*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini
Banyak situ (danau) di Sukabumi, tetapi danau Situ Gunung disitu Gunung Gede
Pangrango menawarkan suatu alam yang berbeda (eksotik). Situs ini pernah saya
kunjungi tahun 1984 mengikuti rombongan wisata Imatapsel Bogor ketika saya masih kuliah di tahun
kedua. Ketua rombongan kami adalah mahasiswa yang tahun sebelumnya pernah KKN
di desa dimana situ berada. Wisata alam ini kami adakan hari Sabtu-Minggu dengan
membawa tenda besar dipinjam dari Zeni-Bogor (semacam persamilah). Sejak itu, baru ketika menulis artikel ini saya merecall
kembali memori tentang alam indah Situ Gunung.
Situ Gunung dan jembatan gantung (Peta 1899) |
Namun
bukan kunjungan kami itu yang ingin ditulis tetapi adalah kesan para wisatawan Eropa
yang mengunjungi Sitoe Goenoeng pada tahun 1888. Boleh dikatakan dari situlah
(sejak 1888) sejarah Situ Gunung dimulai. Pada masa ini, berdasarkan informasi di internet, Situ Gunung kini
sudah sangat heboh. Bahkan di kampong Pasanggrahan di dekat situ terdapat situs
modern yakni jembatan gantung yang tidak kalah eksotiknya dengan situ. Jembatan
suspensi Situ Gunung ini panjangnya 250 meter di atas ketinggian 150 meter dari
dasar ngarai. Situs wisata ini berada di bawah Balai Besar Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. Mari kita kunjungi! Akan tetapi sebelum ke sana mari kita
tinjau lebih dahulu sejarahnya berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Situ Gunung dan jembatan gantung (suspensi) |
Wisatawan Pertama ke Situ Gunung,
1888
Setelah
dibukanya jalur kereta api dari Buitenzorg ke Soekaboemi tahun 1882, arus
wisatawan ke Soekaboemi semakin banyak. Lebih-lebih Soekaboemi merupakan
destinasi ideal daripada Tjiandjoer jika wistawan datang dari Batavia menuju
Bandoeng. Soekaboemi adakalanya menjadi destinasi pendahulu sebelum para
wisatawan stay lebih lama di Bandoeng. Itulah keunggulan komparatif Soekaboemi
dibanding Tjiandjoer. Soekaboemi sudah mulai bersaing dengan destinasi
Buitenzorg.
Cisaat masa kini |
Pada masa inilah satu per satu keindahan alam Soekaboemi terekspos ke
luar, bahkan hingga tempat-tempat terpencil di wilayah yang lebih tinggi di
lereng gunung Pangrango dimana Sitoe Goenoeng berada. Tempat yang eksotik
menjadi tantangan tersendiri bagi pelancong Eropa yang mampir di Soekaboemi.
Pemerintah Soekoeboemi sangat sadar arti penting para pelancong yang singgah di
Seokaboemi dan karena itu akses jalan menuju Sitoe Goenoeng juga ditingkatkan sehingga
kereta kuda dapat mencapainya. Oleh karena menuju titik GPS Sitoe Goenoeng
berada di lereng gunung maka akses jalan hanya bisa dibangun hingga kampong
Tjibonar. Selebihnya harus ditempuh selama satu jam dengan jalan kaki atau naik
kuda. Mula-mula sedikit mendaki lalu mulai terlihat cekungan yang lebih lebar.
Tjisaat (Peta 1899) |
Saat
mulai mendaki wisatawan terkesan karena kaya dengan flora di ketinggian empat
ribu kaki. Terlihat tjemara di sana-sini, yang batangnya dibalut lumut dan juga
banyak pohon pakis anggun. Seekor burung hitam besar, anggun seperti spesies
burung bangau, melayang tampak di kedalaman (jurang). Wisatawan juga
memperhatikan disini, untuk pertama kalinya, semacam burung tertentu. Wisatawan
bertanya kepada pemandu apa namanya dan mendapat jawaban bahwa itu adalah ‘manuk’
(burung). Wisatawan tidak puas jawaban lalu bertanya lebih lanjut dan pemandu
itu menjawab dengan tambahan: ‘manoek goenoeng’. Wisatawan juga tidak menemukan
pohon kelapa dan hanya terdapat di arah bawah sana.
Setelah beberapa waktu akhirnya jalan setapak
berbelok dan jauh di bawah wisatawan melihat terbentang danau Sitoe Goenoeng,
putih dan tenang. Wistawan kemudian mendesktripsikan apa yang diamati
dipahaminya. ‘Dalam keindahan, baik dalam bentuk maupun di sekitarnya, lembag
ini memiliki sedikit lebih rendah daripada Telaga Patengan, danau pegunungan
yang menawan setinggi lima ribu kaki di lereng barat Patuha, situ seperti kuali,
dimana dulu berapi dan berasap. Tetapi situ ini (Sitoe Goenoeng) tidak ada
jejak aktivitas vulkanik disini, ini dapat dirasakan dari suhu air. Wisatawan
menduga terbentuknya situ karena tenggelamnya dasar sebagai dampak yang berasal
dari gunung berapi melalui kawah samping gunung Gede. Ini pemandangan yang
keren, tidak saya duga begitu decak kagum si wisatawan. Di antara tepian yang
tinggi, permukaan air tidak bergerak di kedalaman: tidak ada ikan yang berenang
di atasnya, tidak ada burung yang meluncur dengan ujung sayap menyambar ikan. Di
area ini tidak ada kesan tempat tinggal manusia yang mencerminkan mereka pernah
mengalami banjir, tetapi kopi tampak ditanam. Sebagian besar, dinding bagian
dalam cekungan yang indah telah dibersihkan dan ditanami dengan tanaman dan
pada bagian yang terjal tampak gundul yang menjadi jatuh hujan ke dalam danau.
Hanya bagian terkecil dimana sudut hutan asli masih menempel ke danau. Area danau
tampaknya kantong kebun kopi milik pemerintah. Sebelum kopi pohon rasamala
mengelilingi danau di semua sisi karena hutan. Besar dugaan sejak zaman
Zwaardecroon dan van den Bosch area ini dibuka untuk tanaman kopi. Beberapa
pohon rindang besar di pinggir danau dimana terdapat beberapa pondok yang luas yang
dilengkapi dengan sebuah meja. Menurut pemandu juga ada yang datang untuk memancing
di kedalaman. Pemandu mengatakan kepada saya di situ terdapat ikan mas yang
mencapai ukuran yang cukup besar. Terlihat ada rakit yang ditambatkan di depan
pondok, sebuah sasak di dua kano, saya diberitahu itu dibuat untuk melayani wedana
(kepala distrixt), yang datang ke sini dari waktu ke waktu. Dataran rendah terlihat berawa dan dari situ air danau mengalir ke luar
danau diantara semak belukar. Bagi pejalan kaki, yang bergerak sejajar dengan
permukaan air, tepiannya tersembunyi di balik tanaman pakis, glagah dan pisang
liar. Saya tidak melihat adanya bunga lili air yang dapat dijadikan sebagai
penanda di masa lampau adanya bunga suci Buddha. Wisatawan mempertanyakan mengapa
seorang dari jajaran Hindu tidak tinggal di sini dengan seorang widodari atau paling
tidak seorang pahlawan legenda Jawa bisa ditugaskan di tempat ini. Wisatawan
membandingkan danau Njalindoeng (di Tjitjoeroek?) lebih besar dari danau Sitoe Goenoeng.
Keterangan
wisatawan ini tidak menjelaskan apakah sudah ada orang Eropa sebelumnya yang
datang di danau Sitoe Goenoeng. Meski tidak ada informasi ini, paling tidak
diketahui bahwa area Sitoe Goenoeng sudah dikenal sejak lama bahkan pada era
van den Bosch (1830-1833) sudah dijadikan sebagai wilayah penananam kopi.
Seperti diutarakan pemandu adanya rakit karena kebutuhan kepala district yang
kerap mengunjunginya. Adanya pondok di bawah pohon rindang besar dugaan muncul
sejak diberlakukannya koffiestelsel pada era van den Bosch.
Setelah tahun 1888, baru tahun 1910 ditemukan
kunjungan wisatawan ke Sitor Goenoeng (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 07-06-1910).
Wisatawan ini datang bersama istri dan dua anak. Namun mereka sempat
mencak-mencak karena lingkungan yang indah itu tidak ada intervensi pemerintah
(Asisten Residen) dalam menyiapkan spot. Apa yang dilihat wisatawan menjadi tidak
maksimal. Wisatawan ini juga mengkritisi pemerintah yang tidak membuat akses ke
air terjun Tjibeureum yang hanya dapat dipanjat ke lokasi dengan susah payah
dan tidak bisa menyertakan wanita.
Sejak tahun
1913 kunjungan wisatawan ke Sitoe Goenoeng semakin sering diberitakan di surat
kabar. Tidak hanya wisatawan lone ranger atau keluarga tetapi juga rombongan
besar yang tergabung dalam asosiasi seperti klub pencinta alam, klub berkemah
dan sebagainya.
Danau Sitoe Goenoeng, 1935 |
Area
Sitoe Goenoeng kemudian menjadi menarik bagi investor. Pada tahun 1934 area
Sitoe Goenoeng disewa oleh E. Bartels pemilik Onderneming Sitoe Geoenoeng untuk
usaha budidaya ikan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-05-1934). Disebutkan
usaha yang dilakukan oleh pemuda enerjik didirikan sesuai dengan nama situ
untuk membudidayakan sejumlah besar ikan muda di dalamnya, diperbesar pengembangbiakan
ikan, terutama ikan mas, tawes, gurami dan banyak spesies lainnya.
Penginapan dan kendaraan air di Sitoe Goenoeng, 1938 |
Dalam
perkembangannya, area wisata di Sitoe Goenoeng tidak hanya dikelola oleh
onderneming Sitoe Goenoeng juga para sukarelawan melalu klub-klub di beberapa
kota berpartisipasi untuk turut membangun beberapa fasilitas seperti
penginapan, bungalow dan bangun-bangunan untuk perkemahan. Het Vaderland : staat-
en letterkundig nieuwsblad, 16-08-1934 juga memberitakan sudah ada agen di
Belanda yang memasuk situs Sitoe Goenoeng sebagai objek wisata yang dapat dikunjungi/
Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1941 |
Pada
tahun 1941 di Soekaboemi diketahui sudah ada nama hotel dan restorang yang menggunakan
nama Sitoe Goenoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1941). Ini menunjukkan
bahwa area wisata Sitoe Goenoeng telah berkembang dan nama itu kemudian dibuat
situsnya di tengah kota sebagai nama hotel dan restoran, Masih pada tahun 1941
diberitakan kesatuan angkatan laut yang berbasis di Tandjoeng Priok melakukan
wisata yang dibagi ke dalam sejumlah grup dimana menjadi tujuan mereka wisata,
yakni: Lido, (hotel en spa) Tjmelatie, Sitoe Goenoeng (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 08-07-1941). Ini mengindikasikan bahwa Sitoe Goenoeng telah menjadi
salah satu tempat destinasi wisata yang penting (yang tidak kalah dengan Lido
dan Tjimelatie). Namun tidak lama kemudian semua itu menjadi gelap. Sitoe Goenoeng
menjadi sepi sendiri.
Sitoe Goenoeng (Peta 1935) dan Kadoedampit (Peta 1899) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar