*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini
Pada tahun 1919 terbit surat kabar perempuan
di Medan, diberi nama Perempuan Bergerak. Beberapa bulan kemudian di tahun 1919
terbit surat kabar baru Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Dua surat kabar
berbeda ‘jenis kelamin’ ini sama-sama memiliki visi misi yang sama: berjuang
melawan penjajah demi tanah air, dan berjuang dalam kesetaraan jender.
Laki-laki dan perempuan bersama menuju kemerdekaan Indonesia. Dua surat kabar
ini diinisiasi oleh Parada Harahap. Siapa pelopor pers perempuan di Indonesia?
Empat Jurnalis Perempuan Berada di Garda Terdepan Pers Indonesia. Tempo.co.Jakarta. 9 Februari 2023. Dalam sejarahnya terdapat banyak perempuan berkiprah jurnalisme. Dalam sejarah, terdapat beberapa tokoh jurnalis perempuan yang memiliki pengaruh besar bahkan disebut sebagai pahlawan nasional. Tokoh itu di antaranya, Rohanna Koeddoes, SK Trimurti, Herawati Diah, dan Ani Idrus. (1) Rohanna Koeddoes jurnalis perempuan pertama pendiri surat kabar perempuan pertama, Soenting Melajoe. Kelahiran 20 Desember 1884 seorang aktivis emansipasi wanita, mendirikan sekolah kerajinan Amai Setia. Kiprah Rohanna dalam bidang jurnalistik pun tidak berhenti pada Soenting Melajoe. Ia pindah ke Medan pada 1920 dan bekerjasama dengan Satiman Harahap memimpin redaksi Perempuan Bergerak. (2) SK Trimurti. Soeratri Karma Trimurti dikenal sebagai seorang wartawati Indonesia. Ia pernah mendekam di penjara Blitar hingga 1943 karena memuat artikel yang berkampanye anti imperialisme dalam majalah Pesat. Ia begitu cinta pada dunia jurnalistik. Sejak tahun 1935 Trimurti banyak menerbitkan majalah dan surat kabar. (3) Herawati Diah. Dikenal sebagai tokoh pers Indonesia pada masa Jepang. Perjalanan karir Siti Latifah Herawati atau Herawati Diah sebagai jurnalis bermula ketika dirinya menjadi stringer pada usia yang ke 22 di United Press International (UPI). Ia menikah bersama teman Moehamad Diah atau BM Diah (kelak Menteri). Kemudian, pasangan itu menerbitkan Harian Merdeka. (4) Ani Idrus, mendirikan Waspada bersama suaminya H. Mohamad Said 1947. (https://tekno.tempo.co/)
Lantas bagaimana sejarah pers perempuan di Indonesia? Seperti disebut di atas, diantara pers Indonesia yang diawaki laki-laki, juga pada fase awal perempuan didorong/terdorong untuk aktif dalam pers Indonesia. Nama surat kabar Perempuan Bergerak di Medan dalam hal ini menjadi penting karena semangatnya tidak ingin statis tetapi ingin lebih maju dari sebelumnya. Dalam konteks inilah nama surat kabar Perempuan Bergerak memiliki garis continuum lahirnya jurnalis perempuan Indonesia yang andal. Lalu bagaimana sejarah pers perempuan di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pers Perempuan di Indonesia; Surat Kabar Perempuan Bergerak di Medan Lahir Jurnalis Perempuan Indonesia
Pers perempuan diwakili kehadiran surat kabar perempuan (vrouwenblad). Tempo doeloe tidak ada surat kabar/majalah pria, yang muncul kemudian hanya surat kabar/majalah vrouwenblad. Surat kabar perempuan pertama muncul di Jogjakarta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-09-1901). Nama surat kabar perempuan tersebut diberi nama Echo (artinya gema).
Apakah surat kabar Echo bertahan lama? Setelah pernebitan yang kedua
muncul permasalahan (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 30-09-1901). Disebutkan redaktur Echo,
Ny. Ter Horst - De Boer, mengumumkan bahwa setelah edisi ke-2 penerbit H.
Buning di Djogja harus menahan diri untuk tidak menerbitkan majalah itu lebih
lanjut karena pengeluaran hampir tidak dapat ditutupi oleh pendapatan. Jumlah
pelanggan menurun. Nyonya Ter Horst tidak dapat menerima penghentian terbitan
majalah, dimana dia dan banyak kolaboratornya telah bekerja dengan sangat
sukses, dan telah memutuskan untuk menerbitkannya dengan biaya sendiri untuk
melanjutkan, karena dia sangat membantu dan bekerja sama di pihak para perempuan.
Meski surat kabar mingguan perempuan Echo ini memiliki masalah di awal, tetap tampaknya masih terus berjalan. Surat kabar Echo menggunakan bahasa Belanda yang ditujukan kepada perempuan yang bisa berbahasa Belanda. Akan tetapi pers perempuan berbahasa Belanda ini tampaknya telah menghilang.
Besar dugaan penyebabnya, penurunan jumlah pelangga karena para perempuan
yang berbahasa Belanda khusuanya orang Eropa/Belanda di Indonesia mendapatkan
informasi dari surat kabar umum, yang boleh jadi menyediakan rubrik khusus
untuk perempuan. Kahadiran pers perempuan menjadi bersifat dilematis. Di satu
sisi ingin pers itu dari perempuan untuk perempau, tetapi di sisi lain pers
perempuan sulit memupuk modal sendiri.
Pada tahun 1912 surat kabar perempuan terbit di Padang (lihat De expres, 27-08-1912). Disebutkan nama surat kabar perempuan tersebut diberi nama Soenting Melajoe dimana editornya Zubeidah dan Siti Rohana. "Soenting" adalah tata rambut emas yang berharga untuk acara-acara terhormat. Setiap orang dapat dengan bebas menerjemahkan nama majalah wanita pribumi tersebut sebagai de Maleische diadeem (mahkota Melayu).
Surat kabar Soenting Melayu tidak bisa dibandingkan dengan surat kabar
Sinar Sumatra di Padang dan surat kabar Pewarta Deli di Medan. Surat kabar
Soenting Melayu disebut berisi prosa (esai) dan puisi. Dalam hal ini para editor
Soenting Melajoe lebih pada focus untuk mendorang para kaum Wanita untuk
berkembang lebih baik, apakah dalam pendidikan maupun kegiatan yang bermanfaat
seperti menenun, menyulam dan sebagainya. Juga untuk memartabatkan budaya untuk
tetap menpertahankan sopan santun seiring dengan perubahan zaman yang adakalanya
berbeda antara golong tua dan golongan muda. Catatan: Surat kabar Soenting Malajoe
dipimpin oleh Datoek Soetan Maharadja yang mana Zubaidah adalah putrinya sendiri.
Datoek Soetan Maharadja juga memimpin surat kabar Oetoesan Malajoe di Padang.
Tidak seperti Echo di Jogjakarta, Soenting Melajoe di Padang masih bisa bertahan hingga tahun kedua (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-11-1913). Disebutkan betapa rumitnya isi koran berbahasa Melayu, majalah wanita Soenting Malaijoe ingin para wanita bisa melakukan ini dan itu dan segala macam hal-hal. Datoek Maharadja percaya, karena sudah terlalu banyak surat kabar berbahasa Melayu, sebanyak tujuh buah dicetak di Padang, tetapi akan lebih banyak lagi. Dalam hal inilah pentingnya surat kabar perempuan tersebut. Dalam perkembangan tidak terinformasikan nama Siti Rohana.
Siti Rohana sudah berumur 28 tahun, terbilang tidak muda lagi, tetapi
belum terlambat memulai perjuangan membebaskan kaumnya (perempuan) di
lingkungan yang didominasi laki-laki. Untuk meningkatkan pemahamannya, Siti
Rohana berinteraksi dengan perempuan-perempuan Eropa (yang boleh jadi sejalan
dengan pikirannya). Karena itu, Siti Rohana berkesempatan berangkat ke Eropa
atas dukungan finansial ayahnya, kepala jaksa di Djambi (Mohamad Rasad) dan
suaminya (Koedoes?) pegawai di kantor Resident di Fort de Kock (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-03-1913). Siti Rohana dari Kota
Gadang bersama keluarga Westenenk berangkat ke Belanda yang ingin memperoleh
lebih banyak pengetahuan di Belanda. Catatan: Westenenk adalah Residen
Palembang yang mana saat itu Residen Palembang masih mencakup wilayah Djambi
dimana ayah Siti Rohana bertugas sebagai demang.
Dalam perkembangannya sudah semakin banyak jumlah surat kabar perempuan (lihat De Sumatra post, 22-01-1918). Surat kabar perempuan tersebut antara lain, selain Soenting Melajoe adalah Poetri Mardika, Poetri Hindia dan Tiong Hoa Wi Sien Po serta Soeara Perempuan. Soenting Malajoe sendiri, tidak hanya ingin memajukan wanita Minangkabau, tetapi Soenting Malajoe juga mendapat serangan dari orang Minangkabau yang lain yang dimuat di dalam Soeara Perempoean (lihat De Indiër, 27-11-1918). Mengapa?
Surat kabar yang ditujukan kepada perempuan Poetri Mardika terbit edisi pertama bulan Mei 1914 di Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1914). Surat kabar Tiong Hoa Wi Sien Po adalah surat kabar perempuan dari kalangan orang Cina. Surat kabar Tiong Hoa Wi Sien Po berasal dari Jong Chineesche (lihat De avondpost, 09-12-1908). Disebut di Buitenzorg diterbitkan surat kabar mingguan Jong-Chineesche, yang disebut "Tiong Hoa Wi Sien Po", yang terdiri dari dua bagian: satu untuk pria dan satu untuk wanita. Untuk yang perempuan dipimpin oleh Ibu Lira Titie Nio. Surat kabar Poetri Hindia adalah surat kabar pertama perempuan berbahasa Melayu (lihat De Preanger-bode, 15-07-1908). Disebutkan surat kabar Soer. Hbl. mengumumkan edisi pertama majalah wanita Melayu pertama "Poetri Hindia" pendirinya adalah Regent Tirtokoesoemo dari Karanganjar. Diantara mereka adalah ibu-ibu LE Staal dan F Kremer di Buitenzorg, selebihnya terdiri dari ibu-ibu pribumi yang menyebut dirinya madam atau nona, termasuk kepala sekolah RA Soehito dari sekolah putri pribumi pertama di Karanganjar dan seorang putri Maluku dari dinasti Batjan.
Soenting Melajoe dan Oetoesan Malajoe serta Warta
Hindia di Padang tergolong surat kabar konservatif. Suatu surat kabar yang
berbeda dengan surat kabar Tjaja Sumatra dan Soeara Perempoean. Surat kabar
perempuan Soeara Perempoean adalah surat kabar modern yang lebih berpikiran
modern dari kalangan pemuda (Jong Sumatranen).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Surat Kabar Perempuan Bergerak di Medan Lahir Jurnalis Perempuan Indonesia: Siapa Boetet Satidjah van Medan?
Sebagaimana Soenting Malajoe di Padang yang dibina oleh Soetan Maharadja, pada tahun 1919 di Medan didirikan surat kabar perempuan yang dibina oleh Parada Harahap. Surat kabar perempuan di Medan ini diberi nama Perempuan Bergerak dengan editor Boetet Satidjah dengan motto ‘Pasangan Terbaik Ada di Depan’ (lihat De Sumatra post, 17-05-1919).
Lambang majalah ini dua perempuan dengan meniup terompet. Tujuan
pendirian majalah perempuan ini untuk mendukung tindakan perempuan yang sesuai
dengan keinginannya saat ini, dan juga untuk membantu aksi para laki-laki.
Majalah ini juga memuat masalah anak-anak, pendidikan, kehidupan wanita dan
urusan rumah tangga. Majalah ini juga menyediakan editorial (lihat De
Preanger-bode, 19-06-1919).
Surat kabar Perempuan Bergerak berbeda dengan surat kabar Soenting Malajoe dan Soeara Perempuan di Padang. Seperti motto surat kabar Perempuan Bergerak bahwa ‘Pasangan Terbaik Ada di Depan’, artinya kaum perempuan tidak boleh diam dan tertinggal jauh di belakang (pria), tetapi juga harus bergerak seperti halnya laki-laki, dimana perempuan dapat mendampingi tugas-tugas suami.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar