*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Di Indonesia banyak tokoh pendidikan, tetapi hanya ada dua tokoh pendidikan sejaman yang keduanya juga sama-sama menjadi Menteri Pendidikan. Kedua tokoh pendidikan itu adalah Ki Hadjar Dewantara dan Sutan Gunung Mulia. Meski mereka berdua memiliki latar belakang yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama Republiken sejati di Jogjakarta.
Di Indonesia banyak tokoh pendidikan, tetapi hanya ada dua tokoh pendidikan sejaman yang keduanya juga sama-sama menjadi Menteri Pendidikan. Kedua tokoh pendidikan itu adalah Ki Hadjar Dewantara dan Sutan Gunung Mulia. Meski mereka berdua memiliki latar belakang yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama Republiken sejati di Jogjakarta.
Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara lahir di Jogjakarta, 2 Mei 1889. Raden
Mas Soewardi tahun 1902 diakui sebagai kelas 3 Europanen Lagere School (ELS) di
Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-03-1902).
Setelah lulus ELS, Raden Mas Soewardi melanjutkan sekolah kedokteran (Docter
Djawa School) di Batavia.
Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia lahir di Padang Sidempuan tahun 1896. Memulai pendidikan dasar di Sekolah Eropa (Europeesche Lagere School=ELS) Padang Sidempuan tahun 1903. Pada tahun 1910, Todung menyelesaikan pendidikan di ELS dan ayahnya Mangaradja Hamonangan seorang pengusaha perkebunan di Padang Sidempuan menyekolahkan Todung ke Negeri Belanda.
Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia lahir di Padang Sidempuan tahun 1896. Memulai pendidikan dasar di Sekolah Eropa (Europeesche Lagere School=ELS) Padang Sidempuan tahun 1903. Pada tahun 1910, Todung menyelesaikan pendidikan di ELS dan ayahnya Mangaradja Hamonangan seorang pengusaha perkebunan di Padang Sidempuan menyekolahkan Todung ke Negeri Belanda.
Itulah awal pendidikan
dua tokoh pendidikan Indonesia. Lantas bagaimana selanjutnya?. Bagaimana kiprah
masing-masing sebelum menjadi Menteri Pendidikan RI?. Sebagaimana diketahui Ki
Hadjar Dewantara menjadi Menteri Pendidikan RI yang pertama dari tanggal 2
September 1945 hingga 14 November 1945 (2,5 bulan) dan kemudian dilanjutkan Sutan
Gunung Mulia dari tanggal 14 November 1945 hingga 2 Oktober 1946 (10,5 bulan).
Setelah tidak menjadi menteri apa yang mereka lakukan? Semua pertanyaan
tersebut tentu masih menarik untuk diperhatikan. Mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Raden Mas Soewardi ke Batavia, Todung
Harahap ke Leiden
Raden Mas Soewardi hanya
satu tahun di ELS Semarang, lalu diterima di sekolah kedokteran (Docter Djawa
School) di Batavia. Pada bulan November 1904 Raden Mas Soewardi dinyatakan
lulus kelas 1 tingkat persiapan di Docter Djawa School. Teman satu kelas antara
lain Raden Angka dan JB Sitanala. Di atas mereka setahun antara lain M
Goenawan, Raden Soetomo, Raden Goembrek dan Raden Slamet. Pada kelas tertinggi
yang lulus kelas 5 medik naik ke kelas 6 terdapat 10 orang antara lain Abdul
Hakim, Abdul Karim dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Het nieuws van den dag voor Ned-Indie, 27-11-1902 |
Raden Mas Soewardi gagal
di Docter Djawa School ke tingkat medik. Nama Raden Mas Soewardi tidak pernah
tercatat lagi sebagai siswa Docter Djawa School (lihat Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1907). Raden Mas Soewardi kemudian diketahui
mengikuti sekolah Ambtenaren (OSVIA) di Bandoeng. Raden Mas Soewardi dinyatakan
lulus pada tahun 1910 (lihat De Preanger-bode, 14-09-1910). Sementara itu, Todung
Harahap menyelesaikan pendidikan di ELS 7 tahun dan ayahnya Mangaradja
Hamonangan, seorang pensiunan guru yang menjadi pengusaha perkebunan di Padang
Sidempuan menyekolahkan Todung Harahap ke Negeri Belanda.
Todung Harahap berangkat dari
Batavia menuju Negeri Belanda tahun 1911. Dari Batavia menumpang kapal Prinses
Juliana tanggal 2 November 1911 dengan nama tertulis di dalam manifest kapal
sebagai Si Todoeng (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 27-11-1911).
Pada tahun 1912 Raden
Mas Soewardi berhenti sebagai pegawai pos dan telegraf di Bandoeng terhitung
sejak tanggal 17 Mei 1912 (lihat De Preanger-bode, 06-09-1912). Tidak diketahui apa yang menjadi
alasan berhentinya Raden Mas Soewardi. Ada dugaan bahwa Raden Mas Soewardi
memasuki dunia politik.
De Preanger-bode, 17-01-1913 |
De Preanger-bode, 17-01-1913: ‘Diberitakan di Bandoeng dilakukan pertemuan publik IP [Indisch Partij] pada
hari Minggu yang mana Raden Akman menyoroti perbedaan upah antara orang Belanda
dan pribumi...Mas Wiria meminta pemilihan dewan kota untuk dipilih dan penghapusan
perbedaan ras, hak yang sama (tugas yang sederajat!) dan tidak ada perbedaan
posisi!..Pidato paling revolusioner diberikan oleh RM Soewardi, yang bertanya
mengapa Inlander memiliki hak paling sedikit disini di negaranya sendiri, di
tanahnya sendiri. Pembicara ini berpikir bahwa jika hukum ada, penduduk pribumi
memiliki satu-satunya klaim atas kepemilikan sah atas tanah sebagai putra-putri
negeri tersebut. Orang asing itu menjadi tuan dan tuan dan penduduk pribumi tidak
lebih dari pelayan’.
Tidak lama setelah pertemuan
publik diberitakan bahwa di Bandoeng didirikan cabang Sarikat Islam (SI) pada
tanggal 9 Februari 1913 di aloon-aloon yang dihadiri 400 orang (lihat De
Preanger-bode, 10-02-1913). Disebutkan Presiden sementara RM Soewardi menyambut
semua orang dalam bahasa Melayu dan kemudian mengatakan yang berikut: ‘Atas
nama komisi yang bertanggung jawab atas organisasi di Bandoeug dari sebuah
divisi Sarikat Islam, saya menyambut Anda semua dan terima kasih banyak atas
minat Anda... Ketua administrasi pusat kami di
Surabaya akan segera diangkut ke Malang di bawah pengawalan polisi atas
permintaan Bupati Malang. Polisi telah diberitahu disana bahwa Tjokroaminoto yang
merupakan nama presiden kami....di Jawa Timur, administrasi dan polisi menyita
buku-buku dan arsip salah satu departemen asosiasi kami.. Sehubungan dengan apa yang telah saya katakan, kami sangat
senang bahwa Anda ingin menghormati pertemuan kami hari ini dengan kehadiran
Anda. Bagaimanapun, ini memberi kita kesempatan untuk berkenalan satu sama lain
lebih dekat... Apa tujuan dari Boedi Oetomo?... asosiasi BO ternyata tidak mampu melaksanakan program
keluarnya, rencana besarnya... tak perlu dikatakan
bahwa tidak mungkin baginya untuk mempertimbangkan kepentingan begitu banyak
orang... Kami telah dengan jelas menyadari
bahwa BO tampaknya tidak dapat mempromosikan kepentingan nasional.. Sarikat Islam
sekarang akan mengambil alih sebagian dan semoga sebagian besar dari program BO..Setelah
Soewardi pidato disampaikan oleh Wakil Presiden, AH Wignjadisastra dan kemudian
oleh Sekretaris Abdul Moeis dalam bahasa Melayu...perwakilan dari kantor pusat
di Soerabaja juga ambil bagian dan yang terakhir sebelum penutupan adalah Moeso...dari
pertemuan publik ini sebanyak 200 orang didaftar menjadi anggota sarikat..’.
Raden Mas Soewardi di
Bandoeng dalam tempo sesingkat-singkatnya telah menjadi tokoh penting. Raden
Mas Soewardi sebagai presiden SI cabang Bandoeng yang pertama. Raden Mas
Soewardi telah hadir di berbagai pertemuan dan memberikan gagasan baik di
panggng maupun di dalam media. Gagasannya selalu dalam hal menentang Belanda. Raden
Mas Soewardi memperkenalkan visi nasionalis di SI (meski ada protes). Visi
nasionalis ada di Indisch Vereniging di Belanda.
Dalam posisi ini Raden Mas Soewardi
dalam bayang-bayang visi nasionalis tetapi masih terikat kuat dengan misi
golongan (agama Islam) dan misi kedaerahan Boedi Oetomo. Dalam pertemuan umum
Boesi Oetomo cabang Bandoeng yang diadakan kemarin malam berhasil menyusun
pengurus baru (lihat De Preanger-bode, 07-07-1913).
Dalam susunan pengurus baru Raden Mas Soewardi duduk sebagai Sekretaris I.
Seperti yang dapat
diduga kegalauan Raden Mas Soewardi dalam soal visi nasional akhirnya menjadi
kenyataan. Raden Mas Soewardi keluar dari Sarikat Islam (lihat De
Preanger-bode, 18-07-1913). Disebutkan dalam rapat dewan Sarikat Islam yang
diadakan semalam, RM Soewardi dan Abdul Moeis, masing-masing sebagai ketua dan
sekretaris, mengajukan pengunduran diri karena keadaan yang mendesak. Kedua
fungsi akan dilakukan sementara oleh AH Wignjadisastra dan Abdul Gani’.
Apa yang menjadi alasan mendesak Raden
Mas Soewardi mengundurkan diri dari kepengurusan SI cabang Bandoeng tidak
diketahui secara jelas. Padahal Raden Mas Soewardi adalah pendiri SI Bandoeng
dan SI Bandoeng sendiri bahkan masih belum mapan sebagao organisasi cabang yang
belum lama didirikan, Apakah Raden Mas Soewardi telah menemukan haluan baru?
Mereka anggota komite ini berbicara
atas nama penduduk pribumi. Disebutkan bahwa Nieuwe Soerabaja Courant memantau
bahwa 'pribumi tidak tahu apa-apa tentang artikel propaganda tentang pembebasan
dan apalagi tentang konsep parlemen Hindia. Juga disebutkan bahkan Sarikat
Islam tidak mendukung slogan itu. Komite ini diduga hanya kelompok kecil. Di
dalam pamflet itu ada dinyatakan Belanda dianggap sebagai ‘belanda tetamoe’.
Selebaran yang beredar tersebut telah disita dan mereka itu dianggap telah
melakukan perilaku yang tidak patut dan bahwa ini tidak dapat ditoleransi. Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-07-1913 menyebut ada nama Soewardi
Soerjaningrat sampul pamflet dan Burgemeester (wali kota) Bandoeng Mr. v.
Bijlevelt telah menyita pamplet yang beredar. Pamflet dicetak oleh de Eerste Bandoengsche
Publicatie Maatschappij (directeur: van der Hoek). Di dalam komite itu antara
lain juga terdapat Abdul Moeïs, editor dari Sarekat Hindia. Pria ini dulunya
mantri loemboeng.
Komite itu kemudian
diketahui Komite Boemi Poetra (lihat De Preanger-bode, 30-07-1913). Disebutkan
para anggota Komite Boemi Poetra telah dipenjara, termasuk ketua Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (sekretaris-bendahara). Penangkapan
ini terkait dengan pembuatan selebaran. ‘Als ik een Nederlander was’ (Jika saya
seorang Belanda, saya pertama-tama akan memberi kebebasan kepada orang-orang
yang diperbudak, dan kemudian pertama-tama memperingati kebebasan kita sendiri!).
Pamflet ini diketahui telah beredar di Solo, Chirebon dan Batavia (lihat De
Preanger-bode, 31-07-1913). Dalam perkembangan terbaru Abdul Moeis dan
Wirnjadisastra (lihat De Preanger-bode, 01-08-1913).
Disebutkan bahwa tadi malam jam setengah lima anggota komite yang dipenjara
anggota Komite Boemi Poetra Abdul Moeis dan Wirnjadisastra dibebaskan.
(Sementara) Tjipto dan Soewardi tetap ditahan. Kami diberitahu bahwa jaksa
penuntut umum telah meminta akses hukum untuk distribusi pamflet terkenal itu
terhadap manajemen harian komite Boemi Poetra yang terdiri dari Tjipto,
Soewardi dan Moeis’. Di lain pihak Tjokroaminoto wakil presiden SI yang datang
ke Bandoeng selain sosialisasi SI juga untuk pengesahan pengurus baru SI
Bandoeng menganggap tindakan Tjipto Mangeoenkoesoe telah menyerat
orang-orangnya (lihat De Preanger-bode, 02-08-1913). Kasus Tjipto dan Soewardi
ini sudah dibicarakan dalam Dewan Hindia yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal
(De Preanger-bode, 05-08-1913). Dalam perkembangan terbaru Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta EFE Douwes Dekker akan diambil
langkah-langkah oleh pemerintah lebih lanjut untuk agitasi agresif (lihat De
Preanger-bode, 05-08-1913). Juga disebutkan fakta, bagaimanapun, baik
penangkapan dan pertemuan Dewan Hindia pada awalnya tidak berhubungan. EFE
Douwes Dekker ditangkap dan di penjara di Batavia tadi malam pukul 10 malam’.
Komite Boemi Poetra ini
pada masa ini disebut sebagai Indische Partij (Partai Hindia). Indische Partij
didirikan pada tanggal 25 Desember 1912. Para pendiri adalah EFE Douwes Dekker,
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Raden Mas Soewardi. Indische Partij ini merupakan
partai orang Indonesia dan Indo (orang Eropa/Belanda lahir di Indonesia). Dewan
pusat yang didirikan di Bandoeng mengajukan statuta kepada pemerintah pada
tanggal 4 Maret 1918 tetapi kemudian ditolak dan disampaikan kepada pengurus
pada tanggal 13 Maret 1913 (lihat De Preanger-bode, 20-08-1913).
Dalam perkembangannya muncul Komite Boemi Poetra. Komite ini akan melakukan peringan pembebasan Belanda seabad yang lalu. Dalam hubugan ini muncul pamflet yang dibuat RM Soewardi yang didalamnya berbagai isu yang terkait dengan latar belakang perjuangan untuk pembebasan dan pembentukan parlemen. Sebagaimana diketahui seabad yang lalu tahun 1812 Inggris mengambil alih Jawa dan mengembalikannya kembali pada tahun 1816.
Sementara itu, Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia mulai aktif dalam pertemuan-pertemuan yang
diselenggarakan oleh Indisch Vereeniging. Sebagaimana Raden Mas Soewardi, Todoeng
Harahap lebih sering namanya ditulis sebagai Soetan Goenoeng Moelia tidak
sendiri mahasiswa asal Padang Sidempoean di Belanda. Paling tidak sudah ada dua
mahasiswa yang cukup dikenal yakni Rodjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
(tiba di Belanda tahun 1905) dan Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja
Soeangkoepon (tiba di Belanda tahun 1910).
Indisch Vereniging (Perhimpunan
Hindia) digagas oleh Soetan Casajangan pada tahun 1908. Ide ini muncul karena
dalam perkembangannya organisasi mahasiswa Boedi Oetomo yang didirikan Soetomo
dan kawan-kawan di Batavia pada bulan Mei telah terkooptasi oleh golongan orang
tua menjelang kongres Boedi Oetomo yang akan didakan di Jogjakarta pada tanggal
3 sampai 5 Oktober. Pengkooptasian Boedi Oetomo ini dipandang menimbulkan
masalah karena visi misi Boedi Oetomo dikerdikan hanya terbatas untuk (penduduk)
Jawa dan Madura. Soetan Casajangan bereaksi dan mengundang seluruh mahasiswa
Hindia di Belanda ke rumahnya untuk memikirkan bangsa dan membentuk organisasi.
Pada tanggal 25 Oktober 1908 di rumah Soetan Casajangan disepakati pembentukan
organisasi nasional Hindia yang disebut Indisch Vereeniging yang mana secara
aklamasi Soetan Casajangan didaulat sebagai Presiden. Proklamasi pendirian
Indisch Vereeniging yang berhaluan nasional ini dengan sendirinya mengcounter
perubahan misi Boedi Oetomo menjadi bersifat kedaerahan. Dalam statuta Boedi
Oetomo pasca kongres di Jogjakarta hanya disebutkan (pulau) Jawa dan (pulau) Madura.
Soetan Casajangan sendiri adalah seorang guru di Padang Sidempeoan yang setelah
13 tahun mengajar pada tahun 1905 melanjutkan studi untuk memperoleh akta sarjana
pendidikan. Soetan Casajangan adalah alumni sekolah guru (kweekschool) di
Padang Sidempoean. Salah satu adik kelas Soetan Casajangan di Kweekschool
Padang Sidempoean adalah Mangaradja Hamonangan, ayah dari Soetan Goenoeng Moelia
sendiri. Karena faktor Soetan Casajangan diduga Mangaradja Hamonangan mengirim
Soetan Goenoeng Moelia studi lebih lanjut ke Belanda.
Meski mayoritas anggota
Indisch Vereeniging adalah mahasiswa asal Jawa, tetapi misinya yang berhaluan
nasional secara tidak langsung telah berseberangan dengan Boedi Oetomo (yang
tiba-tiba berubah haluan nasional menjadi kedaerahan). Boedi Oetomo telah
didominasi oleh para orangtua, dan para pendiri yang terdiri dari
mahasiswa-mahasiswa Docter Djawa School (berganti nama menjadi STOVIA) terkesan
tersingkir dan disingkirkan. Soetomo dan kawan-kawan yang masih muda-muda secara
perlahan-lahan ‘keluar’ dari Boedi Oetomo atau paling tidak mereka tidak aktif
di pengurusan yang kantor pusatnya sebelumnya di Batavia telah dipindahkan ke
Jogjakarta (pasca komgres Oktober 1908). Soetomo dan kawan-kawan tampaknya
tetap menjaga hubungan baik dengan Indisch Vereeniging di Belanda.
Raden Mas Soewardi alias Soewardi Soerjaningrat
setelah gagal di STOVIA (Docter Djawa School) di Batavia pindah ke Bandoeng
untuk sekolah di OSVIA. Dalam fase sekolah di Bandoeng inilah diduga Raden Mas
Soewardi berinteraksi dengan seniornya Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang telah
muak dengan ketidakadilan Belanda. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dengan
kawan-kawan di Bandoeng mulai menyusun konsep negara Hindia (yang dipisahkan dari
Belanda). Pemikiran Bandoeng ini sejalan dengan Indisch Vereeniging di Belanda
yang menentang misi Boedi Oetomo. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan di
Bandoeng bahkan lebih ekstrim dari Indisch Vereeniging sendiri.
Untuk sekadar diketahui,
sebelum (organisasi kebangsaan) Boedi Oetomo didirikan sudah ada organisasi
kebangsaan yang pertama, didirikan di Padang tahun 1900 dengan nama Medan
Perdamaian. Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang ini yang
beranggota multi etnik memiliki haluan nasional. Dalam kongres Boedi Oetomo
pada bulan Oktober 1908 nama organisasi kebangsaan Medan Perdamaian disebut dan
konsep organisasi Boedi Oetomo disebut mengikuti (copy paste) konsep Medan
Perdamaian yakni telah memiliki organ untuk menyampaikan program-program
organisasi. Boedi Oetomo tidak mengikuti pola Sarikat Dagang Islam (SDI) yang bersifat
golongan yang didirikan tahun 1905 (pada tahun 1906 berubah nama dann meluas menjadi
Sarikat Islam) dan memilih pola yang diterapkan oleh Medan Perdamaian di Padang
yang beragam etnik. Boedi Oetomo bersifat multi etnik tetapi bukan bersifat
nasional dan hanya terbatas di Jawa dan Madoera (Jawa, Soenda dan Madoera). Medan
Perdamaian menjadikan surat kabar Pertja Barat sebagai organnya dengan motto ‘Oentoek
Sagala Bangsa’. Pemilik surat kabar Pertja Barat ini adalah seorang pensiunan guru
yang sejak 1895 mendirikan sekolah swasta di Padang. Penggagas organisasi
kebangsaan Medan Perdamaian ini digagas oleh Dja Endar Moeda yang juga
sekaligus direktur pertama sejak awal pendirian. Saleh Harahap gelar Dja Endar
Moeda adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean, kakak kelas Soetan
Casajangan dan Mangaradja Hamonangan (ayah Soetan Goenoeng Moelia).
Indisch Vereeniging di
Belanda memiliki posisi ideal dalam perjuangan nasional oleh para pemuda. Dalam
kasus pamflet, Indisch Partij menjadi ekstrim dari satu sisi dan sebaliknya
Boedi Oetomo menjadi ekstrim yang lain. Indisch Partij mengusung multi ras,
termasuk Indo (orang Belanda yang lahir di Hindia). Sementara Boedi Oetomo
meski hanya membatasi untuk pribumi tetapi perjuangannya hanya terbatas di Jawa
dan Madura saja (kedaerahan). Sedangkan Indisch Vereeniging mengusung misi
nasional dengan platform multi etnik (tidak termasuk ras yang lain apakah Eropa
atau timur asing lainnya)anpa).
Ada perbedaan metode yang diterapkan
Indisch Vereeniging dengan Indisch Partij. Dalam kasus pamflet, Indisch Partji
melakukan pendekatan radikal, sementara Indisch Vereeniging lebih persuasif dan
dilakukan secara gradual. Dapat dibandingkan antara isi pamflet yang ditulis
oleh RM Soewardi yang menyebabkan terjadinya penangkapan dengan cara yang lebih
santun yang disampiakan oleh Soetan Casajangan belum lama ini di Belanda dimana
Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi
para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk
berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada bulan
Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan
makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan
pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear
Ladies and Gentlemen).
..saya selalu berpikir tentang
pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwi tidak pernah
luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung
mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir
dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku
untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah.
Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang
lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada
konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan
dalam pendidikan pribumi).
Lantas bagaimana dengan Indisch
Partij itu sendiri? Banyak pertanyaan yang muncul. Indische Partij paling tidak
dihubungan dengan tiga tokoh utama: Dr, Tipto Mangoenkoesoemo; EFE Douewes
Dekker dan RM Soewardi Soejaningrat. Dr. Tjipto tidak pernah terhubung dengan
Boedi Oetomo maupun SI. Dr. Tjipto mengusung visi nasional secara keseluruhan.
Sebaliknya RM Soewardi terhubung dangan Boedi Oetomo dan SI. Sedangkan EFE
Douwes Dekker, seperti halnya Dr. Tjipto tidak terhubung dengan Boedi Oetomo
dan SI, tetapi EFE Douwes Dekker terhubung dengan Indische Bond yang didirikan
tahun 1898 oleh Zaalberg (editor Bataviaasch nieuwsblad), suatu perhimpunan
orang-orang Indo di Hindia. Indische Partij dalam hal ini bentuk lain gabungan
Indische Bond dan Indische Vereeniging atau boleh juga dikatakan Insulinde format
baru.
Bagaimana latar belakang
EFE Douwes Dekker sudah cukup jelas. Akan tetapi agak sulit melihat latar
belakang Dr. Tjipto. Sementara RM
Soewardi setelah pamflet dan peringatan pembebasan Belanda satu abad mulai
dihubung-hubungkan pers Belanda dengan Jogjakarta. Ini bermula ketika RM
Soewardi ditangkap dan diadili di Bandoeng, RM Soewardi mengintimidasi petugas
dengan mengaku dirinya sebagai pangeran dari Jogjakarta. Atas hal ini pers
Belanda melakukan pengusutan ke Jogjakarta. Hasilnya adalah sebagai berikut (lihat
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-08-1913). Pertama, RM
Soewardi hanyalah pseudo pangeran, salah satu bangsawan Pakoe Alaman yang lebih
rendah. Kedua, isi pamflet yang ditulis RM Soewardi tepat pada satu abad
setelah pembentukan Pakoe Alaman di Djokja oleh Luitenant Gubernur Inggris
Thomas Stamford Raffles, yang adalah Pangeran Noto Koesoemo dari Hamengkoeboewono
kepada pangeran independen yang menjadi Pakoe Alam I. dengan instruksi untuk mengawasi saudara lelakinya
yang galak dan tidak dapat diandalkan, Sultan Hamengkoeboewono II (Sultan Sepuh).
Seperti yang diharapkan oleh pers Belanda, RM Soewardi, yang menyebut dirinya
seorang pangeran di Bandung, tidak akan memiliki banyak perhatian di Djokjakarta.
Dengan membawanya ke hadapan hakim di Bandoeng akan lebih mudah jika
dibandingkan kasusnya terjadi di Djokjakarta.
RM Soewardi Soerjaningrat dalam dilema. Hal ini diperburuk oleh statement dari
dewan pusat SI yang terkesan cuci tangan dan sebaliknya mengatakan bahwa dengan
pamflet yang nota bene berasal dari RM Soewardi membuat SI terkena imbasnya.
Pihak SI menganggap isi brosur (pamflet) tidak cocok untuk disebarluaskan (patoet) oleh
anggota SI dan oleh Oetoesau Hindia, organ SI. Adapun RM Soewardi yang
mengundurkan diri sebagai Presiden SI di Bandoeng sebelum intervensi komite
adalah bukti bahwa ia RM Soewardi bertindak untuk dirinya sendiri dan sama
sekali tidak atas nama SI. Ia juga membuktikan bahwa SI tidak ada hubungannya
dengan kerumitan tersebut dan tindakan Komite atau RM Soewardi (lihat De Preanger-bode, 09-08-1913).
Khusus untuk kasus
Komite Boemi Poetra terkesan urutan berpikirnya sebagai berikut: EFE Douwes Dekker
mempengaruhi Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Lalu dalam operasionalnya Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo mendelegasikan kepada RM Soewardi. Pamflet yang disusun RM
Soewardi telah menghubungkannya sendiri dengan riwayat masa lalu keluarganya
seabad yang lampau pada saat mana tiga tahun pembebasan Belanda di Jogjakarta.
Saat yang bersamaan SI sendiri memiliki visi misi dengan program sendiri. RM
Soewardi dalam hubungannya dengan SI bukan murni untuk memperkuat SI tetapi
justru sebaliknya untuk memanfaatkan SI dalam pembentukan Komite Boemi Poetra.
Last but not least. Jika Dr. Tjipto
tidak terhubung dengan Boedi Oetomo dan SI lantas dengan siapa terhubung. Pada
tahun 1912 Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo telah menulis surat terbuka kepada
Indisch Vereeniging di Belanda (lihat De Preanger-bode, 14-08-1913). Melalui
ketuanya RM Noto Soeroto mengumumkan surat terbuka ini dengan menulis tentang
hal itu di Nieuwe Courant yang berjudul De Indische Party. Atas saran Mr. C.
Th. van Deventer dua tulisan itu disatukan menjadi brosur dengan judul De
Indische Party en de ‘Open brief aan de Landgenooten’ van dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo door RM Noto Soeroto yang diterbitkan oleh Beek'e boekhandel,
Gravenhage 1913. Sejauh ini surat Dr. Tjipto masih bersesuaian dengan visi misi
Indische Vereeniging. Pembuatan brosur oleh Indisch Vereeniging berdasarkan
surat Dr. Tjipto dan tanggapan RM Noto Soerono eskalasinya sedikit meningkat
jika dibandingkan dengan isi pidato yang disampaikan oleh Soetan Casajangan dua
tahun sebelumnya. Isi pamlet yang dikeluarkan oleh Komite Boemi Poetra jauh
melompat dari gradualisasi perjuangan Indische Vereeniging.
Lantas bagaimana dengan
hasilnya jika Komite Boemi Poetra ini berhasil, EFE Douwes Dekker akan menarik
manfaatnya. EFE Douwes Dekker jelas memiliki cita-cita mulia diantara ras Eropa
yang ada di Hindia. EFE Douwes Dekker bukan ingin memisahkan orang-orang
Belanda di Belanda dengan orang-orang Belanda di Hindia, tetapi ingin
memisahkan Pemerintah (Kerajaan) Belanda dengan Pemerintah Hindia. Tidak ada
lagi Pemerintah Hindia Belanda, yang ada Pemerintah Hindia. Dalam hubungan ini,
Pemerintah Hindia harus memiliki parlemen sendiri. Negara Hindia, apakah orang pribumi
atau apakah orang Eropa/Belanda bebas menentukan nasib sendiri. Itulah yang
dicita-citakan EFE Douwes Dekker.
Cita-cita EFE Douwes Dekker sesungguhnya
garis continuum cita-cita Edward Douwes Dekker. Pada tahun 1842 Edward Douwes
Dekker mengadvokasi penduduk Mandailing dan Angkola untuk melawan
Koffiestelsel. Akibatnya peristiwa ini, sebagian penduduk Mandailing dan
Angkola eksodus ke Semenanjung (wilayah Inggris), sementara Edward Douwes
Dekker dicopot dari jabatannnya sebagai Controleur di Natal. Tidak sampai
disitu saja, Edward Douwes Dekker dilakukan tahanan kota di Padang dan tidak
diperbolehkan bertemu keluarganya di Batavia. Pengalaman di Mandailing dan
Angkola inilah yang menjadi pemicu gerakan kemanusiaan Edward Douwes Dekker di
berbagai tempat di Hindia. Edward Douwes Dekker yang menyebut dirinya Multatuli
pengalaman hidup yang dilihatnya dikristalisasi menjadi roman yang berjudul Max
Havelaar.
Revolusi Dr. Tjipto dan
RM Soewardi dalam Indische Partij terkesan sangat tergesa-gesa dan kurang
tertata dengan baik. Propaganda yang vulgar pada saat Indisch Partij belum
begitu kuat di dalam pamflet yang disusun RM Soewardi telah menjeratnya sendiri
dan juga dengan dua rekannya Dr. Tjipto dan EFE Douwes Dekker. Pembentukan
Indische Partij dan pembentukan SI cabang Bandoeng dan lalu cepat
meninggalkannya juga telah membuat situasi dan kondisi menjadi kempleks. Kini,
yang tersisa hanyalah menunggu proses persidangan.
Arnhemsche courant, 19-08-1913 |
Setelah melalui sidang di Batavia,
akhirnya tiga tokoh tersebut diputuskan untuk diasingkan ke tempat yang
berbeda. EFE Douwes Dekker ke Koepang,
Dr. Tjipto ke Banda dan RM Soewardi ke Bangka (lihat Arnhemsche courant,
19-08-1913).
Dalam sidang yang dilakukan Dr.
Tjipto dan RM Soewardi diberi kesempatan pembelaan yan dilakukan pada tanggal
11 Agustus 1913 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-08-1913).
Sebelum diberangkatkan ke pengasingan mereka diberi kesempatan selama 30 hari
untuk menyelesaikan sesuatu dengan tetap di bawah pengawasan polisi (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1913). EFE Douwes Dekket ke Bandoeng. RM Soewardi
ke Solo (lihat De Preanger-bode, 26-08-1913).
Lantas apakah misi
nasional berhenti. Perjuangan kebangsaan nasional tidak akan pernah mati meski
para pengurus Indisch Partij diasingkan. Masih ada Indische Vereeniging dan
tentu saja masih ada orang-orang yang memiliki kecenderungan tinggi untuk misi
nasional, tidak hanya di Batavia juga di Sumatra. Rumor Tjipto, Dekker dan
Soewardi diasingkan ke Eropa.
Selama persiapan
pengasingan untuk tiga tokoh revolusioner tersebut muncul rumor bahwa Tjipto
diasingkan tidak ke Banda tetapi ke Eropa (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 21-08-1913). Untuk EFE Douwes Dekker jika dipindahkan ke Eropa
memiliki problem tersendiri, sementara RM Soewardi sulit ke Eropa karena
memiliki problem sendiri. Dalam perkembangan terbaru dilaporkan dari
Bandoeng bahwa jika Tjipto ke Belanda akan
menggunakan kesempatan ini untuk melanjutkan studi yang disebut dalam ilmu
kedokteran di Eropa. Apa yang ingin dilakukan Soewaidi belum dapat dikatakan
dengan pasti; Namun, kami menganggap sangat tidak mungkin bahwa Soewardi, yang
saat ini tinggal bersama ayahnya di Djokja, tidak akan menggunakan instruksi
yang diberikan kepadanya untuk meninggalkan Hindia (lihat De Sumatra post, 03-09-1913).
Rumor itu telah menjadi
terang. De Preanger-bode, 05-09-1913 melaporkan bahwa besok Tjipto dan Soewardi
berangkat dari Bandoeng di bawah pengawasan polisi menuju Batavia kemudian ke
Singapoera dan akan bergabung dengan EFE Douwes Dekker. Berita ini diperkuat
oleh coresponden surat kabar Belanda di Batavia bahwa hari ini (Sabtu) Douwes
Dekker, Tjipto dan Soewardi telah berangkat ke Eropa dengan kapal laut Jerman (lihat
Algemeen Handelsblad, 07-09-1913).
Bredasche courant, 03-10-1913 |
Tiga revolusioner ini
telah tiba di Belanda (lihat Bredasche courant, 03-10-1913). Disebutkan Para
interniran di Den Haag. Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi tiba di Den Haag
kemarin, ditemani oleh istri mereka dengan kereta api. Di stasion mereka
diterima oleh sekitar 30 anggota partai dengan musik yang dibawakan SP-marsch.
Tidak diketahui mereka naik kereta api darimana apakah dari pelabuhan Belanda
atau pelabuhan di selatan Prancis.
Saat kedatangan tiga revolusioner ini
di Den Haag tidak sendiri, mereka disambut oleh 30 orang dengan iringan musik.
Mereka ini diduga adalah mahasiswa-mahasiswa pribumi yang kuliah di Belanda.
Boleh jadi penyambutan ini diorganisir oleh Indisch Vereeniging yang kini diketuai
oleh Noto Soeroto. Pada saat pendirian Indische Vereeniging pada tahun 1908
jumlah anggota sebanyak 20 orang. Setelah lima tahun berdirinya Indisch
Vereeniging sudah barang tentu jumlah anggota mahasiswa telah bertambah (meski
ada yang pulang setelah selesai studi).
Soetan Casajangan
Soripada Harahap, pendiri Indische Vereeniging diketahui telah kembali ke tanah
air pada bulan Juli 1913 dan kemudian ditempatkan sebentar sambil menungggu
penempatan di sekolah Eropa di Buitenzorg dan kemudian berangkat ke Kweekschool
Fort de Kock. Sebagaimana diketahui Soetan Casajangan pernah berpidato di
hadapan ahli Belanda di Leiden tahun 1911 yang memperjuangkan pendidikan untuk
boemi poetra. Soetan Casajangan menunjukkan perasaannya bahwa di dalam hatinya
ada perbedaan antara ‘coklat’ dan ‘putih’.
Buku Soetan Casajangan, 1913 |
Tidak lama setelah Soetan Casajangan di Fort de Kock, dua guru muda pada bulan Oktober 1913 berangkat studi ke Belanda. Dua guru muda itu adalah Dahlan Abdullah dan Tan Malaka. Lalu pada bulan Desember dari Buitenzorg, asisten dosen di Veeartsen School Buitenzorg berangkat studi ke Belanda. Asisten dosen tersebut yang juga merupakan dokter hewan pribumi pertama yang melanjutkan studi kedokteran ke Belanda adalah Sorip Tagor Harahap (kelak dikenal sebagai ompung/kakek dari Inez Tagor, Risty Tagor dan Deisti Tagor, istri Setya Novanto). Seperti halnya Soetan Goenoeng Moelia, Sorip Tagor juga adalah kelahiran Padang Sidempoean.
Seorang koresponden
surat kabar berhasil melakukan wawancara dengan EFE Douwes Dekker. Wawancara
ini merupakan opini pertama dari EFE Douwes Dekker setelah artikelnya di
suratkabar Ekspres yang dipimpinnya sebelum ditangkap. Di dalam persidangan EFE
tidak membuat opini tetapi hanya sekadar menjawab pertanyaan jaksa. Hasil
wawancara ini dimuat pada surat kabar Nieuwsblad van het Noorden, 06-10-1913.
Wawancara dengan Douwes Dekker. Amserdam,
6 Oktober. Editor Den Haag Persbureau Vas Dias di Amsterdam telah mengadakan
pertemuan dengan pemimpin Indische Partij yang baru saja tiba di negara ini. Tuan
Douwes Dekker ditemani Tjipto dan Raden Mas Soewardi, tiga pemimpin Indische
Partij yang diasingkan. Douwes Dekker menjawab pertanyaan tentang apa yang
membawanya ke Belanda, yaitu niat untuk meneruskan proaganda di Belanda dengan
penuh semangat. Kami akan, menurut Tuan DD mengguncang opini publik dan
menunjukkan ilegalitas pengasingan kami. Kami sudah diundang untuk keperluan
ini oleh SDAP cabang Amsterdam [SADP adalah partai buruh sosial demokrat di
Belanda, Sociaal Democratische Arbeiders
Partij] untuk menjelaskan kasus kami dalam pertemuan publik. Selain itu, dalam beberapa hari sebuah surat kabar
mingguan De Indiers yang akan dieditori oleh Tjipto akan diterbitkan, dimana
prinsip-prinsip kami akan dipertahankan. Kita! selanjutnya, Mr. DD melanjutkan,
dalam pengertian keadilan rakyat Belanda dan perwakilan dari partai-partai
paling progresif di Tweede Kamer untuk berharap bahwa penghentian akan
dilakukan atas kesewenang-wenangan dan ketidakadilan dimana kami menjadi
korban. Kami hancur secara finansial dan sosial oleh pembuangan ini. Dan
mengapa brosur yang banyak dibahas yang ditulis oleh Soewardi ‘Als ik
Nederlander was’ yang tidak mengandung hukuman dan bahkan lebih moderat daripada
artikel yang ditulis oleh Het Volks tentang kemerdekaan. Mengenai pentingnya
hasil pemilu untuk Hindia, DD berkomentar sebagai berikut: Meskipun kita tahu
posisi Menteri Koloni yang baru, kita tahu bahwa itu sekarang akan menjadi
masalah stimulasi penduduk pribumi yang tidak perlu, hari demi hari, dari
perasaan religius penduduk pribumi itu. Memang benar bahwa tindakan yang tidak
taktis dan provokatif itu telah membawa puluhan ribu anggota ke Sarikat Islam.
Islam telah menjadi pengikat agama yang menyatukan penduduk pribumi. Menurutmu,
tindakan Indisch Partij sudah membuahkan hasil?. Ini umumnya diakui di Hindia.
Ada hasil yang terlihat dan tidak terlihat untuk ditunjukkan. peraturan
pemerintah yang telah diumumkan bahwa mulai sekarang dengan upah yang setara
untuk hubungan dan keterampilan yang sama akan diberikan kepada orang Eropa dan
pribumi. Itu adalah salah satu poin utama dari program kami. Dalam pelayanan,
bahkan di ketentaraan penduduk pribumi menjadi kurang diakomodir padahal mereka
adalah penduduk asli. Ini akan berakhir sekarang. [Surat kabar] Lokomotif
menyebutnya revolusioner yang tepat. Saya juga merujuk pada surat edaran 2014.
Ini termasuk ancaman hukuman berat (bahkan pemecatan; perintah penduduk pribumi
untuk diperlakukan sama dengan Eropa). Ini memang pengakuan tulus dari
pemerintah Hindia Belanda bahwa sampai sekarang ada perbedaan Dalam surat
edaran ini seseorang dapat benar-benar mengidentifikasi bagian-bagian yang
dapat disaksikan diambil dari artikel utama Express. Perlakuan yang sama putih
dan coklat juga salah satu dari klaim kami. Surat edaran ini diterbitkan ketika
kami berangkat ke Belanda sebagai orang buangan. Saya masih dapat menunjukkan
kepada Anda keputusan Departemen Kehakiman untuk memperkenalkan status sipil
sesegera mungkin. Kami juga telah bekerja keras untuk mencapai hal ini. Dengan
puas, kami telah mencatat pidato dari GG pada tanggal 31 Agustus diucapkan. Di
dalamnya diumumkan pengambilan tindakan, perkenalan yang kami perjuangkan dan
perjuangan untuk yang menganiaya kami. Saya menunjuk pada hukum kasus. Ada hak untuk
orang ‘kulit putih’ dan untuk penduduk pribumi. GG telah mengumumkan penyatuan
hukum. Dia juga berbicara tentang organisasi - pikiran Anda, bukan reorganisasi
- tentang Onderwijs. Padahal belum ada organisasi pendidikan di Hindia. Juga pidato
dari Perguruan Tinggi juga disebutkan. Ini adalah hasil nyata dari tindakan
kita. Hasil yang tidak terlihat adalah tumbuhnya kesadaran diri, harga diri,
tumbuhnya rasa persatuan, cinta untuk dan pengetahuan negara sendiri’.
.
.
Opini EFE Douwes Dekker
ini sesuai dengan yang pernah diutarakan Soetan Casajangan pada presentasinya
di hadapan para hali Belanda bulan Oktober 1911. Berikut disajikan kembali petikan
isi presentasi Soetan Casajangan tersebut: ‘..Saya selalu berpikir tentang
pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwi tidak pernah
luntur...dalam memenuhi permintaan presentasi ini saya sangat senang untuk
langsung mengemukakan yang seharusnya..Saya ingin bertanya kepada tuan-tuan
(yang hadir dalam forum ini) ‘Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga
berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami
yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan
pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...Sesungguhnya dalam
berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya
(melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).
Bagaimana Soetan Casajangan
berbicara seperti itu, sejatinya sudah muncul sejak lama bahkan sebelum Soetan
Casajangan menggagas didirikannnya Indische Vereeniging di Belanda. Surat kabar
Telegraaf tahun 1907 mewawancarai Soetan Casajangan di Amsterdam. Berikut
petikannya yang dilansir surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907: 'Mmengapa Anda mengambil risiko jauh studi kesini meninggalkan kesenangan di kampungmu
sebagai calon koeria, yang seharusnya Anda sudah pension jadi guru dan anda
juga harus pula rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu? Anda tahu
untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi,
kami diajarkan dengan baik oleh guru Ophuijsen (gurunya di Kweekschool Padang
Sidempoen), tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada
semua sendi kehidupan (akibat penjajahan). Saya punya rencana pembangunan dan
pengembangan lebih lanjut dari penduduk pribumi di Nederlandsch Indie (Hindia
Belanda). Saya mengajak anak-anak muda untuk datang kesini (Belanda) agar bisa
belajar banyak. Di kampong saya kehidupan pemuda statis, baik laki-laki dan
perempuan dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki) dan menumbuk
padi (perempuan). Mereka menghibur diri dengan menari (tortor) yang diringi
dengan musik, simbal, klarinet, gitar dan ensambel gong (dansten zij op de
muziek van bekkens, klarinet, guitaar en gebarsten gong). Anda tahu dalam filosofi
Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami
harus tekun belajar agar tetap intelek’.
Pengasingan tiga rovulusioner
menjadi pembahasan semua surat kabar yang terbit di Belanda. Sebelumnya semua surat
kabar Belanda di Hindia memonjokkan tokoh-tokoh Indische Partij dan Komite
Boemi Poetra, bahkan surat kabar Locomotief yang terbit di Semarang yang
investasinya sebagian besar dimiliki van Deventer ikut menyalahkan tokoh-tokoh
tersebut. Di Belanda sudah ada surat kabar yang mulai sedikit membela. Surat
kabar ini diduga surat kabar yang berhaluan sosialis yang menjadi organ ASDP yakni
De tribune: soc. dem. weekblad. Ulasan-ulasannya cukup untuk pembelaan Indische
Partij. Salah satu yang penting yang mereka soroti adalah soal perayaan
pembebasan Belanda yang didukung oleh Gubernur Jenderal Idenburg. RM Soewardi
dalam pamfletnya menganggap itu sebagai penghinaan karena perayaan pembebasan 100
tahun lalu dilakukan dengan partisipasi penduduk pribumi saat mana Indische
Partij ingin membebaskan Belanda dari Hindia dan membentuk parlemen. Pamflet yang
telah menyebar ini ini menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah sehingga
solusinya dilakukan tindakan represif dengan penangkapan.
Hal yang mirip dengan kasus yang
diangkat RM Soewardi ini pernah terjadi pada tahun 1899 dalam kasus Transvaal.
Dja Endar Moeda editor Pertja Barat di Padang mempersoalkan pengumpulan dana di
seluruh Hindia Belanda yang dimaksudkan untuk membantu orang-orang Belanda di
Afrika Selatan dalam melawan penduduk asli, sementara menurut Dja Endar Moeda di Hindia Belanda, pribumi dilanda kemiskinan
yang parah. Dja Endar Moeda tidak menulis di dalam surat kabarnya berbhasa
Melayu Pertja Barat tetapi justru menulis serangannya justru di surat kabar
berbahasa Belanda Sumatra courant yang terbit di Padang (lihat salah satu
tulisannya di Sumatra courant, 15-12-1899). Dja Endar Moeda adalah kakak kelas
Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda dalam hal
ini diserang oleh pers Belanda seperti yang dialami oleh Tjipto dan RM
Soewardi.
Di kalangan pribumi
muncul dari Dt. Radjiman, yang cenderung merendahkan dua revolusioner pribumi
yang sedang diasingkan di Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 25-10-1913). Disebutkan Dt. Radjiman, seorang dokter kraton
Solo dalam ceramahnya di Semarang hari ini tentang Sarikat Islam Klaim yang
dibuat oleh kedua pria ini pasti ditiup dari luar, mereka mungkin tidak
terpikir oleh mereka sendiri. Begitulah cara berpikir seorang pribumi yang maju
yang tahu tentang tuan-tuan (papegaaien). Pendapat ini boleh benar dan juga
bisa salah. Yang jelas pengasingan dua revolusioner ini telah banyak
dibicarakan di kalangan pers Belanda karena faktor Douwes Dekker.
Iklan rapat publik di Amsterdam |
Dalam pertemuan publik
yang dilakukan oleh ASDP di Amsterdam dengan menghadirkan tiga revolusioner
dari Hindia mendapat sambutan di ruangan yang penuh (acara yang dikutip harga
tiket banyak peminat yang harus ditolak). Tjipto dan Soewardi seakan tidak
berada di tempat pengasingan yang terasing tetapi di tengah yang kota yang
simpati dengan mereka. Mereka seakan tidak berjuang melawan kesepian tetapi
tetap justru berjuang seperti halnya di Bandoeng di tempat khalayak ramai di
Amsterdam. Dalam rapat publik di Amsterdam, setiap orang yang berminat hadir
ingin mendengat dua revolusioner. Tjipto dan Soewardi menjadi perwakilan Hindia,
sebagaimana sebelumnya tahun 1911 Soetan Casajangan (penasehat Indische
Vereeniging) berada di forum ahli Belanda di Leiden. Kini Soetan Casajangan tidak
lagi sendiri, sudah ada Tjipto Mengoekoesoemo, RM Noto Soeroto, RM Soewardi dan
laiinnya terutama di dalam lingkaran Indische Vereeniging.
Jika membandingkan isi
pidato Soetan Casajangan tahun 1911 dan isi bukunya (brosur) yang baru terbit
di Barn 1913, sejatinya kurang lebih sama dengan isi pamflet Soewardi dan
tulisan-tulisan Tjipto di surat kabar Express pada tahun 1913. Yang
membedakannya hanyalah cara mengemas dan menyampaikan. Soetan Casajangan dengan
bahasa yang santun dengan nada yang lem, sementara Tjipto dengan bahasa yang
keras lebih-lebih Soewardi yang cenderung kasar (paling tidak menurut pandangan
orang Belanda dan orang-orang SI). Keutamaan Tjipto dan Soewardi di mata
orang-orang Belanda bukan karena soal isi dan nada pesan tetapi lebih pada faktor
EFE Douwes Dekker yang dapat mengundang simpati dari orang-orang Belanda yang
secara langsung dapat menggugah para Indo lebih banyak dan direspon oleh orang
Belanda di Belanda yang berhaluan sosial yang pada gilirannya dapat merongrong
dan melemahkan otoritas Belanda di Hindia. Hal semacam ini telah didapatkan
oleh Soetan Casajangan dari kelompok terpelajar yang mengidentifikasi diri
sebagai para ahli dan pakar Hindia. Namun cara yang dilakukan Soetan Casajangan
tidak dianggap oleh orang Belanda berlebihan sehingga tidak ada kekhawatiran
yang mendesak. Singkat kata Soetan Casajangan dengan strategi incremental secara
gradual (evolusioner), sedangkan Tjipto dan Soewardi (yang di bawah
bayang-bayang Douewes Dekker) dengan strategi radikal dan segera (revolusioner).
Perbedaan itu juga ditemukan dalam pamflet Soewardi yang berjudul ‘Als ik een Nederlander was’ (‘Jika saya seorang
Belanda) yang merujuk kepada Douwes Dekker dan Indo lainnya; sedangkan Soetan
Casajangan dalam bukunya berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een
Inlander' (Negara Hindia dilihat oleh seorang penduduk pribumi) yang merujuk
pada dirinya yang mewakili pergerakan (mahasiswa) pribumi. Evolusioner dan
revolusioner adalah perbedaan kecepatan tetapi sama-sama menuju tujuan yang
sama. Evolusioner bisa sampai ditujuan sangat lama, tetapi revolusioner bisa
saja macet di tengah jalan (kekuatan angin yang mendorong perahu kalah dengan
gelombang ombak yang menerjang).
Tjipto Mengoekoesoemo
dan RM Soewardi di Belanda tidak hanya disambut oleh mahasiswa-mahasiswa
pribumi yang tergabung dalam Indisch Vereeniging, tetapi juga mereka berdua
telah mendapat panggung di dalam lingkaran ASDP Belanda. Namun timbul
pertanyaan? Mengapa Tjipto dan Siewardi setelah penangkapan di Bandoeng, yang
awalnya akan diasingkan ke Banda dan Bangka tiba-tiba berubah menjadi hanya
semacam pengusiran dari Hindia kemudian dilepas di luar yurisdiksi otoritas Pemerintah
Hindia Belanda yang kebetulan pilihan Tjipto dan Soewardi bersama dengan Douwes
Dekker lebih memilih ke Belanda.
Kasus pengasingan atau lebih
tepatnya pengusiran sebelumnya pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 1910 Tirto Adhi Soerjo diusir dari Batavia/West Java dalam kasus
delik pers surat kabar yang dipimpinnya Medan Priajaji ke Lampoeng. Tiga tahun
sebelumnya Dja Endar Moeda di Padang diusir dan memilih hijtah ke Medan dalam
kasus delik pers surat kabar yang dipimpinnya Pertja Barat. Baik Tirto di
Lampong maupun Dja Endar Moeda di Medan nyaman-nyaman saja. Instrumen ini boleh
dikatakan instrumen kuno yang sudah diterapkan sejak jaman tempo doeloe seperti
pengasingan Soeltan Badaroeddin dari Palembang ke Tjiandjoer, Pengeran Diponegro
ke Sulawesi dan Imam Bondjol juga ke Sulawesi. Dalam kasus yang terbaru ini Tjipto,
Soewardi dan Douwes Dekker pada dasarnya yang sejatinya diawali dalam
hubungannya dengan pers yang mana pesan-pesan surat kabar Express telah
menimbulkan keresahan. Sebagaimana diketahui surat kabar Express di Bandoeng dimiliki
dan dimpimpin EFE Douwes Dekker yang mana editornya adalah Tjipto
Mangoenkoesoemo. Dalam pembentukan Indische Partij, Douwes Dekker dan Tjipto
memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Sementara dalam kasus Komite Boemi Poetra
dihubugkan dalam perayaan pembebasan Belanda yang mana ketua Tjipto dan
Soewardi sebagai sekretaris-bendahara. Dalam hubungannya dengan pamflet yang
disalurkan lewat SI Soewardi yang membuat brosur dan Tjipto terlibat dalam
duistribusinya. Tjipto dalam kasus Indische Partij telah lebih dahulu membuat
surat terbuka kepada Indische Vereeniging. Dalam hal ini Indische Partij adalah
Indische Vereeniging dalam bentuk lain (partai politik). Penolakan pemerintah
dalam pengesahan statuta Indische Partij menjadi pemicu bagi Tjipto dan
perayaan pemerintah tentang pembebasan Belanda satu abad menjadi pemicu bagi
Soewardi karena pembebasan itu menjadi bagian sejarah kadipaten di Jogjakarta
yang diberikan Inggris tetapi kemudian dirampas oleh kembalinya Belanda
berkuasa. Soewardi adalah pengeran dari kadipaten Pakoealaman.
Jawaban tersebut mulai
terungkap dari forum ASDP yang diselenggarakan di Amsterdam. Dari forum ini
terungkap bahwa ada perbedaan penafsiran antara orang-orang Belanda di Hindia
tentang misi Tjipto, Soewardi dan Douwes Dekker di dalam Indische Partij dan
pembentukan Komite Boemi Poetra dengan yang sebenarnya. Tjipto dan Soewardi telah
mengklarifikasi di dalam forum.Orang-orang Belanda di Hindia telah memberikan
penilaian yang buruk terhadap kampanye Tjipto dan Soewardi karena diliputi rasa
ketakutan yang berlebihan lebih-lebih karena melibatkan orang-orang Indo di
Hindia yang diwakili oleh EFE Douwes Dekker. Namun nasi telah menjadi bubur,
penangkapan dan penahanan telah dilakukan. Kasusnya mereka tentang pamflet
telah sampai ke meja Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal melakukan rapat
dengan Dewan Hindia. Dalam fase inilah diketahui bahwa kasusnya tidak seseram
yang digambarkan pada tingkat daerah dalam hal ini ketika masih ditangani pemerintah
kota bandoeng dan oleh Residen di Batavia. Dalam rapat GG dan Dewan Hindia
inilah diduga, dengan mempertmbagkan banyak sisi, diduga telah mengubah
pengasingan tidak lagi ke Banda, Bangka dan Koepang dan dialihkan dengan
mengusir mereka bertiga ke Eropa yang dalam hal ini ke Belanda.
Oleh karenanya sebab
akibat terjadinya kasus Bandoeng (pamflet dan tempat pengasingan) tidak lagi
dalam garis lurus. Ada pembelokan-pembelokan yang dilakukan secara tiba-tiba.
Kasus pamflet telah didramatisir orang-orang Belanda dan pengasingan yang
diputuskan oleh GG dan Dewan Hindia telah diperlunak dari pengasingan ke Banda,
Bangka dan Koepang menjadi pengusiran ke Eropa/Belanda. Oleh karenanya dalam
kasus yang heboh di Hindia tersebut bagi Tjipto dan Soewardi bukan pengasingan,
bahkan bukan pengusiran tetapi hanya sekadar memisahkan Tjipto dan Soewardi
dari para anggotanya di Indische Partij. Sedangkan Douwes Dekker tidak hanya
memisahkan dengan anggota Indische Partij tetapi juga telah kehilangan
sumberdaya yang besar (kehilangan bisnis di Bandoeng dan biaya-biaya yang harus
ditanggungnya di Belanda). Kasus yang terus mengelinding kemana-amana, mereka
bertiga menjadi tidak terpisahkan satu sama lain yang disebut tiga serangkai.
Khusus untuk Douwes Dekker, tidak
ada pengadilan dilakukan kepadanya, tetapi langsung ditangkap dan kemudian
diputuskan diasingkan. Ini mengindikasikan bahwa Douwes Dekker telah lama
diincar karena selama ini sepak terjangnya (sejak Indische Bond) dianggap dapat
mengganggu perdamaian di Hindia. Sebaliknya, bagi Pemerintah Hindia Belanda (GG
dan Dewan Hindia) dengan solusi pemisahan ini (bukan pengasingan) menjadi
terkesan dibuat lebih lunak sehingga tidak memicu munculnya penuntutan dari orang
Belanda terutama yang Indo. Orang Belanda yang mayoritas kaum borjuis cenderung
ingin dalam pelestarian praktek koloni daripada untuk mentolerir beberapa ‘anak-anak
nakal’ yang membahayakan keuntungan mereka. Mereka inilah yang mendiskreditkan
Indische Partij dan pobia tehadap Komiter Boemi Poetra. Anak-anak nakal itu
Tjipto dan Soewardi telah dipandang korban merger dari Indo yang dipimpin
Douwes Dekker di dalam bingkai Indische Partij.
Tiga serangkai tidak
hanya disambut oleh Indische Vereeniging dan difasilitasi oelh ASDP, kini tiga
serangkai juga telah mendapat bangku ketika menghadiri perdebatan di Tweede
Kamer dalam soal Hindia termasuk yang dibicarakan Indische Partij (lihat Het
nieuws van den dag : kleine courant, 11-11-1913). Kita telah lupa bahwa tiga
serangkai dalam pengasingan tetapi faktanya tiga serangkai ini mendapatkan
tempat dan panggung yang sesuai di Belanda. Apakah pengusiran tiga serangkai ke
Belanda sesuai yang diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda atau justru
sebaliknya. Situasi telah cepat berubah.
Tweede Kamer di Belanda
(baca: DPR) yang terdiri dari berbagai partai kerap membicarakan isu yang
terkait dengan Hindia Belanda. Untuk hal yang terkait di Hindia menteri yang
disorot atau yang bertanggungjawab untuk urusan di Hindia adalah Menteri
Koloni. Gubernur Jenderal (di Hindia Timur/Barat) bertanggungjawab kepada
Menteri Koloni. Dalam perdebatan di Tweede Kamer tentang Hindia isu yang
dibahas dimana Tjipto dan Soewardi hadir adalah soal Indische Partij. Dalam
perdebatan ini isunya mengarah kepada EFE Douwes Dekker. Pembentukan Indische
Partij, dalam hal ini Tjipto dan Soewardi dianggap sebagai korban. Dalam
perdebatan ini juga dibahas tentang keberadaan Sarikat Islam. Beberapa hal yang
disalahkan kepada EFE Douwes Dekker adalah pemisahan (kontras) Belanda murni dengan
Indo dan juga tentang penghapusan Afdeeling B di sekolah Willem III. Tentang
pembentukan parlemen debatable ada pihak yang pro dan ada yang kontra. EFE
Douwes Dekker dianggap sebagai Multatuli yang telah memicu kerusuhan dan
merusak perdamaian. Catatan: Edward Douwes Dekker alias Multatuli mengadvokasi
penduduk Afdeeling Mandailing dan Angkola melawan kebijkan koffiestelsel tahun
1842. Dalam kerusuhan di Mandailing dan Angkola banyak korban, sebagian
penduduk Mandailing dan Angkola eksodus ke Semenanjung. Afdeeling Mandailing
dan Angkola kini (1913) disebut Afdeeling Padang Sidempoean.
Sementara itu di tanah
air, pada tahun 1914 di Batavia Dr. Soetomo baru pulang berdinas dari Deli. Dr.
Soetomo tiba di Batavia hatinya pilu dan sedikit marah. Dr. Soetomo merasa
perlu berbicara di tengah anggota Boedi Oetomo. Satu-satunya cabang Boedi
Oetomo yang dipimpin oleh orang muda adalah Boedi Oetomo cabang Batavia yang
dipimpin oleh alumni STOVIA yakni Sardjito (kelak lebih dikenal sebagai Rektor
UGM yang pertama). Lalu Boedi Oetomo cabang Batavia mengadakan rapat umum (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 28-07-1914).
Rapat publik ini diadakan di gedung Boedi Oetomo di Gang Kwinie 3 yang mana tema
yang dibicarakan Dr. Soetomo tentang kontrak kuli di Deli.
Pada tahun 1904 di tingkat persiapan
STOVIA Raden Soetomo adalah kakak kelas satu tingkat di atas RM Soewardi. Namun
sayang RM Soewardi gagal dan tidak bisa melanjutkan studi ke tingkat medik.
Pada tahun 1908 Raden Soetomo dkk mendirikan Boedi Oetomo. Namun jelang kongres pertama di Jogjakarta Boedi
Oetomo dikooptasi oleh orang tua (senior). Golongan muda tersingkir. Lalu pada
tahun 1911 Raden Soetomo lulus STOVIA dan diangkat menjadi dokter pemerintah
ditempatkan di Semarang, Pada tahun 1912 Dr. Soetomo dipindahkan dari Semarang
ke Loeboek Pakam, Oostkust Sumatra (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 07-03-1912). Setelah dua tahun di Deli Raden Soetomo
dipindahkan lagi dari Loeboek Pakam ke Malang, Resiedentie Pasoeroean
(Bataviaasch nieuwsblad, 11-05-1914). Dalam fase perpindahan inilah Raden
Soetomo berada di Batavia.
Dalam rapat publik di
Boedi Oetomo cabang Batavia Dr. Soetomo dalam pidatonya berapi-api. Dr. Soetomo
menyatakan: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo melanjutkan, ‘Kita
tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli
asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakukan yang tidak adil dari para
planter pengusaha perkebunan asing’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang
Tapanoeli yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri
lagi’.
Pidato ini tentu dicatat
intel/polisi Belanda sebab dalam rapat umum ini turut hadir pejabat-pejabat
pemerintah. Lebih-lebih belum lama terjadi kasus Komite Boemi Poetra dengan
pamflet terkenal dari RM Soewardi yang kini diasingkan di Belanda bersama Dr.
Tjipto dan Douwes Dekker. Mengapa Dr. Soetomo bersemangat dengan nasioalis.
Sjarikat Tapanoeli di Medan, idem dito Medan Perdamian di Padang memiliki visi
nasional sebagaimana Indisch Vereeniging di Belanda. Apa yang diinginkan Dr.
Soetomo di dalam rapat umum Boedi Oetomo di Batavia adalah bahwa menangani
permasalahan kuli Jawa di Deli harus dilakukan secara nasional. Boedi Oetomo
tidak bisa berpangku tangan soal poenalie sanctie di perkebunan-perkebunan di
Deli. Catatan: Medan Perdamaian didirikan Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di
Padang 1900; Sjarikat Tapanoeli didirikan di Medan 1907 yang kini dipimpin
Hasan Nasution alias Sjech Ibrahim; Indische Vereeniging didirikan di Leiden Belanda
1908 oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan yang kini dijabat RM Noto
Soeroto. Pidato Dr. Soetomo ini telah membuka wawasan baru bagi golongan muda
Boedi Oetomo bahwa Boedi Oetomo meski dengan populasi 30 juta tidak bisa hidup
sendiri. Boedi Oetomo harus kembali ke lhittah Boedi Oetomo pada awal
pendiriannya 1908 (ketika masih dipimpin golongan muda sebelum kongres di
Jogjakarta).
Dr. Soetomo sudah lama tidak
terlibat secara langsung dengan Boedi Oetomo. Setelah pulang dari Deli dan
setelah berpidato di rapat publik di Batavia, Dr. Soetomo diketahui kembali
aktif di Boedi Oetomo. Dr. Soetomo merasa perlu aktif di organisasi untuk
memperjuangkan banyak permasalahan yang dirasakannya termasuk permasalahan
koeli asal Jawa di Deli. Seperti tampak dalam kepengurusan baru Boedi Oetomo
pada kongres di Solo, Dr. Soetomo menjadi salah satu anggota dewan pusat Boedi
Oetomo (De Preanger-bode, 08-08-1915). Disebutkan dalam rapat Boedi Oetomo
tersebut yang menjadi ketua dewan pusat Boedi Oetomo adalah RM Ario
Soeriosoeparto, seorang pangeran Solo yang telah menggantikan Dr, Wahidin yang
telah menjabat sebanyak tiga kali sejak periode pertama.
Dalam kongres Boedi Oetomo tersebut
juga hadir pemimpin Sarikat Islam yang mengungkapkan keterkejutannya, bahwa
orang muda Jawa sangat sedikit dalam kepengurusan Boedi Oetomo. Dalam dewan
Boedi Oetomo yang baru terkesan hanya Raden Soetomo yang terbilang muda. Abdoel
Moeis dari Sarikat Islam yang hadir dan berbicara dalam pertemuan Boedi Oetomo
ini mengkritik bahwa selama tujuh tahun Boedi Oetomo berdiri di tangan para
intelektual Jawa, tampaknya terus mengecualikan penduduk lain di Nederlandsch
lndie. Abdoel Moeis menggarisbawahi begitu banyak dana yang diberikan kepada
Boedi Oetomo namun aliran dana itu tidak sampai kepada para emigran yang
terdapat di Lampoeng, Midden Sumatra, Oostkust van Sumatra en Atjeh) yang sekan
bukan perhatian orang Jawa, dan hanya untuk mengingini kemajuan pulau Jawa
dengan Jawa-nya. Lebih lanjut Moeis mengharapkan bahwa manajemen pusat sekarang
yang sudah mulai diisi (kembali) oleh orang muda Jawa yang sejati dengan
ide-ide muda, pembicara (Abdoel Moeis) berpikir bahwa mereka harus
memperhatikan fakta bahwa waktunya telah tiba untuk Boedi Oetomo untuk memutus
arah konservatif. Setiap Jawa muda harus diyakinkan tentang fakta bahwa tidak
mungkin membuat kemajuan Jawa hanya dengan orang Jawa, tetapi kemajuan Hindia
melalui pergaulan boemi poetra yang juga diharapkan Boedi Oetomo juga akan
lebih mengarah pada keadilan. Suara dari luar Boedi Oetomo ini tampaknya mampu
diresapi oleh Dr. Soetomo, lebih-lebih Dt. Soetomo cukup lama berada di Deli.
Boleh jadi, setelah kehilangan rekannya RM Soewardi, Abdul Muis mendapat
bisikan dari Dr. Soetomo di dalam kongres sebelum Abdul Moeis mendapat
kesempatan berbicara.
Sejak kongres di Solo
1915, Boedi Oetomo mulai dimasuki golongan muda, golongan yang lebih terpelajar
dibanding golongan tua yang masih dominan di Boedi Oetomo. Pengalaman Dr.
Soetomo di Deli telah mengubah pandangan golongan muda tentang hakikat
pendirian Boedi Oetomo. Dalam hal ini Dr. Soetomo adalah Boedi Oetomo dan Boedi
Oetomo adalah Soetomo.
Untuk melihat kembali
latar belakang, di STOVIA hanya ada satu kegiatan (maha)siswa yang bersifat
ekstrakurilir yakni sepak bola. Pada tahun 1904 mahasiswa STOVIA membentuk klub
sepak bola yang disebut Docter Djawa Clubvotebal atau juga disebut Stovia
Clubvoetbal. Klub mahasiswa ini ikut berkompetisi ketika perserikatan sepakbola
Batavia (Bataviasche Voetbalbaond) didirikan tahun 1904. Ada dua pemain sepak
bola STOVIA yakni Abdul Rasjid Siregar dan Radjamin Nasution (lihat Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1907). Abdul Rasjid adalah pengurus
Stovia Voetbalclub. Sebagaimana diketahui Boedi Oetomo dan kawan-kawannya dari
Jawa sesama mahasiswa STOVIA tahun 1908 mendirikan Boedi Oetomo.
Pada tahun 1909 ketua
Stovia Voetbalclub adalah Radjamin Nasution yang memimpin klub ibukota bertandang
ke Medan untuk bertanding melawan klub Tapanoeli Voetbalclub (klub yang dibina
oleh Sjarikat Tapanoeli). Soetomo dan Radjamin Nasution yang satu kelas
berkawan dekat. Sementara itu, adik Abdul Rasjid yakni Abdul Firman Siregar
tidak melanjutkan studi ke STOVIA tetapi melanjutkan studi ke Belanda pada
tahun 1910. Abdul Firman gelar Mangaradja Seangkoepon di Belanda menjadi
pengurus Inidische Vereeniging. Pada tahun 1911 Todoeng Harahap gelar Sutan
Gunung Mulia tiba di Belanda juga menjadi anggota Indische Vereeniging. Abdul
Rasjid Siregar, Radjamin Nasution, Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja
Soeangkoepon dan Todoeng Harahap gelar Sutan Gunung Mulia sama-sama kelahiran
Padang Sidempoean sebagaimana Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (pendiri
Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908). Pendiri Medan Perdamaian di Padang
1900 dan pendiri Sjarikat Tapanoeli di Medan juga kelahiran Padang Sidempoean.
Abdul Firman pernah tiba-tiba
namanya menjadi terkenal di Negeri Belanda karena namanya diberitakan di
koran-koran yang terbit sekitar Maret 1912. Apa pasal? Dua imigran pelayan
kapal uapa ‘Nederlands’ dari Madura terlibat perkelahian dengan sesama imigran
dari Jawa (Oost Java), korban akhirnya meninggal dunia akibat tusukan. Di
pengadilan Amsterdam terdakwa disidangkan dan menghadirkan saksi-saksi. Aparat
pengadilan bingung, karena para imigran (terdakwa dan saksi-saksi) tidak bisa
berbahasa Belanda. Untuk mencari penerjemah sekaligus untuk pemandu sumpah
(secara Islam) ternyata tidak mudah. Dari sejumlah mahasiswa yang ada hanya
Abdul Firman yang bersedia dan sukarela (tanpa paksaan). Dari namanya memang
pantas tetapi ternyata juga Abdul Firman adalah orang yang alim. Karenanya
masyarakat Belanda menganggap Abdul Firman adalah pemimpin Islam dari para
imigran dari Hindia Belanda. Abdul Firman tidak keberatan (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 13-03-1912).
Pemuda-pemuda asal Padang Sidempoean inilah yang diduga apa yang dimaksudkan Dr. Soetomo ketika berpidato di dalam rapat publik Boedi Oetomo di Batavia pada tahun 1914: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakuan yang tidak adil dari para planter pengusaha perkebunan asing’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’.
Indische Vereeniging: Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia dan RM Soewardi Soerjaningrat
Tiga serangkai telah
terrpencar. EFE Douwes Dekker telah menetap di Geneva. Paling tidak kertangan
ini diketahui pada pertengah Juni 1914 (lihat De Maasbode, 27-06-1914). Dalam
beerita ini disebutkan bahwa Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sedang sakit dan tengah
dirawat di sebuah klinik swasta. Dr. Tjipto menederita kelumpuhan. Pada bulan
Maret 1914 Pemerintah Hindia pernah mengirimkan tawaran kepada Dr. Tjipto untuk
menandatangani perjanjian tidak membuat agitasi dan diizinkan kembali ke Hindia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-07-1914).
Hal ini karena kehaliannya (sebagai dikter) dibutuhkan di Hindia. Dalam
perkembangannya diketahui permintaan Dr. Tjipto kepada Menteri Koloni dikabulkan
tanggal 24 Juli unruk kembali ke tanah air karena alasan kesehatan (lihat Het
nieuws van den dag : kleine courant, 29-07-1914).
Dr. Tipto dalam posisi
interniran hampir setahun sejak diputuskan tanggal 18 Agustus 1913. Akhirnya
Dr. Tjipto kembali dan tiba di tanah air. Dengan kembalinya Dr. Tjipto maka
usaha untuk studi lebih lanjut di bidang kedokteran di Belanda menjadi gagal.
Saat keberangkatan ke Belanda rencana ini sangat kuat. Kini, Dr. Tjipto sudah
di Soerakarta dan ada kemungkinan Dr. Tjipto akan mengepalai salah satu rumah
sakit di kota itu (lihat De Sumatra
post, 21-12-1914).
Bagaimana dengan
Soewardi? Disebutkan bahwa Soewardi akan mengikuti studi untuk mendapatkan akte
guru. Setibanya Dr. Tjipto di tanah air, berita tentang Douwes Dekker dan
Soewardi juga muncul (De Sumatra post, 19-10-1914). Disebutkan atas permintaan
Ratu, Dekker dan Soewardi juga untuk dibebaskan sebagai interniran dan
dikembalikan ke Hindia. Beberapa bulan kemudian diberitakan RM S Soerjaningrat
lulus ujian saringan masuk untuk berpartisipasi untuk mendapatkan akte guru
hulp acte (lihat Haagsche courant, 18-06-1915). Ujian saringan itu dilakukan
Sabtu malam.
Pada tahun ini Dahlan
Abdoellah dan Samsi dinyatakan lulus ujian
akte guru (LO) di ‘sGravenhage (Bataviaasch
nieuwsblad, 27-12-1915). Disebutkan Dahlan Abdoellah lulus untuk bahasa Melayu dan etnografi dan Samsi lulus untuk bahasa Jawa.
Indische Vereeniging
adalah prominent di Belanda. Indische Vereeniging adalah organisasi intelektual
muda pribumi yang berada di Belanda yang sebagain besar sedang mengambil studi
tingkat sarjana dan tingkat doktoral. Indische Vereeniging tentusa saja sangat
terkait dengan urusan penduduk dengan ‘negara’ di Hindia. Sejak pertengahan
tahun 1914 situasi di Eropa tidak menentu karena gejolak politik antara satu
sekutu dengan sekutu yang lainnya. Gejolak itu kelak dikenal sebagai perang
dunia pertama. Tentu saja situasi ini mendapat perhatian dari orang pribumi
baik di Hindia maupun di Belanda. Mahasiswa-mahasiswa pribumi yang tergabung
dalam Indische Vereeniging dalam posisi wait en see. Dalam hubungan ini,
Menteri Pendidikan Hindia menyambangi Indische
Vereeniging.
Algemeen Handelsblad, 16-04-1916: ‘Indische
Vereeniging mengadakan pertemuan pada hari Jumat tanggal 14 di salah satu
ruangan Café Riche yang mana Mr.
Lekkerkerk, Inspektur Pendidikan Hindia Belanda yang sedang cuti memberikan
ceramah tentang subjek Hindia untuk Hindia. Pertemuan itu dihadiri banyak
anggota dan pihak luar. Lekkerkerk memulai dengan menyatakan bahwa slogan umum ‘Hindia
untuk Orang Hndia’ yang secara umum diterima oleh orang Hindia tidak lengkap. Menurut
pembicara Orang Hindia dipahami dan berarti semua orang di negara Insulirde
tanpa perbedaan dalam agama, warna kulit, jenis kelamin, dll. Selanjutnya
pembicara menjelaskan hal yang berurusan dengan berbagai masalah sosial di Hindia
dengan membandingkan Hindia dengan kondisi yang sesuai di Eropa dan di negara
muda Jepang di Asia sampai pada keyakinan bahwa seharusnya juga ada persamaan di
Hindia, dan oleh karena itu posisi yang lebih tinggi di Hindia harus
menyerahkan banyak hak istimewa dan hak istimewa mereka dan mendedikasikan
upaya terbaik mereka untuk menghapuskan kelas pekerja. Adalah konyol bahwa
orang-orang yang berpendidikan di Hindia menikmati gaji yang lebih tinggi
daripada rekan-rekan mereka di negara lain, di Eropa, di Jepang, dll.,
sementara tani (petani) yang memproduksi dan pengrajin berpenghasilan jauh
lebih sedikit daripada orang yang sesuai dari negara mana pun. Kita harus sudah
mulai mengatur banyak masalah sosial, yang diperlukan untuk keadaan yang baik.
Sehubungan dengan itu, pembicara menunjuk berbagai tugas, yang khususnya harus
dipenuhi oleh intelektual pribumi terhadap negara dan orang-orang mereka,
khususnya tugas untuk melakukan pengorbanan pribadi ketika mereka diberikan
untuk kepentingan negara. Dengan meyakinkan menunjukkan betapa sedikit yang
benar, betapa sementara sifatnya adalah popularitas dan diakhiri dengan
kebangkitan kembali tenaga kerja yang tak kenal lelah dan dedikasi tanpa pamrih
untuk melayani tanah air. Setelah pembicara (utama) beberapa dari mereka yang
hadir secara berturu-turut Baron Van Hogendorp, Soewardi, Soerjo Poetro,
Abendanon, Versteegh, De la Croix dan Loekman Djajadiningra bertukar gagasan
(tanya jawab) dengan Lekkerkerk yang mengarah pada debat yang hidup dan
instruktif, Ketua menutup pertemuan dengan ucapan terima kasih kepada pembicara
malam ini dan kepada mereka yang hadir untuk kepentingan mereka sebelum
melanjutkan ke pertemuan internal Indische Vereeniging’.
Sekarang semuanya
terbalik. Sebelumnya semua mahasiswa haru s menghadap kepada Menteri Pendidikan
Hindia Belanda jika berangkat studi ke Belanda. Sekarang Menteri yang harus
menghadap para mahasiswa di Belanda yang tergabung dalam Indische Vereeniging. Maksud
Menteri dalam pertemuan itu jelas bukan kunjungan biasa, Situasi di tanah air
di Hindia dan di Eropa jelas menjadi latar belakangnya. Dalam ceramah Menteri
pada intinya adalah ingin memperkuat pertahanan di Hindia dengan dalih kampanye
Hindia Untuk Hindia jika dan hanya jika situasi di perang Eropa semakin
memburuk dan Belanda terpuruk. Kekhawatiran orang Belanda tidak hanya Negara
Belanda dalam tekanan juga Hindia Belanda. Seperti dikatakan Menteri Hindia adalah
untuk semua, sementara Indische Vereeniging berhaluan nasional (hanya terbatas
untuk pribumi). Sebagaimana diketahui di Belanda juga ada perhimpunan
orang-orang Indo yang diketuai oleh van
Mook dan juga perhimpunan mahasiswa Tionghoa. Soetan Casajangan tempo
dulu tahun 1908 mendirikan Indische Vereeniging adalah organ mahasiswa pribumi
untuk berjuang demi ibu pertiwi. Kampanye Hindia untuk Hindia adalah kampanye
baru yang tidak pernah muncul selama ini di mata orang Belanda. Belum lama
berselang, kampanyer Tiga Serangkai dengan Indische Partij nyatanya ditolak
pemerintah. Situasi telah berubah cepat. Indische Vereeniging sedang berada di
atas angin. Kampanye Hindia untuk Hindia dan juga kampanyen Indie Weerbaar
jelas-jelas dipicu oleh situasi yang berkembang di Eropa.
Setelah kunjungan Menteri ke
Indische Vereeniging di Belanda, tuntutan negara berparlemen mulai diadopsi.
Perjuangan para intelektual pribumi dalam persamaan hak mulai diperlunak.
Singkat kata pada akhir tahun 1916 di Hindia dbentuk parlemen pusat yang
disebut Volksraad untuk menggantikan format dewan lama Dewan Hindia (Raad Indie).
Orang-orang Belanda setelah sekian abad baru menyadari perlunya merakyat meski
hal itu masih perlu diuji. Satu korban di pihak Belanda dalam hal ini
pencopotan Gubernur Jenderal Idenburg harus dilakukan yang diganti dengan yang
baru Johan Paul van Limburg Stirum.
Sehubungan dengan
perubahan yang cepat, bergaungnya motto Hindia untuk Hindia, Indie Weerbaar dan
pembentukan parlemen (Volksraad) Sorip Tagor mengundang di rumahnya di Utrecht para
mahasiswa yang tergabung di Indische Vereeniging yang berasal dari Sumatra
membentuk komite untuk persatuan Sumatra untuk mempercepat pembangunan di
Sumatra untuk mengejar ketertinggalan dibanding Jawa. Komite yang digagas Sorip
Tagor ini disebut Sumatra Sepakat yang diresmikan pada tanggal 1 Januari 1917.
Pengurus inti Sumatra Sepakat ini adalah tiga orang yang dulu direkomendasikan
Soetan Casajangan studi ke Belanda yakni Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah dan Tan
Malaka plus Soetan Goenoeng Moelia.
Sumatra Sepakat didirikan di Utrecht 1 Januaru 1917 |
Pendirian Sumatra
Sepakat tersebut terkait dengan semakin menguatnya Boedi Oetomo. Pasca heboh
Indische Partij dan Komite Boemi Poetra yang terkenal dengan pamflet RM
Soewardi tahun 1913, Boedi Oetomo mendapat angin. Pemerintah Hindia Belanda
telah memberikan banyak bantuan bagi Boedi Oetomo (sebagai organisasi
kebangsaan yang kukuh dengan misi kedaerahan). Organisasi kebangsaan yang mengusung
misi nasional sangat ditakutkan oleh pemerintah seperti halnya Indische
Vereeniging, Sarikat Islam dan Indische Partij.
Sepeninggal Soetan Casajangan,
anggota Indische Vereeniging yang berasal dari Jawa mulai terbelah sebagian
kukuh dengan misi nasional sebagian yang lain sudah melihat kemajuan Boedi
Oetomo yang didukung habis pemerintah. Wilayah-wilayah di luar Jawa seakan
tidak diperhatikan sehingga terasa ketimpangan antara (pembangunan) di Jawa dan
di luar Jawa termasuk Sumatra. Untuk memicu dan memacu kemajuan di Sumatra Sorip
Tagor mempelopori didirikannya Perhimpoenan Sumatra di Belanda.
Sumatra Sepakat yang
diresmikan di Utrecht tanggal 1 Januari 1917 tetap mengusung misi nasional.
Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai
sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. Ibrahim Datoek Tan
Malaka (kuliah di kampus Soetan Casajangan) sebagai komisaris. Tujuan didirikan
organisasi ini untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di Sumatra, karena
tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang
tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra
dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang,
Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain
di Soematra.
Sumatra Sepakat di Belanda mengusung
misi nasional, jadi masih in-line dengan Indische Vereeniging. Sumatra Sepakat
ingin memberi kontribusi untuk semua wilayah di Sumatra tidak hanya Tapanoeli
dan West Sumatra tetapi juga Atjeh, Zuid Sumatra, Lampoeng dan Bengkoelen.
Sumatra Sepakat juga akan bekerjasama dengan organisasi kebangsaan yang sudah
ada seperti Medan Perdamaian di Padang dan Sjarikat Tapanoeli di Medan.
Dalam proses pembentukan
bernegara yang terus menggema, Sumatra Sepakat mewakili Sumatra di Belanda.
Itulah arti penting mengapa dibentuk organisasi mahasiswa asal Sumatra. Setelah
tahun sebelumnya Menteri Pendidikan Hindia Belanda menyambangi Indische
Vereeniging, kembali datang dari Hindia delegasi untuk menyambangi Indische
Vereeniging, Mereka ini adalah komite Indie Weerbaar.
De Telegraaf, 17-04-1917: ‘Indie
Weerbaar. S-Gravenhage, 16 April. Para deputi komite Indle Weerbaar (kecuali
Mr. Rerarev) hari Sabtu lalu menjadi tamu Indische Vereeniging dan pertemuan
publik yang sangat sibuk. Ketua Indische Vereeniging Loekman Djajadiningrat.
menyambut utusan itu. Abdoel Moeis memberikan pidato kepada dimana ia
menjelaskan secara terperinci keinginan Sarikat Islam pada keongres ke-6 dan
memprotes ekspresi seperti ‘de kurk waarop Nederlands welvaart drijft’ yang
menjadi latar belakang kepentingan Hinndia digulir. Dia membela rakyat Hindia
dan menginginkan bahwa ini akan didengar oleh semua organisasinya. Dwidjo
Sewojo menyatakan bahwa keinginan asosiasi Boedi Oetomo sepenuhnya sejalan
dengan argumen Abdul Moeis. Laoh perwakilan dari Sarikat Minahasa
mempertanyakan kesetiaan para Minahassers kepada pemerintah Belanda dan
menyatakan bahwa bangsanya mengejar cita-cita yang sama dengan kelompok
populasi lainnya. Pangeran Koesoemodiningmt dari kelompok pangeran mengajukan
permohonan untuk ajaran Buddha Hindu. Soewardi mendukung argumen Abdoe Moeis
dengan siapa perwakilan Boedi Oetcmo menyatakan solidaritasnya untuk
kegembiraannya. Mr van Mook dan Blom berdebat untuk ide asosiasi. Abcndanon
menolak oposisi Hindia dan Belanda. Dibutuhkan diskusi bersama tentang
kepentingan bersama. tidak membawa perselisihan ke garis depan. Di masa
defensif militer ini, ia khawatir perhatian akan dialihkan dari pendidikan
sosial. Anggaran besar yang diperlukan untuk pertahanan, nantinya akan
diperhitungkan untuk pembangunan ekonomi, sehingga membuat masyarakat kuat. Mr.
Sarengat menjelaskan bahwa siswa Hindia selalu menjunjung tinggi gagasan
nasional, di masa depan negara mereka. Noto Soeroto menyesalkan bahwa tindakan
SI sering dikaburkan oleh tindakan tercela dari beberapa pemimpin. Berkenaan
dengan pertahanan Hindia, jika Jerman, Inggris, Prancis, dan negara adikuasa
lainnya melucuti, Hindia tidak diperlukan untuk berterima kasih secara militer
lagi Abdul Moeis membela ide-ide Rhine terhadap Mr Abendanon menganjurkan
pembentukan serikat dimana semua orang yang memiliki minat dalam pengembangan
Hindia dan rakyat mereka akan disatukan. Pangeran Koesoemcxilningrat merumuskan
pendapat tentang Hindia Tangguh dengan demikian kita harus memiliki rumah di
sekitar rumah kita. Siapa untuk siapa? Tentu saja dari mereka yang membuatnya.
Ketua akhirnya mengumumkan pertemuan lanjutan di mana debat bisa berbicara
cukup karena kurangnya waktu’.
Mahasiswa-mahasiswa
Sumatra tampaknya kurang antusias dengan pemahaman Hindia yang berkembang.
Konsep bernegara yang sebelumnya diusulkan Indische Partij dan munculnya
gagasan penyatuan seperti versi Hindia untuk Hindia yang disampaikan Menteri
Pendidikan Hindia Belanda tidak nyaman di telinga mahasiswa-mahasiswa asal
Sumatra. Konsep bernegara Hindia untuk Hindia telah diadopsi oleh Boedi Oetomo
dan SI.
De Sumatra post, 02-07-1917: ‘Mengejar
Hindia yang tangguh dalam rapat propaganda divisi Amsterdam dari asosiasi 'Onzo
Vloot', dengan berbagai wakil 'Indie Weerbaar' berbicara dan orang-orang
seperti mantan menteri Cremer, mantan GG ldenburg dan Van Heutsz, wali kota
Teilegen dan Van Aalst, Vissering dan Van'Nierop mengambil tempat mereka di
podium. K. van Linnep berbicara tentang kesatuan Grooter Nederland tempat kita
semua menggantung. Jika slogan Indie
Weerbaar harus ditetapkan secara definitif. Dengan pernyataan dari Abdul Moeis
bahwa setengah dari divisi SI mendukung kampanye 'Indië Weerbaar'. Perwakilan Boedi
Oetomo sudah berbicara dalam semangat ini dalam rapat propaganda Moderland en Kolonie..Abdoel
Moeïs, sebagai wakil dan wakil presiden SI mengatakan bahwa penampilannya
merupakan bukti kesetiaan Sarikat Islam terhadap Nederland. Terlepas dari
ketidakpercayaan yang disambut oleh SI, pemerintah mengakui bahwa adalah
penting bahwa Hindia Belanda tetap berada di bawah perwalian Belanda bahwa
mereka, anggota SI merasa terlalu lemah untuk berdiri di atas kedua kaki mereka
sendiri dan karena itu mempertahankan kepemimpinan Belanda..’.
Kini, Indische
Vereeniging kembali dipimpin oleh mahasiswa asal Sumatra yakni Dahlan
Abdoellah. Seperti halnya mengapa dibentuk Sumatra Sepakat juga terlihat
semangat yang sama di dalam Indische Vereeniging. Dalam kongres mahasiswa
Hindia yang pertama Dahlan Abdoellah menyatakan Kami Hindia dengan Kami
Indonesia dan kami memiliki hak untuk memiliki lebih dari sebelumnya
dalam pemerintahan nasional.
Algemeen H andelsblad, 24-11-1917: ‘Indisch Studentencongres. Kemarin
pagi Kongres Mahasiswa Hindia dibuka di Leiden dalam rangka peringatan lustrum
ketiga (15 tahun) Asosiasi Mahasiswa-Indologis (Studenten-Indologenvereeniging)
yang didirikan pada tahun 1902. Auditorium kecil Universitas sepenuhnya diisi
dengan peserta konferensi (yang secara konsisten terdiri dari mahasiswa yang
terdaftar di universitas Belanda). Saat ini Masyarakat Hindia adalah;
Chineesebc Vereeniging Chungwa Hui; de vereeniging van Indologlsche studenten
van het Utreehtsch Studentencorps ‘Van Verre’; de vereeniging Onze Koloniën te
Delft; de Studjentenafdeeling van de Vereeniging Oost en West (Leiden); de
vereeniging Kcempoelan Tani Djawi (Wageningen); en de onderaf deelingen
Tropische Land- en Boschbouw van de Studentcnvcreenlging te Wageningen. Mr. van
Mook, presiden serikat membuka pertemuan...(tiba giliran) Dahlan Ahdoellah
sebagai pembicara mewakili Indisch Vereeniging: ‘Kami, Indonesiers adalah
elemen utama di Hindia Belanda,
rakyat Hindia, dan karena itu kami memiliki hak untuk memiliki lebih dari
sebelumnya dalam pemerintahan nasional. Indisch Vereenigingner lebh tua dari
yang lainnya...’. Dahlan Abdoellah mengurai di awal tentang kehidupan awal di
Hindia hingga datangnya Belanda.
Dari kongres
tersebut, pada intinya, pidato Dahlan Abdoellah mirip dengan pidato Soetan
Casajangan pada tahun 1911. Dalam pidato Dahlan Abdoellah, tampaknya Dahlan
Abdoellah telah mengganti terminologi ‘coklat vs putih’ yang diapungkan Soetan
Casajangan pada tahun 1911 dengan terminologi Indonesier: ‘Wij, Indonesiers
vormen in, Nederlandsch Indie het hoofdbestanddeel der bevolking van Indie en
als zoodanig hebben wij het recht meer dan tot, dusver aandeel te hebben in het
landsbestuur’ (Kami Indonesiers membentuk Hindia Belanda adalah konstituen
utama penduduk Hindia dan karena itu kami memiliki hak untuk memiliki lebih
dari berpartisipasi dalam pemerintahan nasional). Ini dengan sendirinya, Dahlan Abdoellah telah
melanjutkan perjuangan Soetan Casajangan. Doktrin kesamaan hak, kebebasan,
keadilan dan kamajuan telah diterima Dahlan Abdoellah dari Soetan Casajangan di
Fort de Kock tahun 1913.
Sejak kepemimpinan Indische Vereeniging diketuai oleh
Dahlan Abdoellah, daya dan upaya Sumatra Sepakat dialihkan dan sepenuhnya untuk
Indische Vereeniging. Oleh karena itu organisasi mahasiswa Sumatra di Belanda
tampaknya dialihkan ke Hindia. Mahasiswa asal Sumatra di Belanda lebih fokus di
Indische Vereeniging. Mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di Djawa kemudian dibentuk
‘Persatoean Anak Sumatra’. Lalu pada Desember 1917 di Batavia didirikan
‘Persatoean Anak Sumatra’ yang diberi nama Jong Sumatranen Bond. Organisasi ini
dibentuk yang dimotori oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari
Sumatra. Jong Sumatranen Bond yang disingkat Jong Sumatra didirikan pada
tanggal 8 Desember 1917. Asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa
intensitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau
lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya tidak lain dari pemikiran
Sumatra Sepakat yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di
Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion
sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai
bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).
Dahlan Abdoellah suatu kesempatan menghadiri
suatu perayaan Boedi Oetomo di Den Haag yang diadakan tanggal 20 Mei (Het volk
: dagblad voor de arbeiderspartij, 21-05-1918). Ketua panitia membuka acara dan
mengucapkan terimakasih kepada undangan dan sekaligus memberi kata pengantar.
Pada intinya ketua panitia menguraikan perjalanan Boedi Oetomo yang mana
pendidikan adalah syarat untuk perkembangan lebih lanjut. Ketua panitia juga
mengutip beberapa hal dari buku Goenawan M. Sementara itu Dahlan Abdoellah yang
turut hadir diberi kesempatan berbicara. Dahlan Abdoellah memberi ucapan
selamat kepada Boedi Oetomo. Dr. Tumbelaka, yang didaulat sebagai atas nama
Minahaser diberi kesempatan untuk berbicara. Selain itu ada beberapa orang
Belanda yang diberi kesempatan berbicara. Dalam pertemuan ini beberapa
pembicara Belanda menyebut Indonesier untuk orang-orang Hindia. Sebutan nama Indonesier semakin diterima tidak hanya
diantara orang pribumi tetapi juga orang Belanda, paling tidak untuk
mengidentifikasi pribumi sebagai Indonesier.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 13-09-1918 |
Sejak adanya
pertemuan-pertemuan Moederland en Kolonie (East-West) yang pernah mengundang
Soetan Casajangan dan Kongres Mahasiswa (Indologi) yang pernah dihadiri oleh
Dahlan Abdoellah sejumlah aspek mulai terlihat kecenderungan berubah di Hindia,
seperti di bidang parlemen, kuota pribumi ditambah di Volksraad, pemilihan umum
bagi pribumi di gemeeteraad, pembentukan sekolah tinggi teknik di Bandoeng
(THS). Juga berkembang pameran dan pegelaran seni yang dilakukan di Belanda
yang dihadiri oleh orang-orang Belanda terutama yang pernah bertugas di Hindia.
Di bidang media, yang selama ini surat kabar dan majalah masih bersifat
pemberitaan mulai tumbuh media-media (majalah) penerangan yang mengulas bidang
pendidikan, budaya dan politik, seperti majalah Hindia Poetra yang menjadi
organ Indisch Vereeniging (Algemeen Handelsblad, 01-12-1918).
Parada Harahap seorang krani di
perkebunan di Deli berinisiatif membongkar kekejaman di perkebunan oleh ulah
para planter terhadap para koeli (dalam penerapan poenale sanctie). Hasil
investigasi Parada Harahap dikirimnya ke surat kabar Benih Mardeka di Medan
(terbit pertama tahun 1916). Laporan surat kabar tersebut tahun 1918 dilansir
oleh surat kabar Soeara Djawa yang membuat heboh di Djawa. Akibat perbuataan
Parada Harahap ini dirinya dipecat sebagai krani. Parada Harahap melamar
menjadi wartawan Benih Merdeka tetapi justru jabatan editor yang diberikan.
Apa yang dilakukan Parada Harahap
ini seakan menjawab keresahan Dr. Soetomo ketika kembali ke Jawa tahun 1914 setelah
dua tahun bertugas sebagai dokter pemerintah di Deli. Dr. Soetomo melihat
sendiri penderitaan para kuli asal Jawa di perkebunan-perkebunan Belanda. Dalam
rapat publik di Boedi Oetomo cabang Batavia tahun 1914 Dr. Soetomo mengatakan: ‘Kita
tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo melanjutkan, ‘Kita tidak bisa hidup
sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat
menderita di Deli atas perlakuan yang tidak adil dari para planter pengusaha perkebunan
asing’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli yang pintar, mereka
ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’.
Pada tahun 1918
kembali diadakan kongres mahasiswa di Belanda disebut Congres van het
Indonesisch Verbond van Studeerenten (De Maasbode, 31-08-1918). Sejumlah
Belanda, Tionghoa
dan pribumi berbicara. Dahlan Abdoellah kembali berbicara. Di dalam kongres ini
isu pendidikan tinggi kembali mendapat porsi. Isu kurangnya insinyur dan dokter
di Hindia. Satu hal lain nama Indonenesier menjadi lazim diucapkan untuk
menyebut penduduk di Hindia. Dalam kongres ini juga turut berbicara (bertanya):
Zain Rasad (Landbouwonderwij); Sorip Tagor (Utrecht); Goenawan Mangoenkoesoemo,
dan S. Sastrawidagda. Saat dimana seorang pembicara mengatakan ‘kami ingin
membebaskan diri, tidak hanya dalam politik, tetapi juga di bidang pendidikan
dan ekonomi’ disambut dengan tepuk tangan. Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah dan
Zain Rasad, tiga diantara pengurus Sumatra Sepakat yang didirikan tahun 1917
(De Sumatra post, 31-07-1919).
Indisch Vereeniging telah
mendapatkan rohnya kembali. HJ Vermeer menulis riwayat Indisch Vereeniging
dengan judul De Indisch Vereeniging yang dimuat pada Bataviaasch nieuwsblad
edisi 05-05-1919. Perkembangan Indisch Vereeniging sejak era Soetan Casajangan telah
mengalami metamorfosis. Ini dimulai pada tahun 1917 pada saat kongres mahasiswa
yang pertama. Peran Dahlan Abdoellah mulai terlihat di Indisch Vereeniging.
Parada Harahap dan Mohammad Hatta
bertemu di kongres pertama Sumatranen Bond di Padang tahun 1919. Sumatranen Bond
didirikan tahun 1918 (harus dibedakan dengan Sumatra Sepakat yang didirikan di
Belanda Januari 1917 dan Jong Sumatranen Bond yang didirikan di Batavia
Desember 1917). Ketua Pembina kongres Sumatranen Bond di Padang adalah Dr.
Abdoel Hakim Nasution (teman sekelas Dr. Tjipto). Parada Harahap hadir sebagai
representatif Sumatranen Bond dari wilayah Tapanoeli, sedangkan Mohammad Hatta
representatif Jong Sumatra dari Kota Padang. Setelah kongres Sumatranen Bond
tiga hari usai, Parada Harahap kembali ke Padang Sidempoean dan kemudian mendirikan
surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Sinar Merdeka (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië, 02-09-1919).
Perjuangan Dahlan
Abdoellah tampak lebih menggigit jika dibandingkan dengan ketua-ketua sebelumnya.
Sementara ketua Indisch Vereeniging yang pertama, Soetan Casajangan terus
melakukan perjuangannya di luar Indische Vereeniging. Tema-tema yang diusung
Dahlan Abdoellah kurang lebih sama dengan yang diusung Soetan Casajangan. Ini
seakan
menjelaskan bahwa ada semacam hubugan saling memperkuat antara Dahlan Abdoellah
di dalam dan Soetan Casajangan di luar. Dengan kata lain, jiwa Soetan
Casajangan di Indisch Vereeniging masih hidup melalui figur Dahlan Abdoellah.
Iets Over Koloniale Politiek: Soetan
Goenoeng Moelia dan Soewardi Soerjaningrat Kembali ke Tanah Air
Eskalasi politik yang meningkat
dan perang di Eropa (baca: Perang Dunia I sejak 1914) telah mempengaruhi
situasi di Belanda. Kebijakan pemerintah Belanda juga terpengaruh baik oleh
perubahan di Eropa maupun di dalam negeri Belanda. Dampaknya, kebijakan
pemerintahan Belanda juga terkait dengan situasi dan kondisi di Hindia Belanda.
Perjuangan para kaum sosialis di Belanda dapat dikatakan telah berhasil.
Gerakan-gerakan yang terjadi di Hindia direspon kaum sosial di Belanda untuk
mereformasi kebijakan pemerintah di Belanda dan juga di Hindia. Kaum sosialis
demokrat di Belanda berhadapan dengan kaum liberal. Kaum Sosialis demokrat mengklaim
bahwa kebijakan kuno pemerintah di tanah jajahan telah berakhir: ‘Iets Over
Koloniale Politiek’.
Tulisan ‘Iets Over Koloniale Politiek’ dimuat pada
surat kabar Bredasche courant, 28-11-1917. Judul tulisan menggambarkan kondisi
terkini di Belanda tentang situasi di Eropa dan Belanda menjelang berakhir perang
dan pembicaraan umum tentang situasi dan kondisi di tanah jajahan termasuk di
Hindia.
Pada saat inilah berbagai elemen
di Belanda mengalami denyut yang lebih kencang dibandning sebelumnnya. Kongres
mahasiswa Hindia digelar. Mahsiswa-mahasiswa Indo dipimpin oleh van Mook, sementara mahasiswa-mahasiswa
Tionghoa dipimpin oleh Hsien Sie Boen, sedangkan mahasiswa dan alumni pribumi di
Belanda dipimpin antara lain Dahlan Abdoellah, Sorip Tagor, Soetan Goenoeng
Moelia dan Goenawan yang tergabung dalam Indische Vereening. RM Soewardi
Soerjaningrat yang telah berhasil mendapat akte guru mulai intens terlibat di
Indische Vereeniging, paling tidak aktivitasnya terlihat di majalah Hindia
Poetra, organ Indische Vereeniging.
Daftar nama-nama ketua Indische Vereeniging di Belanda |
Dalam kongres mahasiswa Hindia, trio Indische Vereeniging
yakni Dahlan Abdoellah (Melayu Minangkabau/ketua Indische Vereeniging)), Sorip
Tagor (Tapanoeli/Sumatra Sepakat) dan Goenawan (Java/Boedi Oetomo). Soetan
Goenoeng Moelia dan RM Soewardi terkesan dingin. RM Soewardi terlihat semakin
jinak dalam posisinya sebagai revolusioner yang masih dianggap sebagai orang
buangan di Belanda. RM Soewardi di bawah bantun pemerintah Belanda (beasiswa?) ingin
memulihkan dirinya agar bisa kembali pulang ke tanah air. Soetan Goenoeng
Moelia lebih diplomatis, berani dengan cara diplomatis, perilaku yang mirip
dengan senior mereka, sebagai pendiri di Indische Vereeniging, Soetan
Casajangan.
Dalam kepengurusan Dahlan
Abdoellah di Indische Vereeniging, RM Soewardi dilibatkan untuk memimpin sebuah
organ baru yang didirikan yakni majalah mingguan Hindia Poetra, suatu majalah
yang mirip dengan majalah Sumatra Sepakat. Jika majalah Sumatra Sepakat untuk
kalangan terbatas di Sumatra, maka majalah Hindia Poetra untuk segalan bangsa
di Hindia. Jika majalah Sumatra Sepakat fokus pada pembangunan wilayah (di
Sumatra), majalah Hindia Poetra fokus pada pandangan-pandangan tentang Hindia dari
kalangan pribumi (mahasiswa dan alumni). Dalam perkembanganya RM Soewardi
memimpin Indonesisch Persbureau yang ruang lingkupnya lebih luas untuk
menjembatani isu-isu terkini tentang antara Hindia dan Belanda. Indonesisch
Persbureau menyajikan isu-isu tersebut dengan dukungan wawancara terhadap orang-orang
Belanda yang memahami betul tentang Hindia.
Pembentukan parlemen di Hindia (Volksraad) yang
dimulai pada akhir tahun 1916 telah memasuki tahapan trerakhir pada akhir tahun
1917 siapa saja yang duduk di Volksraad. Beberapa tokoh dari pribumi yang
muncul sebagai kandidat antara lain adalah Dr. Tjipto Mangoen kosoemo dan Abdul
Muis.
Kongres mahasiswa Hindia di
Belanda terus dilakukan. Jelas bahwa tiga elemen mahasiswa (Indoe, Tionghoa dan
pribumi) sepakat dengan (negara) Hindia, tetapi dari kalangan mahasiswa/alumni
pribumi yang tergabung dalam Indische Vereeniging menganggap hak pribumi
haruslah sebagai bagian terbesar. Isu ini jelas kurang bererima di kalangan
mahasiswa Indoe dan Tionghoa. Isu ini menjadi sisa perjuangan Indische
Vereeniging.
Di tanah air, Parada Harahap pada tahun 1918 membongkar
isu poenalie sanctie di perkebunan-perkebunan di Deli. Suatu isu yang pernah
digulirkan oleh Dr. Soetomo di kalangan anggota Boedi Oetomo pada tahun 1914.
Keberanian Parada Harahap jelas membuat Dr. Soetomo tersenyum. Di Belanda orang-orang
Sumatra berjuang habis-habisan dalam isu Hindia, di Deli Parada Harahap
berjuang sendiri.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
07-08-1919: ‘Semarang, 7 Agustus 1919. Soewardti dengan kapal uap ss Wilis
meninggalkan Belanda dan mungkin akan tiba di Tandjong Priok pada awal
Scptember’.
Di tanah air belum diketahui apa
yang akan dilakukan oleh RM Soewardi Soerjaningrat. Tidak lama setelah
keberangkatan RM Soewardi Soerjaningrat ke tanah air, Soetan Goenoeng Moelia
diberitakan diangkat sebagai guru di Hindia. Sebagaimana diketahui Soetan
Goenoeng Moelia telah berhasil memperoleh akta MO (Middlebare Onderwijzer)
kira-kira setara dengan sarjana pendidikan dengan gelar Meester (Mr). Sementara
RM Soewardi Soerjaningrat yang juga mengikuti pendidikan guru di Belanda hanya
sampai tingkat LO (Lager Onderwijzer) yang setara dengan sarjana muda. Pada
akhir tahun 1919 Soetan Goenoeng Moelia kembali ke tanah air. Sementara itu
Sorip Tagor masih sibuk dengan tesis untuk mendapatkan akte sarjana kedokteran
(dokter hewan setara Eropa). Sedangkan Dahlan Abdoellah akan melanjutkan studi
untuk mendapatkan akte guru MO (seperti yang diraih oleh Soetan Goenoeng
Moelia). Sebelumnya tokoh-tokoh Indische Vereeniging yang telah mendapat gelar
MO adalah Husein Djajadiningrat dan Soetan Casajangan.
De Maasbode, 13-09-1919: ‘Tadoeng Gelar Soetan
Goenoeng Moelia, di Leiden, diangkat sebagai guru dalam pendidikan Hindia Belanda’.
De Preanger-bode, 14-12-1919: ‘Soetan Goenoeng Moelia berdasarkan beslit
Gubernur Jenderal ditempatkan di HIS Bengkoelen’. Soetan Goenoeng Moelia
diangkat pemerintah menjadi guru dan ditempatkan sebagai kepala sekolah di
Sipirok sebagaimana diberitakan Algemeen Handelsblad, 18-07-1920.
Sementara Dahlan Abdoellah berangkat ke Mekkah, Soetan
Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah
air untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober
1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudul ‘De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale
politiek’
(modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh
Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan
makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua
organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di
hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya
diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan
bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi
bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda
yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi
kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal
dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat
ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi
sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah
untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya
lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan
bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah
(politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara ‘coklat’ dan ‘putih’...saya menyadari ini
tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa
saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan
baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para
intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi
ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya
sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat
mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya
jika dibandingkan dengan Dewan (Tweede
Kamer)..’
De Preanger-bode, 15-06-1921 |
Sejak Dahlan Abdoellah berangkat ke Mekkah, kabarnya
tidak terdengar lagi. Jabatan asisten dosen Melayu di Universiteit Leiden yang
cukup lama kosong, kemudian diisi oleh Soetan Mohammad Zain (De Maasbode, 27-07-1922).
Untuk posisi asisten dosen Jawa diisi oleh Perbatjaraka (Nieuwe Rotterdamsche
Courant, 18-09-1922). Dahlan Abdoellah lulus ujian acte MO voor de Maleische-taal en letterkunde (lihat Het Vaderland: staat-
en letterkundig nieuwsblad, 28-06-1923).
Setelah semua generasi pertama
Indische Vereeniging kembali ke tanah air, di Belanda Indische Vereeniging
dilanjutkan oleh generasi baru, diantaranya Mohamad Hatta dan Ali
Sastroamidjojo. Mohamad Hatta tiba di Belanda tahun 1921.
Pada tahun ini, masa jabatan Gubernur Jenderal Johan
Paul van Limburg Stirum berakhir. Sebagaimana diketahui setelah terjadinya
pengasingan tiga serangkai ke Belanda tahun 1913 muncul kegaduhan di Hindia dan
bersamaan dengan perang yang terjadi di Eropa. Untuk meredam gejolak lebih
lanjut Gubernur Jenderal AWF Idenburg diganti oleh van Limburg Stirum yang
lebih moderat. Saat habis masa jabatannya tahun 1921 van Limburg Stirum kembali
ke Belanda. Di pelabuhan, van Limburg Stirum disambut termasuk perwakilan dari
Indische Vereeniging (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad,
13-09-1921). Dari Indische Vereeniging antara lain Mohamad Sjaaf, Soetomo,
Sardjito, Noto Soeroto dan Herman Kartowisastro.
Pada saat kepengurusan Dr. Soetomo dan kawan-kawan,
Indische Vereeniging telah diubah namanya menjadi Indonesiasche Vereeniging.
Lalu pada kepengurusan Mohamad Hatta dan kawan-kawan nama Indonesische
Vereeniging atau Indonesische Vereeniging diubah (lagi) menjadi Perhimpoenan
Indonesia.
Besar dugaan Parada Harahap pindah ke Batavia
karena ajakan dari Soetan Casajangan. Sebab selama Parada Harahap di Padang
Sidempoean (1919-1922) selain memimpin surat kabar Sinar Merdeka juga menjadi
editor surat kabar mingguan Poestaha (surat kabar yang dirintis Soetan
Casajangan pada tahun 1915). Parada Harahap juga adalah ketua Sumatranen Bond
di wilayah Tapanoeli. Situasi ini secara tidak terduga akan mempertemukan dua
orang yang dianggap sangat peduli terhadap penderitaan para kuli di perkebunan
di Deli yakni Dr. Soetomo dan Parada Harahap.
Parada Harahap Menggagas Persatuan Nasional: PPPKI,
1927
Di Belanda ada tiga organisasi
mahasiswa Hindia yakni organisasi mahasiswa Indo (yang awalnya dipimpin oleh
van Mook), organisasi mahasiswa Tionghoa dan organisasi pribumi yang kini
disebut Perhimpoenan Indonesia. Sementara itu di tanah air, selain ada
perhimpunan orang Indo/Belanda juga ada perhimpunan orang-orang Tionghoa, juga
sangat beragam organisasi (kebangsaa) diantara orang-orang pribumi.
Organisasi yang beragam itu dapat dikelompokkan
menjadi organisasi berafiliasi keagamaan (Sarikat Islam), berafiliasi terhadap
internasional (komunis), organisasi nasional (Perhimpoenan Nasional Indonesia) dan
organisasi yang bersifat kedaerahan. Organisasi daerah ada yang mengusung
semangat nasional dan ada juga yang mengusung semangat kedaerahan. Organisasi
Boedi Oetomo masih terbelah antara misi nasional dan misi kedaerahan.
Organisasi orang Minahasa dan Ambon yang mengusng kedaerahan tetapi
berafilisasi ke Belanda (kooperatif).
Tidak adanya persatuan nasional
secara keseluruhan yang mengusung semangat nasional (non-kooperative), Parada
Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer menggagas suatu pertemuan di
antara para pemimpin organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia. Pertemuan ini
diadakan di rumah Husein Djajadiningrat pada bulan September 1927.
Dalam rapat yang diadakan di
rumah Husein Djajadiningrat tersebut turut hadir hadir anggota Volksraad yakni
MH Thamrin, Mangaradja Soeangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia. Dalam hal ini
Husein Djajadiningrat, Mangaradja Soeangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia
adalah generasi pertama Indische Vereeniging di Belanda.
Soetan Casajangan tidak bisa lagi
hadir untuk urusan kebangsaan. Soetan Casajangan yang telah lama menjabat
Direktur Normaal School (sekolah guru) di Meester Cornelis (kini Jatinegara)
telah meninggal dunia pada tanggal 2 April 1927 (lihat De Indische Courant yang
terbit tanggal 08-04-1927). Untuk menggantikan posisi Soetan Casajangan di
Normaal School ditunjuk Soetan Goenoeng Moelia (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
26-07-1927). Soetan Goenoeng Moelia saat itu adalah anggota Volksraad (mewakili
organisasi pendidikan).
Para pemimpin organisasi
kebangsaan yang hadir dalam pertemuan itu adalah Kaoem Betawi, Pasoendan, Sumatranen
Bond, Bataksche Bond, Boedi Oetomo dan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI).
Hasil keputusan: pertama membentuk organisasi persatuan nasional yang disebut
Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat
PPPKI. Kedua, menetapkan sebagai ketua, MH Thamrin (Kaoem Betawi) dan
sekretaris-bendahara, Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond); Ketiga, pengurus
mempersiapkan kongres pada tahun 1928 dan membangun gedung pertemuan.
Organisasi-organisasi kebangsaan ini didirikan dengan
maksud tertentu. Boedi Oetomo didirikan tahun 1908 oleh Soetomo dan
kawan-kawan; Sumatranen Bond didirikan tahun 1917 di Belanda oleh Sorip Tagor
dan kawan-kawan; Bataksche Bond didirikan di Batavia tahun 1919 oleh Dr. Abdoel
Rasjid Siregar (teman sekelas Dr. Soetomo dan juga adik dari Mangaradja
Soangkoepon); Perhimpoenan Nasional Indonesia didirikan di Bandoeng tahun 1927
oleh Soekarno dan kawan-kawan (Ir. Soekarno lulus dari THS Bandoeng 1926).
Langkah pertama pengurus PPPKI
ini adalah menyiapkan gedung pertemuan. Gedung/kantor pertemuan kemudian
ditetapkan di Gang Kenari di suatu persil lahan milik MH Thamrin. Saat itu MH
Thamrin dan Parada Harahap adalah pengusaha yang tergabung dalam himpunan
pengusaha pribumi di Batavia (semacam Kadin pada masa ini. Ketua Kadin Batavia
adalah Parada Harahap, pengusaha percetakan dan penerbit surat kabar Bintang
Timoer dan beberapa media lainnya. Para pengusaha inilah yang urunan membiayai
gedung/kantor pertemuan PPPKI (gedung ini masih eksis hingga ini hari yang
dikenal sebagai Gedung MH Thamrin).
Parada Harahap setelah tiga tahun memimpin surat kabar
Sinar Merdeka di Padang Sidempoeam (1919-1922), Parada Harahap hijrah ke
Batavia dan pada tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang Hindia di Batavia.
Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena dengan redakturnya
WR Soepratman. Pada tahun ini Parada Harahap melakukan perjalanan jurnalistik
ke kota-kota di Sumatra dan Semenanjung dan laporannya dibukukannya dengan
judul Perjalanan di Sumatra: Dari Pantai ke Pantai yang diterbitkan tahun 1926.
Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Timoer. Ir.
Soekarno kerap mengirim tulisan dari Bandoeng yang dimuat di Bintang Timoer.
Pada tahun 1926 bersama MH Thamrin mendirikan perhimpunan pengusaha pribumi di
Batavia.
Pada akhir tahun 1927 Ir. Soekarno
dan Parada Harahap membidani perubahan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI)
menjadi partai politik dengan nama Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mana
sebagai ketua Ir. Anwari (teman sekeklas Ir. Soekarno selama di THS). Awal
tahun 1928 Ir. Soekarno menghimbau Boedi Oetomo agar turut dalam perjuangan
nasional Indonesia (bukan terbatas di Jawa saja).
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928 |
Keputusan ini jelas dianggap
penting. Sebab sebelumnya di tubuh Boedi Oetomo masih tajam perbedaan visi misi
diantara para anggota. Ini dapat dilihat pada kongres Boedi Oetomo ke-16 tahun 1925 di Solo yang mana muncul
suara-suara di forum ‘Boedi Oetomo tersebut yang menyatakan bahwa Boedi Oetomo
menuntut kemerdekaan di Jawa tetapi memberi tolerasi kolonialisasi di luar
Jawa’. Suara-suara ini sempat dibalas oleh sebagian orang-orang Boedi Oetomo di
dalam kongres dengan nada yang menentang suara false tersebut.
Pada tanggal 9 April
1928 Boedi Oetomo melakukan rapat umum di Solo. Sebelum rapat umum digelar,
telah dilakukan perubahan pasal-pasal pada Anggaran Dasar Boedi Oetomo (De
Indische courant, 11-04-1928). Yang terpenting dalam perubahan pasal itu adalah
tujuan Boedi Oetomo untuk mewujudkan persatuan Indonesia, bukan lagi hanya
sebatas persatuan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Penggunaan nama Indonesia
sudah dimasukkan dalam statuta. Perubahan pasal-pasal ini tentu saja diumumkan
pada ramat umum tersebut. Dalam rapat umum di Solo ini juga hadir perwakilan
dari Soerabaja Studieclub, PNI dan PSI. Pada hari kedua kemudian dilakukan
pemilihan dewan pusat. Ketua terpilih adalah incumbent Koesoemo Oetojo. Posisi
Mr. Soepomo, Ph.D adalah komisaris. Disebutkan Mr. Soepomo, Ph.D sebagai Ketua
Pengadilan Landraad di Djogjakarta. Untuk kantor pusat berkedudukan di Solo.
Setelah Boedi Oetomo berubah visi misi menjadi
nasionalis, dalam Kongres PPPKI tahun 1928 di Batavia, delegasi Boedi Oetomo
benar-benar hadir. Delegasi Boedi Oetomo yang kini berkantor pusat di Solo dipimpin
oleh Mr. Singgih. Di dalam kongres PPPKI ini juga hadir RM Soewardi
Soerjanigrat yang berubah nama menjadi Ki Hadjar Dewantara dengan membawa isu
permasalahan Pendidikan Nasional. Ketua panitia Kongres ini adalah Dr. Soetomo.
Untuk sekadar mengulang Ki Hadjar Dewantara dan Dr. Soetomo sudah sejak lama
menjadi nasionalis. RM Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara paling
tidak saat menjadi anggota Indische Vereeniging di Belanda (1913-1919)
sedangkan Dr. Soetomo paling tidak sepulang dari Deli tahun 1914 dan semakin
kental ketika berangkat tahun 1919 studi ke Belanda dan bergabung dengan
Indische Vereeniging.
De Indische courant, 01-09-1928: ‘Pertemuan publik (kongres)
pertama. [Seseorang menuli]s: Kamis, 30 Agustus, kongres kaum nasionalis sudah
diumumkan oleh kami dengan nama PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia) kongres dimulai disini. Beberapa utusan asosiasi yang
berafiliasi dan diundang secara khusus telah tiba beberapa hari sebelumnya,
memanfaatkan waktu luang mereka untuk mengunjungi gedung organisasi dan
perusahaan pribumi di sana-sini. Tjokroaminoto, seperti yang disebutkan
sebelumnya akan melakukan perjalanan lain ke Oosthoek untuk kepentingan
asosiasi PSI (Partai Sarekat Islam). Perwakilan Sumatranen Bond, Parada Harahap
yang juga pimpinan redaksi Bintang Timoer tiba disini di tempat ini sehari
sebelum kemarin dengan mobilnya. Di Gerebeg, Mauloed sehari sebelum kemarin ada
gerakan sibuk para anggota kongres di gedung Klub Studi Indonesia, yang
jelas-jelas memperlihatkan hiruk pikuk hari-hari berikutnya. [Para delegasi
telah tiba]. Seperti yang sudah ditunjukkan sebelumnya, kongres di Klub Studi
akan dibuka di udara terbuka. Pada jam delapan sudah terlihat di halaman klub Studie
Indonesia, jumlah yang kami perkirakan 2.000 orang. [Siapa disana?] Diantara
yang hadir, kami mencatat Mr Gobée dan Van der Plas dari Kantor Urusan Pribumi,
Dr. M. van Blankensteijo, Vilanus yang terkenal dari Surabashch Handelsblad.
Polisi dan pers juga terwakili. Delegasi dari asosiasi wanita dari anggota
kongres ditemukan tempat di aula tengah gedung. [Pembukaan] Sekitar pukul
sembilan, Dr. Soetomo membuka kongres atas nama panitia tuan rumah. Pembicara
(Soetomo) senang melihat begitu banyak teman lagi, yang beberapa diantaranya
telah dikenalnya dimasa mudanya. Pembicara meminta dukungan dari penduduk Soerabaja
untuk mensukseskan kongres ini, salah satu yang terbesar yang pernah diadakan
dalam politik pribumi sampai saat ini. Dia berharap rapat umum itu membuahkan
hasil. Disambut dengan tepuk tangan meriah oleh hadirin, pembicara kemudian
menyatakan kongres terbuka. [Tujuan PPPKI disampaikan]. Ketua federasi, Mr. Iskaq
[Ketua PNI] ditunjuk atas nama PPPKI membaca berbagai ucapan selamat telegram
yang diterima dan semua yang hadir menyambut. Pembicara menguraikan sejarah pembentukan
PPPKI. Selama Kongres PSI yang diadakan di Pekalongan pada bulan September
tahun sebelumnya, beberapa anggota PNI dikirim ke kongres untuk mengadakan pembicaraan
sehubungan dengan pembentukan badan federasi semua asosiasi pribumi PPPKI
[catatan: dalam pembentukan PPPKI di rumah Husein Djajadiningrat pada bulan
September 1927 PSI tidak hadir]. Hasil pembicaraan adalah bahwa sebuah
konferensi diadakan di Bandung pada 17 Desember 1927 dimana pada konferensi diputuskan
rancangan statuta diadopsi dan PSI, PNI, BO, Pasoendan, Sumatranen Bond, Klub
Studi Indonesia, Kaoem Betawi dan Sarekat Madoera mendaftar sebagai anggota.
Gagasan membangun tubuh seperti PPPKI bukanlah hal baru. Siapa pun yang agak
berorientasi pada gerakan pribumi tahu bahwa beberapa tahun yang lalu berbagai
upaya dilakukan untuk juga membentuk front persatuan sebagai contoh, Konsentrasi
Radikal dan Kongres Seluruh Hindia. Organisasi yang disebut PPPKI didasarkan
pada basis nasionalis - Indonesia. PPPKI menolak masuknya asosiasi non-pribumi,
karena para pemimpin PPPKI yakin bahwa korporasi, termasuk orang-orang
non-pribumi, cepat atau lambat akan memiliki secara langsung atau tidak
langsung kepentingan yang bertentangan. Setiap keputusan, dengan pengecualian
pemilihan Presiden dan Sekretaris-bendahara federasi dan adopsi aturan
internal, hanya akan berlaku jika disetujui oleh semua asosiasi yang
berafiliasi, tanpa kecuali. Pembicara menyatakan bahwa PPPKI berdiri lebih kuat
fondasinya daripada badan lain dari jenisnya. Ketua dan Sekretaris-bendahara adalah
orang yang dibayar dan tidak berhak memilih, sehingga anggota dewan federasi
sama sekali tidak memiliki pengaruh pada arah badan ini tanpa kerjasama dan
persetujuan dari pihak-pihak yang terafiliasi. Arahannya di tempat pertama:
mengejar konsep persatuan Indonesia. Dalam hal ini, pembicara tidak memahami
sikap ragu-ragu dan pasif dari Persatoean Miuabasa dan Sarekat Ambon sehubungan
dengan hubungan dengan PPPKI. Menjadi polemik antara PPPKI di satu sisi dan Sarikat
Minahassa dan Sarekat Ambon di sisi lain. Program PPPKI hanya dapat memiliki
persetujuan dan persetujuan dari semua asosiasi nasionalis. Pembiacara yakin
bahwa sikap ragu-ragu dari asosiasi tersebut akan segera memberi jalan kepada
aksesi ke PPPKI. Dengan seruan: Hidoeplah Persatoean Indonesia. Dari kesempatan
untuk melihat PPPKI untuk mengucapkan selamat kepada kongres pertamanya, banyak
delegasi telah memanfaatkannya. Ir. Soekarno, yang berbicara atas nama PNI
(Partai Nasional Indonesia) menyambut baik pembentukan PPPKI, karena pemisahan
antara sana dan sini menjadi lebih jelas didefinisikan. Atas nama Boedi Oetomo,
Mr Singgih mengucapkan kata-kata sukacita dan keberanian.Partai Sarekat Islam
diwakili oleh Dr. Soekiman dan AM Sangadji mengucapkan selamat. Perwakilan dari
Sumatranen Bond, Parada Harahap juga menyesalkan sikap pasif orang-orang
Minahasa dan orang-orang Ambon. Soetomo berbicara atas nama Klub Studi
Indonesia dengan cara yang sama. Mr Roeslan Wongsokoesoemo atas nama manajemen
pusat Sarekat Madoera dan Mr Mobamad Tabrani dari Kaoem Betawi juga bicara. Mr.
Ali Sastroamidjojo berbicara atas nama Perhimpoenan Indonesia di Belanda.
Perwakilan Timor Verbond, Mr CA Belder berjanji bahwa verbond-nya akan bergabung
dengan PPPKI. Mr Tuwanakotta, berbicara atas nama Sarekat Ambon, Divisi Soerabaja,
mengatakan bahwa apa yang dikatakan di Volksraad oleh rekan sedaerahnya Dr.
Apetuley,belum bisa menjadi ukuran posisi bahwa orang-orang Ambon berkenaan
dengan PPPKI. Pertanyaan tentang koneksi hingga saat ini masih sedang
dipelajari di lingkaran Ambonscbe. Setelah memberikan lantai kepada beberapa
orang, ketua panitia menutup pertemuan pada pukul setengah dua belas. Kemarin
malam pertemuan publik kedua di Teater Stadstuin tempat dimana masalah Pendidikan
Nasional dibicarakan yang dipresentasikan Ki Hadjar Dewantoro. Karena kurangnya
space dalam lembar ini kami tidak dapat menyajikan laporan pertemuan ini sampai
hari Senin’.
Dalam kongres PPPKI ini tidak
semua organisasi kebangsaan hadir. Parada Harahap dari pengurus PPPKI menyesalkan
sikap pasif orang-orang Minahassiscbe dan orang-orang Amboina. Perwakilan
Timorsch Verbond, Mr CA Belder berjanji bahwa Verbond akan bergabung dengan
PPPKI. Meski pengurus pusat Ambon tidak hadir, ternyata ada faksi di dalam
Ambon yang respek terhadap persatuan nasional ini. Mr Tuwanakotta berbicara
atas nama Sarekat Ambon, Divisi Soerabaja mengatakan bahwa apa yang dikatakan
di Volksraad oleh rekan sedaerahnya Dr Apetuley belum bisa dijadikan sebagai
ukuran posisi bahwa orang-orang Ambon berkenaan dengan PPPKI. Mengapa
keragu-raguan dari kalangan Minahasa dan Ambon muncul boleh jadi karena mereka
sangat dekat dengan Belanda (kooperative).
Permasalahan Minahasa dan Ambon adalah masalah
tersendiri. Boedi Oetomo telah bulat untuk bergabung dengan PPPKI dan mengusung
persatuan nasiona. Akan tetapi di tubuh Boedi Oetomo masih ada masalah yang
tersisa yakni soal program perjuangan. Boedi Oetomo di dalam platform bernegara
lebih memilih status dominion (Belanda) sementara arus perjuangan adalah negara
bebas merdeka sepenuhnya. Pada tahun 1931 para pengurus Boedi Oetomo cabang
Batavia (yang cenderung nasionalis dan berjuang kemerdekaaan) menjadi tuan
rumah Kongres Boedi Oetomo. Panitia mengundang pihak-pihak lain di luar Boedi
Oetomo. Rapat umum ini dilakukan cabang Batavia seakan meminjam tangan pihak
lain untuk memberi pandangan dan teguran kepada para anggota Boedi Oetomo yang
sebagian besar masih bersikukuh Indonesia sebagai status dominion.
Pada rapat umum yang diadakan Sabtu di Gedoeng
Permoefakatan cukup banyak yang hadir dari luar Boedi Oetomo. Yang turut hadir
antara lain anggota Volksraad, MH Thamrin, sejumlah anggota dewan kota Batavia
(tentu saja Dr. Sardjito diantaranya), dan dua anggota dewan kota Soerabaja Mr.
Lengkong dan Dr. Radjamin Nasution. Sejumlah pembicara naik ke panggung.
Perwakilan mahasiswa dari PI Belanda pada intinya mengingatkan agar Boedi
Oetomo tidak membawa perjuangan untuk Status Dominion (Belanda) dalam
programnya. Perwakilan PPPI (Persatoean Peladjar-Peladjar Indonesia) di Batavia
pada initinya menyatakan untuk kemerdekaan penuh dan tidak ada Status Dominion
(suara gemuruh bersorak di dalam ruangan). Tidak hanya itu, juga Sanoesi Pane
tampil di panggung sebagai pembicara utama. Sanusi Pane berbicara di podium
tiga jam. Topik yang dibawakan tentang ‘British India’. Sanusi Pane cukup lama
di India, yang menjadi wilayah jajahan Inggris. Topik ini menjadi perbandingan
dengan yang dialami rakyat Indonesia yang dijajah Belanda. Para hadirin terus
mengikutinya dengan beberapa kali tepuk tangan. Sanusi Pane mengatakan
‘Pemerintah juga tidak akan (terus) berusaha menghambat gerakan dengan segala
macam artikel hukum’ yang lalu disambut tepuk tangan.
Dalam kongres Boedi Oetomo ini yang kali pertama diadakan
di Batavia ini terkesan diskenariokan oleh tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang
nasionalis. Jika diingat kembali ketika Dr. Soetomo keluar dari Boedi Oetomo
tahun 1924 dan Ir. Soekarno pada akhir tahun 1927 menyarankan agar Boedi Oetomo
untuk ikut dalam barisan perjuangan Indonesia itu ternyata tidak cukup (hingga
tahun 1931 ini). Para nasionalis Boedi Oetomo, seperti Dr. Sardjito, Ph.D dan
Mr. Soepomo, Ph.D diduga berada di balik skenario ini. Mereka yang nasionalis
ini sengaja mengadakan kongres Boedi Oetomo di Batavia dan mengundang berbagai
pihak untuk bicara. Dengan demikian, anggota Boedi Oetomo yang cooperative
(dengan Belanda) dan menginginkan Status Dominion akan mendapat pelajaran dari
para ‘tetangga’ yang sengaja diundang untuk berbicara dalam ‘hajatan’ Boedi
Oetomo. Dengan kata lain Dr. Soetomo, Ir. Soekarno saja tidak cukup menyadarkan
sebagian anggota Boedi Oetomo yang kukuh dengan prinsipnya, apalagi Dr.
Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D. Karena itu, perlu diundang tetangga,
seperti PI, PPPI, Bataksch Bond (Sanoesi Pane) dan SI (Hadji Agoes Salim).
Skenario ini tampaknya berhasil.
Setelah sesi debat, akhirnya kongres ditutup pada
pukul 1 siang, Ketua Boedi Oetomo Koesoemo Oetoyo menutup yang menyimpulkan
bahwa Boedi Oetomo tidak menyatakan dirinya mendukung Status Dominion. Ini akan
diuji oleh Dewan Eksekutif yang baru. Kongres telah memilih dewan baru Boedi
Oetomo. Dewan baru ini hampir semua anggota bekas dewan pusat dipilih kembali,
sehingga dewan yang sekarang adalah sebagai berikut: Ketua RMA. Koesoemo Oetoyo
(anggota Volksraad), Wakil Ketua RM Woerjaningrat; Sekretaris-1 RP Singgih,
Sekretaris-2 RM.Soetedjo; Bendahara Pinandjojo dan Komisaris terdiri dari:
Wongsonegoro, Mr. Sastromoeljono, Soekardjo dan RM Margono. Kongres Boedi
Oetomo berikutnya akan diadakan di Semarang.
Antar Generasi Harahap di Tingkat Nasional |
Ada dua peran lain Parada Harahap menjelang Kongres
PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior). Pertama, Parafa Harahap adalah
ketua himpunan pengusaha pribumi di Batavia yang bersama MH Thamrin membangun
gedung pertemuan PPPKI di Gang Kenari besar duigaan yang membiayai Kongres
Pemuda dan karena itu Amir Sjarifoeddin diposisikan sebagai bendahara. Kedua,
Parada Harahap sebagai pemilik surat kabar Bintang Timoer telah menerbitkan
surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang (untuk wilayah sirkulasi Midden Java)
dan edisi Soerabaja (untuk wilayah sirkulasi Oost Java). Edisi Soerabaja ini
kemudian menjadi surat kabar Soeara Oemoem yang dipimpin oleh Dr. Soetomo yang
menjadi organ organisasi kebangsaan Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) yang
didirikan di Soerabaja oleh Dr.Soetomop dan Dr. Radjamin Nasution pada tahun 1929.
Pada tahun 1929 yang diangkat menjadi editor Bintang Timoer untuk menggantikan
Parada Harahap adalah Adinegoro (abang dari Mohamad Jamin).
Munculnya tokoh muda Amir Sjarifoeddin Harahap
seakan menegaskan garis estafet tokoh-tokoh asal Padang Sidempoean mulai dari
Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (1861-1926), Rodjioen Harahap gelar
Soetan Casajangan (1874-1927) dan Sorip Tagor (1888-1973) kepada penerus
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (1896-1966) dan Parada Harahap
(1899-1957) yang kemudian disusul Amir Sjarifoeddin Harahap (1907-1948).
Estafet ini bukanlah bersifat random tetapi berdasarkan kaderisasi. Suatu
bentuk suksesi yang berlaku pada era kolonial Belanda. Selain garis estafet in,
juga banyak garis estafet pada era tersebut, sebut saja garis estafet Soetomo,
Soekarno dan Mohamad Hatta.
Setelah sekian lama nama
RM Soewardi Soerjaningrat muncul dengan nama panggilan baru Ki Hadjar
Dewantara. Dalam Kongres PPPKI yang
diadakan di Batavia 30 Agustus 0 2 September 1928 Ki Hadjar Dewantara termasuk
sebagai salah satu pembicara. Ki Hadjar Dewantara membicarakan pendidikan
nasional. Pada tahun 1928 Ki Hadjar Dewantara sudah dikenal sebagai pendiri
sekolah Taman Siswa.
RM Soewardi Soerjaningrat yang
mengubah nama panggilannya menjadi Ko Hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman
Siswa di Jogjakarta pada tahun 1922. Sekolah ini menjadi sebuah alternatif
ketika pendidikan yang dikelola pemerintah tidak mencukupi untuk semua
penduduk. Pendekatan yang digunakan Tagore (swadaya). Pola pendidikan Taman
Siswa. Banyak kesamaan dengan sekolah rakyat Tagore scbool orang Jawa kuno (Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 11-02-1928). Setelah lima tahun pendiriannya jumlah
sekolah Taman Siswa sudah ada 15 buah yang mana pada tahun 1927 di Bandoeng sudah
dibuka sekolah MULO.
Pola pendidikan Taman
Siswa yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantara pada dasarnya sudah muncul diskusi
di kalangan ahli-ahli Belanda sehubungan dengan perkembangan akhir-akhir ini. Dalam
diskusi tersebut mengutamakan penduduk sangat ditekankan. Apa yang telah
dilakukan Ki Hadjar Dewantara mirip dengan apa yang telah muncul dalam diskusi
di antara orang-orang Belanda.
De Preanger-bode, 31-03-1922: Otonomi
Hindia atau independen? Baru-baru ini atas undangan Asosiasi Indologi [di
Belanda], Ir. Th. Vreede, mantan Ketua Volksraad, memberikan presentasi tentang
pertanyaan Indonesia otonom atau mandiri?..tampaknya pengaruh masa lalu sama
sekali belum padam..fakta bahwa Mahabarata dan Ramayana yang terkenal terus
hidup di wajang hingga saat ini dan dengan demikian mempertahankan tempat
mereka dalam jiwa rakyat Jawa. Pengaruh spiritual Barat terhadap Indonesia
sejauh ini terbatas. Kekristenan tidak begitu populer. Hanya dalam 10 hingga 20
tahun terakhir budaya Belanda mulai menembus secara bermakna melalui
pendidikan..Pengenalan sewa tanah oleh Raffles dan diatas segalanya, sistem
budaya [koffie] van den Bosch di sisi lain memiliki efek yang menghancurkan
pada lembaga-lembaga rakyat dan dengan demikian juga pada naluri kerja dan
kesejahteraan rakyat...Pembicara menyebut itu hasil memalukan dari pemerintahan
Belanda. Sejak awal abad ini, Indonesia telah menunjukkan kebangkitan yang luar
biasa...Semua elemen budaya yang melemah membangkitkan kehidupan baru. Pengaruh
Hindu terasa di Boedi Oetomo. Islam menunjukkan vitalitasnya dalam Sarekat
Islam. Pencampuran rasial Belanda dan Indonesia memberikan dasar untuk Partai Nasional
Hindia (National Indische Partij). Eksploitasi ekonomi menemukan responsnya
dalam gerakan serikat buruh yang kuat. Dengan demikian, semuanya sekarang
bergerak dan mengalami fermentasi... Keinginan politik yang sah dari bagian
yang lebih intelektual dari populasi, termasuk bupati dan pemimpin harus
tercermin dalam dewan pemerintahan yang dirancang. Untuk kecenderungan
nasionalis ruang yang cukup dibuat di Volksraad. Proposal komite peninjau
kemudian menunjuk ke arah yang benar. Tugas kita terutama di bidang budaya, dalam
pendidikan bukan pada orang Barat murni, tetapi lebih pada dasar nasional Indonesia
dan Timur. Jalur yang benar ditunjuk untuk pembentukan pendidikan menengah
umum. Pembicara menjelaskan institusi sebuah universitas dengan dasar yang
sama. Hanya dengan cara ini intelek dan material dapat disatukan di Hindia,
diperlukan untuk pemahaman dan pemahaman budaya Indonesia yang lengkap..Dapat
dipastikan bahwa Belanda tidak dapat menarik diri dari Indonesia dengan alasan
apa pun. Kebijakan konservasi murni akan sama fatalnya. Kebijakan eksploitasi
itu teoretis, tetapi dalam praktiknya belum diatasi. Kebijakan etis yang telah
muncul menurut pembicara tidak cukup lagi. Satu-satunya kebijakan yang dapat
memberikan kepuasan adalah yang berfokus pada apa yang dirasakan benar di
Indonesia. Kebijakan hukum seperti itu awalnya mengarah pada otonomi. Apakah
ini juga akan mengarah pada kemerdekaan? Sebagian besar orang Belanda ingin
melanjutkan hubungan mereka dengan Indonesia, karena tujuan ekonomi yang
menyertainya..Motif yang berbeda berlaku untuk orang Indonesia. Dia hanya
menghargai ikatan budaya (pendidikan) yang memberinya akses ke budaya Barat.
Kepentingan politik tidak berbicara kepadanya. Keuntungan ekonomi yang ditarik
Belanda dari Indonesia membuat marah dan membuatnya membenci hubungan dengan
Belanda. Di Indonesia, misalnya, ada banyak kecenderungan untuk kemerdekaan
sepenuhnya..’.
Sementara itu ketika Ki
Hadjar Dewantara memperkenalkan sekolah Taman Siswa di Jogjakarta pada tahun
1922, di Batavia Soetan Casajangan ditunjuk sebagai direktur Normaal School.
Sekolah Normaal School adalah bentuk baru dari sekolah guru sebelumnya
Kweekschool. Seedangkan Soetan Goenoeng Moelia sejak 1921 menjadi direktur
sekolah HIS di Kotanopan.
Sebelum ditunjuk menjadi Direktur Normaal School di
Meester Cornelis, Soetan Casajangan diundang
kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato
di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah
19 halaman yang berjudul ‘De
associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek’ (modernisasi dalam
politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta.
Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut
beberapa petikan isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua
organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di
hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya
diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan
bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi
bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda
yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi
kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal
dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat
ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi
sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah
untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya
lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan
bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah
(politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara ‘coklat’ dan ‘putih’...saya menyadari ini
tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa
saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan
baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para
intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi
ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya
sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat
mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya
jika dibandingkan dengan Dewan (Tweede
Kamer)..’
Soetan Casajangan,
Soetan Goenoeng Moelia dan Soewardi Serjanigrat adalah sama-sama guru alumni
Belanda. Soewardi Serjanigrat sebelum pulang ke tanah air telah mememiliki
sertifat LO (guru sekolah dasar), sedangkan Soetan Casajangan dan Soetan
Goenoeng Moelia memiliki sertifikat MO (kepala sekolah menegah). Soetan
Casajangan meraihnya pada tahun 1911 sedangkan Soetan Goenoeng Moelia apda
tahun 1916.
Pada tahun 1922 guru-guru alumni
Belanda selain mereka bertiga adalah Dahlan Abdoellah yang sudah memiliki
sertifikat LO dan sedang mengikuti studi untuk sertifikat MO.
Guru-guru pribumi tidak
banyak memang tetapi fakta hanya itu guru-guru prubumi yang mendapat pendidikan
pedagogi. RM Soewardi Soerjaningrat telah mengambil jalan sendiri dengan membentuk
Taman Siswa. Soetan Casajangan dan Soetan Goenoeng Moelia meski tetap berada di
pemerintahan, tetapi kesadaran tentang pendidikan bagi pribumi sangat intens.
Pada tahun 1923 Taman Siswa
dijadikan sebagai perguruan nasional (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 11-02-1928).
Tidak lagi perguruan Jogjakarta. Yang dimaksud nasional dalam hal ini adalah
Indonesia meski belum semua anggota Boedi Oetomo pro nasional. Mengapa
Indonesia? Ini karena Soewardi Soejaningrat alias Ki Hadjar Dewantara pernah
menjadi anggota Indische Vereeniging di Belanda dan bahkan memimpin biro pers
Indonesia di Belanda.
Apa yang dilakukan RM
Soewardi Soerjaningrat dapat dipnadang dari dua sisi. Dari sisi pribumi sendiri
sekolah swadaya Taman Siswa menjadi katup pengaman dalam penyediaan pendidikan
bagi pribumi yang masih terbatas dari pemerintah. Taman Siswa menjadi pilihan
alternatif dan juga menjadi suatu langkah maju untuk menyediakan pendidikan
bagi semua penduduk. Dari sisi pemerintah Taman Siswa yang memiliki kurikulum
sendiri (kurikulum timur) dapat dianggap sebagai langkah mundur. Hal ini karena
secara kurikulum nasional pendidikan pribumi yang diselenggarakan pemerintah
sudah jauh lebih maju dibanding sebelumnya. RM Soewardi Soerjaningrat sendiri
adalah produk pendidikan pemerintah (kurikulum barat).
Upaya yang dilakukan RM Soewardi
Soerjaningrat bukanlah hal baru. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda telah
mendirikan sekolah swasta di Padang. Sebagai pensiunan guru, Dja Endar Moeda merasa
terpanggil untuk mendirikan sekolah swasta dengan kurikulum yang dibentuknya
sendiri. Upaya ini dilakukan Dja Endar Moeda untuk menyediakan pendidikan bagi penduduk
yang tidak tertampung di sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah.
Jika mundur ke belakang, pada tahun
1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (Kweekschool) di Tanobat0a. Upaya
ini dimaksudkan untuk mennyediakan guru yang lebih banyak bagi penduduk di
Mandailing en Angkola. Sekolah yang dibangun Willem Iskander ini dalam waktu
dua tahun telah mengalahkan kualitas dua sekolah guru pemerintah yang dibangun
di Soerakarta tahun 1851 dan di Fort de Kock tahun 1856. Willem Iskander
memiliki serifikat guru dari Belanda yang diperolehnya pada tahun 1861. Salah
satu murid Willem Iskander adalah Maharadja Soetan (ayah dari Soetan
Casajangan).
Permasalahannya adalah
sejauh mana Taman Siswa mampu bersaing dengan sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah.
Pada tahun 1922 selain sekolah Eropa (ELS) dan sekolah pribumi, pemerintah
sudah memperkenalkan sekolah HIS (sejak 1914) dan sekolah MULO. Pada tahun 1922
Soetan Goenoeng Moelia adalah direktur sekolah HIS.
Soetan Goenoeng Moelia sendiri
sepulang dari Belanda tahun 1919 (tahun yang sama RM Soewardi Soerjaningrat
pulang dari Belanda) diangkat sebagai guru pemerintah sebagai kepala sekolah di Sipirok. Lalu pada tahun
1921 Soetan Goenoeng Moelia diangkat sebagai direktur HIS yang baru dibuka di
Kotanopan.
Soetan Goenoeng Moelia
pada tahun 1922 juga diangkat sebagai anggota Volksraad mewakili golongan
pendidikan. Sementara RM Soewardi Soerjaningrat terus mengembangan sekolah
Taman Siswa dengan menambah jumlah dan dan sebaran, Soetan Goenoeng Moelia menjadi
anggota Komisi Sekolah HIS Pusat di Batavia
Keputusan Gubernur Jenderal, tanggal
28 November 1927 dibentuk Komisi Hollandsch lnlandsch Onderwljs. Komisi ini diketuai oleh Prof. BJO Schrieke yang
mana anggota terdiri dari 10 orang termasuk diantaranya Dr. Mr. Sutan Goenoeng
Moelia. Komite ini dibentuk untuk memberikan saran tentang kebutuhan sosial
untuk pendidikan dasar yang pengajarannya dengan bahasa Belanda bagi penduduk
pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-03-1929).
Pada saat diadakan
kongres PPPKI di Batavia tahun 1928 RM Soewardi Soerjaningrat hadir sebagai
salah tokoh utama pendidikan Taman Siswa. Pada saat ini Soetan Goenoeng Moelia
selain direktur Normaal School di Meester Cornelis, anggota Volksrad, Soetan
Goenoeng Molia juga anggoat Komite Pendidikan HIS.
Tentu saja dalam kesempatan Kongres
PPPKI 1928 RM Soewardi Soerjaningrat dan Soetan Goenoeng Moelia memiliki agenda
sendiri. Mereka berdua dulu di Belanda adalah sama-sama anggota Indische
Vereeniging. Pada saat mereka berdua pulan tahun 1919 RM Soewardi Soerjaningrat
adalah pemegang sertifikat LO (sarjana muda pendidikan) sementara Soetan
Goenoeng Moelia selain memiliki sertifikat LO juga sertifikat MO (sarjana
pendidikan Mr).
Pada akhir tahun 1929
Sutan Goenoeng Moelia meminta dengan hormat mengundurkan diri dari berbagai
jabatan karena ingin sekolah dan dikabulkan terhitung 1 Desember 1929 (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 18-01-1930). Soetan Goenoeng Moelia ingin melanjutkan
studi doktoral untuk memperoleh gelar doktor (Ph.D) di bidang pendidikan. Kemungkinan
alasan Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan studi doktoral karena untuk bidang
pedagogi ini, belum ada pribumi yang berpendidikan doktor, mungkin dilihatnya,
kebutuhan ini sangat diperlukan dalam pembangunan pendidikan pribumi dan
diperlukan orang pribumi. Boleh jadi ini yang menjadi alasan pertama mengapa
Soetan Goenoeng Moelia masih bertekad untuk sekolah sekalipun umurnya tidak
muda lagi dan jabatannya sudah lebih dari cukup. Ini mirip dengan apa yang
dialami Soetan Casajangan ketika melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1905.
De Sumatra post, 27-04-1933 |
Taman Siswa dan Institute Josua dua
sekolah (perguruan) swasta di Medan tidak kalah sama sekolah-sekolah
pemerintah. Sebagaimana Taman Siswa didirikan Ki Hadjar Dewantara di Jiogjakarta,
di Medan juga GB Josua (Gading Batubara Josua) mendirikan perguruan (institute(
sesuai dengan namanya. GB Josua lahir di Sipirok (Afdeeling Padang Sidempoean)
pada tanggal 10 Oktober 1901 (10-10-01). Setelah lulus sekolah dasar di Sipirok,
GB Josua melanjutkan sekolah guru di Fort de Kock. Setelah lulus Kweekschool
Fort de Kock, Gading Batoebara melanjutkan sekolah ke Hogere Kweekschool di
Poeworedjo dan lulus 1923. Setelah lulus, Gading Batoebara pulang kampung dan
menjadi guru sementara di HIS swasta Sipirok (kampung halamannya). Kemudian GB
Josua merantau dan menjadi guru di Tandjoengpoera (Langkat). Tidak lama di
Tandjongpoera, GB Josua tertarik atas tawaran untuk memajukan sekolah HIS
swasta di Doloksanggoel. Kehadirannya membuat sekolah HIS Doloksanggoel maju
pesat hingga akhirnya diakuisisi oleh pemerintah menjadi HIS negeri. Sukses GB
Josua merancang HIS di Doloksanggoel membuat namanya diperhitungkan oleh
pemerintah Nederlansch Indie. Dalam perkembangannya, GB Josua diangkat menjadi
guru pemerintah dan ditempatkan di Medan tahun 1928 (lihat De Sumatra post,
17-09-1928). Pada tahun 1929 GB Josua melanjutkan pendidikannya ke Negeri
Belanda di Groningen. Setelah mendapat akte Lager Onderwijs (LO) GB Josua
kembali ke tanah air 1931 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
01-12-1931). Di Medan GB Josua mendirikan sekolah HIS. Sekolah yang didirikan Haji
GB Josua ini hingga ini hari masih eksis di Medan dengan nama Perguruan Josua.
Pada fase akhir
pendidikan doktoral Soetan Goenoeng Meolia di Belanda, ayah Sutan Gunung Mulia
bernama Mangaradja Hamonangan diberitakan telah meninggal dunia di Padang
Sidempuan. Jarak yang jauh antara Leiden dan Padang Sidempoean telah
menghalangi Soetan Goenoeng Moelia menghadiri pemakaman ayah tercinta.
De Sumatra post, 31-10-1933:
‘Mangaradja Hamonangan, orang yang terkenal, pensiunan guru. Dalam pemakaman
Mangaradja Hamonangan di pemakaman keluarga di Sitamiang dihadiri oleh banyak
pejabat dan tokoh terkenal. Lebih dari prestasinya di bidang pendidikan,
almarhum Mangaradja Hamonangan dikenal sebagai ayah dari salah satu yang paling
berbakat di Tapanoeli, yaitu, anggota dewan rakyat (Volksraad) Todoeng gelar
Sutan Goenoeng Moelia. Mr Todoeng adalah guru dengan sertifikat akta utama yang
diperoleh di Belanda. Beberapa tahun yang lalu ia meninggalkan untuk kedua
kalinya pergi ke Belanda, dimana sebelumnya telah memperolah Mr, juga baru-baru
ini telah berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) dalam pedagogi. Segera, Mr. TSG
Moelia kembali ke negara ini’
Soetan Goenoeng Moelia meraih gelar
doktor dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi
berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap', Mr. Todoeng Harahap
gelar Soetan Goenoeng Moelia, lahir di Padang Sidempoean (Algemeen Handelsblad,
09-12-1933).
Setelah segala
sesuatunya beres di Belanda, Soetan Goenoeng Moelia kembali segera ke tanah air. Soetan Goenoeng Meolia
ingin segera ke kampung di Padang Sidempoean untuk berziarah ke makam sang
ayah. Dr. Mr. Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia tidak lam kemudian diberitakan
Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1934 akan ditempatkan di HIK Bandoeng segera
setelah tiba di negara ini dari Eropa.
HIK adalah singkatan dari Holandsche
Indische Kweekschool yang mana siswa yang diterima adalah lulusan MULO atau
Kweekschool. Lulusan HIK dapat diangkat menjadi pengajar di MULO atau
Kweekschool.
Sutan Gunung Mulia juga
adalah anggota Bestuurs Academic. Dewan ini terdiri dari, presiden, Prof. R.
Hussein Djajadiningrat (anggota Volksraad), HA Loghem (Residen di West Java),
Dr GF. Piper (penasihat untuk Urusan Pribumi), RTA Hasan Soemadipradja (Bupati
Batavia) dan Dr. Mr. Todoeng Gelar Sutan Goenoeng Moelia (anggota Volksraad).
Dewan ini adalah dewan yang terbilang bergengsi (lihat Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 30-07-1938). Namun terhitung dari tanggal 8 Maret
dikembalikan ke Departemen Pendidikan dan Agama. Soetan Goenoeng Moelia akan
kembali menduduki posisinya sebagai Inspektur Pendidikan Inlandsch. Sementara
fungsinya yang juga sebagai anggota dewan rakyat (Volksraad) tetap diangkat
oleh Pemerintah (lihat De Sumatra post, 25-02-1939).
Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 09-05-1939 |
Inspektur Pendidikan Pribumi adalah jabatan
tertinggi di Kementerian Pendidikan yang dapat diraih oleh orang pribumi.
Fungsi Inspektur Pendidikan Pribumi adalah bidang yang mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan pendidikan bagi pribumi baik yang diselenggarakan
pemerintah maupun swasta atau masyarakat. Dalam hal ini lengkap sudah karir
Soetan Goenoeng Moelia di bidang pendidikan. Jabatan ini seakan melengkapi
tingkat pendidikan yang tidak hanya bergelar master (Mr) di bidang pendidikan
juga pribumi pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang pendidikan.
Di Jogjakarta Ki Hadjar Dewantara berduka, ibu
mertuanya meninggal dunia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-08-1939).
Disebutkan Bendoro Raden Ajoe Pangeran Ario Sasraningrat adalah istri dari Pangeran
Ario Sasraningrat. Secara tradisional, peti mati dibawa oleh putra dan menantu
dari rumah bagian dalam ke pendopo lali kemudian dilakukan prosesi ke gereja
Bintaran, dimana seorang pendeta sepupu dari almarhum melakukan upacara gereja.
Sesaat bergerak prosesi melaju ke biara Fransiskan, dimana mobil jenazah hanya
berhenti di depan portal, untuk memberikan biarawati kesempatan untuk membuat
salam terakhir kepada ibunya. Itu adalah Zr. M. Clara, seorang putri dari
almarhum yang sebelumnya dikenal dengan nama Raden Adjoe Soeki. Dari biara
dibawa ke Moentilan, dimana BRA Sasraningrat dimakamkan sesuai dengan
keinginannya di makam RK Kerkhof der Paters Jezuieten. Atas nama keluarga, Ki
Hadjar Dewantara, menantu dari almarhum, mengucapkan terima kasih kepada semua atas
partisipasi yang ditunjukkan’
Pendidikan Taman Siswa ala Ki
Hadjar Dewantara dan Sekolah HIS dimana Soetan Goenoeng Moelia memiliki peran
penting yang menjadi pergumulan dalam mencari pendidikan yang ideal bagi bangsa
Indonesia. HIS dibentuk tahun 1914 sebagai solusi sulitnya anak-anak Indonesia
masuk ke sekolah Eropa (ELS). Janya segelintir yang mampu, tentu saja termasuk
RM Soewardi Soerjaningrat salah satu yang berhasil. Taman Siswa sendiri yang
diumumkan pada tanggal 3 Juli 1922 sebagai bentuk pendidikan yang berlawanan
dengan HIS.
Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa menggunakan
pendekatan tradisional, swadaya, mandiri dan kurikulum yang berakar dari sosial
budaya setempat. Tdak mengikuti hasil pengetahuan (sains) dari Barat
juga bukan dari Modjopahit yang dibangkitkan (lihat De Indische courant, 09-05-1941:
TAMAN SISWA)). Sebuah sintesis ditemukan antara Timur dan Barat yang terdiri
dari beberapa prinsip: 1. Sistem Among; 2. guru harus mahir berada di depan; 3.
Nasional tanpa imitasi; 4. Pendidiak untuk semua; 5 tidak mengandalkan bantuan
dan dukungan orang lain; 6. Sistem jaminan diri; 7 bebas dari ikatan.
Prinsip-prinsip tersebut disebut melawan migrasi ke Barat dan mundur ke masa
lalu yang masih diterima.
Sekolah HIS adalah bentuk sekolah yang digambarkan
sebagai puzzle terkenal: ‘berpajoeng boekannja radja, bersisik boekannja ikan’,
Dalam hal ini HIS memiliki timbangan sendiri: HIS bukan sekolah Eropa, juga bukan
penduduk asli. Ini adalah sekolah untuk anak-anak dari kelompok ‘istimewa’
orang Indonesia, dimana bahasa Belanda adalah bahasa resmi di empat kelas
teratas (lihat De Indische courant, 25-06-1941: DE HOLLANDSCH INLANDSCHE SCHOOL).
Tujuan sekolah HIS disebutkan adalah untuk membuka jalan ke Barat untuk orang
Indonesia. HIS dirancang secara berjenjang: HIS (7 tahun(: MULO (4 tahun); dan
AMS (3 tahun). Jenjang ini untuk mencapai pintu masuk ke sains dan budaya Barat
Jauh sebelum munculnya konsep
pendidikan HIS (Soetan Goenoeng Moelia) dan konsep pendidikan Ki Hadjar
Dewantara (Taman Siswa) sudah pernah terjadi pergumulan diantara orang Belanda
sendiri. Pada tahun 1818 pemerintah menerapkan pendidikan liberal. Pemerintah
memberi kesempatan kepada penduduk pribumi untuk diajar di sekolah-sekolah
Belanda. Pada tahun 1837 ada total 37 siswa Indonesia di ELS. Pada tahun 1848 orang
pribumi tidak lagi diizinkan berada diantara sekolah ELS.
Perubahan yang terjadi ini melahirkan gagasan
pembentukan sekolah guru untuk pribumi (yang disebut Kwekschool) untuk penyediaan
guru-guru pribumi yang lebih banyak. Sekolah guru yang pertama dididirikan di
Soerakarta pada tahun 1851. Setelah itu menyusul didirikan Kweekschool di Fort
de Kock. Pada tahun 1862 seorang pemuda Mandailing yang baru pulang studi dari
Belanda dengan mendapat akte guru bantu (LO) mendirikan Kweekschool di
Tanobatoe, Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli. Salah satu
lulusan Kweekschool Tanobato ini adalah Maharadja Soetan (ayah Soetan
Casajangan). Sedangkan Soetan Casajangan sendiri sebelum melanjutkan studi ke
Belanda adalah lulusan Kweekschool Padang Sidempoean.
Lima belas tahun kemudian pada
tahun 1863 pelarangan itu kembali dibuka yang memungkin anak-anak pribumi
bersekolah di ELS, Ini berarti kembali ke sistem pendidikan tahun 1818.
Alasannya bahwa penerimaan tidak boleh ditolak jika penduduk pribumi secara
tegas dan sukarela. Kebijakan ini bukan tanpa risiko. Sebab dapat menurunkan
kualitas pendidikan dan ketidakpuasan serius di antara orang-orang Eropa/Belanda.
Lalu pada tahun 1868 disetop lagi.
Pada tahun 1894 diperbolehkan
lagi dengan persyarataa anak Indonesia harus cukup tahu bahasa Belanda dan usia
tidak lebih dari 7 tahun. Pada tahun 1900 Abendanon mencoba mengusulkan
pembebasan persyaratan itu dibebaskan dan tiga tahun kemudian baru disetujui.
Pada tahun 1907 hambatan itu diberlakukan lagi tetapi dengan pengecualian
dengan jumlah kuota terbatas, Oleh karena meningkatnya kebutuhan orang
Eropa/Belanda untuk menghilangkan kuota pribumi muncul model sekolah baru
setara ELS yang kemudian pada tahun 1914 disebut sekolah Hollandsch Inlandsche
School (HIS). Hingga tahun 1941 sudah
ada 150.000 orang Indonesia berbahasa Belanda dari lembaga pendidikan dasar
Barat (ELS dan HIS).
Pergumulan bentuk pendidikan ini di Indonesia hingga
berakhirnya kolonial Belanda belum berakhir. Berbagai bentuk usul masih terus
diapungkan. Sekolah yang digagas Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa) tetaplah
satu hal. Sedangkan usulan-usulan yang terus bergulir adalah hal lain.
Dalam pergumulan mencari bentuk
pendidikan di Indonesia Soetan Goenoeng Moelia diangkat sebagai Inspektur
Pendidikan Pribumi. Selain itu, jabatan Mr. Sutan Goenoeng Moelia, Ph.D juga adalah
anggota Volkraad dari golongan pendidikan. Jabatan terakhir Soetan Goenoeng
Moelia di dewan sebelum perang adalah Wakil Ketua Volksraad (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 30-06-1949).
Mangaradja Soangkoepon adalah anggota dewan fenomenal,
sebagai macan Pejambon, maka selalu terpilih dalam pemilu. Kini, Mangaradja
Soangkoepon untuk ketiga periode secara berturut-turut menjadi anggota
Volksraad. Pada periode ketiga ini Mangaradja Soagkoepon dan Sutan Gunung Mulia
bahu membahu untuk berjuang untuk kepentingan rakyat (lihat Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 12-02-1940). Sutan Gunung Mulia terkesan kalem
terhadap pemerintah Belanda tetapi pemikiran dan substansinya sangat tajam
terutama di bidang pendidikan, sedangkan Mangartadja Soangkoepon terkesan galak
terhadap pemerintah Belanda (kadang tanpa kompromi).
Pengelolaan pendidikan
di Indonesia selama era kolonial Belanda jelas sangat rumit. Untuk pendidikan
dasar saja ada sekolah Eropa (ELS) dan ada juga sekolah dasar bentuk baru (HIS)
dan sekolah pribumi (sekolah rakyat). Disamping itu ada sekolah yang dikelola
oleh pemerintah dan juga ada yang dikelola oleh masyarakat atau swasta
(termasuk yang dikelola oleh orang Tionghoa). Taman Siswa adalah sekolah rakyat
tetapi berbeda dengan sekolah rakyat yang dikelola oleh pemerintah. Namun
demikian, sekolah Taman Siswa tetap berada di bawah pengawasan Inspektur
Pendidikan Pribumi (Soetan Goenoeng Moelia).
Soetan Goenoeng Moelia sangatlah
kewalahan dengan situasi dan kondisi yang ada di dalam bidang pendidikan.
Sekolah Eropa (ELS) sudah barang tentu mengikuti kurikulum pendidikan Eropa
(yang kompatibel dengan sekolah-sekolah di Eropa). Sementara sekolah HIS hanya
ada di Indonesia dan harus mendapat pendidikan persamaan untuk bisa disetarakan
dengan ELS. Oleh karena HIS hanya ada di Indonesia dan memiliki kurikulum yang
seragam antara yang dikelola pemerintah maupun yang dikelola oleh swasta
pribumi atau swasta asing atau Taman Siswa. Sebagaimana diketahui sejak 1933 kurukulum
Taman Siswa sudah ada yang disesuaikan dengan kurikulum HIS sehingga lulusannya
bisa ke MULO/HBS. Dalam hal ini pemerintah membentuk Komite HIS yang mana salah
satu anggota komite tersebut adalah Soetan Goenoeng Moelia. Sementara untuk
sekolah pribumi belum terbentuk komite sekolah pribumi. Boleh jadi hal ini
karena kurikulum sekolah pribumi yang berada di bawah pengawasan Inspektur
Pendidik Pribumi (Soetan Goenoeng Moelia) dilakukan berbeda-beda seperti Taman
Siswa. Dengan demikian akan sangat sulit membentuk sekolah pribumi secara
nasional. Sekolah-sekolah Taman Siswa yang berada di bawah Yayasan Taman Siswa
yang seragam secara nasional tetapi
berbeda dengan kurikulum sekolah-sekolah pribumi yang dikelola pemerintah
secara nasional.
Sutan Gunung Mulia dan Ki Hadjar Dewantara Sebagai
Republiken Berjuang Demi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Penyatuan pendidikan
nasional Indonesia hanya dimungkinkan dengan menghilangkan faktor asing
(Belanda dan Jepang). Itu dapat dilakukan setelah Indonesia Merdeka. Dalam era
kemerdekaan Indonesia tanggungjawab penyatuan ini berada di tangan Menteri
Pendidikan. Pasca kemerdekaan Indonesia dalam kabinet pertama yang diangkat
sebagai Menteri Pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantara (sejak 2 September 1945).
Namun sangat jelas sangat sulit untuk melihat peran Ki Hadjar Dewantara sebagai
Menteri Pendidikan dalam persoalan pendidikan nasional. Hal ini karena Ki
Hadjar Dewantara hanya menjabat sebagai Menteri Pendidikan hanya sekitar dua
bulan. Yang menggantikan Ki Hadjar Dewantara adalah Soetan Goenoeng Moelia.
Sudah barang tentu setelah tidak
menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara kembali memimpin
perguruan Taman Siswa. Sebagai pencetus dan juga masih menjadi pimpinan Yayasan
Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara tidak akan mengubah prinsip Taman Siswa yang
telah dibangunnya sejak 1922.
Konsep pendidikan yang
dijalankan oleh Menteri Pendidikan Soetan Goenoeng Moelia adalah mengikuti
konsep yang sudah terbentuk sejak era kolonial Belanda. Kebetulan Inspektur
Pendidikan Pribumi pada akhir periode kolonial Belanda adalah Soetan Goenoeng
Moelia. Oleh karenanya tidak akan ada kesulitan bagi Soetan Goenoeng Moelia
untuk menata pendidikan nasional Republik Indonesia.
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Sutan Gunung Mulia (kiri) saat SU PBB (De Telegraaf, 22-10-1949) |
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Sutan Gunung Moelia dan Ki Hadjar
Dewantara: Riwayatnya Kini
apakah mengenali keluarga soetan casajangan?
BalasHapus