Selasa, 23 Maret 2021

Sejarah Papua (40): Wilayah Papua, Daerah Otonomi Khusus; Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Daerah Istimewa Jogjakarta, Aceh

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Papua dalam blog ini Klik Disini 

Wilayah Papua pantas mendapat hak daerah otonomi khusus di Indonesia dan seharusnya demikian. Mengapa? Sejarahnya memang demikian. Ini bermula ketika Hindia Belanda yang juga disebut Indonesia, dalam perundingan antara Belanda dan Indonesia di Den Haag tahun 1949, (pemerintah) Kerajaan Belanda secara (sepihak) sadar menyandera (wilayah) Papua dalam isi perjanjian dan tidak menyerahkan sepenuhnya wilayah Indonesia dan Belanda secara tersembunyi hanya mengakui kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS. Memahami sikap curang Belanda itu, Presiden Soekarno marah besar lalu membubarkan RIS dan kembali ke dalam bentuk (NK)RI dan perjuangan pembebasan wilayah Papua dimulai dan baru berhasil pada tahun 1963.

 

Wilayah Papua selama disandera Belanda (1949-1963) berada di dalam administrasi Pemerintah Belanda. Sementara di wilayah lain Indonesia administrasi pemerintahan sudah di tangan penduduk asli, sedangkan di wilayah Papua yang disandera Belanda administrasi pemerintahan masih di tangan orang-orang Belanda. Orang-orang Papua banyak yang tidak puas karena Belanda bersikap rasial dan tidak adil. Selain itu, di wilayah Papua di bawah rezim Belanda, penyatuan penduduk dihambat dan penduduk antar etnik disekat. Upaya penyatuan penduduk (persatuan dan kesatuan) ini baru muncul pada tahun 1960 yang dipelopori seorang pemuda bernama Frits Maurits Kirihio dengan mendirikan Partai Nasional (sebagaimana dilakukan oleh Soekarno dkk pada tahun 1927 mendirikan Perhimpoenan Nasional Indonesia yang setahun kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia).

Lantas bagaimana latar belakang Wilayah Papua menjadi daerah otonomi khusus? Seperti disebut di atas bermula ketika Belanda menyandera wilayah Papua dalam pengakuan kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS tahun 1949 dan upaya terus menerus yang digaungkan Presiden Soekarno untuk pembebasan wilayah Papua (dari penjajah Belanda) hingga berhasil tahun 1963. Untuk memajukan pembangunan di wilayah Papua lebih cepat maka wilayah Papua dijadikan sebagai daerah otonomi khusus sebagaimana sebelumnya Jakarta sebagai ibu kota negara dijadikan sebagai daerah otonomi khusus. Lalu bagaimana dengan daerah istimewa di Jogjakarta dan di Aceh? Itu juga memiliki latar belakang yang terkait dengan Belanda. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Daerah Otonomi Khusus di Papua Telat

Penetapan wilayah Papua sebagai daerah otonomi khusus di Indonesia adakalanya kurang dipahami oleh umum. Penetapan wilayah Papua sebagai daerah otonomi khusus hanya dipandang sebagai proses politik, tetapi sesungguhnya dari segi historis otonomi khusus di Papua seharusnya dilakukan dan memang diperlukan, bahkan sejak awal, sejak wilayah Papua dibebaskan dari penjajah Belanda pada tahun 1963.

Daerah-daerah di Indonesia sesungguhnya memiliki karakteristik yang beragam, baik karena faktor alam, penduduk atau kebijakan pemerintahan yang diterapkan sejak era Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu tidak semua daerah (dalam hal ini provinsi) diperlakukan sama baik untuk sistem pemerintahan atau sistem program pembangunan. Hal itulah mengapa sejak awal provinsi Jogjakarta dan provinsi Jakarta Raya diperlakukan berbeda dengan provinsi yang lainnya di Indonesia. Dalam hal ini provinsi Jogjakarta diberikan status istimewa dan provinsi Jakarta Raya dengan status khusus. Dua provinsi ini sejak awal memiliki karakteristik yang berbeda. Provinsi Jogjakarta diberikan status istimewa terletak pada struktur kepala daerah semata (Sultan) sementara kebijakan dan program pembangunan sama dengan daerah (provinsi) lain. Sedangkan untuk provinsi Jakarta Raya sebagai ibu kota negara diberikan status khusus karena struktur pemerintahan Gubernur sama dengan provinsi lain tetapi tidak untuk wilayah tingkat dua. Seperti halnya provinsi lain, termasuk Jogjakarta bahwa kebijakan dan program pembangunan sama. Penanganan program pembangunan di daerah Jakarta Raya dilakukan pada tingkat provinsi, sebagai ibu kota negara, agar lebih terkoordinasi.

Otonomi khusus bagi disematkan pada provinsi Papua pada tahun 2001 berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151yang telah diubah dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2008 yang terdiri dari 79 pasal tentang pengaturan kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia. Otonomi daerah khusus ini substansinya berbeda dengan daerah istimewa untuk Jogjakarta dan daerah khusus ibu kota Jakarta.

Status istimewa untuk Jogjakarta sudah dimaklumkan pada UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa kemudian diperkuat dalam adendum UUD 1945 tahun 2002. Istimewa dalam hal ini untuk wilayah Jogjakarta adalah (1) bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan dan Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); (2) Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan dan Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945). Sementara status istimewa untuk Aceh bermula sejak Residentie Aceh ditingkatkan menjadi provinsi tahun 1956 berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Pada tahun 1959 status istimewa untuk provinsi Aceh berdasarkan SK Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959, tanggal 26 Mei 1959, Keputusan itu menyatakan keistimewaan Aceh di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat. Sedangkan status daerah khusus untuk Jakarta bermula pada pada tahun 1959, yang mana status Kota Djakarta diubah dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu yang dipimpin oleh gubernur. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota. Pengaturan daerah tingkat dua di wilayah daerah khusus Jakarta diatur khusus, diangkat oleh Gubernur (dewan hanya ada pada tingkat provinsi).

Lantas mengapa status otonomi khusus ini baru ditetapkan pada tahun 2001. Satu yang jelas adalah bahwa reformasi di Indonesia baru muncul tahun 1999 sebagai wujud dari perbaikan sistem pemerintahan di Indonesia  yang selama ini banyak masalah. Dalam hal ini, meski otonomi khusus untuk Papua telat, tetapi era reformasi membuat otonomi khusus untuk Papua menjadi terwujud.

Latar belakang pemberian otonomi khusus kepada Papua sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pada dasarnya karena terdapat permasalahan di Papua yang belum diselesaikan yang meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Juga diduga telah terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua untuk memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi masyarakat Papua. Hal lainnya adalah pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam tidak digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga mengakibatkan munculnya kesenjangan baik di antara masyarakat Papua maupun antara Papua dengan wilayah lain di Indonesia. Hal itu terjadi karena kebijakan masa lalu yang bersifat sentralistik dengan mengabaikan kondisi khusus yang ada di Papua. Kebijakan yang pernah diterapkan di Papua tidak hanya mengabaikan aspek kesejahteraan masyarakat Papua, tetapi juga mengingkari hak-hak dasar penduduk asli serta mengingkari realitas perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua dengan berbagai masalah ikutan yang dihadapi (lihat MA Safa’at. Problem Otonomi Khusus Papua).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Daerah Otonomi Khusus di Papua Diperlukan Sejak Awal?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar