*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
Kota Bogor yang sekarang, di masa lampau tidak jarang menghadapi ancaman. Pada tahun 1699 terjadi letusan gunung Salak dan gempa besar. Pada tahun 1745 sebuah villa dibangun di area sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Villa ini menjadi cikal bakal Istana Bogor yang sekarang. Beberapa tahun setelah villa tersebut dibangun pada tahun 1752 terjadi serangan dari Banten. Villa yang disebut Villa Buitenzorg terbakar dan rusak (kemudian dibangun kembali).
Kota Bogor yang sekarang, di masa lampau tidak jarang menghadapi ancaman. Pada tahun 1699 terjadi letusan gunung Salak dan gempa besar. Pada tahun 1745 sebuah villa dibangun di area sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Villa ini menjadi cikal bakal Istana Bogor yang sekarang. Beberapa tahun setelah villa tersebut dibangun pada tahun 1752 terjadi serangan dari Banten. Villa yang disebut Villa Buitenzorg terbakar dan rusak (kemudian dibangun kembali).
Menurut
sumber lain gunung Salak pernah meletus pada tahun 1761. Gunung Salak kembali
meletus pada tahun 1780. Sementara itu gunung Gede pernah meletus sekitar tahun
1747 dan tahun 1761 yang bersamaan dengan gunung Salak. Tentu saja gunung Salak
dan gunung Gede-gunung Pangrango masih pernah meletus sesudahnya.
Letusan-letusan gunung-gunung tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi
villa-istana Buitenzorg dan tentu saja kebun raya yang telah dibangun pada era
pendudukan Inggris (1811-1816). Namun gempa bumi tidak selalu disertai letusan.
Frekeunasi gempa yang terjadi yang mengancam villa-istana dan kebun raya
Buitenzorg jauh lebih tinggi lagi.
Lantas seperti
apa dampak yang ditimbulkan letusan gunung Salak dan gempa yang terjadi bagi
villa-istana Buitenzorg? Sudah banyak penulis
yang membicarakannya. Namun kisah antara villa-istana Buitenzorg dengan letusan
gunung dan gempa tetaplah menarik untuk disimak lagi karena masih banyak fakta
dan data yang belum terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan yang ada, mari
kita telusuri lagi sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja*.
Gempa Bumi di Buitenzorg
Tidak semua
gempa dicatat oleh Pemerintah VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda. Dari
sejumlah kejadian gempa di daerah aliran sungai Tjiliwong (Batavia dan
Buitenzorg), hanya beberapa kejadian yang dicatat dalam buku Almanak.
Pada buku Almanak 1816 (era pendudukan
Inggris) hanya beberapa kejadi yang dicata. Gempa bumi pertama dicatat tanggal
13 Februari 1684. Selanjutnya, terjadi gempa bumi pada 4 Januari 1699, 25
Januari 1769, 10 Mei 1772 dan pada tanggal 22 Januari 1775. Gempa bumi
berikutnya yang dicatat pada tanggal 19 Maret 1805. Pada era pendudukan
Inggris, tahun 1815 terjadi kembali gempa bumi beruntun, yakni: tanggal 10
April 1815 lalu keesokan harinya tanggal 11 April dan empat hari kemudian
terjadi lagi tepatmya tanggal 15 April 1815.
Boleh jadi
kejadian-kejadian tersebut dicatat karena telah menimbulkan dampak yang besar
di Batavia dan di Buitenzorg. Dua kota ini sangat penting bagi Pemerintah VOC maupun
Pemerintah Hindia Belanda (karena terdapat villa-istana Gubernur Jenderal,
bangunan besar yang rentan terhadap gempa).
Pada era Gubernur Jenderal Daendels
(1808-1811) villa Buitenzorg diakuisi oleh pemerintah dan direnovasi untuk
istana Gubernuer Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Pada era pendudukan
Inggris (1811-1816) adakalanya Letnan Jenderal Raffles menempatinya. Pada tahun
1818 villa ini diperbesar dan dipercantik oleh Gubernur Jenderal van der
Capellen.
Pada tahun 1834
terjadi gempa bumi yang terbilang gempa bumi terbesar yang pernah terjadi di (Residentie)
Batavia. Gempa bumi ini tercatat telah menghancurkan Istana Buitenzorg. Padahal
istana ini merupakan salah satu bangunan yang dibuat kokoh dan tahan lama
karena tempat kediaman Gubernur Jenderal. Kejadian gempa yang terjadi pada
tanggal 10 Oktober 1834 tersebut gempa bumi mengguncang akibat meletusnya
Gunung Salak.
Javasche courant, 22-11-1834 |
Di Depok dan sekitarnya juga mengalami
dampak yang besar. Bangunan yang terbuat dari batu landhuis Tjilangkap,
landhuis Krangan, landhuis Tjimangis dan landhuis Pondok Tjina rusak berat dan
runtuh sebagian. Sementara landhuis Tjiliboet, landhuis Pondok Terong, landhuis
Sawangan, landhuis Tjineri, landhuis Koeripan (Paroeng) dan lainnya rusak
ringan. Berita resmi tentang peristiwa gempa yang dimuat surat kabar Javasche
courant, 22-11-1834 baru bulan Maret 1935 dilansir oleh sejumlah surat kabar di
Eropa seperti Utrechtsche courant, 09-03-1835, Vlissingsche courant,
12-03-1835.
Pada tahun
1850, Istana Buitenzorg dibangun kembali, tetapi tidak bertingkat lagi karena
disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa itu. Pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist (1851-1856) bangunan lama
sisa gempa itu dirobohkan dan dibangun dengan mengambil arsitektur Eropa abad
ke-19. Sejak tahun 1870, Istana Buitenzorg dijadikan tempat kediaman resmi dari
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penghuni terakhir Istana Buitenzorg adalah
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachourwer (yang kemudia dikuasai
oleh pemerintah pendudukan militer Jepang).
Gunung Salak dan Kebun Raya: Pendaki
Pertama Gunung Gede Radermacher 1777 dan Pendaki Pertama Gunung Pangrango Michiel
Ram dan Cornelis Coops
Ada tiga gunung
tinggi yang selalu menjadi ancaman di sekitar Batavia dan Buitenzorg. Tiga
gunung tersebut adalah gunung Pangrango, gunung Gede dan gunung Salak. Namun
selalu ada tantangan bagi para penakluk gunung (pendaki) untuk memuncakinya.
Ibarat kata: Dalamnya laut dapat diselami, tingginya gunung dapat didaki. Orang
pertama yang mendaki gunung Salak adalah seorang Jerman Profesor Caspar Georg
Karl Reinwardt pada tahun 1819 (lihat Rotterdamsche courant, 07-10-1819).
Profesor Reinwardt yang telah bertugas
di kebun raya Buitenzorg tidak hanya tertantang untuk menaklukkan ketinggian
gunung Salak, tetapi sanga Profesor beranggapan bahwa di gunung Salak akan
banyak tanaman yang bisa dipelihara di kebun raya. Disebutkan Profesor Reinwardt
memulai pendakian dari barat gunung Salak. Profesor Reinwardt adalah pendaki
pertama gunung Salak. Menurut perhitungannya tinggi gunung Salak sekitar 7.000
kaki.
Dalam laporan
yang dibseritakan Rotterdamsche courant, 07-10-1819, Profesor Reinwardt juga
mendaki gunung Gede. Perhitungan sang Profesor tinggi gunung Gede sekitar 8.400
kaki. Menurutnya puncak Gedé, yang disebut Seda Ratoe seluruhnya tertutup
dengan kayu dan tanaman. dari Seda Ratoe ke ketinggian yang sama yang dipisahkan
oleh lembah yang dalam dan luas hanya ditumbuhi semak-semak kecil dan tanaman
rendah. Disebutkan dari pendakiannya di dua gunung ini banyak tanaman yang telah
dikirim ke kebun raya Buitenzorg.
Namun sejatinya yang kali pertama
mendaki gunung Gede adalah Jacob CM Radermacher pada tahun 1777. Radermacher
adalah pendiri dan ketua lembaga ilmu dan pengetahuan Batavia. Pendakian yang
dilakukan Radermacher ini berangkat dari Tjipanas. Keterangan ini baru
diketahui hampir seabad kemudian pada tahun 1870 di dalam buku catatannya yang
ditemukan.
Jauh sebelum Radermacher mendaki gunung
Gede, dua orang pertama yang mendaki gunung Pangrango adalah Michiel Ram dan
Cornelis Coop pada tahun 1701. Mereka berdua dikirim oleh Gubernur Jenderal
karena permintaan Heer XVII di Belanda karena dua tahun sebelumnya gunung Salak
meletus dan terjadi kerusakan besar di muara sungai Tjiliwong di Batavia
(endapan lumpur dan batang-batang kayu besar yang terbawa arus dari hulu). Oleh
karena sungai Tjiliwong bermuara di gunung Pangrango, maka penyelidikan
tersebut dilakukan hingga puncak gunung Pangrango.
Pendakian-pendakian
gunung lainnya terus dilakukan. Sebagaimana maksud Profesor Reinwardt untuk
memperkaya khasanah kebun raya, pendakian gunung juga dimaksudkan untuk
menambah pengetahuan. Pendaki gunung terkenal selanjutnya adalah FW Jung Huhn.
Pendakian gunung pertama di Sumatra
kali pertama dilakukan di gunung Ophir (pantai barat Sumatra di Pasaman). Sejak
awal era VOC nama Ophir sudah dikenal secara luas di Eropa dan dianggap bahwa
gunung Ophir adalah tertinggi di Hindia. Setelah pendakian gunung di Jawa,
kembali seorang Jerman Mr .Horner tertantang untuk mengukur tinggi gunung Ophir
(lihat Leydse courant, 19-11-1838). Disebutkan Mr. Horner yang dibantu Krusenstern
mengukur ketinggian gunung Pasaman (Ophir) dan puncak tertinggi 2.927 M yang
disebut Talamau. Bagaimana kisah Horner ini dalam menaklukkan gunung Ophir dapat
dibaca pada Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1839.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar