*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini
Bagaimanapun status kesehatan masyarakat di
(wilayah) Malang meningkat itu dimulai sejak cabang Pemerintah Hindia Belanda
dibentuk di (wilayah) Malang. Dua elemen penting dalam upaya peningkatan status
tersebut adalah kehadiran dokter, dan pembangunan fasilitas kesehatan.
Dokter-dokter yang ada adalah dokter lulusan Belanda, lalu kemudian disusul
dengan munculnya dokter-dokter pribumi apakah lulusan dalam negeri maupun luar
negeri (terutama lulusan Belanda). Dalam hal ini siapa Dr. Saiful Anwar yang Namanya
ditabalkan menjadi nama RSUD di Malang.
Sejarah Singkat RSUD Dr. Saiful Anwar. Sebelum perang dunia ke II, RSUD Dr. Saiful Anwar (pada waktu itu bernama Rumah Sakit Celaket), merupakan rumah sakit militer KNIL, yang pada pendudukan Jepang diambil alih oleh Jepang dan tetap digunakan sebagai rumah sakit militer. Pada saat perang kemerdekaan RI, Rumah Sakit Celaket dipakai sebagai rumah sakit tentara, sementara untuk umum digunakan Rumah Sakit Sukun yang ada dibawah Kotapraja Malang pada saat itu. Tahun 1947 (saat perang dunia ke II), karena keadaan bangunan yang lebih baik dan lebih muda, serta untuk kepentingan strategi militer, rumah sakit Sukun diambil alih oleh tentara pendudukan dan dijadikan rumah sakit militer, sedangkan Rumah Sakit Celaket dijadikan rumah sakit umum. Pada tanggal 14 September 1963, Yayasan Perguruan Tinggi Jawa Timur / IDI membuka Sekolah Tinggi Kedokteran Malang dan memakai Rumah Sakit Celaket sebagai tempat praktek (Program Kerjasama STKM-RS Celaket tanggal 23 Agustus 1969). Tanggal 2 Januari 1974, dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI N0. 001/0/1974, Sekolah Tinggi Kedokteran Malang dijadikan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, dengan Rumah Sakit Celaket sebagai tempat praktek. (https://rsusaifulanwar.jatimprov.go.id/)
Lantas bagaimana sejarah kesehatan, dokter dan rumah sakit di Malang? Seperti disebut di atas, itu semua bermula pada era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam upaya peningkatan status kesehatan penduduk Malang dalam perkembangannya semakin dibuttuhkan dokter-dokter pribumi. Siapa Saiful Anwar? Lalu bagaimana sejarah kesehatan, dokter dan rumah sakit di Malang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kesehatan, Dokter dan Rumah Sakit di Malang; Status Kesehatan Penduduk Malang, Siapa Saiful Anwar?
JJ Altheer meninggal di Malang. Seseorang menulis di Batavia tanggal 28 Januari 1863 yang dimuat dalam surat kabar Bataviaasch handelsblad, 31-01-1863. Altheer, bukanlah orang biasa, tetapi orang yang sangat berdedikasi. Dia meninggal di tempat yang dicintainya, di Malang. Apakah warga Malang kehilangan? Tentu saja. JJ Altheer adalah seorang apoteker dan juga insinyur teknik kimia.
JJ Altheer bekerja di laboratorium di Utrecht dari tahun 1848 hingga 1852 di bawah bimbingan guru besar GJ Mulder. Oleh Menteri koloni diangkat sebagai apoteker kelas-3 ditempatkan di Hindia Belanda 24 Juli 1852. JJ Altheer berangkat 21 Mei 1853 dengan kapal ke Batavia dengan kapten Bartolomeus dan tiba 26 September 1853. Di Hindia Belanda melakukan penelitian di wilayah Malang dan artikelnya dimuat dalam jurnal jurnal kedokteran, industry dan pertanian antara lain berjudul ‘Scheikundig onderzoek van eenige minerale wateren van Ngantang, afdeeling Malang, residentie Pasoeroean yang dimuat dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie 1855. Catatan: Apoteker adalah terkait langsung dengan tugas pada dokter. Saat itu tentu saja tidak/belum mengenal obat tablet/kapsul. Dokter/apoteker meracik obat sendiri dan hanya membawa bahan esensial (dalam bentuk cair dan bubuk) yang tidak ditemukan di wilayah kerjanya.
Lepas dari bahwa setiap orang berumur pendek atau berumur panjang, seorang Altheer, sarjana, seorang apoteker dan ahli kimia harus menemui kematian di Malang. Kasus Altheer ini sebenarnya menggambarkan tingkat kesakitan dan tingkan kematian sangat tinggi. Status tingkat kesehatan masyarakat sudah lebih baik jika dibandingkan dasawars-dasawarsa sebelum. Meski demikian, tantangan ke depan masih sangat berat dalam hal mengurangi risiko kesehatan dan menanggulangi tingkat morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi, tidak hanya diantara orang Eropa/Belanda, lebih-lebih pada golongan penduduk pribumi.
Pada tahun 1851 di Batavia, Pemerintah Hindia Belanda melalui militarire department dibuka sekolah kedokteran pribumi (kelak disebut Docter Djawa School). Sekolah ini diselenggarakan di rumah sakit militer Batavia (kini RSPA). Lama studi dua tahun kemudian ditingkatkan menjadi tiga tahun. Jumlah siswa setiap tahun sekitar 10 siswa. Pada tahun 1854 dua siswa dari afdeeling Angkola Mandailing, Residentie Tapanoeli, Si Asta (Nasoetion) dan Si Angan (Harahap), yang merupakan siswa pertama yang diterima yang berasal dari luar Jawa. Lulusannya menjadi asisten dokter-dokter lulusan Belanda, terutama dalam kaitannya dalam program vaksinasi dan penanganan epidemic di berbagai wilayah di Hindia Belanda. Setelah lulus, Dr Asta ditempatkan di onderafd. Mandailing dan Dr Angan di onderaf. Angkola.
Diantara penyakit yang dapat dikatakan pandemic adalah
kolera. Bagaimana ganasnya penyakit yang terjadi dari waktu ke waktu di Hindia
Belandas, saat itu begitu luas, antara lain dapat ditunjukkan sebagai berikut:
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1874:
‘Zuider Distrikten, Makassar. Situasi kolera lebih menyedihkan di sebuah
kampung dekat Bankola, dari populasi sekitar 300 jiwa, tak kurang dari 27 orang
meninggal akibat penyakit mengerikan itu sejak tanggal 10 hingga 20 Juli lalu.
Het nieuws van den dag: kleine courant, 25-05-1875: ‘Surakarta. Kami baru saja
diberitahu bahwa kolera merajalela di onderneming Manang. Sejak tanggal 20
bulan lalu, 42 orang tewas akibat wabah tersebut. Administratur telah melapor
ke polisi dan meminta dokter djawa, tapi belum juga datang, padahal sudah
dijanjikan dengan tegas.
Itu sedikit gambaran untuk memahami luasnya persoalan kesehatan di Hindia Belanda. Gambaran satu onderneming saja di Soerakarta dan desa populasi kecil di Sulawesi, bisa menewaskan puluhan orang dalam satu fase wabah. Bagaimana dengan seluas pulau Jawa dan seluas Hindia Belanda. Lulusan Docter Djawa School tidak bisa mengejar kebutuhan dokter-dokter pribumi, bahkan untuk wilayah yang maju seperti di residentie Soerakarta.
Di Malang sudah sejak lama ada garnisun militer. Awalnya di garnisun ini
ditempatkan seorang dokter. Dalam perkembangannya, di Malang dibangun rumah
sakit militer. Rumah sakit inilah yang menjadi salah satu andalan di wilayah
Malang, terutama untuk orang Eropa/Belanda. Pada tahun 1874 direktur
rumah sakit di Malang letnan satu quartermaster di rumah sakit van Cattenburch
sedang cuti untuk memulihkan kesehatannya di Malang. Sebagai penggantinya dari dinas
di Soerabaia, letnan dua quartermaster Logeman, sekarang menjadi direktur rumah
sakit di Malang (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 11-08-1874).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Status Kesehatan Penduduk Malang, Siapa Saiful Anwar? Dokter dan Fasilitas Kesehatan di Malang Waktu ke Waktu
Minumnya dokter yang tersedia di Hindia Belanda (dokter Belanda maupun dokter Djawa) mereka yang bekerja untuk pemerintah, harus terikat kontrak (dalam waktu tertentu) yang dapat ditempatkan dimana saja sesuai arahan pemerintah, bahkan juga untuk kebutuhan/dinas militer, menyebabkan tugas mereka berpindah-pindah. Kehadiran dokter Belanda di Malang sudah sejak lama diketahui, tetapi kehadiran dokter Djawa tidak terinformasikan.
Berdasarkan laporan pemerintah tahun 1883 yang dimuat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 15-01-1885 sebagai berikut: Jumlah
dokter yang melakukan praktik pribadi secara eksklusif, 31 dokter menjadi 34
orang per 31 Desember 1883, yakni ditambah 5 orang dokter baru, seperti: 1
orang dokter kota yang tidak aktif, yang kembali ke Batavia dari cuti luar
negeri pada awal tahun 1883, dan 4 orang petugas kesehatan yang diberhentikan
dengan hormat, sedangkan 1 orang dokter swasta meninggal dunia dan 1 orang
sementara pergi ke Eropa. Sementara jumlah
apoteker swasta bertambah pada tahun 1883 dari 28 menjadi 35, dimana 5
diantaranya berada di masing-masing tiga kota utama di Jawa (2 apoteker di
Batavia dan 1 Semarang) dan masing-masing 1 di kota Buitenzorg, Cheribon,
Pekalongan, Djokjakarta dan Soerakarta 2, sedangkan 10 apoteker swasta lainnya
terdapat di Bandoeng, Tegal, Salatiga, Pasoeroean, Malang, Probolinggo, Kediri,
Padang, Makasser dan Banda. Sedangkan dokter pribumi pada akhir tahun 1883, 59 dipekerjakan
di Jawa dan Madura dan 38 berada di luar Jawa sehingga total sebanyaak 97
dokter-jawa, termasuk 6 yang baru diangkat, yang telah lulus ujian wajib selama
tahun itu. Jumlah ini bertambah 1 pada awal tahun 1884, sebagai akibat dari
pemulihan dalam dinas nasional dan penempatan berikutnya di Jawa dari seorang
doctor djawa, yang telah diberhentikan pada tahun 1882 karena menolak dinas
militer. Sebaliknya 5 masuk dinas tahun 1883 yaitu 3 orang meninggal dunia (1
orang diantaranya tewas dalam letusan Krakatau) dan 2 orang diberhentikan
dengan hormat.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar