*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Jangan bayangkan pulau Jawa yang sekarang sama
dengan pulau Jawa di zaman kuno. Sangat jauh berbeda. Meski sudah ada kehidupan
awal di pulau Jawa di Trinil/Sangiran (Pithecanthropus Erectus), tetapi populasi
manusia baru meningkat drastis di era Homo Sapiens. Namun perubahan
geomorfologis pulau Jawa diduga dimulai pada zaman navigasi pelayaran perdagangan.
Perubahan itu masih berlangsung terus hingga awal navigasi pelayaran
perdagangan orang Eropa di Nusantara.
Peta-peta tertua pulau Jawa tidak ditemukan. Peta-peta nusantara dari era Ptolomeus abad ke-2 hanya ditermukan untuk peta pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya (Aurea Chersoenesus) dan peta pulau Kalimantan (Taprobana). Meski demikian, laporan pelaut-pelaut Arab sudah mencapai (pulau) Jawa melalui selat Sunda pada abad ke-12. Dalam rentang waktu tersebut terdapat nama-nama kerajaan di Jawa seperti Tarumanegara dan Kalingga. Teks Negarakertagama (1365) tidak memiliki peta, tetapi cukup banyak nama-nama geografis yang dapat diperbandingkan dengan pulau Jawa sekarang. Peta pulau Jawa paling tua berasal dari era Portugis. Sebagaimana diketahu, setelah Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511, pada tahun yang sama dua kapal Portugis menuju Maluku melalui pantai tenggara Sumatra, menyusuri pantai utara Jawa dan perairan di utara pulau-pulau Nusa Tenggara. Dalam publikasi tahun 1521 pulau Jawa sudah digambarkan, tetapi tidak ada nama tempat yang diidentifikasi. Peta Portugis tahun 1561 sejumlah nama tempat diidentifikasi, yakni: pulau Sunda dan kota-kota pelabuhan antara lain Banten, Jepara, Mandalika dan Tuban.
Lantas bagaimana sejarah geomorfologi Pantai Utara Jawa? Seperti disebut di atas, peradaban sudah terbentuk lama di Jawa, tetapi kurang terinformasikan dan baru ada laporan pada saat mana pelaut-pelaut Arab mencapai Jawa. Sejak itu mulai disebuatkan nama-nama tempat di Jawa tetapi tidak ada peta yang ditemukan. Peta pulau Jawa baru ada pada sejak kehadiran orang Eropa/Portugis. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi Pantai Utara Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta 1561
Geomorfologi Pantai Utara Jawa: Peta Portugis Sunda Banten Mandalika Jepara Tuban
Satu sumber sejarah terawal tentang nama-nama tempat di (pulau) Jawa yang dapat diperbandingkan dengan nama-nama tempat masa kini adalah teks Negarakertaga yang selesai ditulis tahun 1365 (era Kerajaan Majapahit). Namun teks ini tidak disertai peta-peta. Peta yang berdasarkan sumber Negarakertagama yang dapat dibaca sekarang adalah peta perkiraan yang dibuat oleh Prof Kern (1919). Nama-nama tersebut sangat penting tetapi tidak bisa menjelaskan permukaan bumi (pulau) Jawa secara geomorfologis.
Nama-nama tempat yang disebut dalam teks Negarakertaga 1365 (era Kerajaan Majapahit) meliputi nama-nama di nusantara, pulau Sumatra, Semenanjung Malaya, pulau Jawa hingga pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau Borneo, pulau Sulawesi, pulau-pulau di Maluku hingga Papua. Khusus di pulau Jawa, secara umum hanya menyebut nama Sunda, Madura dan Majapahit. Nama-nama lainnya di pulau Jawa hanya terdapat di Jawa bagian timur (di wilayah dimana terdapat Kerajaan Majapahit). Peta teks Negarakertgama, Prof Kern (1919)
Pada era Kerajaan Majapahit (teks Negarakertagama, 1365) yang jelas pulau Jawa dann pulau Madura eksis, tetapi bagaimana bentuknya belum diketahui secara jelas. Sudah barang tentu bentuk pulau Jawa berbeda pada era Majapahit dengan bentuk yang sekarang. Bagaimana bentuknya, haruslah didukung berbagai data dan informasi yang tersedia (hasil penelitian sejarah, arkeologis dan lainnya) pada masa ini, apapun bentuknya, teks, peta (termasuk peta satelit), foto, video (drone) Youtube. Peta-peta sejak era Portugis hingga era Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia Belanda) dapat dijadikan sebagai awal analisis geomorfologis pulau Jawa.
Dalam peta-peta yang berasal dari era Ptolomeus abad ke-2 yang direkonstruksi kembali khususnya pada abad ke-15 tidak terdapat pulau Jawa (tetapi ada pulau Sumatra, Semenanjung Malaya dan pulau Kalimantan). Dalam peta-peta yang dikumpulkan para pelaut-pelaut Portugis yang kemudian digunakan para ahli kartografi, peta yang diterbitkan pada tahun 1528 bentuk pulau Jawa yang digambarkan jauh dari sempurna (lihat Bordon, Benedetto, 1450-1530). Dalam peta tersebut diidentifikasi kota-kota (tidak hanya di pantai, tetapi ada yang jauh di belakang pantai/pedalaman). Dalam peta yang ditampilkan di atas, Peta 1561, dalam peta pulau Jawa diidentifikasi nama Aurbam (diduga Banten), Japara (Jepara), Mandalica (pulau Mandalika) dan Tubam (Tuban). Di pantai utara diidentifikasi pulau Sunda dan pulau Nueupora. Nama-nama lain yang diidentifikasi yang kurang dikenal masa ini adalah Carbao, Agoadadaluym, Pariebapor dan Antropophagi di laut Mare Machianum (laut Jawa). Laut di selatan pulau (Jawa) disebut Oceanus Indicus (lautan India), Nama-nama tempat tersebut diduga adalah nama-nama pelabuhan penting saat kehadiran Portugis. Satu yang penting dalam hal ini, nama Sunda awalnya adalah nama sebuah pulau (kecil). Sejumlah orang Portugis ke Jawa antara lain Tome Pires (lihat bukunya) dan Mendes Pinto (lihat bukunya). Dalam dua buku tersebut tidak tergambarkan peta pulau Jawa.
Pada sketsa teluk Banten digambarkan seluruh Kawasan teluk termasuk kota Banten, sungai dan gunung/bukit serta pulau-pulau di dalam teluk. Dalam artikel lain di dalam blog ini telah dideskripsi sejarah kota/teluk Baanten dimana ada beberapa pulau telah menghilang pada masa ini, dan ada beberapa pulau yang dekat ke pantai kini telah menyatu dengan daratan. Dalam sketsa kota (kerajaan) Banten digambarkan situasi dan kondisi kota, istana, sungai/kanal dan pemukiman warga kota, tetapi gambarannya saat ini telah berubah dimana telah terjadi proses sedimentasi jangka panjang di teluk, terjadi daratan baru di pantai yang kini posisi GPS dimana istana seakan berada jauh di pedalaman.
Apa yang dibandingkan antara peta/sketsa Cornelis de Houtman (1596) dengan kondisi masa ini dapat dikatakan adalah perubahan besar di teluk Banten, tetapi hanyalah perubahan kecil seperti kita lihat nanti untuk ukuran (perubahan) pulau Jawa. Namun sebelum itu, ada baiknya dipertanyakan tentang pulau Sunda dalam peta awal Portugis. Seperti nama (nama pulau) Jawa, nama Sunda juga penting karena tidak hanya nama selat yang memisahkan Jawa dan (pulau( Sumatra tetapi juga nama suku di bagian barat pulau Jawa (etnik Sunda). Pulau apa masa kini pulau Sunda tersebut? Keutamaan nama ini juga penting karena dalam laporan Mendes Pinto (1539) menyebutkan dirinya telah mengunjungi Zunda Kalapa (yang diduga Pelabuhan Sunda Kalapa yang sekarang).
Pelaut-pelaut Belanda sejak 1596 telah memperbarui peta Sumatra dan Jawa. Di pulau Jawa semakin banyak nama-nama kota Pelabuhan yang diidentifikasi. Hingga kehadiran Belanda, pantai selatan Jawa tetap masih buta. Ekspedisi pertama Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, ketika pula uke Belanda dari selat Balambangan (antara Bali dan Jawa) melalui pantai selatan Jawa tetapi tidak mendekati daratan tetapi langsung menuju lautan India ke Afrika Selatan. Nama tempat yang didientifikasi pada peta baru Jaw aini hanya smpai di Ujung Kulon. Nama-nama yang disebut dalam peta Portugis awal masih teridentifikasi di pantai utara Jawa. Mengapa nama yang pernah disebut pada peta awal Portugis (Carbao, Agoadadaluym, Pariebapor dan Antropophagi) di pantai selatan tidak ditemukan lagi? Boleh jadi peta baru hanya untuk mengidentifikasi nama tempat yang bisa dijangkau. Satu yang jelas pada awal kehadiran Belanda ini nama sela tantara Jawa dan Sumatra sudah diidentifikasi dengan nama Selat Sunda. Lalu mengapa nama pulau Sunda menghilang?
Geomorfologi Pantai Utara Jawa Zaman Kuno: Era Tarumanegara hingga Era Majapahit
Hal lainnya yang menarik tentang pantai utara Jawa adalah pulau-pulau kecil. Seperti di sebut di atas, dalam peta awal Portugis (Peta 1561) hanya disebut beberapa nama kota yakni Banten, Jepara, Mandalika dan Tuban. Dalam peta ini digambarkan kota Mandalika berada di (wilayah) pantai (berada di antara kota Japara dan kota Tuban). Dalam peta-peta era Belanda/VOC nama Mandalika masih diidentifikasi. Lalu mengapa nama Mandalika dua abad kemudian disebut (berada di) sebuah pulau (lihat Bataviasche koloniale courant, 11-05-1810). Disebutkan Kapten Brower yang memimpin pasukan memberitahu Pulau Mandalika setelah bertempur dengan beberapa kapal bajak laut.
Mandalika adalah sebuah pulau kecil di Laut Jawa, tepatnya di sebelah utara pantai utara Jawa Tengah. Pulau ini berjarak sekitar 2 kilometer dari Benteng Portugis yang terletak di pinggir pantai Desa Ujungwatu. Pulau ini bisa dicapai hanya deegan menggunakan perahu nelayan bermesin dan memerlukan waktu sekitar 30 menit untuk sampai. Kebanyakan orang datang ke pulau untuk memancing. Pulau ini dilaporkan memiliki satu jiwa yang merupakan penjaga mercusuar di sana. Mercusuar ini dibangun pada tahun 1897 untuk kepentingan keamana laut, bersama dengan 4 bangunan lain untuk menunjang pengoperasiannya. Pulau ini dikelola oleh Dinas Perhubungan Jepara sementara wilayah perairannya dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Jepara. (Wikipedia)
Peta era Portugis Mandalika adalah sebuah kota di pnatai, lalu dua abad kemudian hanya dikenal sebuah pulau kecil (yang mungkin tidak berpenghuni lagi) seharusnya menjadi pertanyaan. Apakah kota Mandalika telah hilang, karena peristiwa alam yang menyebabkan daratan telah tergerus (abrasi) atau pengaruh gaya vulkanik sehingga yang tersisa hanya pulau bebatuan jauh di perairan? Biasanya, secara geomorfologi pulau-pulau yang dekat ke daratan umumnya terbentuk darata dimana pulau menyatu dengan daratan akibat proses sedimentasi jangka Panjang,
Secara geomorfologi, wilayah dimana kota Jepara di masa lampau diduga
adalah sebuah pulau yang terpisah dengan daratan pulau Jawa. Dataran rendah
antara Kota Demak dan kota Rembang adalah perairan sempit. Akibat proses
sedimentasi jangka panjang makin lama makin menyatu. Pada era Portugis, kota
Demak masih berada di pantai di muara sungai Demak (yang berhulu di danau Rawa
Pening, Ambarawa). Hal itulah mengapa Kerajaan Demak pada masa itu memiliki
kekuatan maritime pasca Kerajaan Majapahit. Namun kini Kota Demak seakan berada
di pedalaman (ini dapat dibandingkan dengan Kota Semarang bawah yang sekarang
pada era VOC masih rawa-rawa yang luas di muara sungai Semarang). Seperti
halnya kota Semarang awal dan kota Rembang adalah kota yang terbentuk baru
seiring dengan pembentukan daratan, tang dengan demikian Kota Demak juga
terbilang kota baru. Hal itulah mengapa pada peta Portugis awal nama Jepara
yang diidentifikasi sebagai kota besar.
Lalu bagaimana dengan kota Tuban? Pada awal era Portugis kota Tuban berada di pantai (daratan pulau Jawa). Namu secara geomorfologis kasus kebaradan kota Tuban sama dengan kota Jepara. Dalam hal ini di masa lampau wilayah kota Tuban juga berada di suatu pulau. Pulau Tuban dan pulau-pulau lainnya telah menyatu dengan daratan Jawa dimana jalur perairan di belakang wilayah Tuban terbentuk daerah aliran sungai Bengawan Solo. Perairan zaman kuno ini duduga sampai wilayah Ngawi. Hal itulah mengapa di daerah aliran sungai Bengawan Solo antara Blora dan Bojonegoro terdapat deposit pertambangan minyak (hasil pelabupakan jangka panjang massa padat fosil seperti sampah vegetasi) dan penemuan garam di Grobokan. Jika kita mundur jauh ke belakang di zaman pra sejarah, Sangiran/Trinil itu tidak berada di pedalaman melainkan di pantai/belakang pantai.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar