Minggu, 09 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (31): Pemerintahan di Bali; Sejak VOC, Hindia Belanda, Inggris, Jepang, NICA hingga Republik Indonesia

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disin

Seperti di wilayah lain, kekuasaan di Bali berawal dari pemerintahan di bawah rezim kerajaan-kerajaan. Antar satu kerajaan yang saling bermusuhan menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda (yang berpusat di Batavia) membentuk cabang pemerintahannya di Bali utara (di Boeleleng dan di Djembrana) tahun 1846 dengan ibu kota Boeleleng (dan kemudian relokasi ke Singaradja). Pada tahun 1908 semua kerajaan-kerajaan di Bali selatan dilikuidasi dan Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan yang baru dengan ibu kota di Denpasar.

Tidak ada hubungan yang paling mesra antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan di nusantara sejak era VOC, kecuali radja-radja di Bali. Hubungan baik antara Belanda dengan radja-radja Bali bermula dari perjanjian kerjasama antara Belanda dengan Radja Bali sejak 1597.  Hubungan baik tersebut tetap terjaga hingga awal Pemerintah Hindia Belanda sebelum Inggris menduduki Jawa (1811-1816). Pada tahun 1914 pemerintah pendudukan Inggris sempat berseteru dengan radja Karangasem. Setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali, hubungan baik radja-radja Bali terjalin kembali. Namun muncul perselisihan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja Boeleleng yang didukung Radja Karangasem. Perselisihan ini menjadi terbuka pada tahun 1846 yang menjadi pangkal perkara Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Boeleleng (dan daerah Djembrana, bawahan Boeleleng).

Lantas bagaimana sejarah pemerintahan di pulau Bali. Yang jelas pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Bali selatan (Zuid Bali) relatif bersamaan dengan pembentukan cabang pemerintahan di Noord Tapanoeli dan Atjeh. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pemerintah Hindia Belanda: Eksistensi Radja-Radja Bali

Hingga pada tahun 1846 (lihat Almanak 1847) tidak ada orang Belanda yang bertempat tinggal di pulau Bali dan pulau Lombok, apakah sebagai pejabat pemerintah atau swasta, Mengapa? Yang ada adalah warga asing yakni orang Denmark di Bali dan orang Inggris di Lombok. Orang terdekat Belanda ke Bali berada di Banjoewangi dan orang Belanda terdekat ke Lombok berada di pulau Soembawa.

Pemerintah Hindia Belanda boleh jadi menganggap Bali dan Lombok adalah semacam daerah khusus. Hal ini karena ada hubungan yang mesra antara orang-orang Belanda dengan radja-radja Bali (termasuk Lombok) sejak era VOC. Para radja-radja yang berkuasa di dua pulau ini. Yang ada adalah perjanjian kerjasama yang terus diperbarui dan saling menjaga. Perjanjian tersebut antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja Boeleleng (termasuk Djembrana), Badoeng (termasuk Gianjar?), Kloengkoeng (termasuk Bangli?), Tabanan (termasuk Mangwi?), Karangasem dan Lombok. Dalam perjanjian dengan radja-radja tersebut termasuk di dalamnya soal penghapusan (upaya pencegahan) tawan karang.

Keberadaan pedagang orang Denmark di Bali dan orang Inggris di Lombok tampaknya tidak masalah bagi Pemerintah Hindia Belanda. Orang Denmark di Bali dan orang Inggris di Lombok sesungguhnya karena mengisi kekosongan orang-orang Belanda. Pada tahun 1823 terdapat perwakilan perdagangan Belanda di Bali, namun tidak lama kemudian dihapuskan. Pada tahun 1940 kembali Peerintah Hindia Belanda membuka pos perdagangan di Bali. Namun itu juga tidak berkembang. Mengapa?  Jawabannya hanya satu: perdagangan Pemerintah Hindia Belanda di Bali tidak menguntungkan. Kekosongan perdagangan Pemerintah Hindia Belanda inilah yang menyebabkan orang Denmark dan orang Inggris mengisinya.

Tidak adanya campur tangan Pemerintah Hindia Belanda di Bali dan Lombok di satu sisi adalah suatu kebebasan bagi radja-radja di Bali dan Lombok. Dalam perjanjian dengan radja-radja Bali dan Lombok juga menyebut tidak ada campur tangan dalam negeri. Poin penting dalam perjanjian hanyalah soal saling menjaga keamanan wilayah (perairan) dan larangan mengimpor senjata dari negara asing (di luar Pemerintah Hindia Belanda). Secara teoritis kerajaan-kerajaan Bali di pulau Bali dan pulau Lombok hanya semacam protektorat. Sementara di sisi lain, antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya di pulau Bali dan pulau Lombok terdapat saling bermusuhan satu sama lain. Hal itulah yang menyebabkan, seperti Djembrana kemudian berada di bawah kekuasaan Boeleleng dan beberapa kerajaan di pulau Lombok menjadi satu kerajaan (penguasa tunggal di Lombok) serta perselisihan antara Karangasem dan Kloengkoeng soal Mangwi. Lantas apa yang menyebabkan perselisihan-perselisihan diantara kerajaan-kerajaan di Bali dan Lombok? Hanya satu alasan yang relevan: penguasaan, khususnya penguasaan ekonomi.

Pada tahun 1846 muncul persoalan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan Boeleleng. Persoalannya terbilang sensitif. Terjadi perampokan kapal asal Soemanap (Madoera) berbendera tricolor (Belanda) di perairan Djembrana (wilayah kekuasaan Boeleleng). Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal itu serius (karena melanggar perjanjian damai) dan kemudian mengajukan tuntutan ganti rugi kepada radja Boeleleng. Namun tidak digubris. Sebagai negara (kerajaan) protektorat pasca kejadian, utusan pemerintah yang datang menemui radja Boeleleng tidak disambut sebagai sahabat dan juga sebagai negara (kerajaan) protektorat para utusan menemukan bahwa bendera tricolor tidak dikibarkan mendampingi bendera kerajaan. Setelah tuntutan ganti rugi tidak kunjung dipenuhi (sebagai alasan utama) dan setelah disampaikan ultimatum, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer ke Boeleleng.

Sebelum pengiriman ekspedisi militer, Pemerintah Hindia Belanda meminta pendapat radja-radja lain. Radja-radja seperti Kloengkoeng dan Badoeng menyetujui tindakan ekspedisi militer tersebut ke Boeleleng. Dalam ekspedisi militer yang dilakukan bulan Juni 1846 radja Bali Selaparang di Lombok mengirim pasukan untuk membantu militer Pemerintah Hindia Belanda. Radja Boeleleng melarikan diri ke perbatasan Karangasem yang kemudian mendapat dukungan dari radja Karangasem (radja Karangasem dan radja Boeleleng masih kerabat dekat).Dalam penaklukkan Boeleleng ini Gubenur Jenderal memantau dari Soerabaja, sementara radja Badoeng disebut tetap pada pendiriannya mendukung tindakan Pemerintah Hindia Belanda (lihat Bredasche courant, 27-08-1846). Seperti kita lihat nanti, inilah awal perkara perseteruan antara radja Karangasem dan radja Badoeng.

Sejak ekspedisi militer inilah, Pemerintah Hindia Belanda membuka cabang pemerintahan yang baru di Boeleleng dan Djembrana.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Daftar Residen, Asisten Residen dan Controleur di Bali

Pemerintah Hindia Belanda sesungguhnya adalah benar-benar pemerintahan, suatu pemerintahan yang dimiliki oleh kerajaan Belanda di Hindia (karena itu disebut Hindia Belanda).Sebagai suatu pemerintahan, semua hal diatur berdasarkan azas peraturan dan perundang-undangan. Jika kerajaan-kerajaan (yang tersisa di Bali dan Lombok) secara teoritis negara protektorat, negara Pemerintah Hindia Belanda secara teoritis adalah negara dominion dari negara (kerajaan) Belanda. Dalam perspektif inilah cabang Pemerintah Hindia Belanda dibentuk di Bali. Namun pembenttukan pemerintahan di Bali ini tidak segera karena berbagai sebab.

Gubernur Jenderal di Batavia (Rochussen) membawahi gubernur dan residen. Gubernur hanya ada di tiga tempat: Padang, Makassar dan Ambon. Di pulau Jawa hanya setingkat residen. Salah satu residen di Jawa berkedudukan di  Basoeki. Salah satu Asisten Residen di (Residentie) Basoeki berkedudukan di Banjoewangi.Asisten Residen Banjoewangi inilah yang pertama kali diberi tanggungjawab sebagai penguasa sipil di Bali pasca Perang Boeleleng (1846) dengan menempatkan Controleur di Boeleleng dan Djembrana. Dalam ekspedisi militer ke Bali ini Resident Basoeki Luitenant Colonel  AWH Baron de Kock bertindak sebagai Komisaris. Sehubungan dengan semakin intensnya pejabat Belanda ke Bali (khususnya Djembrana dan Boeleleng), Resident Basoeki digantikan oleh sipil. Luitenant Colonel  AWH Baron de Kock digantikan oleh JLB Engelhard yang mana Luitenant Colonel AWH Baron de Kock ditempatkan sebagai Residen di Djogjakarta tetapi asisten residen di Banjoewangi diganti dengan militer yakni Kapten Artileri, ajudan Gubernur Jenderal Jhr. F. van Capellcn (lihat Leydse courant, 24-01-1849). Hal ini boleh jadi karena ekskalasi politik meningkat lagi di Bali (khususnya Karangasem), Sehubungan dengan itu juga, Pemerintah Hindia Belanda menugaskan eks Gubernur Sumatra’s Westkust Maj General AV Michiels ke Bali yang akan melakukan ekspedisi militer pada tanggal 1 April 1849 (lihat Arnhemsche courant, 24-03-1849).

Setelah ekspedisi militer Pemerintah Hindia Belanda berakhir lalu diadakan perjanjian yang mana Pemerintah Hindia Belanda mengajukan perjanjian (kontrak baru) yang diwakili oleh Asisten Residen Banjoewangi Jhr. T. van Capellen (lihat Nederlandsche staatscourant, 22-12-1849). Disebutkan bahwa Asisten residen Banjoewangie, Jhr. T. van Capellen, yang bertanggung jawab atas pertukaran kontrak yang diratifikasi dengan para pangeran di Bali, telah diterima semua pangeran Bali dan yakin bahwa mereka akan setia dan dengan tulus untuk mematuhi isi perjanjian. Jhr. T. van Capellen telah bertindak sebagai komisaris untuk Bali en Lombok.

Dalam perkemabngannya komisaris untuk urusan Balie dan Lombok memberitakan bahwa Dewa Agung Putra, pangeran dari Kloenkoeng yang juga Soesoehoenan Bali, pada 24 Februari meninggal (lihat Algemeen Handelsblad, 22-05-1850). Disebutkan bahwa berita duka ini telah diberitahukan kepada Rajah Badong, Tabanan dan Gianjar oleh Dewa Agoeng Istri, yang tampaknya mengambil alih pemerintahan, sebagaimana kebiasaan di Bali yang menyiratkan bahwa pemberitahuan ini dibuat oleh penerus takhta, dan dalam hal ini seharusnya dilakukan oleh Dewa Agoeng Gede, yang juga menandatangani kontrak terakhir yang dibuat dengan Pemerintah Belanda, atas nama Dewa Agoeng Poetra.

Pasca perang, Pemerintah Hindia Belanda tidak segera membentuk cabang pemerintahan di Bali. Pemerintahan yang ada bersifat tidak langsung yang berada di bawah komisaris (dalam hal ini Asisten Residen Banjoewangi). Bali masih diperintah oleh orang Bali sendiri. Di Boeleleng telah diangkat seorang pemimpin pribumi (semacam Bupati) untuk menggantikan fungsi Radja. Inilah satu hal yang khusus yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda bagi Bali (sebagai wujud hubungan historis). Pemerintah Hindia Belanda sejatinya tidak banyak campur untuk urusan dalam negeri di Bali. Seperti disebutkan setiap kerajaan di Bali menandatangani perjanjian dan kontark sendiri-sendiri. Itu berarti setiap radja langsung berurusan dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Baru segala sesuatunya mulai berjalan kondusif di Bali, kembali muncul permasalahan di Bali. Diberitakan antara Radja Tabanan dan radja Mengoei (Mangwi) telah pecah perang (lihat Leydse courant, 25-09-1850). Surat kabar Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 18-02-1851 menyebutkan bahwa di Kloenkoeng (Bali) pembakaran akhirnya terjadi pada mayat Soesoehoenan Dewa Agong Poetra, Suhuunan Bali dan pangeran Klonkong, dengan gelar Dewa Agoug Putra, disebut putra Dewa Agong Ketut Agong, juga disebut Dewa Agong Gedeh, yang telah melepaskan klaimnya atas takhta putranya atas nama putranya.

Tuntutan terhadap kapal karam di Bali, sebagai awal perkaranya terjadinya perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja Boeleleng, tetap diproses melalui pengadilan arbitrase. Pemerintah Hindia Belanda MJ Lange sebagai agen Pemerintah Hindia Belanda di Bali telah diangkat untuk mewakili pemerintah dalam pengadilan arbitrase tersebut. Tampaknya Pemerintah Hindia Belanda (MJ Lange) telah memenangkan perkara di pengadilan arbitrase tersebut. Tugas MJ Lange berakhir pada bulan Juni 1855 (lihat Samarangsch advertentie-blad, 15-06-1855). Untuk pengganti MJ Lange telah ditunjuk PL van Bloemen Waander yang berkedudukan di Boeleleng.

Pengadilan Arbitrase ini di Eropa. MJ Lange adalah pengusaha asal Denmark di Bali (sebelumnya di Lombok). Terhadap jasa-jasa MJ Lange ini di dalam pengadilan arbitrase, kerajaan Belanda menerbitkan surat keputusan dengan pemberian medali. Surat keputusan dan mendali ini disimpan di suatu museum di Denmark (lihat Samarangsch advertentie-blad, 28-12-1855).

Setelah semuanya beres dala hukum formal, Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk cabang Pemerintah Hindia Belanda di Bali. Ini sehubungan dengan pengangkatan Controleur kelas satu PL van Bloemen Waanders, yang ditempatkan di Beliling, ditingkatkan pangkatnya menjadi Asisten Residen (lihat Nederlandsche staatscourant, 03-06-1857), Disebutkan sebagai pengakuan atas sikap terpuji dimana PL van Bloemen Waanders Controleur kelas satu yang ditempatkan di Beliling, ditingkatkan pangkatnya menjadi Asisten Residen dengan melaksanakan tugas untuk pemerintah tentang pengetahuan tentang tanah, rakyat, akhlak dan pranata di Bali.

PL van Bloemen Waanders dapat dikatakan sebagai Controleur pertama di Boeleleng sebagai wujud dari cabang Pemerintah Hindia Belanda di Bali. PL van Bloemen Waanders juga dapat dikatakan sebagai Asisten Residen pertama di Bali. Sehubungan dengan pengangkatan PL van Bloemen Waanders sebagai Asisten Residen maka di Djembrana akan ditempatkan seorang Controleur. Pembentukan cabang Pemerintah Hindia di Belanda hanya sebatas pembentukan afdeeeling Boeleleng dan afdeeeling Djembrana. Sementara lanskap-lanskap lainnya di Bali masih berada di bawah otoritas radja-radja Bali.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar