Kamis, 15 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (22): Dayak dan Sejarahnya; Penduduk Asli di Pedalaman Borneo dan Kerajaan Melayu di Pantai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Tengah di blog ini Klik Disini 

Banyak literatur lama yang menyatakan penduduk Dayak adalah penduduk asli pulau Kalimantan (Borneo). Tidak diketahui penduduk asli pulau ini ada (datang). Namyn yang jelas penduduk asli (yang disebut Dayak) sudah terbentuk sejak ribuan tahun. Ini dapat diperhatikan dari elemen-elemen kebudayaan mereka yang berbeda dengan pulau-pulau tetangga (Sulawesi, Jawa, Sumatra, Bali. Luzon dan Mindanao). Seperti umumnya di pulau-pulau lain, elemen kebudayaan penduduk asli di pedalaman Kalimantan (Dayak) berbeda dengan kebudayaan yang terbentuk di kota-kota pantai (Melayu/Bandjar).

Identifikasi penduduk asli tentu saja bersifat relatif, hanya dibedakan siapa yang lebih awal dibanding dengan yang datang belakangan. Jika dianggap penduduk Dayak yang terbentuk lwbih awal maka penduduk Melayu atau Bandjar dapat dianggap terbentuk kemudian. Penduduk Melayu dan Bandjar yang terbentuk di pulau Kalimantan dapat dianggap penduduk asli relatif terhadap penduduk pendatang dari India, Tiongkok, Persia. Arab, Eropa dan penduduk asli dari pulau-pulau lain seperti penduduk asli Sulawesi (orang Boegis) dan penduduk asli Jawa (orang Jawa). Di pulau Sumatra, seperti di Sumatra Utara penduduk Batak lebih awal terbentuk di pedalaman relatif dengan penduduk Melayu di sekitarnya.

Lantas bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut penduduk Dayak di pedalaman puau Kalimantan? Yang jelas dengan berkembangnya kota-kota pantai menjadi kerajaan-kerajaan, hubungan penduduk Dayak di pedalaman dan penduduk di pusat-pusat kerajaan terjadi hubungan yang intens (terutama dalam bidang perdagangan). Pada fase lebih lanjut, orang-orang Eropa terutama Belanda (sejak era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda) lebih intens membuka isolasi penduduk di pedalaman menjadi satu kesatuan wilayah administrasi dengan kota-kota di pantai. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Namun bagaimana permulaan itu dicatat? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kapan Nama Dayak Diidentifikasi?

Siapa sebenarnya penduduk Dayak (Dajak, Dyak, Dyak)? Seorang Inggris M Murray melakukan ekspedisi ke sungai Mahakam pada tahun 1844 (Journal de La Haye, 22-09-1844). Murray menyebut tiga kelopok penduduk yakni kesultanan, orang Boegis dan orang Dajak. Orang kesultanan berkolaborasi dengan orang Boegis mengeksploitasi penduduk Dajak di pedalaman. Meski populasinya jauh lebih sedikit, senjata api orang Boegis disebutkan sangat menakutkan orang Dayak. Dalam hal ini orang Boegis jelas imigran yang sudah lama di Bandjarmasin? Lantas siapa sesungguhnya orang-orang kesultanan? Jelas mereka bukan orang Boegis dan juga bukan orang Dajak.

Pada masa lampau kerajaan Koetai berada di pantai. Di teluk di depan kerajaan Koetai sudah mulai terbentuk pulau-pulau sedimen yang lambat laut menyatu dengan daratan dengan terbentuknyak empat cabang sungau Koetai. Semakin meningkatnya proses sedimentasi karena peningkatan aktivitas di wilayah hulu, di muara menjadi kerap banjir. Orang-orang Boegis sendiri sudah bermukim di arah hulu Ketai di suatu perkampongan yang disebut Samarinda (yang menjadi partner kesultanan untuk perdagangan ke pedalaman dimana penduduk Dayak berada. Setelah dianggap tidak nyaman di Koetai, kerajaan Koetai relokasi ke tempat yang lebih sehat di suatu tempat yang kemudian disebut Tenggarong. Untuk menjaga arus perdagangan di muara, pangeran Koetai ditempatkan di Samarinda (yang kemudian dijadikan pintu gerbang, bea dan cukai untuk kesultanan Koetai). Setelah kerajaan relokasi ke Tenggarong, orang-orang Boegis menjadi penghubung (partner) kesultanan tidak hanya ke hulu (penduduk Dayak) tetapi juga ke hilir (para pendatang termasuk orang-orang Eropa). Lantas mengapa orang-orang kesultanan bisa relokasi lebih jauh ke pedalaman? Orang-orang Dayak semakin terdesak lebih jauh lagi ke pedalaman. Dalam konteks ini wilayah teritori penduduk Dayak telah mengalami reduksi dari waktu ke waktu, yang besar dugaan di masa lampau orang Dayak berdagang hingga ke pantai.

Gambaran tentang di muara sungai Koetai (kini sungai Mahakam) boleh jadi tipikal untuk semua muara-muara sungai di seluruh pulau Borneo (Kalimantan) tempo doeloe. Penduduk Dayak seakan-akan penduduk pedalaman, tetapi secara historis adalah penduduk yang tersebar di seluruh pulau dari pedalaman hingga muara-muara sungai. Para pendatang baru di pulau mendesak penduduk yang lebih dulu datang (lebih ke pedalaman).

Gambaran umum di pulau Borneo (Kalimantan) sesungguhnya menggabarkan pola-pola pemukiman masa lampau yang terjadi di berbagai pulau termasuk di Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi dan semenanjung Malaka. Penduduk asli yang mengalami jarak sosial dengan pendatang, dalam berperilaku dengan tingkat pengetahuan dan kepercayaan mengisolasikan diri lebih ke pedalaman, ke arah hulu sungai atau ke gunung-gunung. Kebudayaan baru yang terbentuk di pantai-pantai atau muara-muara sungai karena terhubung dengan peradaban-peradaban (asing) yang boleh jadi lebih tinggi (dari India, Tiongkok, Persia, Arab dan Eropa). Peradaban baru yang membentuk kota-kota perdagangan di pantai-pantai atau muara-muara sungai secara alamiah terbentuk kerajaan-kerajaan yang lebih kuat dari (kerajan-kerajaan) penduduk asli.

Kerajaan-kerajaan baru di pantai-pantai mendapat saingan dari kerajaan-kerajaan dari pulau lain, yang di satu sisi dapat saling bertentangan dan di sisi lain antar kerajaan di pantai-pantai saling berlomba untuk membangun hegemoni. Hal inilah kerajaan-kerajaan di pantai-pantai di pulau Borneo (Kalimantan) pasang surut, ada yang degradasi dan ada yang promosi menjadi kerajaan besar. Kerajaan promosi dapat mendominasi kerajaan yang terdegradasi (menjadi kerajaan bawahan). Hal yang sama juga terjadi di pedalaman antara kerajaan-kerajaan Dayak menimbulkan perang tersendiri karena tumpang tindihnya wilayah teritorial karena sebagian penduduk Dayak terdesak lebih jauh ke pedalaman (yang dapat menimbulkan friksi antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lainnya yang sebelumnya lebih berjauhan menjadi lebih dekat satu sama lain. Gambaran di pulau Kalimantan ini juga menjadi gambaran yang sama di pulau-pulau lain.

Bagaimana asal-usul penduduk Dayak ditulis oleh PJ Veth dalam artikelnya tentang Asal-Usul Melajoe (lihat Letterkundig magazijn van wetenschap, kunst en smaak, 1827). Veth menyatakan bahwa orang Melayu (Bandjar) sekarang adalah orang penganut agama Islam, sebaliknya orang Daijak tetap pada kepercayaan lama mereka yang menyebut dan menyembah Dewata. Orang Daijak tidak mengizinkan poligami. Mereka terbiasa berkumpul di satu bangunan rumah besar. Kebiasaan membeli wanita adalah hal yang umum bagi orang Melayu dan Daijak. Pemakaman dilakukan dengan membakar dan abu almarhum kemudian dimasukkan ke dalam stoples tanah. Orang Daijak tidak terbiasa dengan penggunaan patung atau kuil. Ketika agama Hindu diperkenalkan di wilayah Bendjar dan Succadana, oleh Raja Madjapahit di Jawa, wilayah daratannya penuh dengan orang Daijak. Orang Dajak yang telah masuk Islam disebut Melayu. Orang Dajak berasal dari daerah aliran sungai Kamboja.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Isolasi Penduduk Dayak Terbuka 1836

Identifikasi penduduk Dayak pada dasarnya baru dimulai pada awal Pemerintah Hindia Belanda. Sehubungan dengan tujuan pembentukan cabang pemerintahan Hindia Belanda di pedalaman Kalimantan dilakukan ekspedisi pada tahun 1836 di Groot Dajak. Eskpedisi ini menandai eksistensi penduduk Dajak semakin diakui dan diperhitungkan. Laporan ekspedisi ini ditulis oleh Kaptein Albert Hendriks (lihat Journal de La Haye, 15-09-1837).

Tujuan ekspedisi ini untuk berunding dengan pemimpin Dayak. Ekspedisi ini langsung dipimpin oleh Residen MCG Goldman yang didampingin komandan militer Kaptein Albert Hendriks dengan pasukan militernya sebanyak 100 orang dari benteng-garnisun Bandjarmasin. Ekspedisi berangkat dari Bandjarmasin tanggal 25 April menuju sungai Tewa Pejaugau di Dajak Besar (Groot Sdajak). Sebanyak 1000 orang Boegis, Cina, Melajoe dan penduduk Bandjar mendampingi Resident. Untuk mencapai lokasi ekspedisi membutuhkan  16 hari. Ada 18 kampong Dayak yang berpartisipasi yang ikut menyambut kehadiran ekspedisi yang didahului dengan mengirim dua pimpinan mereka untuk menemui kedatangan ekspedisi. Menurut Kaptein Hendriks suku-suku di pedalaman ini belum dikenal dan belum pernah orang Eropa mendatannginya, Konsultasi berlangsung dengan para kepala suku selama lebih dari satu jam. Pengambilan sumpah dilakukan dengan sangat serius. Sebelum itu kepala suku berteriak memanggil burung ke udara sambil menabur makanan di tempat yang dia harapkan. Tak satu pun dari kami percaya penampakan burung ini, lalu kepala suku mulai berbicara kepada burung itu: ‘Saya mantan budakmu Radeen Anam, jangan membingungkan saya di depan Residen, komandan dan pangeran keluarga kerajaan, pengeran Mangkoe Boemie, dll…’. Laporan ekspedisi ini ditulis Kapten Hendriks pada tanggal 27 Agustus 1836,

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perkembangan Lebih Lanjut Penduduk Dayak

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar