Selasa, 11 April 2023

Sejarah Banyumas (35): Kota Banjar, Suatu Pelabuhan Laut Masa Kuno? Geomorfologi Wilayah di Daerah Aliran Sungai Citanduy


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Kota Banjar dari masa ke masa dapat dikatakan kota terpenting di perbatasan wilayah Jawa dan wilayah Sunda. Pada masa ini batas wilayah tepat di batas timur Kota Banjar (daerah aliran sungai Citandui). Di masa lalu, batas wilayah Banyumas disebut hanya di daerah aliran sungai Cibeureum. Mengapa berubah, itu satu hal. Mengapa yang dipilih kemudian batas sungai Citandui hal lain lagi. Namun yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah apakah Kota Banjar di masa lampau adalah suatu pelabuhan laut?


Banjar sebuah kota di Jawa Barat, di berbatasan dengan Jawa Tengah sehingga disebut sebagai "gerbangnya Jawa Barat". Kota Banjar memiliki landscape beragam. Di bagian utara, selatan dan barat kota merupakan wilayah berbukit-bukit. Kota ini dibelah oleh Sungai Citanduy di bagian tengah. Kota Banjar terbagi 4 kecamatan, yaitu: Banjar, Langensari, Pataruman, dan Purwaharja. Di era kolonial Hindia-Belanda, wilayah Banjar bersama dengan Kawasen, Pamotan, Pangandaran, dan Cijulang masuk wilayah Galuh Imbadanegara dengan Bupati Galuh Imbadanegara Raden Aria Panji Jayanagara dengan pusat pemerintahan di Imbadanegara Ciamis. Tahun 1815, saat Jawa dikuasai Inggris, Banjar masuk wilayah Sukapura (kini Tasikmalaya) bersama wilayah di Ciamis bagian selatan. Pada tahun 1936, Banjar masuk kembali wilayah Ciamis. Selama masa penjajahan, Banjar tumbuh menjadi pusat kegiatan masyarakat. Letaknya yang strategis menjadikan kota ini sebagai daerah transit antara wilayah Jawa Tengah dengan Ciamis bagian selatan. Hingga pada tahun 1941 Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Banjar sebagai wilayah kewedanan yang meliputi Banjar, Cisaga, Rancah, dan Cimaragas. Tahun 1991 status Banjar dijadikan Kota Administratif dan pada tahun 2003 menjadi daerah otonom baru pemekaran dari kabupaten Ciamis. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Kota Banjar, apakah pelabuhan laut di masa lampau? Seperti disebut di atas, Kota Banjar berada jauh di pedalaman di daerah hulu sungai Citandui. Permukaan air sungai di Banjar tempo doeloe cukup tenang dan ketinggiannya kini tidak berbeda jauh dengan wilayah dataran di pesisir, apakah ini mengindikasikan bahwa tempo doeloe Banjar adalah pelabuhan laut? Bagaimana dengan geomorfologi wilayah di daerah aliran sungai Citandui? Lalu bagaimana sejarah Kota Banjar, apakah pelabuhan laut di masa lampau?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kota Banjar, Apakah Pelabuhan Laut di Masa Lampau? Geomorfologi Wilayah di Daerah Aliran Sungai Citandui

Seberapa tua nama Banjar di daerah aliran sungai Tjitandoey? Pada tahun 1815 Raffles melakukan perjalanan darat dari Bandoeng ke Solo melalui Soekapoera. Dalam perjalanan ini Raffles menyeberang dari Soekapoeran melalui Dajeuh Loehoer dan Madjenang hingga tiba di Adjibarang. Dalam surat Raffles tidak disebut nama Bandjar, sudah barang tentu dari Soekapoera (kini Tasikmalaya) ke Dajeuh Loehoer harusnya melalui Bandjar.


Dalam Peta 1817 diidentifikasi rute perjalanan Raffles dari Singaparna, melalui Radjapola, kemudian Imbanagara, Chiamis, selanjutnya ke Kwale dan Banche (diduga Banjar) terus ke Dajeuh Loehoer. Dalam hal ini meski di dalam surat disebut Soekapoera, tetapi di dalam peta tidak dilewati. Boleh jadi Raffles mengidentifikasi nama wilayah saja (Soekapoera).  Dalam peta yang lebih tua (Peta 1724) nama wilayah disebut Imbanagara di sebelah timur dan Soekapoera di wilayah barat. Di wilayah dimana kini Banjar, pada peta tersebut hanya disebut Magara. Di sisi sebelah timur sungai diidentfikasi Madoera dan di sebelah utara diidentifikasi Dajeuhloehoer.

Identifikasi nama tempat di dalam peta, biasanya mengikuti informasi yang diperoleh yang kemudian dipetakan oleh pembuat peta (kartografi). Informasi bersifat kumulatif sehingga adakalanya dalam peta baru, nama-nama yang lama yang sejatinya sudah hilang tetap terpetakan. Oleh karena itu, keberadaan nama suatu tempat tidak sepenuhnya dapat mengandalkan peta-peta. Dalam hal ini nama tempat dapat berlakuk semasa (dikenal luas) tetapi pada masa berikutnya telah digantikan oleh nama tempat yang lebih dikenal. Nama Banjar sendiri paling tidak sudah terinformasikan pada Peta 1817.


Setelah Soesoehoenan menyerahkan Jawa bagian barat di bawah otoritas Pemerintah VOC, pada masa komandan Jacob Couper (dari Chirebon) telah melakukan perjanjian di Chirebon dengan Pangeran Soemedang (yang sejak 1677 menempatkan diri di bawah VOC); Demang Timbanganten (?) yang diangkat menjadi bupati Bandoeng tahun 1681 oleh komisaris van Dijk; Toemenggoeng Soekapoera dan Toemenggoeng Galoenggoeng dan Parakan Moentjang; Kijai Imbanagara. Apakah sudah ada ekspedisi VOC (Couper) ke wilayah Priangan (Preanger) tidak terinformasikan. Yang jelas pada tahun 1686 adalah tahun terakhir Mataram di wilayah Galoeh (Imbanagara). Untuk sekadar menambahkan wilayah hulu sungai Tjiliwong dilakukan ekspedisi pata tahun 1687.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Geomorfologi Wilayah di Daerah Aliran Sungai Citandui: Dimana Batas Wilayah Jawa dan Wilayah Sunda?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar