*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Ada beberapa kabupaten yang berbatasan dengan gunung Lompobattang, yakni: Bantaeng, Bulukumba, Jeneponto, Gowa dan Sinjai. Mengapa bisa begitu? Sinjai terbilang yang berbatasan dengan gunung Lompobattang dari wilayah pantai timur Teluk Luwu (kini teluk Bone). Konon, sebelum dikenal nama Sinjai, wilayah dataran tinggi sisi timur gunung Lompobattang terdiri dari beberapa kerajaan kecil yang membentuk federasi Pitu Limpoe (Turungen, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka). Sementara di wilayah pesisir terbentuk federasi kerajaan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti).
Lantas bagaimana sejarah Sinjai diantara gunung Lompobattang dan teluk Bone? Seperti disebut di atas bahwa di wilayah Sinjai yang sekarang tempo doeloe terdapat dua federasi kerajaan (pedalaman dan pesisir). Lalu bagaimana hubungan penduduk Sinjai di masa lampu dengan penduduk di sekitar lereng gunung Lompobattang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Nama Sinjai: Dua Federasi Kerajaan
Batas sebelah utara kabupaten Sinjai adalah sungai Tangka. Tidak jauh di selatan sungai Tangka ini terdapat sungai Sinjai. Dua sungai ini tempo doeloe bermuara di teluk. Pada muara sungai Sinjai di teluk ini terdapat kampong Sinjai. Kawasan teluk ini lambat laun terjadi proses sedimentasi jangka panjang yang terbentuk daratan (yang kini kota Sinjai berada). Sejak kapan nama Sinjai dikenal tidak diketahui secara pasti.
Pada masa ini kota Sinjai seakan berada jauh di belakang pantai, sebenarnya tempo doeloe kampong Sinjai menjadi pusat perdagangan di teluk. Teluk ini terhubung ke pedalaman melalui sungai Sinjai dan sungai Tangka. Sungai Sinjai sendiri berhulu di lereng gunung Bawakaraeng-Lompobattang. Sungai lainnya yang berhulu di lereng-lereng gunung tersebut adalah sungai Walanae yang mengalir ke utara di pedalaman dan bermuara ke danau Tempe. Oleh karena nama Sinjai adalah nama sungai dan nama kampong yang menjadi kota (kemudian menjadi nama wilayah) diduga kuat adalah nama yang sudah tua di pantai (teluk). Penduduk asli sudah sejak lama eksis di pedalaman.
Nama Sinjai paling tidak sudah diberitakan pada tahun 1825 (lihat Bataviasche courant, 13-05-1825). Disebutkan di Sinjai terdapat pos militer Hindia Belanda di sisi sungai Sinjai yang dipimpin oleh Mayor Le Bron. Kapal-kapal perang Hindia Belanda merapat di pelabuhan di depan (muara) sungai Sinjai (karena khawatir kandas) yang kemudian denganm tongkang ke darat.
Perang di Selatan Sulawesi ini relatif bersamaan dengan di wilayah lain sehubungan dengan pembentukan cabang-cabang pemerintah Hindia Belanda seperti di Jawa (tengah), pantai barat Sumatra dan sulawesi bagian selatan. Pemerintah Hindia Belanda pasca pendudukan Inggris (1816) sudah menempatkan pejabat di Makassar. Para pemimpin Bone coba menghalangi perluasan cabang pemerintahan ini denganberkolaborasi dengan sekutu-sekutunya di Bonthaeng, Boeloecoemba. Sindjai dan Boadjo (Wajo). Dalam perang ini pusat militer utama (di luar Makassar) berada di Boeloecoemba yang kemudian menempatkan pasukan di Sinjai. Tampaknya militer Hindia Belanda coba menyisir sebelum memasuki wilayah Bone, Perang ini sangat berlarut-larut. Pada tahun 1840 militer Hindia Belanda mulai bisa mengontrol wilayah-wilayah di selatan Bone (termasuk di Sinjai) dan di sekitar Maros dan Sidenreng sebelum melancarkan ekspedisi besar-besaran ke Bone (lihat Militaire spectator; tijdschrift voor het Nederlandsche leger, 1839-1840).
Lambat-laun situasi dan kondisi keamanan di wilayah Sulawesi bagian selatan dapat terkendali. Dalam pembentukan cabang-cabang pemerintahan (seperti haalnya di pantai barat Sumatra) dengan menempatkan pejabat-pejabat setingkat Controleur, penduduk lokal diarahkan untuk memproduksi tanaman ekspor, yakni kopi. Pada tahun 1858 produksi kopi sudah menghasilkan. Hal ni dapat diperhatikan dari berita lelang harga kopi di Macassar (per 16 November 1958) dimana kopi Bonthaeng dan kopi Sinjai dengan harga f28.5 hingga f29 per picol sedangkan kopi (asal) Pare-Pare dengan harga f25 hingga f26 (lihat Algemeen Handelsblad, 18-01-1859), Ini mengindikasikan bahwa cabang pemerintahan, paling tidak di wilayah selatan, timur dan barat bagian selatan Sulawesi sudah berjalan efektif.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sinjai: Antara Makassar dan Bone
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar