Jumat, 10 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (9): Delik Pers; Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempuan, Bintang Timoer-Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Delik pers pada masa ini adalah tulisan dalam surat kabar atau media pers lain yang melanggar undang-undang. Kurang lebih sama dengan delik pers pada era Pemerintah Hindia Belanda. Apakah pernah terjadi delik pers dalam pers (berbahasa) Belanda pada era Pemerintah Hindia Belanda? Satu yang pasti surat kabar berbahasa Melayu di Padang pada tahun 1905 terkena ‘ranjau’ delik pers. Mengapa? Pemimpin redaksi surat kabar Pertja Barat di Padang dihukum cambuk dan diusir dari kota Padang.


Kebebasan pers dikontrol oleh Kode Etik Jurnalistik yang mengikat wartawan agar bekerja sesuai dengan aturan berlaku. Survei Dewan Pers terhadap Indeks Kebebasan Pers 2022, Indonesia mengalami kenaikan 1,86 poin dibandingkan tahun 2021. Namun kebebasan pers yang diberikan ini rentan disalahgunakan dan berakhir dengan tuntutan hukum, yang disebut delik pers, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pers. Disebut delik pers karena jurnalis dan pers adalah kelompok profesi yang memiliki definisi yang berdekatan dengan usaha penyiaran, pertunjukan, pemberitaan, dan sebagainya. Sehingga unsur delik pers lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Delik pers terbagi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan yaitu apabila ada yang merasa terganggu atau mengadukan produk pers ke pihak yang berwajib. Delik aduan ini bersifat menyerang, menghina, dan fitnah terhadap seseorang. Umumnya pasal yang mengatur tentang delik biasa ini merupakan pernyataan permusuhan dan penghinaan kepada pemerintahan, penghasutan, kesusilaan, penghinaan terhadap agama, dan pembocoran rahasia negara. Karya jurnalistik sebagai delik pers adalah agasan yang dipublikasikan melalui barang cetak, gagasan yang dimuat dan disebarluaskan melanggar hukum. Jurnalis yang bersangkutan dapat diminta pertanggungjawabannya apabila jurnalis tersebut telah mengetahui isi dan tulisan yang ia buat, dan sadar dengan konsekuensi pidana tulisannya. Salah satu pasal dalam KUHP yaitu pasal pencemaran nama baik. Pasal pencemaran nama baik ini bisa menjadi alat untuk mengriminalisasi pers (https://kumparan.com/)

Lantas bagaimana sejarah delik pers? Seperti disebut di atas, soal delik pers ini sudah berlangsung pada era Pemerintah Hindia Belanda. Namun status delik pers saat itu bersifat sumir. cenderung memberatkan pihak yang lemah. Peta delik pers bagi jurnalis pribumi dimulai dari Pertja Barat di Padang yang kemudian memiliki kesinambungan dengan Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan Bintang Timoer di Batavia. Lalu bagaimana sejarah delik pers? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Delik Pers; Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan Bintang Timoer di Batavia

Benih Mardeka terbit pertama kali di Medan tahun 1916. Editor pertama koran Benih Mardeka ini adalah Mohamad Samin. Semboyan koran baru ini adalah 'Orgaan Oentoek Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan'. Klop dengan jiwa Parada Harahap, seorang remaja berusia 17 tahun yang menjadi krani (juru tulis) di sebuah plantation (perkebunan) milik investor Eropa/Belanda di Asahan.


De Sumatra post, 11-09-1916 melaporkan adanya rapat umum di Medan: ‘Sarikat Islam Medan, Sarikat Islam Tapanoeli, Budi Oetomo, Roh Kita, Djamiatoel Moehabbah, Medan Setia, Sarikat Goeroe Goeroe, dll berkumpul di Bioskop Oranje yang diperkirakan dihadiri oleh 1.000 orang. Isu yang dibahas tentang ketidakadilan terhadap rakyat dimana pemerintah tidak hadir dan hanya menonton kepentingan Barat’. Setelah rapat umum (wakil pribumi dan Tionghoa) di Medan, Mohamad Samin dkk mempelopori didirikannya koran dengan nama yang berbeda, yakni: Benih Mardeka (1916). Penggunaan kata mardeka (dalam hal ini mungkin dimaksudkan merdeka) ini bukan tanpa risiko. Hal ini karena pemerintah colonial sangat mudah mengajukan tuntutan dengan dalih delik pers terhadap setiap adanya gangguan yang dirasakannya.

Diantara tugas-tugasnya di perkebunan sebagai juru tulis, lambat laun jiwa di dalam kepala Parada Harahap mendidik dan dan mulai memberontak terhadap kekejaman para pekebun kepada koeli asal Jawa (ordonasi poenalie sanctie). Parada Harahap mulai menginvestigasi secara diam-diam, lalu laporannya dikirim ke surat kabar Benih Mardika di Medan. Redaktur Benih Mardika kemudian menyarikan laporaan panas tersebut ke dalam beberapa artikel dalam beberapa edisi pada bulan Juni 1918.


Laporan Parada Harahap yang telah dibuat dalam beberapa artikel yang dimuat surat kabar Benih Mardika tampaknya ditanggapi public dingin saja. Boleh jadi kasus poenalie sanctie di perkebunan selama ini sudah kerap berulang. Yang terbilang awal menyikapi kasus poenali sanctie tersebut adalah Dr Soetomo yang pernah bertugas sebagai dokter pemerintah di Loeboek Pakam. Sepulang dari Loeboek Pakam dan kembali ke Jawa, Dr Soetomo pada tahun 1915 menemui pimpinan Boedi Oetomo afdeeling Batavia. Dr Sarjito yang menjadi ketua saat itu setuju dengan permintaan Dr Soetomo untuk diadakan rapat umum di Batavia. Dalam rapat umum yang dihadiri ribuan orang, Dr Soetomo berpidato. Dalam pidato itu Dr Soetomo meminta perhatian para anggota Boedi Oetomo dimana pun berada: ‘kita tidak bisa hidup sendiri…di luar sana, terutama orang Tapanoeli banyak yang pintar-pintar…kita tidak bisa melindungi warga kita di Sumatra, banyak kuli-kuli asal Jawa di perkebunan sangat menderita…Catatan: Dr Soetomo adalah salah satu pendiri Boedi Oetomo di Batavia pada tahun 1908. Setelah lulus sekolah kedokteran STOVIA kemudian ditugaskan sebagai dokter pemerintah ke Loeboek Pakam (Deli/Serdang).

Situasinya menjadi berubah ketika surat kabar Soeara Djawa melansir artikel-artikel di Benih Mardika yang bersumber dari Parada Harahap. Heboh di Jawa. Pemerintah merespon dengan cepat dan segera melakukan penyelidikan melalui Gubernur Oost Sumatra di Medan. Hasil penyelidikan itu mudah ditebak umum. Tindakan segera pemerintah tampaknya hanya sekadar meredakan situasi, Fakta tidak ada hasil investigasi pemerintah yang menghukum para planter. Sebaliknya, yang menjadi korban dalam penyelidikan itu, Parada Harahap dipecat sebagai krani, boleh jadi karena diangap sebagai orang yang melaporkan dari TKP.


Parada Harahap menjadi jobless. Lalu Parada Harahap merantau ke Medan. Kemudian, Parada terpikir untuk menjadi jurnalis dan melamar ke Benih Mardika. Gayung bersambut. Parada Harahap ditawarkan menjadi editor di surat kabar Benih Mardika yang dipimpin oleh Mohamad Samin untuk mendampingi editor Mohamad Joenoes. Parada Harahap di Medan telah menjadi jurnalis.

Siapa yang paling berbahaya di mata pemerintah, surat kabar Benih Mardika atau jurnalis Parada Harahap yang kini merapat ke Benih Mardika? Keduanya kini dalam sasaran tembak pemerintah. Heboh di Jawa dan terbongkarnya kasus poenalie sanctie (di perkebunan di Deli/Serdang) adalah utang yang harus dibayar Benih Mardika atau Parada Harahap? Yang jelas, sejak Parada Harahap di jajaran redaksi Benih Mardika bermain aman. Tidak ingin jobless lagi. Tampaknya pemerintah tahun situasi dan kondisi di Benih Mardika (yang telah bermain aman soal delik pers). Hanya satu sisi yang dapat menjadi target pemerintah: membreidel Benih Mardika (dengan demikian Parada Harahap tamat).


Akhirnya pemerintah menemukan celah untuk menghukum surat kabar Benih Mardika. Sebagaimana diketahui setiap organiasi kebangsaan dan setiap penerbitan pers harus mendapat izin dari pemerintah (sebagaimana halnya dengan perusahaan-perusahan Belanda dan Eropa di Hindia). Tidak kunjung menemukan delik pers dalam pemberitaan Benih Mardika, lalu pemerintah menyasar Benih Mardika dengan pelanggaran perdata. Mohamad Samin yang seorang pengusaha, dan juga dalam bidang usaha penerbitan pers, memiliki kasus yang dihubungkan dengan penggelapan dalam kontratk usaha yang dilakukan badan usaha yang dimiliki Mohamad Samin. Singkat kata: Mohamad Samin terkena hukuman perdata, kemudian berimbas pada surat kabar Benih Mardika. Lalu kemudian Benih Mardika tamat, Mohamad Samin juga dalam kejaran aparat pemerintah. Parada Harahap jobless kembali. Seperti kita lihat nanti, Benih Mardika diterbitkan kembali dengan manajemen yang baru dengan investor baru T Sabaroedin (yang pernah memiliki masalah perdata/bisnis di Batavia sebelumnya).

Pada awal tahun 1919, Parada Harahap diketahui telah menjadi editor surat kabar Pewarta Deli di Medan. Selain itu, kemudian juga diketahui Parada Harahap telah menginisiasi pembentukan surat kabar perempuan di Medan yang diberi nama Perempuan Bergerak. Pemimpin redaksi Perempuan Bergerak adalah Parada Harahap, Sedangkan yang duduk dalam dewan redaksi salah satu diantara Boetet Satidjah (boleh jadi pacarnya, yang jelas kelak menjadi istrinya). Dalam perkembangannya diketahui Parada Harahap telah mendirikan surat kabar baru di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka.


Parada Harahap pulang kampung di Padang Sidempoean. Pulang kampong bukan karena Pewarta Deli dibreidel, juga bukan karena Perempuan Bergerak dibreidel. Akan tetapi, Parada Harahap pulang kampong karena menikah dengan Boetet Satidjah (kelak dikenal sebagai Ny. Satiaman P. Harahap). Salah satu prestasi Parada Harahap di Pewarta Deli adalah membongkar kasus prostitusi di hotel-hotel bintang Medan, yang melibatkan wanita-wanita Jepang dengan germo di Singapoera. Konsulat Jepan di Medan mengapresiasi sprit jurnalis Parada Harahap (tentu saja masih ingat kasus poenalie sancti yang kelak diapresiasi Dr Soetomo). Parada Harahap, tampaknya tidak kembali ke Medan. Mengapa? Oleh para pegiat pers di Padang Sidempoean, Parada Harahap ditawari untuk menjadi pemimpin redaksi surat kabar mingguan Poestaha (yang didirikan Soetan Casajangan tahun 1915) dan juga untuk memimpin surat kabar baru (terbit tiga kali sepekan) di Padang Sidempoean yang namanya kemudian dikenal surat kabar Sinar Merdeka (terbit pertama bulan September 1919).

Tampaknya ada misi khusus Parada Harahap di Padang Sidempoean. Tidak hanya soal teknis dan bisnis persuratkabaran. Boleh jadi ketidakadilan sudah sangat akut di Afdeeling Padang Sidempoean (residentie Tapanoeli) oleh pejabat (kebijakan) pemerintah Hindia Belanda. Parada Harahap menjadi harapan masyarakat. Istrinya, Satiaman Parada Harahap, meski jauh di Padang Sidempoean, kemudian diketahui kembali menjadi salah satu redaktur (jarak jauh) surat kabar Perempuan Bergerak di Medan (lihat De locomotief, 15-10-1920).


Pada tahun 1920 saat mana diadakan kongres pertama Sumatranen Bond yang diadakan di kota Padang memimpin delgasi dari Tapanoeli. Selama di Padang Sidempoean, Parada Harahap belasan kali terkena delik pers, beberapali diantaranya harus masuk bui. Pada tahun 1921 Parada Harahap kembali memimpin delegasi Tapanoeli di kongres Sumatranen Bond yang kembali diadakan di Padang. Dalam dua kongres inilah Parada Harahap saling mengenal dengan Mohamad Hatta, yang juga turut hadir. Selepas kongres, yang bertepatan dengan kelulusan Mohamad Hatta di HBS/PHS Batavia berangkat studi ke Belanda.

Pada tahun 1922, Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dibreidel. Apakah Parada Harahap akan kembali ke Medan? Tampaknya tidak. Parada Harahap kemudian dengan sang istri Satiaman hijrah ke Batavia pada tahun 1922 ini.


Benih Mardika di Medan, tidak pernah terkena delik pers. Yang terjadi adalah delik perdata (bisnis). Juga di Medan sejauh ini tidak pernah terdeteksi seorang jurnalis terkena delik pers. Sebelum Sinar Medeka dibreide di Padang Sidempoean, surat kabar pertama di Sumatra yang terkena delik pers adalah surat kabar Pertja Barat di kota Padang pada tahun 1905. Delik pers di Padang ini merupakan delik pers pertama di seluruh Hindia Belanda. Pemimpin yang juga menjadi pemimpin redaksi Pertja Barat adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Dalam kasus delik pers di Padang ini, Dja Endar Moeda dihukum cambuk dan diusir dari kota Padang. Dja Endar Moeda kemudian hijrah ke Atjeh lalu mendirikan surat kabar Permbrita Atjeh di Kota Radja. Sementara itu, Pertja Barat dan asset Dja Endar Moeda di Padang dijalankan oleh saudaranya seorang guru di Padang Sidempoean Dja Endar Bongsoe. Singkat kata: Haji Dja Endar Moeda kemudian merintis bisnis (percatakan) di Medan yang kemudian bersama dengan Haji Ismail (Nasoetion) menginisiasi pendirian organisasi kebangsaan di Medan tahun 1907 yang diberi nama Sjarikat Tapanoeli. Di bawah NV Sjarikat Tapanoeli, kemudian di Medan didirikan surat kabar baru Pewarta Deli tahun 1909 dimana Dja Endar Moeda sebagai pemimpin redaksi. Di surat kabar inilah kelak tahun 1919 Parada Harahap pernah menjadi redaktur sebelum pulang kampung ke Padang Sidempoean. Kini, Parada Harahap sudah berada di Batavia (1922).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Benih Mardika di Medan, Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan Bintang Timoer di Batavia: Tirto Adhi Soerjo dan Lainnya di Jawa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar