sumatra
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di tiga wilayah penyerangan Belanda ini
terkenal dengan industri perkebunan (area yang dapat dibilang kaya dan
strategis). Satu kejadian penting dalam Agresi Militer Belanda ini di
Jogjakarta ditembaknya pesawat yang membawa persediaan obat-obatan dari
Singapoera di dekat lapangan terbang
Magoewo. Beberapa Republiken di dalam pesawat tewas termasuk co-pilot Adi
Soetjipto. Agresi ini berakhir pada tanggal 5 Agustus 1947.
Universitas Gadjah Mada di
Jogjakarta dalam situasi perang terus menjalankan misinya di bidang pendidikan
untuk membentuk pemuda menjadi sarjana. Universitas Gadjah Mada selain
memperkuat kurikulumnya juga secara terus menerus menambah dosen. Seperti yang
diberitakan Radio Djogja yang dikutip Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 29-10-1948 bahwa mulai tanggal 1 November, Iwa
Koesoemasoemantri telah diangkat sebagai profesor di Universitas Gadjah Mada.
Ditambahkan kemungkinan Mr. Mohamad Jamin akan diangkat menjadi profesor di
universitas ini.
Pihak Belanda kemudian
melancarkan serang ke wilayah-wilayah Republik yang dikenal sebagai Agresi
Militer Belanda II yang dimulai tanggal 19 Desember 1948. Sasaran pertama
serangan ini adalah lapangan terbang Magoewa untuk tujuan menduduki kota
Jogjakarta. TNI yang bergerilya tersebar di seluruh wilayah Republik di Jawa
dan Sumatra mengakibatkan kekuatan di Djogjakarta tidak maksimal. Serangan yang
dilakukan lewat udara dengan menerjukan pasukan khusus tidak diduga. Akibatnya
kota Jogajakarta mudah diduduki. Sejumlah pemimpin Indonesia ditangkap dan
diinternir serta dibunuh. Para pemimpin utama kemudian diasingkan.
Dalam serangan tanggal 19 Desember
1948 sejumlah pemimpin Indonesia ditangkap seperti Presiden Soekarno dan
Perdana Menteri Mohamad Hatta. Juga tokoh penting lainnya seperti Agus Salim,
Soetan Sjahrir, Pronggodigdo dan lainnya. Sejumlah intelektual muda juga
ditangkap termasuk Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D yang ditangkap di rumahnya di
Kaliurang (dekat kantor UNCL) kemudian pada tanggal 21 dieksekusi di ladang
jagung di Pakem. Paling TNI Jenderal Soedirman juga tertangkap di Poerworedjo
pada tanggal 19 Desember malam jelang dinihari lalu diinternir ke Jogjakarta.
Para pemimpin yang berada di tempat tahanan di Jogjakarta kemudian diasingkan
pada tanggal 22 Desember 1948 ke Bangka dan Brastagi. Soeltan Hemengkoeboewono
tidak ditangkap tetapi diposisikan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta.
Jenderal Soedirman yang dalam kondisi sakit parah mendapat pengobatan, tetapi
beberapa waktu kemudian menghilang dan dilaporkan telah bergabung dengan
pasukannya bergerilya di selatan Jogjakarta.
Setelah kota Jogjakarta
diduduki Belanda aktivitas kota yang sebelumnya ramai menjadi sepi di
jalan-jalan kota. TNI yang tidak
tertangkap mengundurkan diri ke luar kota memasuki hutan-hutan dan pegunungan
untuk bergerilya. Diantara TNI ada juga yang menyerahkan diri termasuk Letnan
Kolonel Lembong. Para pemimpin politik lainnya, para pemuda revolusioner dan
juga para pelajar dan mahasiswa serta dosennya lambat laun mengungsi ke luar
kota seperti Klaten.
Dalam situasi yang tidak kondusif
ini selain pemerintahan (RI) terbilang sudah vakum, sekolah-sekolah dan Universitas
Gadjah Mada juga vakum dalam kegiatannnya. Universitas Gadjah Mada secara tak
langsung telah ditutup. Agresi militer Belanda ke Jogjakarta telah turut
menghentikan kegiatan proses belajar mengajar di Universitas Gadjah Mada. Diantara
mahasiswa-mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan terpaksa pindah ke kota-kota
yang telah dikuasai Belanda untuk melanjutkan pendidikan seperti ke Djakarta,
Bandung dan Soerabaja. Di kota-kota ini sudah terbentuk Universiteit van
Indonesia yang dijalankan oleh para akademisi Belanda dan akademisi Indonesia yang
fakultasnya tersebar selain di Djakarta juga di Bandoeng, Soerabaja dan
Makassar.
Setelah semakin
intensnya tekanan internasional terhadap pendudukan wilayah RI oleh Belanda dan
pengasingan sejumlah pemimpin maka pada bulan April 1949 muncul inisiatif
internasional untuk mempertemukan kedua belah pihak (Belanda dan Indonesia) ke
meja perundingan. Indonesia dalam hal ini dipimpin oleh Mohamad Roem.
Perundingan ini dikenal Perundingan Roem-Royen. Hasil perjanjiannya yang
terpenting adalah upaya gencatan senjata antara TNI dengan militer Belanda,
pengembalian Republik dan para pemimpin RI ke Jogjakarta sambil mempersiapkan
perundingan lebih lanjut di Belanda (Konferensi Meja Bundar) yang akan diadakan
pada bulan Agustus 1949..
Implikasi dari hasil Perjanjian Roem
Royen Republik kembali ke Jogjakarta. Pada tanggal 10 Juni 1949 Soekarno dan
Mohamad Hatta serta tokoh lainnya kembali ke Jogajakarta. Lalu disusul pada
tanggal 10 Juni Pemimpin Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi Sjafroeddin
Prawiranegara dan tokoh lainnya. Pada sore hari menyusul Jenderal Soedirman
memasuki Jogjakarta.
Persiapan pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda mulai dilakasanakan. Mohamad Hatta sebagai
pimpinan delegasi ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag mulai menyiapkan
sesuatunya baik pembicaraan dengan Belanda maupun dengan tokoh-tokoh RI.
Konferensi KMB nantinya akan membicarakan butir-butir perjanjian dalam pembentukan
negara dalam bentuk serikat yang diberi nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dalam persiapan menuju konfersi KM,
di lain pihak juga dibuat berbagai komite dalam kaitannya dengan bentuk negara
baru RIS. Salah satu komite tersebut adalah Komite Sosial Budaya di Bandoeng.
Ketua komitenya adalah Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D. Salah satu
program dari komite ini adalah dalam rangka penyerahan Univesiteit van
Indonesia kepada RIS. Dalam perkembangannya diketahui sebagaimana diberitakan
surat kabar Trouw, 13-08-1949 Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D telah
ditunjuk sebagai profesor sosiologi di Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universiteit
van Indonesia.
Delegasi Indonesia
akhirnya berangkat ke Den Haag untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang dipimpin Perdana Menetri RI Mohamad Hatta. Delegasi ini terdiri dari
kelompok Republik Indonesia (Republiken) dan kelompok federal (Federalis).
Dalam delegasi ini juga turut sejumlah indivisu sebagai peninjau dan para
jurnalis Indonesia. Penasehat umum dalam delegasi Indonesia ke KMB adalah Abdul
Hakim Harahap (Residen Tapanoeli).
Satu keuatamaan Abdul Hakim Harahap
dalam delegasi Indonesia ke KMB di Den Haag adalah memiliki kemampuan tiga
bahasa (Belanda, Inggris dan Prancis), Sebagaimana diketahui KMB juga diikuti
oleh para peninjau negara lain dan juga para jurnalis di Eropa. Tentu saja
tidak hanya itu, Abdul Hakim Harahap yang berada dalam barisan RI juga mewakili
pemerintahan RI di Tapanoeli. Abdul Hakim Harahap juga memiliki keutamaan lain
yakni berpengalaman sebagai Kepala Bidang Ekonomi di Indonesia Timur yang berkedudukan
di Makasar pada era kolonial Belanda dan pada awal pendudukan Jepang.
Pengalamannya sebagai birokrat pada masa Pemerintahan Hindia Belanda akan
memperkaya pemahaman RI dalam sidang-sidang di KMB. .
Selain delegasi besar ke
konferenasi KMB juga dibentuk satu delegasi kecil. Delegasi kecil ini tidak
berpartisipasi dalam KMB tetapi memiliki kaitan. Delegasi kecil ini pada awal
September 1949 akan berangkat ke markas PBB di Lake Success, New York, Amerika
Serikat. Delegasi ini dipimpin oleh Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (lihat
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-08-1949). Prof
Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D dan delegasinya akan menghadiri Sidang Umum Majelis
PBB. Tugas delegasi ini juga dalam mempersiapkan negara baru (RIS) untuk
menjadi anggota PBB. Boleh jadi Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D selama di
Amerika Serikat menyempat diri berkunjung ke berbagai universitas.
Sutan Gunung Mulia di Sidang PBB (kiri) Twentsch dagblad, 22-10-1949 |
Rencana pembukaan
kembali Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta diberitakan oleh surat kabar De
locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-10-1949. Disebutkan Universitas Gadjah Mada akan dibuka kembali
pada tanggal 1 November 1949. Berita lainnya diketahui bahwa hari ini di
Jogjakarta akan diadakan upacara di istana Presiden Soekarno untuk memperingati
lagu Indonesia Raya Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-10-1949). Namun
upacara pembukaan kembali Universitas Gadjah Mada yang dintegrasikan dengan
pembukaan kembali dua akademi dilakukan pada tanggal 2 November 1948.
De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-11-1949:’Djokjakarta,
31 Oktober (Aneta): Sekretariat Universitas Republik di Djokja (Universitas
Gadjah Mada) telah mengumumkan bahwa Rabu malam pembukaan kembali secara resmi perkuliahan
di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Akademi Polisi, Akademi Ilmu Politik.
Upacara ini dipimpin oleh Sultan Djokjakarta dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan
Pengawas Akademi Polisi dan anggota Dewan Pengawas Akademi Ilmu Politik.
Upacara pembukaan ini dilakukan di ruang penerimaan Sitihinggil yang menjadi
bagian dari kraton Jogjakarta’.
Mr. Iwa Koesoemasoemantri adalah sekretaris Universitas Gadjah Mada (Limburgsch dagblad, 05-08-1949). Lantas siapa yang menjadi Presiden (rektor) Universitas Gadjah Mada? Tidak ada. Yang ada adalah Sekretaris Universitas Gadjah Mada yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Pendidikan. Oleh karenanya pada pendirian Universitas Gadjah Mada pada tanggal 3 Maret 1946 berada langsung di bawah Menteri Pendidikan (Prof. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D). Namun dalam pelaksanaannya sehari-hari diangkat seorang sekretaris universitas. Ini ibarat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB yang bertindak sebagai kepala sekretariat yang dipilih berdasarkan Sidang Umum PBB (hal serupa dengan Sekretariat ASEAN). Demikian juga Sekretaris Universitas Gadjah Mada (yang dalam hal ini Mr. Iwa Koesoemasoemantri) dipilih berdasarkan sidang umum Universitas Gadjah Mada.
Dalam pidato Soeltan
Hamengkoeboewono pada upacara pembukaan Universitas Gadjah Mada (dan dua
akademi) menyatakan apresiasinya terhadap lembaga akademik ini selama
pendudukan Belanda. Soeltan kemudian mengatakan bahwa pembentukan RIS tidak
berarti bahwa tujuan pertarungan itu telah tercapai. Kita harus melanjutkan perjuangan dengan bersatu.
Perjuangan budaya baru saja dimulai dan kita sekarang harus membangun benteng
untuk mempersiapkan perjuangan ini. Lebih lanjut Soeltan menjelaskan
kemungkinan pembentukan universitas tunggal yang mencakup semua fakultas untuk
mencapai front yang solid bagi perjuangan budaya yang akan datang (lihat Nieuwe
courant, 05-11-1949). Selain apresiasinya terhadap tiga lembaga pendidikan
tersebut Soeltan juga menyatakan kekecewaannya pada kenyataan bahwa selama pendudukan
Belanda beberapa mahasiswa telah pergi ke tempat lain untuk melanjutkan studi
mereka di sana. Pada akhir pidatonya Soeltan berharap bahwa universitas di
Djokja (Universitas Gadjah Mada dan akademi-akademinya) tidak harus dibuka
untuk ketiga kalinya (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 05-11-1949).
Java-bode, 09-12-1949 |
Itulah sejarah awal
Universitas Gadjah Mada, suatu kejadian-kejadian dan juga yang bertalian
dengannya tidak pernah terungkap selama ini. Universitas Gadjah Mada yang
kemudian diresmikan sebagai universitas negeri pertama Republik Indonesoa
haruslah dipandang sebagai universitas perjuangan. Sarjana perempuan pertama
Universitas Gadjah Mada adalah Rosiah Sarjono (kebetulan namanya bersesuaian). Rosiah
Sarjono lulus ujian sarjana di Fakultas Hukum pada tanggal 5 Desember 1949
dengan judul skripsi Hukum Antara Negara-Negara (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-12-1949). Mengapa kisah
indah di awal keberadaan Universitas Gadjah Mada ini tidak terdapat dalam
sejarah Universitas Gadjah Mada?
Sejarah Universitas
Gadjah Mada di dalam website UGM hanya dimulai pada tanggal 19 Desember 1949.
Disebutkan UGM diresmikan oleh Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta pada
tanggal 19 Desember 1949. Tanggal ini seharusnya dipandang tanggal penting.
Akan tetapi anehnya pada tanggal ini tidak ada bukti dalam pemberitaan pada
surat kabar di sekitar tanggal tersebut. Lantas mengapa tanggal 19 Desember
1949 dinyatakan sebagai hari lahir Universitas Gadjah Mada? Tanggal ini jelas
tidak valid.
Persoalan ini muncul
karena terjadi proses politik yang cepat di seputar tanggal-tanggal tersebut.
Secara defacto Universitas Gadjah Mada dibuka lagi pada tanggal 2 Desember
1949. Tidak lama kemudian Mohamad Hatta terpilih sebagai tim formatur pembentukan
Kabinet RIS. Lalu posisi Perdana Menteri RI didelegasikan Mohamad Hatta kepada
pelaksanan tugas. Pada tanggal 20 Desember 1949 Mohamad Hatta sebagai Perdana
Menteri RIS mengumumkan susunan kabinet, tetapi secara dejure itu baru berlaku
tepat pada tanggat 27 Desember 1949. Sehari sebelum penetapan susunan Kabinet
RIS yakni tanggal 19 Desember 1949 enam fakultas yang yang ada di Jogjakarta
digabungkan menjadi bagian dari universitas Republik Indonesia yakni Universitas
Gadjah Mada (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-01-1950).
Gabungan ini termasuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada beserta dua
akademi yang dibuka pada tanggal 2 Desember 1949. Tanggal inilah yang diklaim
Universitas Gadjah Mada pada masa ini sebagai hari jadi. Enam fakultas yang
dimaksud adalah (1) Rechts- Hogeschool en de Academie voor Politieke
Wetenschappen; (2) Technische Hogeschool; (3) Hogeschool voor Letteren en
Wijsbegeerte; (4) Landbouw Hogeschool en de afdeling Bosbouw; (5) Hogeschool
voor de Veeartsenij; (6) Geneeskundige Hogeschool en de afdelingen Pharmacie,
Tandheelkunde en de onderwijzersacademie voor Scheikunde en Biologie.
Last but but not least. Bagaimana
dengan Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D sekarang setelah dibukanya kembali
Universitas Gadjah Mada. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda
yang secara resmi berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 Prof Dr Soetan Goenoeng
Moelia, Ph.D lebih berkonsentrasi di Djakarta. Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia,
Ph.D sebelum pengakuan kedaulatan sudah terlebih dahulu diangkat sebagai guru
besar di Universiteit van Indonesia.
Pemerintah pada tanggal
30 Januari 1950 mengeluarkan
Undang-Undang Darurat No. 7 yang mengatur pendidikan tinggi di
Indonesia yang mana undang-undang ini memberi kekuasaan kepada Menteri
Pendidikan untuk mengambil langkah-langkah bagi pembinaan Perguruan Tinggi di
Indonesia. Salah satu diantaranya peralihan Universiteit van Indonesia dari
Belanda kepada Indonesia. Bersamaan dengan pengesahaan undang-undang ini Ir.
Soerachman ditunjuk sebagai Presiden (Rektor) Universiteit Indonesia
(sebelumnya bernama Universiteit van Indonesia). Ir. Soerachman adalah besan
dari Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D.
Sementara Universitas
Gadjah Mada sudah diresmikan sebagai universitas negeri, Universiteit Indonesia
selama masa kepemimpinan Ir. Soerachman (sejak Februari 1950) masih dalam tahap
tranisisi ke penegerian universitas. Dengan dibubarkannya RIS pada tanggal 18
Agustus 1950, proses penegerian Universiteit Indonesia semakin cepat lalu
kemudian pada tahun 1951 secara resmi Universiteit Indonesia menjadi
universitas negeri dengan nama baru Universitas Indonesia dengan Rektor Mr.
Soepomo, Ph.D. Sementara itu di Bandoeng mulai dirintis fakultas pedagogik
(Fakultas Pendidikan).
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode,
23-01-1951: Rencana Fakultas Pedagogi di Bandoeng. Tiga opsi tersedia untuk
ini; yaitu bahwa fakultas yang dimaksud didirikan oleh Pemerintah, oleh yayasan
swasta atau oleh pemerintah kota Bandoeng. Namun, pendirian fakultas ini akan
dihadapkan dengan kekurangan guru yang besar, terutama di bidang filsafat,
psikologi, didaktik, sosiologi, dan pedagogi teoretis dan historis. Tentu saja,
tenaga asing harus direkrut untuk mata pelajaran ini. Di Indonesia modern hanya
ada dua orang Indonesia yang berwenang mengajar pedagogi, yaitu Prof Dr Soetan
Goenoeng Moelia, Ph.D di Jakarta dan Drs. Sigit, profesor di Universitas Gadjah
Mada di Djogjakarta. Namun, pendirian Fakultas Pedagogis di Bandoeng tidak akan
menyebabkan banyak kesulitan, karena telah ada Kursus Pedagogis di sini selama
dua tahun terakhir, dengan bantuan guru yang berkualitas (kebanyakan Belanda). Tujuannya
adalah bahwa perkuliahan di Fakultas Pedagogi di Bandung ini akan berlangsung
selama lima tahun’.
Fakultas Pendidikan (Fakultas Pedagogik) di Bandoeng
kelak diketahui sebagai cikal bakal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
yaitu perguruan tinggi keguruan yang pertama di Indonesia.
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di
Padang Sidempoean tahun 1896. Ayahnya bernama Mangaradja Hamonangan adalah
seorang guru alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1892. Kakak
kelas Mangaradja Hamonangan di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan. Pada tahun 1905 Soetan Casajangan melanjutkan
studi ke Belanda dan pada tahun 1908 menggagas didirikannya organisasi
mahasiswa yang disebut Indisch Vereeniging (cikal bakal Perhimpunan Indonesia).
Setelah menyelesaikan sekolah ELS di Padang Sidempoean dan Sibolga, Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan studi ke negeri Belanda pada tahun 1911. Pada tahun ini Soetan Casajangan meraih gelar sarjana pendidikan. Soetan Goenoeng Moelia meraih sarjana pendidikan tahun 1918 dan sekembalinya ke tanah air diteptakan sebagai kepala sekolah HIS di Kotanopan. Pada tahun 1927 Mr. Soetan Goenoeng Moelia diangkap menjadi anggota Volksraad yang pada tahun yang sama Mr. Soetan Casajangan sebagai Direktur Normaal School (sekolah guru) di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Pada tahun 1929 Mr. Soetan Goenoeng Moelia menjadi satu-satunya pribumi sebagai anggota Komite Pendidikan Nasional. Pada tahun 1930 Mr. Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan pendidikan doktoral dan meraih gelar Ph.D di Universiteit Leiden. Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D adalah orang Indonesia pertama yang bergelar doktor di bidang pendidikan.
Demikianlah riwayat Prof
Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D.sedikit banyak telah memberi kontribusi
terhadap perguruan tinggi di Indonesia termasuk pendirian Universitas Gadjah
Mada di Jogjakarta. Prof Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, Menteri Pendidikan RI
kedua anak seorang guru yang memulai karir sebagai guru HIS di Kotanopan pada
tahun 1918 setelah menyelesaikan studi di Belanda.
Di Jogjakarta putra putri asal
Padang Sidempoean tidak hanya Prof. Dr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D juga masih
ada yang lainnya, yakni Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri RI
1947); Abdul Hakim Harahap (Wakil Perdana Meteri RI 1950); Arifin Harahap
kedubes RI Jogjakarta di Djakarta (1946-1949); Drs. Lafran Pane pendiri HMI dan lulusan Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Gadjah Mada (1953); Burhanuddin Harahap sebagai Perdana
Menteri RI 1955/1956 alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dan tentu
saja Drs. Ashadi Siregar dosen di Kampus Biru Universitas Gadjah Mada pengarang
novel terkenal berjudul Cintaku di Kampus Biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar