*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini
Kemarin
terjadi kecelakaan pesawat (Sriwijaya Air) di pantai utara Banten, di sekitar
pantai Tangerang. Posisi jatuhnya pesawat hari ini diidentifikasi di sekitar
peraiaran antara pulau Laki dan pulau Lancang. Posisi GPS kecelakaan tidak jauh
dari titik awal jalur navigasi di bandara Soekarno-Hatta. Sambil menunggu
proses pencarian dan penyelamatan para korban dan mengupulkan serpihan-serpihan
pesawat maupun barang-barang penumpang ada baiknya kita merecall kembali
sejarah kawasan perairan tersebut.
Pada zaman lampau (awal era VOC), muara sungai
Tjisadane tepat berada di Teluknaga yang sekarang. Perairan di depan muara
sungai Tjisadane (sungai Tangerang) karena proses sedimentasi jangka panjang
mernjadi daratan (seluruh wilayah kecaatan Teluknaga di masa lampau adalah
perairan-laut). Oleh karena itu kini muara sungai Tjisadane-Tangerang berada di
Tanjung Pasir. Pada era VOC, tidak jauh dari muara sungai ini terdapat pulau
yang disebut pulau Ontong Java, yang kemudian oleh VOC disebut pulau Amsterdam
(kini pulau Rabut) dan pulau Middleberg (kini pulau Bokor). Pada gugus
pulau-pulau ini di sebelah barat terdapat pulau-pulau yang belum bernama yang
kini dikenal sebagai pulau Lancang (Besar dan Kecil) dan pulau Laki. Seperti
disebut di atas, perairan di antara pulau Lancang dan pulau Laki inilah terjadi
kecelakaan pesawat Sriwijaya Air. Jaraknya tentu saja belum begitu jauh dari
bandara Soekarno-Hatta.
Lantas
bagaimana sejarah perairan di area tersebut? Tentu saja hal ini tidak penting-penting amat, Namun
setelah adanya berita kecelakaan jatuhnya pesawat, kawasan perairan ini menjadi
penting. Hal itulah mengapa penting untuk menarasaikan sejarah perairan
tersebut. Lalu bagaimana sejarahnya berlangsung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Nama Pulau Lancang dan Pulau
Laki
Pada
era VOC, area jatuh pesawat Sriwijaya Air pada dasarnya adalah rute garis
navigasi pelayaran antara kota pelabuhan Banten dengan kota pelabuhan Soenda
Kalapa (Batavia). Di pulau Amsterdam terdapat benteng Belanda, yang menjadi
basis penyerangan Belanda ke Soenda Kalapa pada tahun 1618. Setelah pusat
Belanda (VOC) di Batavia, benteng di pulau Amsterdam tetap difungsikan sebagai
benteng pertahanan untuk menjaga wilayah yurisdiksi Jacatra (Batavia) dengan
wilayah yurisdiksi (kesultanan) Banten yang dipisahkan oleh sungai Tjisadane
(sungai Tangerang).
Kedalaman laut di perairan antara pulau Laki
dan pulau Lancang yang sekarang, pada era VOC seperti dapat diidentifikasi pada
Peta 1724 sekitar 20-23 meter. Dua abad kemudian seperti diidentifikasi pada
Peta 1907 kedalaman laut sudah berkurang menjadi sekitar 15 meter. Besar dugaan
di sekitar kawasan pulau Laki yang sekarang telah terjadi proses sedimentasi
jangka panjang. Satu hal penyebab yang penting proses pendangkalan ini diduga
kuat karena lumpur dan sampah (kayu dan daun) yang dibawah arus sungai
Tjisadane dari pedalaman. Pada tahun 1699 gunung Salak meletus yang menyebabkan
semua permukaan di daerah hulu sungai tertutup belasan centimeter debu vulkanik.
Permukaan tanah yang beruba debu vulkanik ini dalan jangka panjang tergerus
oleh hujan (erosi) yang bermuara ke sungai Tjisadane terhandar ke pantai
(laut). Meski telah terjadi pendangkalan, tetapi kedalamannya yang masih cukup,
area tersebut tetap menjadi garis jalur navigasi pelayaran dari selat Soenda ke
sepenjang pantai utara Jawa.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Perairan Utara Wulayah Banten
di Tangerang
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar