*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Kota/Kabupaten Sukabumi belumlah lama. Namun nama kampong Soekaboemi sudah sejak lama ada di kota Batavia, bahkan sudah ada sejak era VOC. Tidak ada nama kampong Soekaboemi di Sukabumi. Yang ada adalah nama-nama kampong Karang Tengah, Kabandoengan, Tjibatoe, Benteng, Tjikole, Waroedoejong dan Goenoeng Parang. Nama kampong Benteng sendiri diduga merupakan nama yang muncul karena keberadaan benteng (fort) VOC/Belanda (posisi GPS benteng tersebut pada masa ini di sekitar jalan Sriwijaya, Sukabumi).
Sejarah Kota/Kabupaten Sukabumi belumlah lama. Namun nama kampong Soekaboemi sudah sejak lama ada di kota Batavia, bahkan sudah ada sejak era VOC. Tidak ada nama kampong Soekaboemi di Sukabumi. Yang ada adalah nama-nama kampong Karang Tengah, Kabandoengan, Tjibatoe, Benteng, Tjikole, Waroedoejong dan Goenoeng Parang. Nama kampong Benteng sendiri diduga merupakan nama yang muncul karena keberadaan benteng (fort) VOC/Belanda (posisi GPS benteng tersebut pada masa ini di sekitar jalan Sriwijaya, Sukabumi).
Soekaboemi: Peta 1724 (atas) Peta 1860 (bawah) |
.
Lantas
apakah nama Soekaboemi berasal dari nama kampong (land) Soekaboemi di Batavia?
Pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa land Soekaboemi (Goenoeng Parang) harus dibebaskan
dan kemudian diakuisisi Pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaan yang lebih
penting lagi bagaimana sejarah awal terbentuknya Soekaboemi hingga menjadi sebuah
Kota (Gemeente)? Pertanyaan-pertanyaan ini tampaknya kurang mendapat perhatian
selama ini. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Gunung Gede/Pangrango: Bogor, Cianjur dan Sukabumi |
Serial artikel Sejarah Sukabumi ini merupakan rangkaian
sejarah kota-kota di Indonesia. Gagasan penulisan Sejarah Sukabumi ini sejatinya
sudah muncul beberapa tahun yang lalu, tetapi harus ditunda begitu lama. Hal ini karena
setelah serial artikel Sejarah Depok dan Sejarah Bogor, tampaknya harus didahului
dengan memahami lebih awal Sejarah Bandung, Sejarah Jakarta, Sejarah Bekasi dan
Sejarah Tangerang. Dengan begitu maka akan lebih mudah dan komprehensif untuk memahami Sejarah Sukabumi. Untuk itu, mari kita mulai
serial Sejarah Sukabumi dengan artikel pertama.
Tanah-Tanah Partikelir di Era VOC
Sejarah Sukabumi, meski masih tergolong baru,
tetapi keberadaannya sudah sejak lama diketahui (oleh VOC). Ini diketahui
ketika VOC/Belanda mulai melakukan survei wilayah dengan mengirim satu tim
ekspedisi pada tahun 1687 ke hulu sungai Tjiliwong dengan mengabil rute awal
dari selatan (pulau) Jawa. Tentu saja sejak 1619 hingga 1687 belum satupun nama
tempat yang pernah diidentifikasi di wilayah hulu sungai Tjiliwong.
Peta 1619 |
Rute ekspedisi Scipio 1687: Pelabuhan Ratu, K Tengah, Cicurug |
Dari peta ekspedisi ini mengindikasikan wilayah
Sukabumi yang sekarang paling tidak telah diselidiki oleh tim ekspedisi
VOC/Belanda pada tahun 1687. Seperti biasanya, tim ekspedisi yang dipimpin
militer ini juga menyertakan para ahli seperti ahli geologi, ahli botani, ahli
geografi sosial, dan bahkan ahli linguistik (sosial budaya). Dengan kata lain
sejak 1687 wilayah Sukabumi yang sekarang sudah dikenal oleh orang Eropa/Belanda.
Peta ekspedisi ke Priangan, 1701 |
Ekspedisi kedua ke hulu sungai Tjiliwong
dilakukan pada tahun 1701. Ekspedisi ini dipimpin oleh Abraham van Riebeeck
dari sisi barat sungai Tjiliwong melalui Tjililitan, Depok, Pondok Terong, Bodjong
Gede dan Paroeng Angsana (Tanah Baru, Bogor Baru yang sekarang). Ekspedisi ini
juga melakukan peninjauan hingga memasuki wilayah Priangan (Preanger) dengan mengitari
gunung Pangrango/gunung Gede via Tjiseroa (kini Puncak), Tjiandjoer dan kembali
melalui Goenoeng Parang dan Tjitjoeroek (kini wilayah Sukabumi) dan tiba kembali
di Fort Padjadjaran (kini Bogor). Ekspedisi ini dilakukan setelah dua tahun
gunung Salak meletus pada tahun 1699.
Pada
tahun 1701 Abraham van Riebeeck diberi izin oleh pemerintah VOC untuk
memiliki/mengusahakan lahan di Bodjong Gede. Beberapa tahun sebelumnya tahun
1695 Cornelis Chastelein telah diberi izin membuka lahan di Sering Sing (kin
Srengseng Sawah, Lenteng Agung). Sebelum Cornelis Chastelein, yang pertama
membuka lahan di hulu sungai Tjiliwong adalah Majoor Saint Martin pada tahun
1684 di Tjinere dan di Pondok Terong (Tjitajam). Lahan yang dimiliki oleh Saint
Martin sebagai pemberian hadiah dari pemerintah setelah sukses meredakan
kerusuhan di (kesultanan) Banten. Besar dugaan ekspedisi yang dilakukan Sersan
Scipio ke pedalaman dari selatan Jawa di Pelabuhan Ratu yang sekarang terkait
dengan pengembangan lahan pertanian setelah Saint Martin merintis di Tjinere
dan Pondok Terong (dua lahan tersubur). Dalam perkembangannya, tidak lama
setelah Abraham van Riebeeck membuka lahan di Bodjoeng Gede menyusul Cornelis
Chastelein memperluas lahannya dengan membeli lahan di Depok. Mereka ini adalah
tiga pionir VOC/Belanda yang mengembangkan pertanian di hulu sungai Tjiliwong.
Pada tahun 1709 sepulang dari Malabar (India
selatan), Abraham van Riebeeck diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC. Pada
tahun 1710 Abraham van Riebeeck mempelopori penanaman kopi di Kedaoeng, Tangerang lalu pada tahun 1711 diperluas
hingga ke hulu sungai Tangerang/Tjisadane, sungai Tjiliwong, sungai
Bekasi/Tjilengsi serta hulu sungai Krawang/Tjitaroem dengan mendatangkan bibit
kopi dari Malabar..
Pembukaan lahan-lahan pertanian di empat daerah aliran sungai ini awalnya
masih terbatas untuk perkebunan tebu dan pabrik gula. Dengan adanya introduksi
kopi yang dilakukan oleh Abraham van Riebeeck, lahan-lahan bukaan baru semakin
meluas hingga ke lereng gunung Salak (kini Tjiomas) dan lereng gunung Pangrango
(kini Puncak). Pada fase inilah kemudian diformalkan status pemilikan lahan
menjadi status tanah partikelir (land).
Pada bulan Juli 1713 Gubernur Jenderal Abraham
van Riebeeck melakukan kunjungan ke Tjiandjoer dan Bandoeng (lihat Daghregister
tanggal 7 Juli 1713). Sudah barang tentu tujuan kunjungan ini adalah untuk
menjalin kerjasama dalam pengembangan tanaman kopi di Priangan. Namun tidak
lama setelah kunjungan ke Priangan ini Abraham van Riebeeck meninggal dunia di Batavia
pada tanggal 17 November 1713 pada usia 60 tahun.
Abraham
van Riebeeck telah mengambil inisiatif untuk introduksi tanaman kopi dan menjalin
kerjasama dengan bupati Tjiandjoer dan bupati Bandoeng. Abraham van Riebeeck adalah Gubernur Jenderal pertama yang
melakukan kontak dan kerjasama dengan bupati di Priangan.
Christoffel van Swol, penerus Abraham van
Riebeeck, tampaknya melanjutkan komunikasi dan kerjasama dengan pemimpin lokal
di Priangan. Sebuah akta telah disiapkan untuk bupati Tjiandjoer. Berdasarkan
Daghregister 9 Agustus 1715 surat/akta diterjemahkan dalam bahasa Soenda dan
kemudian dikirimkan ke bupati Tjiandjoer tanggal 13 Agustus 1715, lalu
balasannya diterima pada tanggal 7 Oktober 1715 dan diterjemahkan pada tanggal
8 Oktober 1715.
Sayang Abraham van Riebeeck tidak melihat hasilnya. Penyebaran penanaman
kopi sudah semakin meluas dan pada tahun 1724 kebun kopi bahkan sudah
terdeteksi di daerah aliran sungai Semarang (lihat Peta 1724). Pada tahun 1724
kembali diadakan kunjungan dan membuat perjanjian (akta) dengan bupati
Tjiandjoer, Aria Wiratanoe (lihat Daghregister, 28 Februari, 1724). Pada
tanggal 15 Mei 1730 Tommagong Angadi Radja van Bandoeng datang ke Batavia. Satu
diantara para pemimpin yang tidak mau kerjasama dengan VOC adalah pemimpin dari
Djampang. Seperti kita lihat nanti, perlawanan dari (pemimpin) Djampang tahun
1715 inilah yang menyebabkan VOC membangun pertahanan (benteng) di area Kota
Sukabumi yang sekarang. Kelak dalam pembentukan pemerintahan (era Pemerintah
Hindia Belanda) wilayah (district) Djampang tidak termasuk wilayah (di bawah)
kekuasaan Regent (Bupati) Tjiandjoer tetapi kangsung dikontrol langsung oleh
pemerrintah (Residen).
Pada
saat terjadi serangan dari Banten, VOC sudah memiliki beberapa benteng selain
benteng Padjadjaran (sejak 1687) juga terdapat di Tangerang (sejak 1679),
Serpong dan Tandjong (kini Pasar Rebo), Bekasi dan Tandjong Poera (Krawang). Pada
tahun 1710 benteng baru dibangun di Tjiampea (sebagai benteng pendukung Fort
Sampoera di Serpong). Pada tahun 1713 dibangun lagi benteng di Panjawoengan
(kini Leuwiliang/Leuwisadeng). Sementara benteng Padjadjaran semakin diperkuat.
Pada saat van Imhoff membangun villa, posisi benteng Padjadjaran tepat berada
di depan (halaman) villa.
Perang lawan Banten ini (1752) akhirnya
dapat diredakan dengan sejumlah perjanjian. Untuk memperkuat pertahanan
VOC/Belanda di wilayah pedalaman, dibangun benteng baru di hulu sungai
Tjidoerian di Djasinga dan di hulu sungai Tjimandiri di antara kampong Karang
Tengah dan kampong Tjikole (kini menjadi pusat kota Sukabumi).
Benteng-benteng VOC/Belanda |
Sejak diperkuatnya benteng Padjadjaran (di hulu sungai Tjiliwong) dan adanya
benteng di Djasinga (hulu sungai Tjidoerian) dan di Karang Tengah (hulu sungai
Tjimandiri), pemerintah VOC sejak van Imhoff mulai melibatkan pemimpin lokal di
hulu sungai Tjiliwong (yang kemudian disebut Buitenzorg) untuk membangun
pertanian. Satu kerjasama yang penting antara van Imhoff dengan para pemimpin
lokal adalah membangun kanal irigasi dengan menyodet sungai Tjiliwong di (kampong)
Katoelampa. Kanal irigasi ini untuk membangun perswahan ke hilir di land
Kampong Baroe (Tjiloear dan Kedonghalang).
Satu
lagi kanal irigasi yang dibangun adalah membangun kanal irigasi sungai
Tjipakantjilan. Untuk menaikkan air sungai Tjipakantjilan yang jatuh ke sungai
Tjisadane (kira-kira di kampong Empang yang sekarang) dibuat kanal (baru)
melalui Paledang untuk mengairi pembukaan persawahan bari di Kedong Badak dan
Tjileboet. Kanal ini cukup dalam di area antara Paledang dan Panaragan, kanal
yang kemudian di atasnya dibangun jembatan penghubung (jembatan tersebut kemudian
dikenal sebagai Jembatan Merah).
Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff
juga melakukan perjanjian kontrak kepada sejumlah pemimpin lokal di Preanger
untuk penanaman kopi. Kontrak-kontrak ini terus dijaga dan diteruskan oleh
penerus van Imhoff. Pengumpulan hasil tanaman kopi dipusatkan di Tjiandjoer
sebelum diangkut ke Batavia dengan mengerahkan para kuli angkut (dalam
satuan-satuan picol). Pengangkutan ini dari Tjiandjoer melalui Tjiseroa ke
Buitenzorg yang lalu kemudian diangkut dengan kendaraan pedati ke Batavia.
Kontrak-kontrak
penanaman kopi antara VOC dengan pemimpin lokal di Preanger yang berpusat di
Tjiandjoer diduga tidak hanya ke Bandoeng, Soemedang dan Limbangan (kini
Garut), tetapi juga diperluas ke arah barat ke Goenoeng Parang (kini Sukabumi).
Sampai sejauh ini tidak ditemukan keterangan apakah sudah terbentuk jalan dari
Goenoeng Parang ke Buitenzorg melalui Tjitjoeroek. Yang jelas aliran komoditi
kopi dari barat Tjiandjoer memusat (menuju) ke Tjiandjoer. Kontrak-kontrak ini
hanya dilakukan kepada pemimpin lokal di wilayah kekuasaan pemerintah VOC.
Untuk wilayah yang telah dikuasai oleh swasta dalam bentuk tanah partikelir
(land) pengembangan pertanian berjalan sendiri-sendiri sesuai minat pemilik
land (landheer) mau menanam komoditi apa. Tanah-tanah partikelir ini tersebar dari sungai Tjitaroem di timur hingga
sungai Tangerang/Tjisadane di barat, dari pantai utara hingga ke pedalaman di
Tjikaoe (kini Purwakarta) di Bloeboer (kini Bogor) dan Tjiampea.
Dalam serangan yang dilancarkan (kesultanan)
Banten pada tahun 1752 semasa Gubernur Jenderal Jacob Mossel, villa yang
sebelumnya dibangun oleh van Imhoff hancur. Villa yang hancur ini baru kemudian
dibangun kembali oleh Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra
(1761-1775).
Gubernur
Jenderal Jacob Mossel tidak segera merehabilitasi villa warisan van Imhoff yang
hancur. Jacob Mossel justru membeli land milik Vink dimana terdapat pasar. Land
ini sebelumnya dibeli oleh Vink dari Cornelis Chastelein. Di land ini kemudian
Jacob Mossel membangun istana megah. Lingkungan istana Mossel ini kemudian
dikenal sebagai Weltevreden. Kelak istana ini dikenal sebagai RSPAD yang
sekarang dan pasar yang dibangun oleh Vink tersebut kini dikenal sebagai pasar
Senen (pasar Weltevreden). Setelah Jacob Mossel digantikan oleh Gubernur
Jenderal Petrus Albertus van der Parra, istana Weltevreden dibeli oleh van der
Parra. Istana ini tampaknya tidak cukup bagi van der Parra, lalu kemudian
membangun (kembali) villa Buitenzorg (sebagai milik pemerintah VOC). Untuk
menghubungkan dua istana (villa) ini van der Parra juga membangun sebuah
mansion di land Tjimanggis sebagai tempat transit (kini mansion tersebut
dikenal sebagai Rumah Tjimanggis).
Pengganti Petrus Albertus van der Parra yakni
Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk (1775-1777) tidak menggunakan
istana/villa Buitenzorg karena telah memiliki mansion sendiri di land Antjol.
Jeremias van Riemsdijk selain menambah land-land baru di daerah aliran sungai
Bekasi/Tjilengsi, juga membentuk land baru di hulu sungai Tjiliwong dan hulu
sungai Tjisadane. Di hulu sungai Tjiliwong terbentuk land Tjiseroa, land Pondok
Gede (Tjiawi), Land Tjikoppo. Di hulu sungai Tjisadane terbentuk land Tjiampea,
land Tjiomas dan land Dramaga.
Land yang terbentuk di (district) Buitenzorg (1860) |
Hingga berakhirnya era VOC/Belanda sebaran
tanah-tanah partikelir telah meliputi seluruh wilayah antara sungai Tjitaroem
di timur dan sungai Tjisadane di barat. Land-land terjauh di selatan
(pedalaman) adalah land Tjiseroa, land Pondok Gede, land Tjikoppo, land
Tjidjeroek, land land Tjiomas, land Dramaga, land Tjiampea, land
Tjiboengboelang dan land Sading atau land land Panjawoengan.
Pembebasan Land Soekaboemi di Residentie Preanger
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 lalu
kemudian diakuisisi oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia
Belanda. Pada masa transisi ini, keberadaan land-land tetap diakui oleh
pemerintah. Dalam struktur pemerintahan juga masih terlihat keberadaan para
pedagang-pedagang VOC. Pada era Gubernur Jenderal Daendels, sejumlah kebijakan
radikal dibuat.
Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810 |
Kebijakan lainnya yang dibuat oleh Gubernur
Jenderal Daendels adalah mulai membangun kota-kota pemerintahan. Untuk tujuan
itu Daendels membeli land Weltevreden yang di atasnya dibangun istana
Weltevreden (kini dikenal sebagai gedung kementerian keuangan di lapangan
Banteng). Daendels juga membeli land Bloeboer untuk mendirikan kota pemerintah
di Buitenzorg. Untuk menutupi biaya-biaya tersebut, sebelumnya Daendels juga
menjual lahan lainnya kepada swasta sebagai tanah partikelir (land).
Land-land
yang baru tersebut berada di barat sungai Tjitaroem dan di barat sungai
Tjisadane. Land yang dibentuk di barat sungai Tjitaroem yang sebelumnya masuk
Residentie Krawang dan dimasukkan ke wilayah Residentie Batavia adalah land
Tjabangboengin, land Kedonggede, land Tjikarang dan land Tjibaroesa. Sedangkan
land yang dibentuk di barat sungai Tjisadane (termasuk sungai Tjianten dan
sungai Tjikaniki) adalah land Grendeng (kini Karawatji), land Tjigronson, land
Sading Djamboe (kini sebagai kecamatan Leuwisadeng), land Bolang (kini dikenal
sebagai kecamatan Cigudeg), land Tjoeroek Bitoeng (kemudian dikenal land
Nanggoeng) dan land Janlappa (Djasinga). Dengan pembentukan land baru ini maka
luas Residentie Banten dikurangi dan luas Residentie Batavia bertambah hingga
mencapai sungai Tjidoerian/Tjikande.
Namun semua itu segera berakhir karena terjadi
pendudukan Inggris. Gubernur Jenderal Daendels digantikan oleh Letnan Jenderal
Raffles. Pemerintah pendudukan Inggris memulai pemerintahannya dengan membentuk
16 Residentie di seluruh (pulau) Jawa. Di wilayah barat terdiri dari Residentie
Batavia, Residentie Banten, Residentie Buitenzorg, Residenti Krawang dan
Residentie Preanger.
Pada permulaan
Pemerintah Hindia Belanda wilayah Preanger terbagi dua: wilayah barat masuk
Batavian en Preanger Bovenlanden dan wilayah timur adalah Chirebon en Preanger
Bovenlanden. Saat itu, asisten residen berkedudukan di Buitenzorg termasuk
Preanger Bovenlanden (yang meliputi wilayah Tjiandjoer en Soekaboemi). Kemudian
pada era pendudukan Inggris dua wilayah Preanger disatukan dengan membentuk
Residentie Preanger dimana residen berkedudukan di Tjianjoer.
Dalam pemerintahan ini pemerintahan pendudukan
Inggris tidak memilih Batavia sebagai ibu kota (stad) tetapi di Buitenzorg (dan
di Semarang). Satu kesulitan yang dihadapi Inggris adalah mengadministrasikan
Residentie Soeracarta dan Residentie Djogjacarta. Pemimpin lokal di Djogjakarta
melakukan perlawanan dan terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
Inggris. Sementara itu, dalam situasi ‘dingin’ di Residentie Buitenzorg dan
Residentie Preanger, tidak disangka Letnan Gubernur Jenderal Raffles menjual
lahan kepada swasta di Residentie Preanger.
Dua
lahan yang dijual ini berada di Tjipoetri (Tjipanas) dan di Goenoeng Parang
(kelak masuk wilayah Asisten Residen Soekaboemi). Yang membeli kedua lahan
tersebut adalah Engelhardt. Tentu saja penjualan lahan ini sangat membingungkan
karena pemerintah pendudukan Inggris tidak dalam posisi kekurangan uang tunai.
Dua lahan yang berada di sisi selatan dan timur gunung Pangrango/gunung Gede ini
berada diantara land Tjikoppo/Srogol (Tjigombong) dan land Tjisaroea di perbatasan
Tjiandjoer (yang bersingungan langsung dengan land-land yang sudah lama
terbentuk di Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia). Land yang berada di
district Goenoeng Parang ini kemudian disebut Land Soekaboemi. Menurut peta yang dikumpulkan oleh de Haan, land ini dibentuk yang mana
land tersebut pada tahun 1815 dimiliki oleh Andries de Wilde.
Mengapa land di district Goenoeng Parang ini disebut Land Soekaboemi? Pada saat itu tidak ada nama kampong yang disebut Soekaboemi di Residentie Preanger. Nama kampong Soekaboemi hanya ditemukan di Residentie Batavia dan Residentie Soeracarta. Kampong Soekaboemi di Residentie Batavia telah dijadikan nama properti/land yang merujuk nama kampong Soekaboemi. Land Soekaboemi ini paling tidak telah dipetakan pada peta yang berjudul Schets van de landen tusschen de Sontar en de Ankee, ongeveer 1770 (lihat de Haan). Nama kampong Soekaboemi di Batavia diduga kampong yang dulunya dibuka dan huni oleh eks pasukan pendukung militer VOC yang berasal dari Soeracarta. Lantas, apakah nama Soekaboemi sebagai nama land di district Goenoeng Parang merujuk pada properti/land Soekaboemi di Batavia?
Kekuasaan Inggris tidak lama, pada
tahun 1816 kekuasaan beralih (kembali) ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam
perkembangannya land Soekabomi diketahui telah dimiliki oleh Andries de Wilde.
Kerajaan Belanda mengangkat Godart Alexander Gerard
Philip Baron van der Capellen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang
baru (Agustus 1816- Januari 1826). Satu yang penting dari kebijakan van der
Capellen adalah memperluas wilayah ke pantai barat Sumatra (sementara Inggris
tetap bercokol di Bengkoelen).
Pada permulaan Pemerintahan Hindia Belanda
(pasca pendudukan Inggris), rumor tentang keberadaan land Tjipoetri dan land
Goenoeng Parang mulai muncul. Penjualan lahan oleh Raffles menjadi isu hangat
karena selama era Daendels pembentukan land hanya dibatasi di Residentie
Batavia. Di luar Residentie Batavia adalah lahan-lahan pemerintah. Land
Tjipoetri dan land Goenoeng Parang dalam masalah.
Daftar Residen Preanger di Tjiandjoer, 1816-1871) |
Pada
tahun 1823 Gubernur Jenderal van der Capellen mengakuisisi dua land di
Residentie Preanger menjadi milik pemerintah kembali. Eks tanah partikelir di
Residentie Preanger tersebut kemudian dikenal dengan nama land Soekaboemi dan
land Tjipoetri. Ibu kota Preanger sendiri sejak era pendudukan Inggris tetap masih
berada di Tjiandjoer. Dengan pengembalian dua land ini menjadi domain
pemerintah (diserahkan kepada Bupati Tjiandjoer), penduduk sedikit lega karena
beban pajak sawah hanya dikenakan 1/10 (sementara sebelumnya pada era tanah
partikelir penduduk harus membayar 1/5).
Pada
tahun 1825 gunung Goentoer meletus dan terjadi kerusakan yang parah. Produksi
kopi menurun drastik. Ketersediaan bahan pangan menjadi langka di wilayah Priangan
termasuk di (land) Soekaboemi. Untuk mengamankan kelangkaan pangan di
Residentie Preanger, pemerintah mendistribusikan beras. Distribusi beras di
(land) Soekaboemi dilakukan di tiga gudang yang dapat diakses oleh penduduk
yakni di gudang di Tjiheulang, Tjimahie dan Goenoeng Parang (lihat Javasche
courant, 21-10-1828). Gudang milik pemerintah di Goenoeng Parang diduga
lokasinya berada di kampong Tjikole (yang kini menjadi nama jalan Gudang di
Kota Sukabumi).
Untuk mempercepat proses pemulihan
di Residentie Preanger kemudian diangkat Controleur di Sumadang (1ste-klass) di
Bandong (2de-klass) di Tjiandjoer (2de-klass) dan Limbangan (Javasche courant,
06-08-1829). Pemulihan tersebut utamanya untuk merehabilitasi lahan-lahan kopi
yang rusak dan juga untuk meningkatkan luas lahan kopi yang baru.
Terlihat bahwa penempatan controleur klass-1ste di
Sumadang menunjukkan bahwa Sumadang lebih penting (utama) jika dibandingkan
dengan Bandong (controleur klas-2). Penempatan Controleur ini selain untuk
mengefektifkan pemerintahan yang berpusat di Tjiandjoer juga diduga karena
terkait dengan penerapan koffiestelsel.
Pada tahun 1830 Johannes van den
Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Johannes van den Bosch
tidak asing dengan wilayah Residentie Buitenzorg dan Residentie Preanger.
Sebagaimana Abraham van Riebeeck yang pertama memetakan wilayah hulu sungai
Tjiliwong dan sempat meninjau ke Priangan di masa lampau, Johannes van den
Bosch adalah orang pertama yang memetakan wilayah Priangan dan yang menjadi ‘anak
buah’ ternaik dari Gubernur Jenderal Daendels. Kini, Johannes van den Bosch
telah menjadi Gubernur Jenderal.
District Goenoeng Parang (Peta-1823-1829) |
Program utama Johannes van den Bosch
sebagai Gubernur Jenderal yang baru adalah mengubah koffiekultuur menjadi
koffiestelsel. Tampaknya Johannes van den Bosch ingin mengejar setoran yang
lebih besar. Sebab Perang Jawa baru saja berlalu dan mengeluarkan biaya yang
sangat besar. Sementara itu, harga kopi di pasar dunia (terutama di Eropa)
tengah naik daun.
Peta 1840 |
Kebijakan koffiestelsel yang
mendapat perlawanan terus menerus di Padangsche (Residentie Padangsche
Bovenlanden) dan di Afdeeling Angkola dan Mandailing (Residentie Tapanoeli)
pemerintah pusat mulai mengendorkan kebijakan koffiestelsel ala warisan
Johannes van den Bosch.
District Tjimahi (Peta 1823-1829) |
Dalam perkembangannya di wilayah Afdeeling
Soekaboemi nama District Soeniawenang berubah menjadi District Palaboehan.
Dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1870 District Djampang Wetan (timur)
dimasukkan ke Afdeeling Tjiandjoer dan di Afdeeling Soekaboemi District
Djampang Koelon dimekarkan dan dibentuk dasitrict baru yang disebut District
Djampang Tengah. District Tjiheulang sendiri kini lebih dikenal sebagai
Kecamatan Cibadak. Kepala District Tjimahi berkedudukan di Karang Tengah;
Kepala District Goenoeng Parang berkedudukan di Tjikole.
Javasche courant, 02-10-1833 |
.
Lalu kemudian pada tahun
1870 dilakukan reorganisasi pemerintahan. Ibukota Afdeeling Mandailing tempat
dimana asisten Residen dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Hal
yang sama juga dilakukan diberbagai wilayah termasuk di Residentie Preanger.
Sementara
itu, dalam penataan pemerintahan di Residentie Preanger yang dilakukan tahun
1871, tempat kedudukan Residen Preanger dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandong.
Dalam fase perpindahan ini resident Preanger tetap dijabat oleh C van der
Moore. Dalam reorganisasi ini Asisten Residen di Residentie Preanger terdapat
di Bandoeng, Tjitjalengka, Tjiandjoer, Soekaboemi, Soemedang, Limbangan, Soekapoera
dan Tasikmalaja. Sementara Bupati (Regent) Tjiandjoer berkedudukan di
Tjiandjoer, Bandong di Bandong, Limbangan di Garoet dan Soemedang di Soemedang.
Dalam reorganisasi pemerintahan tahun
1870an tersebut, Regentschappen (kabupaten) Tjiandjoer terdiri dari dua
afdeeling, yakni: Tjiandjoer dan Soekaboemi. Afdeeling Tjiandjoer terdiri dari
sembilan district dimana Asisten Residen berkedudukan di Tjiandjor; Afdeeling Soekaboemi
terdiri dari tujuh district dimana Asisten Residen berkedudukan di Soekaboemi. Secara
keseluruhan di Residentie Preanger total terdapat 62 district dari sembilan afdeeling.
Ketujuh
district di Afdeeling Soekabomi tersebut adalah Tjitjoeroek, Palaboehan,
Tjiheulang, Djampang Koelon, Djampang Tengah, Tjimahi dan Goenoeng Parang.
Kedudukan Asisten Residen (Afdeeling) Soekaboemi berada di kota Soekaboemi.
Untuk membantu Asisten Residen ditempatkan dua Controleur, yakni Controleur di
onderafdeeling Tjitjoeroek (district Tjitjoeroek, Palaboehan dan Tjiheulang)
yang berkedudukan di (kampong/kota) Tjitjoeroek dan Controleur di
onderafdeeling Lengkong (district Djampang Koelon dan Djampang Tengah) yang
berkedudukan di (kampong/kota) Njalindoeng. Untuk district Tjimahi dan Goenoeng
Parang langsung berada di bawah Asisten Residen.
Konsekuensi dari reorganisasi pemerintahan ini
sesuai ordonansi 10 September 1870, pemerintah mulai menerapkan retribusi
(tjoekei) untuk lahan-lahan sawah di Residentie Preanger (lihat Bataviaasch
handelsblad, 15-04-1871). Untuk wilayah Tjiandjoer diterapkan terbatas di (land)
Soekaboemi dan Tjipoetri.
Pembentukan Kota (Gemeente) Soekaboemi
Meski wilayah Sukabumi yang sekarang sudah
dikenal sejak era VOC, tetapi baru berkembang sejak era koffiestelsel (1830).
Perkembangan ini sempat terhambat karena pembebasan land Soekaboemi pada tahun
1823. Sementara land yang ada hanya sampai di land Tjikoppo (sekitar
Tjigombong).
Para
pemilik land umumnya mengembangkan jalan dan jembatan dan lalu kemudian jalan
antar land lambat laun terhubung. Hal ini berbeda di wilayah yang dikuasai
pemerintah seperti di Afdeeking Soekaboemi yang dalam hal pengangkutan komoditi
(kopi) hanya menggunakan jalan setapak yang menjadi lalu lintas pengangkutan
dengan cara dipikul menuju Tjiandjoer atau menuju Buitenzorg melalui
tanah-tanah partikelir. Jalan raya yang dapat dilalui oleh pedati hanya
terbatas pada jalan pos dari Tjiandjoer melalui Tjisaroea menuju Buitenzorg. Meski
demikian, para pedagang Tionghoa yang sebelumnya berbasi di Buitenzorg lambat
laun memasuki wilayah Soekaboemi yang membentuk pemukiman di kampong Tjikole.
Pada tahun 1821 kampong Tjikole sudah banyak dihuni oleh orang-orang Tionghoa.
Pada tahun 1836 pemerintah menetapkan status
jalan (lihat Javasche courant, 30-01-1836).
Jalan kelas satu diantaranya jalan pos dari Batavia ke Buitenzorg terus ke
Bandoeng melalui Megamendoeng/Tjisaroea. Untuk jalan kelas dua adalah dari
Buitenzorg ke Djasinga melalui Tjiampea dan jalan dari Buitenzorg ke Tangerang
melalui Koeripan dan Parong. Sedangkan jalan kelas tiga adalah jalan kecil.
Pada jalan kelas satu dan kelas dua dikenakan retribusi untuk pedati.
Dalam
beslit penetapan status jalan ini tidak teridentifikasi jalan di wilayah
Soekaboemi. Besar dugaan jalan utama di wilayah Soekaboemi tergolong jalan
kelas tiga (hanya dapat dilalui oleh kuda beban). Pada Peta 1840 jalur jalan
kelas tiga di wilayah Soekabomi ini adalah dari Tjiandjoer ke Soekaboemi; dari
Buitenzorg ke Soekabomei melalui Tjitjoeroek dan Nagrak; serta dari Soekaboemi
ke pelabuhan melalui Tjikembar. Jalan antara Tjiandjoer dan Buitenzorg melalui
Soekaboemi lambat laun terus ditingkatkan. Hal ini karena semakin berkembangnya
perkebunan-perkebunan teh di Tjijoeroek, Sinagar dan Parakan Salak.
Kota Soekaboemi lambat laun tumbuh dan
berkembang. Orang-orang Eropa yang membuka perkebunan di wilayah Soekaboemi
tidak lagi tinggal di Tjiandjoer atau di Buitenzorg tetapi secara bertahap
memusat di Soekaboemi. Orang-orang Tionghoa di Buitenzorg juga terus mengalir deras
masuk ke Soekaboemi.
Penduduk
pribumi juga terus bertambah karena perkembangan perekonomian yang pesat di
wilayah Soekaboemi. Pada tahun 1850 jumlah penduduk Afdeeling Soekaboemi telah
meningkat pesat menjadi sekitar 80.000 jiwa (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant
: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 19-08-1850).
Seiring dengan pertumbuhan perkebunan dan
perkembangan penduduk di wilayah Soekaboemi, pada Peta 1857 jalan antara
Buitenzorg dan Tjiandjoer vai Soekaboemi telah diidentifikasi sebagai jalan kelas
dua. Peningkatan ini diduga karena peran Controleur yang ditempatkan di Soekaboemi.
Wilayah
Soekaboemi dan Tjipoetri tidak hanya menghasilkan kopi dan teh, pada tahun 1858
dua wilayah ini dilaporkan untuk kali pertama mengekspor beras (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-07-1858). Ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk telah memberi kontribusi dalam pencetakan
sawah-sawah baru yang pada gilirannya menghasilkan surplus beras. Melihat
perkembangan yangt pesat di Soekaboemi, ketika Gubernur Jenderal melakukan
kunjungan ke Tjiandjoer juga menyempatkan diri dalam perjalanan pulang ke
Soekaboemi (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en
advertentieblad, 14-09-1860).
Pertumbuhan dan perkembangan di Afdeeling
Soekaboemi kemudian pemerintah pusat pada tahun 1871 meningkatkan status
Controleur Soekaboemi menjadi Asisten Residen dan menempatkan satu Controleur
di Tjitjoeroek. Dampaknya jalur Buitenzorg dan Soekaboemi semakin ramai.
Bataviaasch handelsblad, 31-08-1882 |
Pada tahun 1883 jalur kereta api Buitenzorg-Bandoeng
via Soekaboemi dan Tjiandjoer dioperasikan. Kota Soekaboemi juga terus tumbuh
dan berkembang. Jarak tempuh Soekaboemi tidak hanya lebih dekat dengan Buitenzorg,
tetapi juga arus barang dan orang dari Soekaboemi ke Batavia juga semakin
intens. Kota Soekaboemi tampaknya telah mampu mengejar ketertinggalannya dari kota
Tjiandjoer. Kota Soekaboemi semakin tidak terbendung, kota telah tumbuh dan
berkembang. Dan pada akhirnya kota Soekaboemi menjadi Kota (Gemeente).
Hotel Ploem di Soekaboemi, 1902 |
Kota Soekaboemi baru tahun 1926 memiliki wali
kota secara definitif. Wali kota pertama adalah GF Rambonet. Sebagai
perbandingan: Gemeente Buitenzorg yang dibentuk pada tahun 1905 baru tahun 1920
memiliki wali kota yakni A. Bagchus (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-01-1920).
Sedangkan Gemeente Bandoeng yang ditetapkan sejak 1904 baru tahun 1917 wali
kota diangkat secara definitif (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-06-1917).
Kota Sukabumi (Peta 1899) |
InforMAS YANG BERHRGA..TERIMA KASIH..
BalasHapusNice share.. Sangat bermanfaat.Jadi membuka wawasan baru. Cukup ilmiah dengan menghadirkan bukti-bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan.. Good job Pak.. 👍👍
BalasHapuscatatan sejarah yang sangat bermanaat
BalasHapus