Minggu, 25 April 2021

Sejarah Filipina (21): Emilio Aguinaldo, Presiden Pertama Filipina; Seberapa Heroik Filipina Lawan Spanyol, Amerika Serikat?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini

Dalam berbagai tulisan disebut Emilio Aguinaldo adalah presiden pertama Filipina (23 Januari 1899-1 April 1901). Itu berarti Filipina dapat dikatakan sebagai republik pertama di Asia Tenggara. Namun republik era Emilio Aguinaldo kurang populer di Filipina, karena di Filipina republuk kedua (sejak 1935) yang dianggap populer karena berkesinambungan dengan republik dan posisi presiden Filipina yang sekarang. Disebutkan masa jabatan Emilio Aguinaldo berakhir setelah Aguinaldo bersumpah setia kepada Amerika Serikat setelah ditangkap.

Nama Emilio Aguinaldo tentulah orang hebat, sebab Emilio Aguinaldo adalah presiden pertama Filipina. Presiden Filipina adalah kepala negara dan kepala pemerintahan di Republik Filipina. Presiden Filipina dikenal oleh masyarakat Filipina dengan sebutan Ang Pangulo atau Pangulo. Terminologi pangulo mirip denga pangulu atau penghulu di masa lampau. Setelah kekosongan jabatan presiden di republik Filipina (sejak 1901)  posisinya digantikan oleh Gubernur Amerika Serikat. Pada tahun 1935 Amerika Serikat memberikan kemerdekaan kepada Filipina (sebagai persemakmuran) dengan jabatan presiden dijabat oleh Presiden Manuel L. Quezon (15 November 1935-1 Agustus 1944). Paralel dengan jabatan Presiden Quezon ini, pada era pendudukan Jepang posisi presiden dijabat oleh José P. Laurel (14 Oktober 1943-14 Agustus 1945). Pasca berakhirnya pendudukan Jepang, persemakmuran Amerika Serikat dilanjutkan lagi (dipulihkan) dengan mengangkat presiden Filipina Sergio Osmeña (1 Agustus 1944-28 Mei 1946). Pada era Preiden Manuel Roxas (28 Mei 1946-15 April 1948) persemakmuran dengan Amerika Serikat dilepas dan Republik Filipina benar-benar merdeka (pada tanggal 4 Juli 1946; tanggal yang sama dengan kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776).

Lantas bagaimana sejarah Presiden pertama Filipina, Emilio Aguinaldo? Tentu itu penting, karena Emilio Aguinaldo adalah presiden pertama Republik Filipina. Itu bermula setelah pecahnya perang antara Spanyol dan Amerika Serikat pada bulan April 1898. Lalu mengapa Emilio Aguinaldo yang menjadi presiden? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Emilio Aguinaldo: Spanyol  vs Amerika Serikat

Sejak Spanyol bercokol (koloni) di berbagai wilayah sejak abad ke-16, semuanya berjalan normal. Namun situasi berubah ketika di Cuba terbentuk persatuan nasional membuat Spanyol kebekaran jenggot. Benis-benih persatuan ini segera ditanggapi Spanyol dengan melakukan operasi militer. Amerika Serikat memantaunya dengan sikap wait and see. Situasi yang terus berkembang di Cuba kemudian muncul pemberontakan yang serupa di Filipina (lihat De Amsterdammer : dagblad voor Nederland,20-12-1896). Salah satu pemimpin perlawanan (terhadap Spanyol) di Filipina adalah Emilio Aguinaldo. Di Dewan Amerika Serikat muncul sikap sebagian anggota untuk mengambil sikap menentang terhadap aksi Spanyol, tetapi pemerintah masih berpikir hanya akan menimbulkan perang antara Amerika Serikat dan Spanyol.

De Amsterdammer : dagblad voor Nederland,20-12-1896: ‘Pemberontakan di Filipina semakin meluas, namun aksi Spanyol juga semakin kuat. Pemberontakan sekarang meluas ke seluruh provinsi Balavan, Batangas dan Pampango dan sampai batas tertentu Morong di pulau Luzon, secara efektif mencakup semua provinsi Tagalog. Namun demikian, titik utamanya tetap di provinsi Cavite, yang akan segera diserang orang Spanyol, yang kemungkinan dipimpin oleh Jenderal Polavieja. Jenderal Lachambre mengambil alih komando di Batangas, sementara Jenderal Lamuna pergi ke utara. Layanan kereta api telah dihentikan. Banyaknya eksekusi yang terjadi hanya menimbulkan sedikit kesan: di Cavite 21 pemberontak dipenggal. Di provinsi Cavite, para pemberontak dipimpin oleh Emilio Aguinaldo, mereka menangkap dua wanita Spanyol, yang mereka simpan di dalam benteng mereka. Konsulat dijaga oleh tentara pada malam hari dan perahu-perahu disiapkan di berbagai tempat untuk memudahkan para pedagang kaya yang hadir dalam jumlah besar untuk memanfaatkan para penenun ketika bahaya mengancam Manila, karena penduduknya kurang dipercaya. Kapal penjelajah Inggris Spartan telah meninggalkan Hong Kong untuk mendukung Daphne, Pigmy dan Piqué, jika mereka tidak cukup untuk membela kepentingan Inggris di Manila. Dari Spanyol, pada tanggal 17 Desember, dua batalyon infanteri diberangkatkan dengan kapal pengangkut Antonio Lopez dan Isla de Luzon menuju Filipina. Batalyon ketiga akan pergi ke sana pada hari Minggu. Jadi, tampaknya ada niat untuk menangani masalah ini dengan benar. Operasi ini disebut sebagai misi sepuluh batalyon’.

Pemberontakan melawan Spanyol ini (yang bermula pada bulan Agustus 1896) dapat dikatakan sebagai pemberontakan terbesar sepanjang sejarah Filipina (sejak penaklukan Filipina oleh Spanyol pada tahun 1570). Memang ada beberapa pemberontakan di masa lampau yang muncul di selatan Filipina (bangsa Islam Moro) tetapi pemberontakan dengan salah satu tokoh utama Emilio Aguinaldo ini dianggap tidak lazim dalam melawan Spanyol. Bukankah orang Filipina begitu dekat dengan orang Spanyol dalam berbagai hal (agama, budaya dan orientasi politik)? Pemberontakan penduduk Filipina terhadap Spanyol pada tahun 1896 masih bersifat misteri.

Di Semenanjung situasi dan kondisi politik sudah jauh lebih meningkat dalam hal perdamaian (di bawah yursdiksi Inggris). Demikian juga di Hindia (Timur) Belanda sudah meliputi sebagian besar kawasan, kecuali di wilayah Tapanoeli dan Atjeh (yang dianggap kedua wilayah perlawanan terhadap Belanda ini bekerjasama). Namun perlawanan di Atjeh adalah momok besar bagi Pemerintah Hindia Belanda (yang berpusat di Batavia). Sebagian wilayah Tapanuli dan wilayah Atjeh telah dikuasai Belanda, tetapi perlawanan penduduk Tapanuli di pedalaman (Sisingamangaaja) dan penduduk Atjeh di pedalaman (Teuku Umar) masih terus berlangsung. Pada saat ini ada operasi Belanda di Lombok tetapi karena lebih menengahi perang sudara (antara penduduk Sasak dan warga Bali). Dalam sumber-sumber Belanda terdapat relasi antara pemimpin Atjeh dengan pemimpin bangsa Moro di Filipina. Lalu apakah ada kaitan bangsa Moro dengan perlawanan yang dipimpin oleh Emilio Aguinaldo di sebelah utara melawan Spanyol?

Kesetiaan penduduk Filipina terhadap Spanyol pada saat pemberontakan ini masih tinggi tetapi telah menjadi masalah bagi Spanyol karena penduduk Mindanao juga telah memberontak kepada militer Spanyol (lihat De standaard, 21-12-1896). Disebutkan bahwa di provinsi Cavite saja, pemberontak sekarang berjumlah 50.000 orang. Pasukan Spanyol sekarang semua terkonsentrasi di Manila, sementara itu pemberontakan di Mindanao telah muncul bahkan diantara tentara Spanyol ada yang. Spanyol telah menerapkan hukuman mati jumlahnya sangat besar, tetapi efeknya sangat kecil. Selain 20an pemberontak di Cavita telah dipenggal, juga ada empat pemberontak di Manla dilakukan hal yang sama. Mereka dihukum karena telah menyerang Spanyol dengan dinamit.

Bagaimana asal usul pemberontakan di Filipina ini bermula, khususnya di wilayah Cavite awalnya dimulai oleh orang-orang Hindia (baca: Indonesia) sebagaimana dilaporkan oleh konsul Belanda di Manila (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-05-1897).  Laporan ini tentu sangat menarik, bagaimana orang-orang Hindia melakukannya di Manila? Tentu saja hal ini tidak pernah dibahas dalam sejarah Filipina masa kini. Sebagaimana diketahui bahwa penduduk awal di teluk Manila adalah orang-orang Hindia yang telah ditaklukkan armasa San Miguel pada tahun 1570. Orang-orang Hindia ini sebelum kehadiran Spanyol di teluk Manila sudah beragama Islam. Orang-orang Hindia terkonsentrasi di provinsi Bataan (pintu masuk teluk Manila). Nama Bataan diduga kuat merujuk pada nama Bata atau Batak (di Sumatra) sejak era Kerajaan Aru. Dalam laporan konsul Belanda ini disebut orang-orang Hindia pada bulan Agustus 1896 dengan cepat menguasai provinsi Cavite, kecuali ibu kota dengan nama yang sama, Cavite. Disebutkan berhari-hari Gubernur Jenderal Blanco kewalahan yang hanya memiliki 2.500 pasukan Eropa yang dimilikinya, bahkan tidak semuanya hadir di Manila, sementara itu segera menjadi jelas bahwa beberapa resimen pasukan pribumi (Spanyol) tidak dapat dipercaya. Gubernur Jenderal Spanyol di Manila pada tangga 30 Agustus menyatakan ‘keadaan darurat militer di provinsi Manila. Cavite, Batangas, Laguna, Bulacan, Tarlae dan Pampanga yang beberapa minggu kemudian juga diberlakukan di Zambale dan Bataan. Untuk mengahdapi situasi dan kondisi Gubernur Jenderal dalam waktu 24 jam dibentuk batalion relawan di Manila yang dipersenjatai oleh pemerintah dan juga segera memindahkan sebanyak 2.000 tentara Spanyol dari Mindanao untuk  segera merapat ke Manila. Baru pada awal Oktober tentara pertama (dari) Spanyol tiba di Manila. Pada bulan yang sama, sebuah konspirasi ditemukan di Ilocos, dimana selusin pemimpin Vigan, ibu kota provinsi itu, ditahan. Pemberontakan dan desersi diantara pasukan rribumi juga terdengar di Luzon, Mindanao dan Jolo. Hingga awal November sebanyak 9.000 tentara Spanyo telah tiba dan Jenderal Blanco dengan ini dan pasukan pribumi yang masih setia mulai melakukan serangan ke posisi benteng musuh di pantai utara provinsi Cavite (pantai utara provinsi Cavite ini adalah provinsi Bataan). Namun karena kekurangan persenjataan, militer Spanyol tidak bisa lebih maju dan mundur ke Manila untuk sekadar bertahan. Dalam pertempuran itu Spanyol kehilang 35 orang tentara dan seratus orang terluka. Dalam serangan itu termasuk penyerangan kereta api dan menahan penumpang sebagai sandera. Dalam hari-hari pertama pemberontakan, para pendeta yang berada di tangan para pemberontak diperlakukan dengan cara yang sangat berbeda dan bahkan ada yang dibunuh. Dari pihak pemberontak Hindia muncul banyak gerombolan menyerang cepat tetapi biasanya mereka melarikan diri secepat mungkin ketika pasukan mendekat (perang gerilya). Orang-orang Hindia tampaknya memahami sesuatu tentang seni perang, setidaknya bahkan di pihak Spanyol diklaim bahwa penghalang yang pemberontak berada di jalan-jalan dan terutama di pintu masuk desa membuktikan transparansi dan kompetensi para pemberontak. Di provinsi Manila, Bataan dan Balacan beberapa pertempuran lagi terjadi pada akhir Desember terakhir di mana pemberontak kehilangan sekitar 150 orang, Yang lebih penting adalah pertarungan pada tanggal 1 Januari 1897 di Cacarong de Sile di Balacan. Jenderal Emilio Aguinaldo dan yang, bersama saudaranya Andris Bonifacio memimpin para pemberontak di Cavite, menunjukkan dirinya dengan 4.000 orang di Pasig dan Pateros, dua tempat sekitar 12-15 Km timur Manila. Tujuannya kemungkinan besar untuk memperkuat pemberontak di Bulacan tetapi upaya itu digagalkan, Emilio dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri ke Cavite. Pada paruh terakhir bulan Januari 1897 sebanyak 25.000 tentara yang didatangkan dari Spanyol untuk Filipina telah tiba. Pada bulan Maret 1897 beberapa pertempuran masih terjadi di beberapa titik. Jumlah senjata api yang tersedia untuk para pemberonta secara alami dapat ditentukan, tetapi lebih dari 6.000 orang Hindia mungkin tidak memiliki senjata tetapi mereka membuat sendiri apa yang disebut ‘lantacas’. Ini adalah semacam meriam dengan panjang 1 meter dan memang Orang Hindia yang memuat dengan apa yang mereka miliki: batu, paku, pecahan kaca, dll. Lampion mudah dapat diangkut dan dipasang dimana-mana, bahkan digantung di dahan pohon.

Dalam perang dengan Spanyol ini di sekitar Manila pulau Luzon, peran orang-orang Hindia begitu signifikan. Orang-orang Hindia telah bergabung dengan berbagai pihak. Emilio Aguinaldo sendiri adalah seorang peranakan Cina dan pendudk lokal (tidak disebutkan apakah orang Hindia atau penduduk Luzon lainnya). Pada masa ini provinsi Cavite termasuk pulau Corregidor, di pintu teluk dekat provinsi Bata-an.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Seberapa Heroik Filipina Lawan Spanyol? Amerika Serikat?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar