*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bangka Belitung dalam blog ini Klik Disini
Lapangan terbang adalah kebutuhan untuk
pendaratan pesawat udara/kapal terbang. Dalam hal ini moda transportasi udara adalah
puncak peradaban manusia sejak era zaman kuno navigasi pelayaran perdagangan.
Sebelum terdapat lapangan terbang di Bangka dan Belitung, moda transportasi
laut yang digunakan dimana dermaga-dermaga banyak dibangun, baik untuk
mengubungkan antara kota di dalam pulau maupun antar pulau. Lalu kemudian tumbu
berkembang moda transpoertasi darat dengan pembangunan jalan raya di dalam
pulau.
Lapangan terbang Pangkal Pinang kini lebih dikenal sebagai Bandar Udara (bandara) Depati Amir, adalah bandar udara yang terletak di Kota Pangkalpinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bandara ini dikelola oleh PT Angkasa Pura II sejak bulan Januari 2007. Pada awalnya bernama Pelabuhan Udara Pangkalpinang yang dibangun sejak penjajahan Jepang tahun 1942 sebagai pertahanan dari serangan tentara sekutu. Pada tahun 1985 nama Pelabuhan Udara diubah menjadi Bandar Udara. Pada tahun 1999, nama Bandar Udara Pangkalpinang diubah menjadi Bandar Udara Depati Amir. Sejak 1 Januari 2007, Bandara ini diserahkan pengelolaannya kepada sebuah BUMN yang membidangi pengelolaan beberapa bandara di wilayah barat Indonesia, yaitu PT Angkasa Pura II (Persero). Pada tahun 1978, landasan dipindah bergeser ke arah barat sejauh sekitar 75 meter, dengan panjang 1200 m. Kemudian secara bertahap terus diperpanjang menjadi 1600 m, 1800 m, 2000 m dan selanjutnya tahun 2013 runway telah mencapai panjang 2250 m x 45m. Dalam sejarah perpanjangan landasan pacu ini, pernah juga memotong sebuah jalan raya, hingga pada akhirnya jalan raya tersebut dialihkan ke arah jalur yang lebih sesuai. Hingga saat ini runway bandara ini telah mampu didarati pesawat tipe Boeing 737-800NG/900ER, & Airbus A320. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bandara di Bangka dan
Belitung, bermula dimana? Seperti disebut di atas, sejarah bandara nermula di
masa lampau pada era Hindia Belanda yakni pada awalnya untuk kepubutuhan lapangan
terbang militer hingga kini bandar udara (bandara) komersil. Lalu bagaimana sejarah
bandara di Bangka dan Belitung, bermula dimana? Seperti kata ahli sejarah tempo
doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bandara di Bangka dan Belitung, Mula Dimana? Lapangan Terbang Militer hingga Bandar Udara Komersil
Adanya lapangan terbang di Bangka pada era Hindia Belanda, pada dasarnya bukan karena kebutuhan (militer) Pemerintah Hindia Belanda, tetapi karena kebutuhan negara lain (dalam hal ini Inggris). Itu terjadi pada tahun 1919 (lihat De locomotief, 06-10-1919). Mengapa? Yang jelas pembangunan lapangan terbang di Bangka bersamaan dengan pembangunan lapangan terbang di Larantoeka (Timor).
Pemerintahan Hindia Belanda, sudah sejak lama membangunan sejumlah lapangan terbang di Jawa dalam hubungannya dengan kebutuhan militer. Yang telah memiliki pesawat terbang sejak awal adalah Angkatan laut dan kemudian menyusul Angkatan darat. Lapangan terbang militer pertama yang dibangun adalah lapangan terbang Tjililita (Batavia) dan kemudian Kali Djati (Karawang) dan Andir (Bandung). Dalam perkembangannya dibangun di Semarang, dan Gresik, lalu menyusul di Singaradja (Bali). Sejumlah lapangan terbang tersebut awalnya dapat diakses dari laut (angkatan laut), namun dalam perkembangannya diperluas ke pedalaman (Bandoeng) setelah adanya lapangan Kali Djati. Untuk wilayah lain, di luar Jawa, lapangan terbang belum ada, dan karena itu pesawat terbang Angkatan laut yang ada yang take-off dan landing didaratkan di atas dak kapal. Takeoff di atas kapal, tetapi mendarat di laut yang kemudian diderek ke atas kapal di dek (untuk parkir kembali).
Dalam konteks inilah, yang mana pihak Inggris yang telah mengetahui Pemerintah Hindia Belanda telah membangun sejumlah lapangan terbang di Jawa dan Bali, menjadi pemicu munculnya keingingan Inggris untuk menghubungkan jalur penerbangan dari Singapoera ke Sidney (Australia) dan sebaliknya. Dalam hal ini pihak Inggris berinisitif memajukan usul kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk membangun lapangan terbang di Bangka dan Timor.
Sudah barang tentu usul Inggris di Singapoera
dan Sidney, di satu sisi dapat dimengerti oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan
di sisi lain Pemerintah Hindia Belanda melihat sebaliknya akan juga
menguntungkan di Hindia Belanda karean dimungkinkan pesawat terbang Pemerintah
Hindia Belanda menjadi memiliki akses baik ke Singapoera maupun ke Australia, Sebagaimana
diketahui selama ini, kerajaan Belanda memiliki konsulat di Singapoera maupun
di Sidney, demikian juga kerajaan Inggris memiliki kionsulat di beberapa kota
di Hindia Belanda (Batavia. Singapoera dan Medan). Hubungan internasional,
antar negara di atas, menjadi sebab terjadinya hubungan jalur penerbangan
internasional di tingkat bawah.
Dimana lapangan terbang di Bangka dibangun? Yang jelas bahwa pilihan pembangunan lapangan terbang di Bangka atas dasar inisiatif Inggris menjadi kenyataan. Namun dalam waktu yang tidak lama satu maskapai penerbangan di Belanda berinisiatif untuk melakukan penerbangan jarak jauh (long distance) dari Amsterdam hingga Batavia. Suatu ide gila, sebab ini akan yang terjauh di atas bumi. Bahkan orang Inggris dan Amerika belum berpikir merintis jalur penerbangan antara Inggris dan Amerika melalui Lautan Atlantik. Bagaimana jalur penerbangan antara Eropa dan Asia Tenggara dapat terselenggara? Apa peran lapangan terbang di Bangka dalam hal ini?
Dalam sejarahnya, setelah sekian abad, Belanda
di Eropa dan Hindia di Asia Tenggara terhubung melalui kapal-kapal layar via
Afrika Selatan (kemudian kapal uap melalui Terusan Suez) yang di dalamnya turut
membawa surat-surat pos. Kini telah mencapai puncaknya Ketika teknologi
telegraf dengan menarik kabel laut membuat komunikasi antara Belanda dan Hindia
lebih cepat jika dibandingkan surat. Teknologi komunikasi jarak jauh mulai
dioperasikan setelah percobaan stasion radio Malabar Bandoeng berhasil
menghubungkan komunikasi Belanda dan Hindia. Stasion radio Malabar ini
diresmikan pada tanggal 5 Mei 1923. Dalam konteks inilah gagasa penerbangan
jarak jauh antara Belanda dan Hindia dirintis.
Penerbangan jarak jauh Asmterdam dan Batavia benar-benar terlaksana dan berhasil dimana pesawat terbang pertama dari Belanda (Amsterdam) tiba di lapangan terbang Tjililitan (Batavia) pada hari Senin tanggal 24-11-1924 (lihat De Zuid-Willemsvaart, 25-11-1924). Tanggal ini begitu penting, baik di Belanda maupun di Hindia. Oleh karena itu disambut meriah dan antusias dimana-mana, tidak hanya Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga oleh Ratu Belanda Wilhelmina. Pada hari Jumat tanggal 21 November 1924 pesawat Foker F-VII mendarat di lapangan terbang Polonia Medan. Itu berarti pesawat pertama Belanda yang berangkat dari Amsterdam pada tanggal 1 Oktober telah tiba di Hindia (menempuh 15.899 Km dalam 20 hari terbang; termasuk hari untuk istirahat dan perbaikan).
Panitia Penerbangan Hindia Belanda langsung
mengirim telegram ke Ratu Wilhelmina dan sang Ratu langsung mengirim ucapan
selamat. Ucapan selamat juga disampaikan kepada tiga penerbang dan langsung
mendapat bintang (lihat Kembali De Zuid-Willemsvaart, 25-11-1924). Disebutkan
para penerbang itu adalah Commandant van der Hoop, Luitenant van Woerden
Poelman dan mekanik van den Broek. Hanya dua penerbang yang tiba di Hindia,
Luitenant van Woerden Poelman ditinggal di India (Inggris) untuk digantikan
oleh penerbang Hindia Belanda yang lebih memahami wilayah Hindia Belanda. Pada
hari Sabtu pesawat F-VII terbang menuju (lapangan terbang) di Singapura dan
keesokan harinya ke Muntok (Bangka) dan hari Senin dilanjutkan menuju Batavia
di lapangan terbang Tjililitan.
Dalam penerbangan jarak jauh yang bersifat internasional ini pada tahun 1824, lapangan terbang di Bangka juga mendapat kehormatan disinggahi. Lapangan terbang di Bangka yang dibangun tahun 1919 tersebut, telah memperkaya catatan sejarah penerbangan di Bangka dan khususunya tentang keberadaan lapangan terbang di Bangka. Sukses penerbangan Belanda, antara Amsterdam dan Batavia menjadi viral di Eropa. Adalah negara Portugal yang pertama memanfaatkan berita baik ini dengan mengirim permintaan diplomatik kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar diizinkan untuk membuka jalur penerbangan antara Lisbon dengan Batavia, dengan maksud aga pesawat-pesawat Portugal dapat mencapai Makao dan Dilli (Timor). Dengan demikian, lapangan terbang di Bangka dengan sendirinya telah menjadi bagian dari jalur navigasi penerbangan internasional. Penerbangan jarak jauh ini seakan lembaran baru dalam menngiringi pertumbuhan dan perkembangan penerbangan komersil.
Lapangan terbang di Bangka, muncul karena adanya usulan Inggris di Singapoera dalam rangka program penerbangan Inggris yang dapat terhubung antara Singapoera dan Australia di Sidney. Program ini tampaknya program rintiasan penerbangan sipil Inggris antara Singapoera dan Australia (mau tak mau) melalui Hindia Belanda. Penerbangan sipil sebenarnya sudah sekal lama berkembang, bahkan sebelum berkembang di Jawa. Dalam hal ini lapangan terbang Hindia Belanda di Polonia Medan. Lapangan terbang Medan dan Singapoera menjadi hub bagi penerbangan Inggris antara Colombo di barat dan Hongkong di timur (pengembangan ke Ausralia adalah program lebih lanjut). Harus dicatat untuk mencapai Colombo dari Medan tidak langsung melalui laut tetapi di atas pesisir laut pantai Siam, pantai Burma dan seterusnya ke India, demikian juga dari Singapoera ek Hongkong harus singgah di bebebarap lapangan terbang di pantai Indo China. Di Medan sendiri pada tahun 1910 sudah ada konsorsium penerbangan sipil (diantara pebisnis Belanda Inggris). Sebagaimana diketahui, Medan adalah kota yang paling cepat tumbuh dan berkembang di Indonesia dimana banyak para pengusaha Eropa membangun plantation. Perusahaan-persuahaan Inggris juga banyak di Medan, bahkan sudah sejak lama ada konsulat Inggris di Medan.
Dalam penerbangan jarak jauh tahun 1924 rute yang digunakan penerbang Belanda tersebut dari Amsterdam melalui beberapa negara hingga ke India, Burma fdan seterusnyaa ke Siam. Dari lapangan terbang di Phuket di pantai barat Siam, jalur ke singapoera menuju ke Polonia Medan, baru kemudian ke Singapoera (harus diingat bahwa ruas jalur navigasi masih pendek, karena kemampuan mesin pesawat dan ketersediaan bahan bakar yang bisa dibawa pesawat). Lalu dari Singapoera penerbangan jarak jauh dari Amsterdam ini menuju lapangan terbang di Bangka dan baru berakhir di lapangan terbang Tjililitan. Lapangan terbang di Bangka yang dibangun tahun 1919 menjadi saksi sejarah dalam penerbangan jarak jauh untuk kali pertama di muka bumi.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Lapangan Terbang Militer hingga Bandar Udara Komersil di Bangka Belitung: Palembang, Jambi dan Riau plus Pontianak
Dimana lapangan terbang di Bangka dibangun? Yang jelas bukan di Muntok (ibu kota residentie Banka en Onderh.), dan juga bukan di Pangkal Pinang (ibu kota residentie yang baru). Lalu dimana? Lapangan terbang yang dibangun 1919 justru di Blindjoe. Mengapa? Dalam perkembangannya lapangan terbang alternatif dibangun di Koba. Mengapa?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar