Kamis, 26 Januari 2023

Sejarah Surakarta (60): Persatuan Djoernalis Indonesia (PERDI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI); Hari Pers dan Bapak Pers


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Pada masa ini disebut PWI berdiri pada 9 Februari 1946 dan tanggal itu menjadi hari pers nasional. Bagaimana bisa? Sebab PWI adalah satu hal dan pers nasional adalah hal lain lagi. Pers nasional Indonesia sudah lahir pada era Pemerintah Hindia Belanda yang diberi nama Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI). Apakah tidak lebih tepat jika hari ulang tahun pers nasional merujuk pada eksistensi PERDI? Bagaimana dengan Bapak Pers Tirto Adhi Soerjo dan mengapa tidak inline dengan hari pers? Yang jelas fakta sejarah berbeda dengan propaganda sejarah.


Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah organisasi wartawan pertama di Indonesia, berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta (tanggal tersebut ditetapkan tahun 1985 sebagai Hari Pers Nasional). PWI beranggotakan wartawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini PWI dipimpin oleh Atal Sembiring Depari. Berdirinya PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia melalui media dan tulisan. Setelah berdirinya PWI, didirikan Serikat Penerbit Suratkabar atau SPS 8 Juni 1946 (menjadi Serikat Perusahaan Pers sejak 2011). Karena jarak waktu pendiriannya yang berdekatan dan memiliki latar belakang sejarah yang serupa, PWI dan SPS diibaratkan sebagai "kembar siam" dalam dunia jurnalistik. Sebelum didirikan, PWI membentuk sebuah panitia persiapan dibentuk tanggal 9-10 Februari 1946 di balai pertemuan Sono Suko, Surakarta, Pertemuan itu dihadiri oleh beragam wartawan. Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan, diantaranya adalah: Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan: Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta), BM Diah (Harian Merdeka, Jakarta). Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta). Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto), Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya). Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang). Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang), Suprijo Djojosupadmo (Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta). Komisi beranggotakan 10 orang tersebut “Panitia Usaha”, tiga minggu kemudian, mengadakan pertemuan kembali di Surakarta bertepatan dengan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (28 Februari hingga Maret 1946). Dari pertemuan itulah disepakati didirikannya Serikat Perusahaan Suratkabar dalam rangka mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar yang pendirinya merupakan pendiri PWI (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI) dan Persatoean Wartawan Indonesia (PWI)? Seperti disebut di atas, hari pers nasional merujuk pada kelahiran (hari lahir) PWI, tetapi fakta pers nasional (yang diwakili PERDI) sudah ada jauh sebelum itu. Hari PWI adalah satu hal, hari pers tentu lain lagi dan tentu saja bapak pers lain pula. Lalu bagaimana sejarah Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI) dan Persatoean Wartawan Indonesia (PWI)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI) dan Persatoean Wartawan Indonesia (PWI); Hari Pers dan Bapak Pers 

Organisasi waratwan Indonesia, bukan yang pertama Persatoean Djoernalistik Indonesia (PERDI) tetapi juga Persatoean Wartawan Indonesia (PWI) bukan pula yang terakhir. Namun dua organisasi wartawan yang berbeda ini sejak era Pemerintah Hindia Belanda termasuk yang kuat di dalam garis continuum wadah para jurnalis Indonesia. Namun membicaraka sejarah continuum wadah para jurnalis Indonesia tidak cukup hanya PERDI dan PWI. Sebelum terbentuknya PERDI sudah ada wadah para jurnalis Indonesia, yaitu Perserikatan Kaoem Joernalist yang disingkat PKJ pada tahun 1931 yang dipimpin oleh Saeroen dan Parada Harahap.


Ketika surat kabar Benih Mardika dibreidel di Medan tahun 1918, mantan redakturnya Parada Harahap yang telah menjadi redaktur di surat kabar Pewarta Deli menginisiasi sarikat para jurnalis pribumi. Namun tidak lama kemudian Parada Harahap pulang kampong mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919. Pada tahun 1920 di Medan kembali dibentuk Inlandschen Journalistbond (lihat De Sumatra post, 10-03-1920). Lagi-lagi surat kabar Sinar Merdeka dibreidel tahun 1922, Parada Harahap hijrah ke Batavia dengan mendirikan surat kabar baru Bintang Hindia. Saat surat kabar Parada Harahap mulai mekar di Batavia, dilaporkan di Semarang dibentuk organisasi para jurnalis pribumi tahiun 1923 (lihat De Indische courant, 17-10-1923). Dengan demikian sudah eksis dua organisasi jurnalis di Medan (sejak 1918) dan di Semarang (sejak 1914). Catatan: yang dimaksud organisasi jurnalis pribumi tersebut termasuk wartawan Cina; dengan kata lain organisasi dibentuk untuk ‘melawan’ pers (berbahasa) Belanda. Pada tahun 1925 seiring delik pers yang terjadi dalam surat kabar Warna Warta di Semarang dan Son Po di Batavia, dibentuk di Batavia Asosiasi Jurnalis Pribumi dan Cina (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 23-09-1925). Pengurusnya adalah M Thabrani pemimpin redaksi Hindia Baroe, WR Soepratman sebagai sekretaris dari kantor berita Alpena dan sebagai komisaris Parada Harahap. Catatan: Parada Harahap adalah pemimpin umum surat kabar Bintang Hindia dan pemimpin umum kantor berita Alpena. Hindia Baroe (1925) adalah sukses surat kabar Neratja, surat kabar dimana Parada Harahap pernah menjadi redaktur sebelum mendirikan Bintang Hindia tahun 1922.

Perserikatan Kaoem Joernalist dibentuk dalam kongres wartawan yang diadakan di Semarang. Kelompok nasionalis di Volksraad telah menyatakan mendukung kongres wartawan pribumi tersebut. Dalam kongres ini dihadiri sekitar 3.000 orang apakah jurnalis pribumi maupun jurnalis Cina. Hasil dari kongres wartawan pribumi yang diadakan di Semarang, menetapkan kantor pusat di Batavia dan dalam rapat penutupan kongres dikukuhkan sebagai ketua Saeroen, pemimpin redaksi Siang Po di Batavia, sekretaris-bendahara Parada Harahap, direktur-pemimpin redaksi Bintang Timoer di Batavia (lihat De avondpost, 01-09-1931). Disebutkan lebih lanjut kongres berikutnya akan berlangsung di Batavia pada tahun 1932.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hari Pers dan Bapak Pers: Jika Ingin Menulis Sejarah Baru, Jangan Lupa Ada Sejarah Lama

Setiap masa, organisasi wartawan non Eropa/Belanda (pribumi/Cina) dibentuk dengan alasan yang berbeda-beda. Namun pembentukan baru didasarkan karena ada dorongan untuk Bersatu dan menyatukan dalam menghada suatu isu baru. Pada detik-detik berakhir Belanda di Hindia, isu baru muncul dimana invasi Jepang sudah di depan mata, dimana Pontianak, Palembang, Minahasa, Amboina dan Sorong sudah diduki militer Jepang. Untuk merespon itu para wartawan Indonesia Kembali melakukan kongres di Jogjakarta pada bulan Februari 1941 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 27-02-1941).


Disebutkan dalam konferensi PERDI (Persatoean Djoernalis Indonesiai). yang diselenggarakan di Kalioerang pada Minggu, 23 Februari lalu, diambil sejumlah keputusan. Salah satu keputusan organisasi secara keseluruhan dipimpin langsung oleh sebuah dewan yang berkedudukan di Batavia dan di setiap kota jika terdapat ada lima orang angggota dapat mendirikan cabang. Keputusan lainnya memperkenalkan sistem anggota biasa dan luar biasa dimana anggota biasa hanya dapat menjadi wartawan profesional berkebangsaan Indonesia, sementara wartawan nonprofesional hanya dapat bergabung sebagai anggota luar biasa. Keputusan juga menentukan komposisi dewan: ketua, Sjamsoeddin St. Ma'moer; wakil ketua Parada Harahap, sekretaris Soemanang, bendahara Soetioro. Semua anggota dewan berkedudukan di Batavia. Untuk komisaris: Adam Malik (Batavia); Moh. Koerdi (Bandoeng untuk lingkaran Preanger); Sofwanhadi di Solo (untuk kalangan Jawa Tengah); Soemarto Djjojodihardjo di Soerabaja (untuk lingkar Jawa Timur). Untuk di Sumatera masih sedang proses pendirian.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar