*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini
Ibarat roda kereta kuda, kota Parung Kuda adalah poros (as atau sumbu) di District Tjitjoereok pada masa lampau. Lokasi wilayah Parung Kuda yang berada di tengah (strategis) menyebabkan Parung Kuda memiliki dinamikanya sendiri. Dinamika tersebut yang mana kota Parung Kuda berkembang seiring dengan perkembangan perkebunan (onderneming) di Parakan Salak. Oleh karena itu sejarah Parung Kuda tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Parakan Salak. Sejarah Parung Kuda dan sejarah Parakan Salak ibarat roda kereta kuda antara yang kiri dan yang kanan (jika beroda dua); atau ibarat roda belakang dan roda depan (jika beroda empat).
Ibarat roda kereta kuda, kota Parung Kuda adalah poros (as atau sumbu) di District Tjitjoereok pada masa lampau. Lokasi wilayah Parung Kuda yang berada di tengah (strategis) menyebabkan Parung Kuda memiliki dinamikanya sendiri. Dinamika tersebut yang mana kota Parung Kuda berkembang seiring dengan perkembangan perkebunan (onderneming) di Parakan Salak. Oleh karena itu sejarah Parung Kuda tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Parakan Salak. Sejarah Parung Kuda dan sejarah Parakan Salak ibarat roda kereta kuda antara yang kiri dan yang kanan (jika beroda dua); atau ibarat roda belakang dan roda depan (jika beroda empat).
Parakan Salak dan Paroeng Koeda (Peta 1899) |
Lantas seperti apa awal mula sejarah Parung Kuda? Itu harus kita mulai
dari Parakan Salak. Banyak tokoh penting muncul dari Parakan Salak. Yang
pertama adalah sang pionier Jan Pieter van der Hucht yang membuka laha Parakan
Salak pada tahun 1844. Lalu muncul AW Holle dan G Mundt. Paralel dengan sejarah
Parakan Salah dan para tokoh-tokoh tersebut, sejarah Parung Kuda berlangsung. Untuk
memahami lebih lanjut mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini
adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Jan Pieter van der Hucht: Pionir Onderneming Parakan Salak
Surat
kabar yang terbit di Belanda, Algemeen Handelsblad edisi 24-04-1846 memuat berita duka bahwa pada
tanggal 31 Januari 1846 di Parakan Salak, di pulau Jawa, setelah sakit singkat,
pada usia 48 tahun, Jan Pieter van der Hucht meninggal tidak hanya disesali
oleh janda yang nestafa dan delapan anak-anaknya, tetapi juga oleh semua orang
yang mengenalnya dan memiliki hubungan dengan dia. Berita duka itu ditulis di Amsterdam,
22 April 1846.
Hampir tiga bulan jarak waktu antara kejadian
meninggal di Parakan Salak dengan berita duka di Amsterdam. Pada saat itu
pelayaran laut masih melalui Afrika Selatan dari Batavia ke Amsterdam. Lalu
lintas Batavia-Buitenzorg memang sudah bisa dengan kereta kuda (roda empat),
tetapi jalan pos dari Buitenzorg ke Bandoeng via Gadok dan Tjisaroea hanya
dapat dilalui pada musim kerang. Dari persimpangan (sekitar Tjiawie) ke Parakan
Salak hanya dapat dilalui dengan kendaraan berkuda. Telekomunikasi jarak jauh
juga baru terbatas di Batavia. Koneksi telegraf sendiri dari Batavia ke
Buitenzorg baru tersambung pada tahun 1855 (lihat Provinciale Overijsselsche en
Zwolsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 22-05-1855).
Di
dalam stambuk keluarga Jan Pieter van der Hucht disebutkan lahir tanggal 5
Oktober 1797 di Zierikzee, Belanda. Istrinya Johanna Constanita W Lulofs lahir
tahun 1796 dan meninggal tahun 1856. Anak mereka juga disebutkan sebanyak
delapan orang. Satu orang anak meninggal pada tahun 1846 dan satu orang meninggal
pada tahun 1856. Yang lainnya berumur panjang. Kedelapan anak mereka ini
disebutkan semuanya lahir di Amsterdam.
Peta 1840 |
Dari
semua informasi yang ada, hanya keterangan tempat meninggalnya Jan Pieter van
der Hucht di Parakan Salak. Sejak kapan (keluarga) van Hucht di Parakan Salak
tidak diketahui. Namun demikian, lahan di Parakan Salak (di selatan gunung
Salak) belum lama dibuka, dan boleh jadi Jan Pieter van der Hucht adalah de
pionier. Lantas apa hubungannya KF Holle yang disebut tokoh penting Preanger
dan AW Holle yang kelak menjadi penerus Jan Pieter van der Hucht di lahan
Parakan Salak.
Frederik Holle lahir di Amsterdam pada tahun 1829. Pada usia 15
tahun pada tahun 1844 KF Holle bersama keluarganya berangkat ke Hindia Belanda.
Beberapa tahun kemudian (1846) KF Holle diangkat sebagai pegawai sebagai schrijver
di kantor Residen Preanger di Tjiandjoer dan pada tahun 1847 dipindahkan ke
Batavia. Pada tahun 1853 KF Holle dipromosikan menjadi komisi pertama
ditempatkan di Batavia (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 23-06-1888). Tiga tahun kemudian (1857) KH Holle mengundurkan
diri sebagai pejabat pemerintah dan beralih jadi ahli bahasa (Soenda) dan mulai
melakukan kegiatan yang menantang di Preanger (Limbangan).
Jan Pieter van der Hucht adalah kapten kapal Sarah Johanna yang membawa keluarga
Holle dari Amsterdam ke Jawa (Hindia) pada tahun 1844. Pelayaran ini bagi Jan
Pieter van der Hucht adalah yang terakhir dilakukannya. Jan Pieter van der
Hucht adalah paman (saudara dari ibu) KF Holle sendiri. Seperti disebut di
atas, Jan Pieter van der Hucht meninggal pada tanggal 31 Desember 1846 di
Parakan Salak. Berdasarkan keterangan ini besar dugaan bahwa istri dan delapan
anak-anak Jan Pieter van der Hucht berada di Amsterdam selama dua tahun Jan
Pieter van der Hucht.merintis usaha pertanian di Parakan Salak. Hanya surat
yang dikirim yang sampai ke Amsterdam, untuk sekadar memberitahu meninggalnya Jan
Pieter van der Hucht di Parakan Salak.
Dari keterangan ini, Jan Pieter van der Hucht sebagai pionier terbilang
belum lama mengusahakan lahan Parakan Salak (1844-1846). Tanaman yang diusahakan
adalah teh. Adik KF Holle yakni AW Holle yang turut dalam pelayaran tahun 1844
adalah orang yang kemudian meneruskan lahan yang telah disuahakan oleh alm Jan
Pieter van der Hucht. Pada saat Jan Pieter van der Hucht memiliki lahan Parakan
Salak juga Jan Pieter van der Hucht memiliki lahan bersama dengan Pieter Holle di
tanah partikelir (land) Bolang (kini wilayah kecamatan Cigudeg, Bogor Barat). Pieter
Holle aadalah ayah dari KF Holle dan AW Holle yang turut dalam pelayaran tahun
1844 tersebut. Jan Pieter van der Hucht dan Pieter Holle adalah saudara sepupu.
Keluarga Holle dan Keluarga van Motman
Tanah-tanah partikelir (land) sejak era VOC sidah
meluas hingga ke lereng gunung Salak seperti land Srogol (kini Cigombong) dan land
Leuwiliang. Pada era pendudukan Inggris (1811-1916) menjual lahan di lereng
gunung Gede sebelah selatan (lahan ini kemudian dikenal sebagai land
Soekaboemi). Setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa pada tahun 1826 sejumlah
district dibentuk di sebelah barat Tjiandjoer (Preanger). District-district tersebut
adalah Goenoeng Parang, Tjimahi, Tjiheulang, Palaboehan, Djampang Koelon,
Djampang Wetan dan Tjitjoeroek. Lalu pada tahun 1823 muncul kebijakan baru bahwa
di wilayah Preanger tidak boleh ada tanah partikelir. Karena itu, land
Soekaboemi yang berada di District Goenong Parang dibeli pemerintah dan
kemudian diserahkan kepada Bupati Tjiandjoer. Status kepemilikan land
Soekaboemi menjadi penyewa. Eks land Soekaboemi inilah yang menjadi cikal bakal
Kota Sukabumi yang sekarang.
Peta wilayah Leuwiliang dan Parakan Salak |
Dalam perkembanganya, seperti disebutkan di atas,
pada tahun 1844 Jan Pieter van der Hucht menyewa lahan di kampong Parakan Salak
untuk usaha pertanian tanaman teh. Pada waktu yang sama Jan Pieter van der
Hucht bersama Pieter Holle (ayah KF Holle) membeli land Bolang (kini kecamatan
Cigudeg). Namun kiprah Jan Pieter van der Hucht tidak lama karena tahun 1846
dikabarkan meninggal dunia di Parakan Salak. Pada saat Jan Pieter van der Hucht
masih hidup, yang menjadi Administrateur land Bolang adalah Pieter Holle. Lalu
kemudian Pieter Holle digantikan oleh sang anak, AW Holle (adik KF Holle).
Tetangga
land Bolang adalah land Tjoeroek Bitoeng (Nanggoeng) dan land Sading Djamboe
(Djamboe). Dua land ini dimiliki oleh keluarsga van Motman di land Dramaga. Pada
tahun 1848 tiga land diantara land Sading Djamboe dan land Dramaga disewa oleh
keluarga van Motman dari keluarga van Riemsdijk. Tiga land tersebut adalah land
Tjiampea, land Tjoboengboelan dan land Panjawoengan (Leuwiliang).
Andriaan Walraven Holle menikah dengan putri Jan Casimir
Theodoor van Motman bernama Johanna Adriana Louise van Motman. Pada tahun 1852
land Bolang diketahui telah dimiliki oleh FHC van Motman (saudara putri Jan
Casimir Theodoor van Motman). Boleh jadi Pieter Holle telah menjual land Bolang
karena ingin fokus di Parakan Salak. Lagi pula land tersebut akan tetap
dipimpin oleh sang anak, AW Holle (sang menantu dari keluarga van Motman).
Pada
tahun 1855 land Bolang dijual keluarga vat Motman karena ingin membeli land
baru, land Kedong Badak. AW Holle dan istrinya Johanna Adriana Louise van
Motman beserta putra semata wayang Alexander Albert Holle kemudian pindah ke
Parakan Salak. AW Holle menggantikan sang ayah. Keberadaan AW Holle di Parakan
Salak paling tidak sudah diketahui pada tahun 1861 (lihat Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-05-1861). Disebutkan AW
Holle menjadi salah satu anggota yang hadir dalam pertemuan Dewan Nasional Masyarakat
Industri dan Pertanian (NI Maatschappij van Nijverheid en Landbouw) di
Buitenzorg.
Secara sosiologis dan psikologis perkembangan perusahaan (onderneming)
Parakan Salak lebih condong ke Buitenzorg daripada ke Preanger. Tidak hanya
karena adanya relasi keluarga pemilik lahan di Parakan Salak dengan pemilik
lahan di Buitenzorg tetapi secara geofrafis Parakan Salak lebih dekat ke
Buitenzorg daripada ke Tjiandjoer (Preanger). Namun secara ekonomis, karena
hambatan moda transportasi produk-produk dari Parakan Salak ke Palaboehan
(Preanger).
Onderneming Parakan Salak dan Paroeng Koeda
Meski Tjitjoeroek adalah suatu ibu kota distrixt
dan wilayah Preanger paling dekat dengan Buitenzorg, tetapi wilayah Tjitjoeroek
dari sudut pandang pemerintah daerah yang ber ibu kota di Tjiandjoer, dipandang
sebagai wilayah terpencil. Oleh karena itu koneksi antara Buitenzorg ke
Soekaboemi via Soekaboemi tidak masuk dalam perencanaan. Jalan yang ada antara
Tjitjoeroek dengan Soekaboemi tidak terlalu terpelihara dengan baik dan koneksi
antara Tjitjoeroek dengan Buitenzorg tidak terhubung dengan baik (karena adanya
tanah-tanah partikiler antara Tjiawie dan Tjigombong). Dalam situasi ini
kampong Tjitjoeroek yang sudah mulai tumbuh menjadi kota, kampong Paroeng Koeda
hanya sebuah kampong kecil. Dari kampong kecil Paroeng Koeda inilah akses jalan
menuju onderneming Parakan Salak.
Pada
era koffiestelsel (era van den Bosh 1830-1833) dimulai di Residentie Preanger, ibu
berada di Tjiandjoer. Jalan pos yang dibangun sejak era Daendels (1808-1811)
dari Batavia ke Buitenzorg terus ke Tjiandjoer melalui Tjisaroea. Kota
Tjiandjoer sebagai pusat jalan akses untuk program koffiestelsel dibuka ke
segala arah. Ke arah barat daya dibangun jalan akses utama dari Tjiandjoer ke Soekaboemi.
Jalan akses utama ini diteruskan hingga Palaboehan Ratoe. Sedangkan jalan akses
sekunder dari Soekaboemi ke arah barat laut menuju Tjitjoeroek melalu Nagrak.
Antara nagrak dan Tjitjoeroek terdapat kampong Paroeng Koeda. Antara kampong
Paroeng Koeda dengan Parakan Salak adalah jalan pribadi (jalan yang
dikembangkan sendiri oleh pemilik lahan Parakan Salak).
Produksi kopi dari program koffiestelsel,
pengangkutannya tidak dilakukan melalui jalan pos. Jalan pos hanya digunakan
untuk lalu lintas pos dan lalu lintas pergerakan militer. Produksi kopi di sebelah
barat Regentschap Tjiandjoer diangkut dan dikumpulkan ke gudang-gudang kopi
pemerintah di Soekaboemi, Tjiheulang, Tjikembar, Tjaringin, Bodjong Genteng,
Paswahan dan Tjikawoeng dan Sagaranten. Lalu dari gudang-gudang kopi pemerintah
ini (termasuk gudang-gudang pemerintah di Tjiandjoer) diteruskan ke Palaboehan
untuk diekspor (ke Eropa/Belanda).
Produksi
kopi di district Tjitjoeroek dalam hal ini dikumpulkan ke gudang kopi
pemerintah di Tjikembar. Sementara pengangkutan garam dari gudang pemerintah di
Palaboehan diangkut ke gudang garam pemerintah di Soekaboemi dan Tjiandjoer.
Untuk wilayah (onderafdeeling) Soekaboemi garam didistribusikan dari Soekaboemi
ke seluruh wilayah melalui pedagang (yang umumnya dilakukan oleh pedagang
Tionghoa) termasuk ke Tjitjoeroek.
Pada tahun 1865 lalu lintas militer mulai diubah
yang awalnya melalui Tjisaroea (Megamendoeng) beralih ke arah selatan melalui
Tjitjoeroek dan Soekaboemi terus ke Tjiandjoer (lihat Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-09-1865). Hal ini
karena jalur Tjisaroea dianggap sudah terlalu ramai (baik oleh perjalanan
pegawai negeri, investor maupun para pelancong). Pada saat inilah terjadi
peningkatan mutu jalan dari Tjiawi ke Tjiandjoer melalui Tjitjoeroek dan
Soekaboemi. Perubahan rute militer ini menjadi berkah bagi ibu kota district
Tjitjoeroek dan kampong Paroeng Koeda. Pada saat ini onderneming Parakan Salak
sudah terkenal dan produksinya diangkut menuju Palaboehan.
Pada
tahun 1870 terjadi reorganisasi pemerintahan. Dalam reorganisasi ini Resident
Preanger yang sebelumnya berkedudukan di Tjiandjoer dipindahkan ke Bandoeng.
Sementara itu status Controleur Soekaboemi yang berkedudukan di Soekaboemi
ditingkatkan menjadi Asisten Residen. Dalam reorganisasi ini juga ditempatkan
seorang Controleur di Tjitjoeroek. Dengan adanya pemerintahan yang
ditingkatkan, district Tjitjoeroek akan tumbuh dan berkembang lebih cepat. Reorganisasi
pemerintahan ini juga menjadi berkah bagi Tjitjoeroek dan kampong Paroeng
Koeda. Para investor juga akan banyak yang datang (onderneming baru sudah
terbentuk di Pakoewon), dan juga para pegawai negeri dan pelancong juga akan
mengalir. Lalu lintas jalur Tjiawi ke Soekaboemi melalui Tjitjoeroek (dan
kampong Paroeng Koeda) akan semakin ramai. Era baru kampong Paroeng Koeda
dimulai. Arus pelancong semakin ramai sehubungan dibukanya jalur kereta api
dari Batavia ke Buitenzorh pada tahun 1873.
Dengan berubahnya rute militer (yang sebelumnya
via Megamendoeng) dan dibukanya jalur kereta api dari Batavia-Buitenzorg, maka
district Tjitjoeroek yang dulu dianggap terpencil dari sudut pandang
Tjiandjoer, kini lambat laut district Tjitjoeroek menemukan jalannya sendiri.
Tidak lagi berorientasi ke Tjiandjoer, bahkan tidak lagi ke Soekaboemi, tetapi
sudah bergeser ke Buitenzorg.
Pergeseran
orientasi penduduk di wilayah district Tjitjoeroek semakin besar lagi
sehubungan dengan adanya rencana pembangunan jalur kereta api dari Buitenzorg
ke Bandoeng melalui Soekaboemi dan Tjiandjoer. Salah satu halte yang akan
dibangun di ruas Buitenzorg-Soekaboemi tepat berada di kampong Paroeng Koeda. Era
baru perkembangan kota Paroeng Koeda dimulai. Seperti kita lihat nanti, kampong
Paroeng Koeda menjadi kota dan dijadikan sebagai ibu kota onderdistrict Paroeng
Koeda.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perang Kemerdekaan di Parakan Salak dan Paroeng Koeda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar