*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini
Air Bangis termasuk salah satu daerah koloni Belanda tertua di Sumatra. Secara resmi Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan di Air Bangis tahun 1826. Sejak itu Air Bangis tumbuh berkembang. Namun kemudian ibu kota tempat dimana (Asisten) Residen berkedudukan dipindahkan dari Air Bangis ke Loeboeksikaping. Sejak relokasi ibu kota ini, laju pertumbuhan dan perkembangan mengalami turbulensi (stagnan) yang mengakibatkan Talu lebih maju dari Air Bangis.
Air Bangis termasuk salah satu daerah koloni Belanda tertua di Sumatra. Secara resmi Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan di Air Bangis tahun 1826. Sejak itu Air Bangis tumbuh berkembang. Namun kemudian ibu kota tempat dimana (Asisten) Residen berkedudukan dipindahkan dari Air Bangis ke Loeboeksikaping. Sejak relokasi ibu kota ini, laju pertumbuhan dan perkembangan mengalami turbulensi (stagnan) yang mengakibatkan Talu lebih maju dari Air Bangis.
Air Bangis (Peta 1941); Land Clearing di Ophir (1920an) |
Ketika Belanda memulainya, saat itulah kota Air
Bangis tumbuh pesat. Namun semuanya harus berakhir. Ketika kota Air Bangis
jatuh hingga posisi titik nadir, saat itu pula Belanda harus berakhir. Serupa
apa situasi dan kondisi di kota Air Bangis jelang detik-detik berakhirnya
Belanda di Indonesia? Mungkin kisahnya tidak penting, tetapi apapun yang
terjadi pada setiap detik-detik terakhir, selalu menarik perhatian. Satu yang
penting adalah penempatan 500 orang kolonisasi dari Jawa di dekat kampong Baharoe
dan kampong Pasir Pandjang pada bulan Januari 1941 (lihat De Indische courant, 27-03-1941). Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*
NV
Cultuur Mij Ophir dan Kolonisasi Jawa di Batahan
Rencana penempatan
penduduk asal Jawa di Air Bangis paling tidak diketahui pada tahun 1940 (lihat
De Sumatra post, 18-10-1940). Disebutkan Dr Stoker penanggungjawab laboratorium
penyakit Malaria di Medan mengumumkan akan menempatkan satu orang dokter
pribumi, tiga mantri malaria dan seorang mantri laborant sehubungan dengan
kolonisasi di daerah Batahan (Air Bangis). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
pada tahun 1941, ahli penyakit malria ini menyebutkan akan membangun banguna semi-permanent
untuk polikliniek. Hal yang sama juga akan dilakukan di daerah kolonisasi
lainnya di daerah Palcmbang dan daerah Djambi.
Pemisahan Batahan (Peta 1850) |
Pada bulan Januari 1941
sebanyak 500 orang sudah ditempatkan di daerah Batahan Air Bangis di kampong
Baharoe dan kampong Pasir Pandjang (lihat De Indische courant, 27-03-1941).
Disebutkan mereka ini adalah kelompok pertama yang akan menempati lahan seluas 19.000
Ha yang diantaranya direncanakan 10.000 Ha lahan beririgasi. Dinas kesehatan DVD telah
menempatkan satu dokter dan 2 mantri di kolonisasi baru yang dilengkapi satu gedung
rawat jalan semi-permanen dan bangunan rawat inap yang mampu menampung 30 pasien.
Penduduk asli menerima kehadiran kolonisasi karena mereka mendapat manfaat dari
pengembangan irigasi pertanian.
De Indische courant, 27-03-1941 |
Kampong Baharoe adalah
kampong baru. Kampong yang menjadi tempat kolonisasi ini kini menjadi satu dari
dua kanagarian di Kecamatan Batahan (kabupaten Pasaman Barat). Kanagarian
Silaping yang menjadi ibu kota Batahan sudah dikenal sejak tempo doeloe. Di
daerah pengaliran sungai sungai Batahan tedapat dua kampong besar: di hilir
adalah kampong Batahan (yang sudah diidentifikasi sejak jaman kuno) dan di hulu
adalah kampong Silaping. Pembagian wilayah oleh Pemerintah Hindia Belanda
(1826) dua kampong yang satu kerabat ini menjadi terpisah. Batahan di hilir
menjadi district Natal (Mandailing Natal) dan Silaping di hulu menjadi district
Air Bangis (Pasaman Barat). Kampong Silaping adalah wilayah Kerajaan Pakantan
(lihat Beschrijving van het eiland Sumatra, 1789). Kelak nama district Air
Bangis dijadikan nama Afdeling, yang
mana afdeeling Air Bangis terdiri dari lima laras (Air Bangis, Sikarbou,
Odjoenggading dan Sikilang) yang dalam hal ini nagari Batahan masuk ke dalam
laras Air Bangis. Dalam hal ini dapat dikatakan kecamatan Ranah Batahan
(Pasaman Barat) secara historis terhubung dengan kecamatan Batahan (Mandailing
Natal). Catatan: Nama kampong Batahan di hilir paling tidak sudah
diidentifikasi pada peta kuno (1619).
Namun yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa wilayah kolonisasi yang dipilih dan ditetapkan di
daerah hulu sungai Batahan, laras Air Bangis, district Air Bangis,
Onderafdeeling Ophir, Afdeeling Agam, Residentie West Sumatra? Tentu saja tidaklah karena alasan keberadaan NV
Cultuur Mij Ophir yang berpusat di Taloe, tetapi diduga karena secara spasial
district Air Bangis telah lama ditinggalkan dan pembangunan berpusat di jalur
jalan poros Padang-Sibolga via Fort de Kock, Loeboeksikaping, Kotanopan, Padang
Sidempoean dan Batangtoroe. Pemerintah tampaknya ingin mengembalikan harkat
penduduk Air Bangis.
Kolonisasi (kata lain
untuk transmigrasi) karena semata-mata untuk tujuan meningkatkan welfare
penduduk (yang miskin di Jawa) dengan menyediakan lahan yang cukup di luar Jawa
dan juga untuk untuk meningkatkan produktivitas penduduk lokal. Pengeluaran
pemerintah dalam hal ini tidak sedikit. Program kolonisasi ini sudah sejak lama
di Lampong dan bersamaan dengan di West Java ini juga dilakukan di Palembang
dan Djambi.
Program kolonisasi (kini
program trasmigrasi) adalah program pemerintah pusat (di Batavia). Pemerintah
pusat mengkoordinasikan antara pemerintah daerah (Residentie) asal dan Resident
tujuan. Tentu saja pemerintah daerah (Residen) telah mendapat masukan dari para
ahli (hasil studi kelayakan) dan para stakeholder lainnya termasuk para Asisten
Residen, Controleur, anggota dewan Minangkabauraad dan para pemimpin penduduk
di wilayah Air Bangis khususnya kepala kampong (nagari) Silaping dan kampong
Baharoe di sekitar hulu daerah aliran sungai Batahan. Controleur berada di Air
Bangis dan di Taloe serta Asisten Residen
berkedudukan di Loeboeksikaping. Sejumlah tokoh masyarakat yang berasal
dari daerah setempat (Air Bangis dan Ophir Districten) sudah barung tentu telah
diminta oleh pemerintah tentang pertimbangan mereka. Keputusan kolonisasi tidak
mudah dan banyak pertimbangan strategis.
Tokoh-tokoh masyarakat dari sekitar kolonisasi
antara lain Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan, Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D, Dr Achmad Mochtar, Ph.D dan Dr. Abdoel Hakim. Kebetulan tiga tokoh ini
berasal dari Mandailing. Dr Abdoel Hakim Nasution asal Goenoengtoea,
Panjaboengan sejak 1931 adalah Wakil Wali Kota (Locoburgemeester) Padang; Dr.
Achmad Mochtar, Ph.D kelahiran Bondjol asal Kotanopan adalah kepala
laboratorium Batavia; Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D kelahiran Pajacoembo asal
Pakantan sejak 1935 adalah kepala laboratorium Soerabaja; dan Soetan Kanaikan
adalah pemilik sekolah pertanian di Loeboeksikaping yang juga anggota dewan
Minangkabauraad. Tentu saja pemerintah pusat telah meminta pertimbangan dari
empat anggota dewan pusat (Volksraad) yakni Dr. Abdoel Rasjid, Mangaradja
Soangkoepon, Dr. Radjamin Nasution dan Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D. Dr.
Abdoel Rasjid Siregar (dari dapil Tapanoeli) adalh kelahiran Padang Sidempoean yang
pernah bertugas sebagai dokter pemerintah di Panjaboengan adalah adik dari
Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Oost Sumatra). Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia (dari dapil Batavia) kelahiran Padang Sidempoean pernah menjadi
direktur sekolah HIS di Kotanopan dan Dr, Radjamin Nasution (dari dapil Oost
Java) kelahiran Mandailing yang sebelumnya anggota dewan kota (Gemeenteraad)
Soerabaja yang paling senior (Wethouder).
Belum lama koloniasi di
Batahan, Air Bangis nasib buruk menimpa Belanda. Pemerintah Hindia Belanda
menyerahkan kekuasan kepada Pemerintah Militer Jepang. Pada era rezim militer
Jepang ini situasi dan kondisi kolonisasi di Batahan terabaikan. Pemerintah
Hindia Belanda yang menyokong (anggaran dan pembinaan) koloniasi tidak
diteruskan oleh Pemerintah Militer Jepang. Misi kedua rezim (penjajah) ini
berbeda.
Selama pendudukan militer Jepang situasi dan kondisi
di Indonesia khususnya di Sumatra Barat tidak terpantau dengan baik. Sudah
barang tentusa situasi dan kondisi di area kolonisasi di Batahan tidak terpantau.
Pada era perang kemerdekaan juga tidak terpantau situasi dan kondisi di
kolonisasi Batahan. Sejumlah warga asal Jawa di kolonisasi di Batahan banyak
yang pindah ke tempat lain.
Setelah era pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda, dan setelah kembalinya ke bentun negara
kesatuan RI (NKRI) wilayah kolonisasi di Batahan mulai diperhatikan. Ini
bermula dari kunjungan Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Muljohardjo ke Pasaman,
Air Bangis dan Batahan pada tahun 1951 (lihat De nieuwsgier, 13-10-1951).
Disebutkan Gubernur Muljohardjo akan segera akan mengeksplorasi kemungkinan
menggunakan kembali Batahar sebagai daerah kolonisasi.
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar