*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Beberapa waktu lalu muncul pertanyaan apakah Sultan Hamid II seorang pahlawan atau seorang penghianat. Bagaimana seseorang disebut pahlawan Indonesia, apalagi Pahlawan Nasiional tidaklah mudah. Demikian juga bagaimana seseorang disebut penghianat bangsa tidak pula mudah. Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) hanya menentukan dan menetapkan pahlawan Indonesia menjadi Pahlawan Nasional, TP2GP tidak menetapkan seseorang sebagai penghianat bangsa.
Lantas bagaimana sejarah Syarif Abdul Hamid Alkadrie gelar Sultan Hamid II? Seperti disebut di atas, Syarif Abdul Hamid Alkadrie adalah seorang sultan dengan gelar Sultan Hamid II di Pontianak. Lalu bagaimana sejarah Sultan Hamin II? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Sultan Hamid II di Pontionak
Syarif Abdul Hamid Alkadrie gelar Sultan Hamid II yang dalam artikel ini disebuit Sultan Hamid (kecuali disebut khusus) diberitakan pertama pada tahun 1928 (lihat De koerier, 05-05-1928). Disebutkan di Hoogere Burgerschool (HBS) Bandoeng lulus ujian naik dari kelas satu ke kelas dua diantaranya P Sh M Alkadri. Teman sekelasnya antara GRM rec Dorodjatoen dan P Soeardi.
Hoogere Burgerschool (HBS) Bnndoeng dibuka tahun 1915. Lama studi lima tahun. Siswa yang diterima adalah lulusan sekolah dasar Eropa (ELS), Sultan Hamid diterima tahun 1927.
Pada tahun 1931 Sultan Hnmid di HBS Bandoeng lulus ujian naik dari kelas empat ke kelas lima (lihat De koerier, 04-05-1931). Sultan Hamid sejauh ini lancar dalam studi. Pada tahun 1932 Sultan Hamid lulus ujian akhir di HBS Bandoeng (lihat De koerier, 06-05-1932). Tidak terinformasikan jurusan apa Sultan Hamin. Yang jelas dari semua siswa yang mengikuti ujian akhir sebanyak 61 siswa lulus dan 16 siswa gagal (20.8 persen).
Sultan Hamid berangkat ke Belanda bulan Juli 1933 (lihat De koerier, 17-07-1933). Disebutkan daftar penumpang kapal ss Baloeran berangkat dari Batavia tanggal 19 Juli dengan tujuan akhir Rotterdam, diantaranya Sjarif Hamid Alkadri. Segera setelah berada di Belanda, Sultan Hamin mendaftar di akademi militer (lihat Haagsche courant, 30-08-1933). Disebutkan Koninklijke Militaire Academie (KMA) mengumumkan secara resmi bahwa sebagai hasil dari seleksi yang dilakukan di Hindia Belanda, mereka memenuhi syarat untuk diterima sebagai kadet di KMA untuk tahun pertama studi untuk infrantri di Hindia Belanda diantaranya Sharif Hamid Alkadri.
Persiapan untuk memasuki Koninklijke Militaire Academie (KMA) yang hanya ada di Breda (Belanda) membutuhkan beberapa tahapan seperti administrasi dan kesiapan fisik serta survei terhadap keluarga. Lamanya persiapan ini mengindikasikan Sultan Hamid hanya fokus ke KMA setelah lulus di HBS Bandoeng bulan Mei 1932. Dengan kata lain tidak ada waktu yang cukup untuk mengikuti studi universitas di Hindia Belanda seperti THS Bandoeng. Lama studi di KMA adalah tiga tahun. Seperti pada masa ini jika seorang lulusan sekolah menengah ingin masuk Akademi Militer (Akmil) dibutuhkan persiapan sebelum diiterima untuk menerima pelajaran/pelatihan, seperti seleksi di tingkat wilayah dan baru kemudian yang tersaring diteruskan ke administrasi pusat. Demikian juga pada era Hindia Belanda, Residen/Asisten Residen harus lebih dahulu menyelidiki profile calon dan keluarga sebelum pusat (GG) meneruskan ke Menteri Koloni seterusnya ke KMA di Breda.
Besar dugaan Sultan Hamid tidak bergaul di Belanda dengan mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia yang tergabung dalam Perhimpoenan Indonesia. Hal ini karena di Hindia para revolusioner Indonesia sedang memanas karena pers dibreidel dan Ir Soekarno yanng ditahanan di Bandoeng akan diasingkan. Para mahasiswa Indonesia di Belanda sudah sejak 1928 mahasiswa Indonesia di Belanda sangat gerah dengan otoritas Pemerintah Hindia Belanda (yang dengan sendirinya juga terhadap orang-orang Belanda). Sultan Hamid sedang studi/pelatihan militer di Breda, maka dengan sendirinya bidang studi Sultan Hamid itu menjadi ditepis diantara mahasiswa Indonesia. Lulusan KMA di Breda akan menjadi KNIL yang akan memerangi rakyat Indonesia yang tengah berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun-tahun dimana Sultan Hamid berada di Belanda, pengurus Perhimpoenan Indonesia adalah Parlindoengan Lubis (ketua), Sidhartawan (sekretaris) dan Mohamad Idrem Siregar (bendahara). Ketiganya adalah Zuid Tapenoeli dan Madoera tersebut sama-sama mahasiswa di fakultas kedokteran Universiteit Amsterdam. Mereka bertiga juga dikenal sebagai revolusioner penerus Mohamad Hatta dkk.
Sultan Hamid lulus di KMA Breda Belanda pada tahun 1936. Sultan Hamid diangkat dengan pangkat letnan dua (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-07-1936). Disebutkan diangkat terhitung sejak tanggal 2 Agustus 1936, Sjarif Hamid Alkadri yang menyebut dirinya sebagai Mozes Alkadri dengan pangkat letnan dua wapen der infanteri. Oleh karena penerimaanya di KMA dari dan ke Hindia Belanda, maka Sultan Hamid harus segera ke Hindia Belanda.
Sultan Hamid berangkat dari Rotterdam dengan kapal ms Sibajak pada tanggal 28 Oktober dengan tujuan akhir Batavia (lihat De Telegraaf, 28-10-1936). Kapal ms Sibajak yang ditumpangi Sultan Hamid akan tiba di (pelabuhan) Tandjoeng Priok pada tanggal 26 November (lihat De koerier, 20-11-1936). Kapal tersebut singgah di pelabuhan Belawan pada tanggal 23 November (lihat De Sumatra post, 23-11-1936). Surat kabar De Sumatra post, 23-11-1936 menyebutkan Sultan Hamid akan ditempatkan di Malang.
Sjarif Hamid Alkadri (SHA), sebagai perwira muda yang lulus KMA dan juga sebagai pangeran mahkota di Pontionak, sudah ditunggu keluarga di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-11-1936). Disebutkan tadi malam dengan ms Tosari tiba disini (Batavia) Soeltan Pontianak Sjarif Mohamad Ibnoel Marhoem Soeltan Sjarif Joesoef yang biasa disebut Sjarif Mohammad Alkadri (SMA).
Lebih lanjut disebutkan Soeltan Pontianak awalnya akan tinggal di Hotel der Nederlanden, kini menjadi jelas bahwa mengingat pengiring Soeltan yang banyak diinginkan untuk menyewa rumah sendiri, sehingga pagi ini sebuah bangunan yang luas di Alaydroeslaan ditempati. Kami tiba di tengah keramaian yang diawasi oleh Pangeran Koesoemo, berbaik hati memberi kami penjelasan rinci tentang kunjungan Soeltan ke Batavia. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk menjemput putra Soeltan, Pangeran Adipati Anoem Soeria Maharaja yang biasa disebut Sjarif Hamid Alkadri, yang kembali ke Hindia pada 26 November dengan kapal Sibajak setelah menyelesaikan studinya di Akademi Militer Kerajaan di Breda. Yang kan ditempatkan sebagai Letnan 2 di Batalyon-8 di Malang. Soeltan berangkat dari Pontianak pada tanggal 21 ditemani oleh Ratoe Poerboe Anoem, permaisurinya dan ibu dari putra yang yang sedang ditunggu. Rombongan itu juga termasuk seorang putri Soeltan, menantunya, yang bertindak sebagai sekretaris, dan tiga putra. Pada tanggal 2 Desember rombongan akan kembali ke Pontianak. Soeltan sudah keluar pagi-pagi sekali untuk melakukan berbagai kegiatan di kota, tetapi juru bicara kami tidak dapat memberi tahu kami apakah kunjungan resmi juga akan dilakukan selama kunjungan tersebut dan apakah Soeltan akan diterima untuk audiensi di Buitenzorg (dimana GG berada, red). Karena taksi yang penuh dengan barang (dari pelabuhan) baru saja berhenti di depan rumah dan orang-orang yang berdatangan tampaknya harus disambut Pangeran Koesoemo, kami segera pamit dan berterima kasih kepada juru bicara kami atas informasinya yang diberikan’.
Sejak kehadiran kembali di Hindia Belanda (sepulang lulus KMA di Belanda), Sultan Hamid tidak terinformasikan. Yang jelas bahwa Sultan Hamid akan melapor di Department Militarore di Batavia sebelum bertugas di Malang. Pada saat jeda waktu ini diduga Sultan Hamid yang dijemput keluarga, pulang kampong di Pontionak untuk beberapa waktu.
Pribumi yang menjadi tentara sudah cukup banyak. Salah satu diantaranya adalah Oerip Soemohardjo. Lulusan sekolah militer di Meester Cornelis. Pada tahun 1914 mendapat kenaikan pangkat dari sersan menjadi letnan dua (lihat De Preanger-bode, 23-10-1914). Pada tahun 1927 Oerip Soemohardjo mendapat kenaikan pangkat dari Letnan Satu menjads Kapten (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-09-1927). Setelah mendapat kenaikan pangkat lagi menjadi Majoor, kemudian Oerip Soemohardjo pendisun pada tahun 1938. Setelah kemerdekaan Indonesia, Oerip Soemohardjo tetap konsisten sebagai Republiken (menjadi Kepala Staf).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tentara KNIL Tetap KNIL: Pengakuan Kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949
Setelah kemerdekjaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan sejak kehadiran Belanda/NICA kembali ke Indonesia, perselisihan antara pribumi (Republiken) dengan Belanda (NICA) terus meningkat. Pertempuran antara kedua belah pihak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Pada tahun 1946 dua delegasi dari Indonesia datang ke Belanda membicarakan permasalahan yang ada di Indonesa dan akan berbicara dengan HJ van Mook (lihat Eindhovensch dagblad, 09-04-1946). Delegasi Republik Indonesia terdiri dari Menteri Dalam Negeri Soedarsono, Menteri Kehakiman Soewandi dan Sekretaris Jenderal Republik Indonesia Abdoel Karim Pringgodigo yang juga ikut bergabung LN Palar dan Ny Sjahrir. Sementara delegasi ‘Belanda’ terdiri dari PJA Idenburg, Letnan Kolonel Abdoel Kadir, Overste Soerdjo Santoso, Soeltan Hamid II dan Kaptein KNIL Tahja, ajudan Jenderal Spoor. Dalam hal ini Sultan Hamid juga diposisikan sebagai penasehat dari HJ van Mook (lihat Telex, 30-04-1946).
Dalam perkembangannya, sebagian takyat Indonesia sangat cooperative dengan Belanda/NICA dan sudah terbentuk sejumlah negara federal, sebaliknya para Republiken terus berjuang dengan gerilya. Akhirnya dilakukan gencatan senjata yang dilanjutkan ke perundingan. Perundingan Linggarjati ditandatangani di Batavia 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947. Dalam situasi inilah Sultan Hamid mendapat kenaikan pangkat lagi menjadi Kolonel KNIL.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 25-04-1947: ‘Sjarif Hamid Alkadri. Dengan keputusan 19 April No Letnan Jenderal, berada di KNIL diangkat menjadi Kolonel, Letnan Kolonel infanteri, ajudan dalam dinas luar (Hindia Belanda) kepada HM de Koningin, Pangeran Adipati Anoem Soeria Maharaja Sjarif Hamid Alkadri’. Catatan: pribumi yang berpangkat kolonel sebelumnya adalah perwira NICA Kolonel Abdoel Kadir Widjaja Atmadja.
Sebagai Pangeran/Radja di Pontianak, Sultan Hamid kemudian mendapat pelimpahan kekuasaan di wilayah (Residentie) Kalimantan Barat (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 06-12-1947). Disebutkan transfer manajemen Kalimantan Barat pada peralihan kekuasaan administratif dari Residen Kalimantan Barat Dr Van der Zwaai kepada Soeltan Pontianak, Sjarif Hamid Alkadri, Sultan Hamid sendiri sebagai bagian dari pemerintahan Belanda/NICA sejak 1945.
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 09-04-1946: ‘Dengan beslit Pjs Direktur Pemerintahan Dalam Negeri (waarnemend directeur van binnenlandsch bestuur) terhitung sejak tanggal 16 Oktober 1945, sebagai Pjs Administrator Lanskap Pontianak (waarnemend bestuurder van het landschap Pontianak), telah diakui dan dikukuhkan dengan nama dan gelar Soeltan Pangeran Adipati Anoem Soeria Maharadja Sjarif Hamid Alkadrie, putra sulung dari sultan yang meninggal sehubungan pada masa pendudukan Jepang’.
Bagaimana Sultan Hamid mendapatkan (kembali) Lanskap Pontianak/Kalimantan Barat dapat dibaca pada satu artikel yang dimuat pada surat kabar De waarheid, 25-07-1946 . Surat kabar ini terbilang surat kabar netral di Belanda. Bagaimana pandangan surat kabar tersebut kepada Sultan Hamin, sebagai berikut:
Pada saat ini di Jawa dan Sumatra, para pemimpin Republiken di bawah bendara Pemerintah Republik Indonesia mengungsi dari daerah-daerah pendudukan Belanda/NICA. Ibu kota RI yang sejak Januari 1946 dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta juga diikuti di berbagai daerah di Jawa Timur mengungsi ke pedalaman di Malang, di Jawa Barat mengungsi ke Poerwakarta, di Sumatra Timur mengungsi ke Pematang Siantar.
Bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke menjadi terbelah, sebagian pro Belanda/NICA yang akan membentuk negara-negara sendiri dan sebagian terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia. Para pentolan-pentolan Malino tidak lagi melihat dan mendengar perjuangan pemerintah pusat (di Djogjakarta), dan tidak mau tahu lagi apa yang terjadi di wilayah-wilayah Republiken yang masih tersisa. Pasca konferensi Malino Sultan Hamid dan Soekowati berangkat dengan membelakangi Pemerintah Republik Indonesia dan menghadap kepada tuan yang baru di Belanda.
De Maasbode, 29-08-1946: ‘Pada Rabu malam, Sjarif Hamid Alkadrie, Soeltan Pontianak dan Soekawati, salah satu delegasi Bali pada konferensi Malino, tiba di lapangan terbang Schiphol. Baik Soeltan maupun Soekowati didampingi oleh istri dan anak-anak. Soeltan memberi tahu editor ANP bahwa tujuan perjalanannya adalah untuk mengetahui situasi politik di negara ini dan untuk memberi tahu pemerintahan di Hindia tentang hal ini, untuk memberi tahu orang-orang tentang situasi di Hindia, terutama tentang konferensi Malino, dan akhirnya Soeltan mendesak disini [Belanda] untuk bantuan yang lebih besar, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan. Soelan dalam perjalanan ini mengatakan bahwa dia akan tinggal di negara ini selama sekitar tiga minggu, sementara nyonya Alkadrie akan tinggal di sini selama beberapa bulan, sedangkan anak-anak mereka akan tinggal disini untuk jangka waktu yang lebih lama’.
Soeltan Hamid di Belanda dapat dikatakan lebih Belanda daripada orang Indonesia. Istri Soeltan Hamid adalah orang Belanda. Soeltan Hamid sendiri belum dicabut di Kementerian Koloni sebagai tentata kerajaan (KNIL) yang berdugas di Hindia, lebih-lebih belum lama ini Soeltan Hamid telah dikukuhkan oleh pemerintah Belanda/NICA sebagai sultan dan penguasa di Kalimantan Barat. Soeltan Hamid luar dalam adalah warga Belanda. Memang ada benarnya apa yang digambarkan oleh surat kabar De waarheid, 25-07-1946 yang telah disebut di atas.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar