*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini
Siapa
Sjamsi Sastra Widagda? Umumnya lebih dikenal nama Mohamad Hatta. Pada era
Pemerintah Hindia Belanda, Sjamsi Sastra Widagda disebut berasal dari
Soerakarta. Saat mana remaja Sjamsi Sastra Widagda tiba di Belanda langsung dibimbing
oleh guru Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (ketua Indische Vereeniging
di Belanda 1808-1811). Sjamsi Sastra Widagda mendapat beasiswa dari Boedi
Oetomo hingga selesai sarjana dan kemudian membiayai sendiri untuk mencapai
gelar Doktor.
Dr. Samsi Sastrawidagda lahir di Solo 13 Maret 1894. Ia menempuh pendidikan ekonomi dan hukum negara di Handels-hogeschool Rotterdam. Gelar akademik tahun 1925 adalah gelar Doktor dengan disertasi ‘De Ontwikkeling v.d handels politik van Japan’. Selama di Rotterdam. ia dikenal sebagai pemukul gong dalam perkumpulan gamelan pribumi. Perjalanan karier di Kementerian Keuangan dirintis sejak Sidang PPKI yang kedua (19 Agustus 1945). Menteri Keuangan kabinet RI pertama, mempunyai peranan besar dalam usaha mencari dana guna membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan RI. Ia memperoleh informasi dari Laksamana Shibata bahwa di gedung Bank Escompto Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. Karena hubungannya yang dekat dengan para pemimpin pemerintahan Jepang di Surabaya ia berhasil membujuk mereka. Uang tersebut diambil melalui operasi penggedoran bank. Sebagai Menteri Keuangan, Samsi tidak pernah memimpin Kementerian Keuangan secara langsung. Bahkan belum sempat menyusun perencanaan. Kondisi fisiknya yang sering sakit-sakitan menjadikan ia lebih memilih tinggal di Surabaya. Pada tanggal 26 September 1945 ia mengundurkan diri menjadi Menteri Keuangan. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Sjamsi Widagda, guru di Jogjakarta studi ke Belanda meraih gelar doktor ekonomi? Seperti disebut di atas, nama Sjamsi Widagda kurang dikenal, padahal sudah menjadi seorang ekonom sebelum Mohamad Hatta. Guri titipan Boedi Oetomo di bawah bimbingan guru Soetan Casajangan di Belanda. Lalu bagaimana sejarah Sjamsi Widagda, guru di Jogjakarta studi ke Belanda meraih gelar doktor ekonomi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sjamsi Widagda, Guru Studi ke Belanda Meraih Gelar Doktor Ekonomi; Boedi Oetomo dan Guru Soetan Casajangan
Pada 1907 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan lulus ujian di Haarlem dan mendapat akta guru LO. Soetan Casajangan tidak segera kembali ke tanah air, tetapi melanjutkan studinya untuk mendapatkan akta guru MO. Lalu pada tahun 1908 di Belanda Soetan Casajangan mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa pribumi diberi nama Indische Vereeniging. Pada tahun 1910 Soetan Casajangan lulus ujian di Rijkskweekschool di Haarlem dan mendapat akta guru MO (akta guru tertinggi, setara sarjana Pendidikan lulusan IKIP masa ini).
Soetan Casajangan dalam hal ini dapat dikatakan sarjana Pendidikan pertama
diantara orang pribumi. Studi keguruan sendiri bagi pribumi ke Belanda sudah
dimulai tahun 1857 dimana Sati Nasoetion alias Willem Iskander berangkat studi
ke Belanda dan mendapat akta guru baru hulpacte di Haarlem tahun 1860. Untuk
meningkatkan kualitas guru dan sekolah pemerintah mengirim tiga guru muda ke
Belanda, yakni Barnas Lubis, R Soerono dari Solo dan R Sasmita untuk mendapat
hulpacte yang didampingi Willem Iskander (pemerintah memberi beasiswa kepada
Willem Iskander untuk mendapat akta guru LO). Lalu kemudian tahun 1876 pemerintah
mengirim empat guru muda lagi yakni R Soejoed, R Kamil dan Hamsah. Kembali
mengirim, dua guru tahun 1878 Kandou an Ratulangi. Terakhir mengirim dua guru
lagi Watimena dan Anakota. Wattimena berhasil mendapat akta guru LO tahun 1886 (seperti
yang diperoleh Willem Iskander tahun 1876). Soetan Casajangan studi keguruan
tahun 1903 ke Belanda atas inisiatif sendiri dan kemudian disusul Soetan Goenoeng
Moelia tahun 1911 ke Belanda.
Pada bulan Agustus 1912 Boedi Oetomo mengadakan pertemuan (kongres) tahunan ke-4 yang diadakan di Djogjakarta di rumah Wahidin Soediro Hoesodo (lihat De expres, 29-08-1912). Para peserta dari 42 afdeeling Boedi Oetomo, hadir perwakilan dari 30 afdeeling. Dalam sidang hari pertama, dalam laporan tahunan ke-4 yang dibacakan sekretaris, pengurus menyimpulkan belum banyak kemajuan. Disebutkan setahun terakhir bertambah 14 afdeeling yang kemudian secara keseluruhan jumlah anggota Boedi Oetomo menjadi 700 orang. Disebutkan afdeeling Bandoeng dan afdeeling Soerabaja jumlah anggota semakin berkuranng. Pencapaian program terkendala karena kekurangan dana yang terus menerus. Lalu pada sesi tanya jawab antara pengurus pusat dan para anggota terjadi debat yang panas.
Dari beberapa pertanyaan yang diajukan forum ada satu pertanyaan yang
harus panjang lebar dijawab pengurus yakni pertanyaan ‘Apa yang telah Anda
lakukan untuk BO?. Setelah pembelaan
oleh pengurus pusat terhadap banyak
serangan dari anggota, sekretaris menjawab bahwa calon guru Mas Samsi, dikirim
ke Belanda, dididik di sebuah perguruan tinggi keguruan swasta di Den Haag.
Disana, Mas Samsi dititipkan dalam asuhan Soetan Casajangan, yang membantu
mengawasi kegiatan sehari-hari calon guru tersebut, yang kemungkinan akan lulus
pada bulan Mei tahun berikutnya. Hasil yang baik telah diperoleh dengan
diterbitkannya majalah pribumi Goeroe Desa. Cetakan dari majalah tersebut
adalah 4.050 eksemplar dimana 1.850 dibiayai oleh rekening pemerintah. Secara
umum, kegiatan yang telah dilakukan terdiri dari mempromosikan pendidikan dan
saling mendukung.
Dalam sidang hari kedua terjadi sesuatu yang tidak terduga. Setelah hari pertama sekretaris pengurus pusat mengundurkan diri, pada sidang hari kedua ketua pengurus pusat tidak hadir tetapi menitipkan surat. Isi surat tersebut dibacakan berbunyi sebagai berikut: ‘Kepada Anggota Pengurus Pusat Boedi Oetomo. dengan ini saya sampaikan dengan hormat bahwa untuk keperluan mendesak saya, Saya telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan Boedi Oetomo. Hormat kami, Raden Adipati Ario Tirtokoesoemo’.
Keheningan terjadi, lalu kemudian sekretaris kedua, R Sosrosoegondo
berbicara yang isinya tidak terduga karena memohon kepada pengurus pusat bahwa
dirinya mengundurkan diri. Semua tercengang. Lalu Boediardjo (guru di
kweekschool Djogja) yang menjadi pengelola majalah, bangkit dari kursinya dan
berkata: ‘Karena mungkin tidak mungkin untuk tetap bersama R Adipati Aria
Tirtokoesumo, saya menyarankan kita semua pengurus pusat untuk mengundurkan
diri.
Kepengurusan berjalan sebenarnya baru berjalan setahun. Masih tersisa dua tahun lagi untuk pemilihan pengurus baru. Karena situasinya terjadi kekosongan, lalu mosi diadopsi untuk melakukan pemilihan ketua pengurus. Ada beberapa kandidat: 1. Pangeran Ario Notodirodjo, 2 Gaidin, 3 R Atmodirono, dan 4 Kepala Jaksa di Magelang. Dalam pemilihan terpilih sebagai suara terbanyak adalah Pangeran Notodirodjo. Lalu kandidat diajukan untuk anggota pengurus lainnya, yakni: Wahidin Soedirohoesodo; Gondoatmodjo, Sastrowidjono, Ardiwinata, Boediardjo, Atmodirono, Soesatio, dan Soemarsono.
Dari informasi di atas, tampaknya Boedi Oetomo masih dalam tahap
pertumbuhan (konsolidasi) bahkan hingga ke periode kepengurusan kedua ini,
tetapi para (perwakilan) afdeeling tidak mau bersabar seperti motto pengurus
lama. Namun satu hal yang dapat dianggap prnting adalah bahwa ada indikasi
buruk pada pendidikan pribumi yang kemudian dijadikan pengurus menjadi program
prioritas. Dan ketika pengurus pusat diserang
dengan berbagai pertanyaan, jawaban yang diandalkan oleh pengurus pusat adalah
pengiriman guru ke Belanda dan penerbitan majalah Goeroe Desa. Dalam hal ini
harus diartikan bahwa pengurus pusat menganggap perlu peningkatan kualitas pendidikan pribumi dengan
langkah awal peningkatan kualitas
guru. Upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui upaya peningkatan kualitas
guru haruslah selalu diupayakan secara berkesinambungan. Namun jika di dalam
organisasi program itu menjadi prioritas dibanding yang lainnya, berarti adalah
masalah pendidikan yang krusial yang diperhatikan para pengurus Boedi Oetomo.
Dari Kongres Boedi Oetomo tahun 1912 di Djogjakarta terungkap bahwa Sjamsi Widagda sudah berada di Belanda. Lalu kapan pastinya Sjamsi berangkat ke Belanda? Satu yang penting disebut di Belanda, Sjamsi guru muda di sekolah guru (kweekschool) Djogjakarta, Sjamsi dititipkan kepada Soetan Casajangan (guru di Handelschool di Amsterdam, lulus acta guru MO di Haarlem tahun 1910).
Soetan Casajangan sejak pendiriaannya tahun 1908 mengakhiri tugasnya
sebagai ketua Indische Vereeniging tahun 1911. Lalu ketua Indische Vereeniging dilanjutkan
oleh Hoesein Djajadiningrat (Serang). Seperti kita lihat nanti yang menjadi
ketua berikutnya adalah Noto Soeroto (Pakoealaman). Setelah tidak menjadi ketua
Indische Vereeniging, Soetan Casajangan dan Maangaradja Soangkoepon mendirikan
Studiefond di Belanda. Tujuannya menggalang dana (fundraising) untuk membanti
siswa yang kesulitan keuangan yang ingin melanjutkan studi ke Belanda dan juga
mahasiswa pribumi di Belanda yang bermasalah dalam soal keuangan. Studiefond in
terbilang berhasil karena banyak pihak yang memberi kontribusi.
Sjamsi Widagda di Belanda tidak hanya mengikuti Pendidikan guri, juga bersekolah di Handelschool di Amsterdam (guru lisensi MO Soetan Casajangan di sekolah perdagangan Handelschool). Di satu sisi Soetan Casajangan telah berhasil membentuk studiefon di Belanda, di sisi lain kedatangan Sjamsi Widagda ke Belanda untuk melanjutkan studi dibiayai oleh Boedi Oetomo. Dalam semua segi, para penguruan Boedi Oetomo menitipkan Sjamsi Widagda kepada Soetan Casajangan sungguh sangat tepat. Terbukti bahwa Sjamsi Widagda lulus ujian akta guru LO pada bulan Mei tahun 1913.
Sjamsi Widagda tidak segera kembali ke tanah air tetapi melanjutkan studi
untuk mendapatkan akta guru MO (seperti yang telah diraih Soetan Casajangan.
Lalu sebaliknya, Soetan Casajangan harus segera ke tanah air karena telah turun
beslit dari Menteri Koloni yang menyatakan Soetan Casajangan diangkat sebagai
direktur sekolah guru Kweekschool di Fort de Kock. Soetan Casajangan berangkat
ke tanah air pada bulan Julio 1913. Pada waktu detik-detik kepulangan Soetan
Casajangan diadakan pertemuan Indische Vereeniging. Pada saat inilah Soetan
Casajangan menitipkan Studiefond yang telah dibentuknya dititipkan ke Indische
Vereeniging. Satu permintaan Soetan Casajangan, karena dia berhak sebab dia yang
mendirikan, agar alokasi dana dalam studiefond intu proporsinya lebih banyak
untuk siswa yang mengambil keguruan dibandingkan siswa lainnya. Tentu saja itu
sangat mulia, tentu saja itu bukan karena Soetan Casajangan seorang guru yang
telah berhasil melanjutukan studi keguruan di Belanda, tetapi faktanya
pendidikan pribumi masih sangat rendah kualitasnya di tanah air. Namun
tiba-tiba Noto Soeroto tidak setuju. Lalu timbnl perdebatan diantara keduanya.
Namun tidak terinformasikan hasil dari perdebatan itu. Yang jelas RM Noto Soeroto
anak dari Pangeran Ario Notodirodjo, ketua Boedi Oetomo yang menggantikan ketua
Raden Adipati Ario Tirtokoesoemo, orang yang sangat sadar mengirim calon guru
Sjamsi Widagda untuk melanjutkan studi keguruan di Belanda. Lalu apakah serba
kebetulan relasi antara Tirtokoesoemo dan Sjamsi Widagda di satu sisi dan
antara Notodirojo dan Noto Soeroto di sisi lain? Tampaknya apa yang dipikirkan
oleh Soetan Casajangan telah dikacaukan oleh adanya faksi yang berbeda di dalam
Boedi Oetomo.
Apakah di Indische Vereeniging telah terjadi ‘kudeta”? Kisah yang sama pernah terjadi di Boedi Oetomo tahun 1908 antara kubu muda dipimpin R Soetomo di Batavia dan kubu senior yang dipimpin Dr Wahidin di Jogjakarta. Yang menang adalah senior, yang muda tersingkir di Batavia.
Noto Soeroto tidak pernah menjadi anggota atau bagian dari Boedi Oetomo.
Noto Soeroto pada tahun 1907 sudah di Belanda (sebelum pembentukan Boedi Oetomo
di Batavia). Mahasiswa asal Jawa di Belanda sudah ada sejak 1896, yang pertama
Raden Kartono (abang RA Kartini) dan seterunya hingga Raden Soemitro dan
Hoesein Djajadiningrat tahun 1905 hinggga Noto Soeroto tahun 1907. Pelajar/mahasiswa
asal Jawa di Belanda sudah memiliki paguyuban sendiri (yang kemudian disebut
sebagai Javaansch national verbond). Namun ayah Noto Soeroto adalah Boedi Oetomo
senior yang mengkudeta Boedi Oetomo junior pada tahun 1908. Kini, di atahun 1912
ayah Noto Soeroto menjadi ketua Boedi Oetomo di Jogjakarta.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Boedi Oetomo dan Guru Soetan Casajangan: Medan Perdamaian di Padang, Indische Vereeniging di Belanda
Sjamsi Widagda setelah mendapat akta guru LO di Belanda tahun 1913 mengapa tidak kembali ke Jawa, karena tujuan pengirimannya oleh pengurus lama Boedi Oetomo di Jogjakarta sudah terpenuhi. Kehadirannnya di Jawa sangat dibutuhkan. Apakah beasiswanya dari Boedi Oetomo masih berjalan? Yang jelas, Sjamsi Widagda melanjutkan studi di Belanda. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan Sjamsi Widagda seperti di penerbitan majalah berbahasa Melayu dan sebagai guru di Belanda (dengan sertifikat guru sekolah dasar Eropa, LO). Tampaknya Sjamsi di Belanda sudah memiliki sumber keuangan sendiri. Boleh jadi Sjamsi tidak tergantung lagi dari beasiswa Boedi Oetomo. Ketua Boedi Oetomo yang mengirimnya ke Belanda sudah mengundurkan diri dari Boedi Oetomo.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar