Kamis, 14 Mei 2020

Sejarah Bogor (55): Kampung Lebak Pilar di Pilar Toegoe de Witte Paal; Kanal Irigasi Kampong Sempoer Dibangun Tahun 1744


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Seperti halnya kampung Lebak Kantin berada di bawah (kantin), idem dito kampong Lebak Pilar juga berada di bawah (pilar). Dua kampung ini berada di kelurahan Sempur, kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Kelurahan Sempur dilalui oleh sungai Ciliwung. Dua kampung ini berada diantara sungai Ciliwung (di bawah, di lebak) dan jalan raya Sudirman (di atas). Kampung Lebak Kantin dan kampung Lebak Pilar terbentuk kemudian setelah di masa lampau kampung Sempur terbentuk. Posisi GPS kampong Sempur tempo doeloe berada di sisi utara sungai Ciliwung (areanya kini berada di dalam Kebun Raya Bogor).

Kampong Pilar (Peta 1900); Kampong P. Sempoer (Peta 1701)
Lebak dalam bahasa Sunda adalah suatu tempat yang lebih rendah dibandingkan dengan sekitar. Nama kampung Lebak Pilar berarti mengacu pada tempat yang lebih rendah dari tempat dimana pilar berada. Pilar yang dimaksud adalah suatu tiang (paal) penanda navigasi yang dibuat pada era VOC. Dalam catatan Radermacher (1777), kampong Tjiloear berada pada paal 44 dan Buitenzorg pada paal 50. Posisi GPS paal 50 ini tepat berada di perbatasan tiga land (Kedongbadak, Kedong Halang dan Bloeboer). Kampong Sempoer berada di Land Kedong Halang (land Kampong Baroe). Pada era Pemerintah Hindia Belanda, ketika Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) membangun jalan pos pada ruas Batavia-Buitenzorg, penanda navigasi lama ini (Paal 50) dibangun berupa tugu yang dicat putih (de Witte Paal). Dalam hal ini, dapat dikatakan nama kampong (lebak) Pilar di Buitenzorg, namun nama kampong Toegoe di tempat lain. Diduga nama kampong Lebak Pilar sudah terbentuk (pada era VOC) sebelum dibangun tugu pada era Pemerintah Hindia Belanda. Nama kampong Toegoe ditemukan di Djogjakarta, Tjisaroea dan Tjimanggis. Kampong Toegoe di Batavia (land Tjilintjing) bukan merujuk pada pilar (paal) tetapi merujuk pada batu prasasti (kampong Batoe Toemboeh).

Sejarah kampung Lebak Pilar tidak hanya soal keberadaan pilar (tugu, de witte paal), Lebih dari itu. Oleh karena itu sejarah kampong Lebak Pilar patut ditulis sebagai bagian dari sejarah Kota Bogor. Satu hal yang terlupakan atau mungkin tidak disadari bahwa di kampong Lebak Pilar terdapat pulau di tengah sungai Tjiliwong (seperti halnya Pulau Geulis di Lebak Pasar). Uniknya dari dua pulau di tengah sungai ini dibentuk kanal untuk pengairan sawah di kampong Babakan dan di kampong Sempoer. Okelah. Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kampung (Lebak) Pilar dan kanal irigasi di Kel. Sempur (Naow)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Nama Kampong Sempoer (1701)

Nama kampong Sempur sudah lama ada. Pada Peta 1701 nama kampong Sempur diidentifikasi sebagai Pondok Sempoer. Lokasi pondok ini berada di sisi utara sungai Tjiliwong (sekitara kolam teratai di dalam kebun raya yang sekarang). Nama Sempur dengan menggunakan Pondok berarti masih suatu perkampongan yang baru yang terdiri dari satu atau dua pondok-pondok (rumah) dimana penduduk untuk berladang-bersawah. Penggunaan nama Pondok mengindikasikan pengaruh (bahasa) Melajoe. Inilah asal usul nama kampong Pondok Sempoer yang kemudian bertransformasi menjadi nama desa Sempoer (dan kini menjadi nama kelurahan Sempur). Gambaran area perkampongan Sempoer ini dilukiskan oleh Michiel Ram dan Cornelis Coops yang melakukan ekspedisi pada tahun 1701.

Laporan Michiel Ram dan Cornelis Coops dan peta yang dilampirkan (Peta 1701) menggambarkan bahwa sungai Tjiliwong hanya dapat dilayari hingga (kampong) Pondok Tjina (di Depok masa ini). Mereka menyusuri sisi timur sungai Tjiliwong hingga ke Tjiloear, Kedong Halang, Kampong Baroe, Bantardjati, Babakan, Pondok Sempoer, Baranang Siang hingga tiba di kampong Paroeng Benteng lalu menyeberang sungai ke kampong Katoelampa. Rute yang dilalui pada waktu pulang (dari gunung Pangrango) melalui kampong Katoelampa (kembali) terus menyusuri sungai sisi selatan sungai Tjiliwong hingga bertemu kampong Kedong Dalam (kini kampong Tjiwaringin) dan kampong Kedong Waringin dan seterusnya bermalam di kampong Serengseng (tempat dimana Cornelis Chastelein).

Dari gambaran tahun 1701 ini, yang jelas sudah ada kampong (Pondok) Sempoer, diduga kuat satu-satunya kampong di kelurahan Sempur yang sekarang. Rute jalan sisi utara sungai Tjiliwong menggambarkan jalan Padjadjaran yang sekarang; sementara rute jalan di sisi selatan sungai Tjiliwong mengindikasikan jalan Sudirman yang sekarang, lalu di simpang Air Mancur yang sekarang berbelok ke arah tenggara ke (kampong) Tjiwaringin dan kemudian ke kampong Kedong Waringin (jalan Soleh Iskandar, Kedong Badak).

Sejauh ini (1701) belum ada kampong (Lebak) Pilar, kampong yang ada adalah kampong (Pondok) Sempoer. Jadi dalam hal dapat dikatakakan nama kampong Sempoer adalah nama kampong kuno, sedangkan jalan kuno adalah jalan Padjadjaran yang sekarang, jalan Sudirman, jalan RE Martadinata (tentu saja jalan Ahmad Yani dan jalan Pemuda yang sekarang belum terbentuk).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Jalan van Imhoff (1745) dan Jalan Daendels (1808)

Sejak era Pakwan-Padjadjaran, rute jalan dari hulu sungai Tjiliwong ke (pelabuhan) Calapa di muara sungai Tjiliwong melalui sisi timur dan sisi barat sungai Tjiliwong. Interchange dari dua rute ini berada di Katoelampa (karena lebarnya sungai dan kedangkalan sungai). Daru dua rute jalan ini nyaris tidak ada hambatan yang berarti (hanya memotong sungai-sungai kecil). Gambaran ini masih terlihat pada era permulaan kehadiran Eropa-Belanda di hulu sungai Tjiliwong (1687-1701). Gubernur Jenderal van Imhoff memnuka ruang wilayah pada tahun 1745 dengan membangun villa di dekat benteng Padjadjaran (area titik singgung terdekat sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane: Istana Bogor yang sekarang).

Sesuai placaat 20 Juli 1687 Luitenant Tanoedjiwa akan diproyeksikan menjadi bupati di Campong Baroe. Wilayah kekuasaan bupati di Kampong Baroe berada di area antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane yang kemudian disebut lanskap (land) Bloeboer. Sedangkan area di sisi utara sungai Tjiliwong menjadi hak kepala kampong Kedong Halang (yang kemudian disebut Land Kedong Halang). Kepala kampong Kedonghalang adalah saudara dari bupati di Kampong Baroe. Kampong Pondok Sempoer berada di Land Kedong Halang dan kampong Tjiwaringin berada di Land Bloeboer.

Dalam perkembangannya para investor Eropa-Belanda juga dimungkinkan untuk memiliki tanah partikelir (land) di hulu sungai Tjiliwong. Land-land baru yang terbentuk antara lain Bandjong Manggis (Bodjong Gede), Tjileboeut, Kedongbadak, Tjibinong, Tjiloear. Wilayah Soekaradja (Tjimahpar) dibentuk sebagai land yang dibeli oleh seorang Aria (gelar orang pribumi).

Gubernur Jenderal van Imhoff membeli persil lahan di Land Bloeboer dari bupati Kampong Baroe. Persil lahan inilah yang menjadi pertapakan villa van Imhoff dibangun (kebetulan lokasinya dekat benteng Padjadjaran) yang kemudian disebut Buitenzorg. Bersamaan dengan pembangunan villa van Imhoff ini, rute Batavia-Buitenzorg di sisi timur sungai Tjiliwong (jalan setapak atau jalan pedati-kerbau) ditingkatkan menjadi jalan yang dapat dilalui oleh kereta (ditarik oleh kuda). Namun ruas dari Kampong Baroe ke Buitenzorg tidak lagi melalui jalan Otista yang sekarang, tetapi dengan memotong jalan dengan membangun jembatan di dekat Kampong Baroe di atas sungai Tjiliwong. Jembatan ini kini dikenal sebagai Jembatan WarungJambu.

Dipilihnya lokasi pembangunan jembatan (permanen) terbuat dari kayu di dekat Kampong Baroe secara teknis karena lebar sungai Tjiliwong lebih semput. Alasan lainnya adalah agar terhubugan antara ibu kota Kampong Baroe dengan villa (Buitenzorg). Dari jembatan baru ini, jalan baru dibangun dengan menarik garis lurus menuju titik perbatasan land Bloeboer dan Land Kedongbadak dan land Kedonghalang. Titik ini di masa lampau adalah titik belok dari Katoelampa ke kampong Kedongdalam (Tjiwaringin). Jalan lurus dari jembatan (Warung Jambu) ini ke titik batas kini dikenal sebagai jalan Ahmad Yani. Atas dasar inilah mengapa arah villa Buitenzorg menghadap ke utara (Batavia) searah dengan jalan kuno (jalan Sudirman yang sekarang) dan mentok di titik batas. Dalam pengukuran jarak navigasi tepat berada di Paal 50 (dari titik nol di Kasteel Batavia). Pada Paal 50 inilah dibuat pilar (paal) tepat berada di titik persinggungan tiga land. Paal 50 ini juga menjadi batas area Buitenzorg (land Bloeboer).

Perkampongan penduduk yang berada di bawah pilar (antara jalan dan sungai Tjiliwong) kemudian muncul nama kampong: Lebak Pilar. Perkampongan ini berada di wilayah kampong Sempoer (land Kedonghalang). Tentu saja belum muncul kampong Lebak Kantin, bahkan juga belum muncul kampong Lebak Pasar. Jadi, kampong Lebak Pilar adalah kampong tua, tetapi masih lebih tua kampong Sempoer. Munculnya perkampongan penduduk di bawah pilar (paal) diduga terkait dengan pencetakan sawah baru di sisi utara sungai Tjiliwong di Sempoer.

Pada tahun 1744 Permerintah VOC di bawah Gubernur Jenderal van Imhoff mengkoordinasikan pembangunan kanal-kanal irigasi bersama pemimpin penduduk yakni bupati Kampong Baroe-Kedonghalang dan Aria Soekaradja. Pembangunan kanal irigasi ini dengan mengangkat air sungai Tjiliwong di Katoelampa, di Baranangsiang (Poelo Geulis) dan di Poelo Sempoer. Kanal Katoelampa untuk mengairi pencetakan sawah bari di Land Soekardja; kanal Baranangsiang untuk mengairi sawah di Baranangsiang dan Babakan (kebun raya yang sekarang); kanal Sempoer untuk mengairi sawah di kampong Sempoer.

Pembangunan kanal Sempoer ini dengan cara membendung sungai Tjiliwong di sisi timur pulau Sempoer dan kemudian airnya dialirkan dengan membangun kanal ke arah hilir kampong Sempoer hingga ke Kampong Baroe. Dari kanal baru inilah air didistribusikan ke sawah-sawah yang baru dicetak. Adanya sawah-sawah baru inilah diduga munculnya perkampongan penduduk di bawah pilar. Kanal ini terus eksis dan lambat laun wujud pulau Sempoer tidak kelihatan lagi (hingga sekarang), yang teridentifikasi hanya sungai yang berhulu di sungai Tjiliwong di dekat kampong Lebak Pilar. Sementara seperti yang dilihat kelak, kanal dari Poelo Geulis ditutup pada era Pemerintah Hindia Belanda karena sering banjir. Kanal ini kemudian dikerdilkan, sementara air sungai Tjiliwong dari arah hulu pulau dibuang kembali ke sungai Tjiliwong. Hal inilah diduga ang menyebabkan Poelo Geulis masih eksis (hingga ini hari).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kampong Lebak Pilar

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar