*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Suku
Bali Aga adalah salah satu sub-suku bangsa Bali yang menganggap mereka sebagai
penduduk bali yang asli. Bali Aga disebut dengan Bali pegunungan yang mana
sejumlah suku Bali Aga terdapat di Desa Trunyan. Istilah Bali Aga dianggap
memberi arti orang gunung yang kurang cerdas. Penduduk asli Bali, dikatakan
telah datang ke Pulau Bali, sebelum gelombang migrasi Hindu-Jawa, dari desa
Bedulu.
Riset BRIN: Sama dan Beda Bahasa Bali Dialek Bali Aga dan Dialek Bali Dataran. Tatkala, 2 November 2022. Banyak warga Bali mengetahui bahasa Bali dialek Bali Aga dan dialek Bali Dataran punya perbedaan. Namun bagaimana persamaan dan perbedaan kedua dialek itu, misalnya jika ditinjau dari aspek fonologis dan leksikal bahasa Bali? Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra; Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra; Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), melakuan riset terkait dengan dua dialek itu. Tujuannya untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan bahasa Bali dialek Bali Aga dan Bali Dataran, termasuk persamaan dan perbedaannya dari sejumlah aspek bahasa. Riset itu bertajuk “Studi Komparatif antara Bahasa Bali Dialek Bali Aga dan Dialek Bali Dataran sebagai Penguat Jati Diri Masyarakat Bali: Perspektif Linguistis dan Historis.” Dari BRIN adalah I Made Sudiana, I Wayan Tama, Ni Luh Komang Candrawati, I Wayan Sudiartha, Ida Ayu Putu Aridawati dan Aditya Wardhani. Sementara dari Unud ikut juga peneliti I Putu Eka Guna Yasa. Sudiana mengatakan, sumber data penelitian ini adalah masyarakat penutur bahasa Bali dialek Bali Aga dan penutur bahasa Bali dialek Bali Dataran di Bali. (https://tatkala.co/)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Bali Aga bahasa Bali Kawi di wilayah pedalaman pulau Bali? Seperti disebut di atas, ada perbedaan bahasa Bali Aga dan bahasa Bali lainnya. Bagaimana dengan studi-studi bahasa di masa lampau? Lalu bagaimana sejarah bahasa Bali Aga bahasa Bali Kawi di wilayah pedalaman pulau Bali? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Bali Aga Bahasa Bali Kawi di Wilayah Pedalaman Pulau Bali; Studi-Studi Bahasa di Masa Lampau
Bahasa Bali Kawi bukanlah bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali Kawi adalah sisa bahasa Kawi yang tetap terlestarikan di wilayah Bali. Bahasa Bali Kawi juga bukan bahasa Bali Aga. Namun bahasa Bali Kawi cukup dekat dengan bahasa Bali masa kini. Bahasa Bali Kawi sedikit banyak telah membantu dalam upaya menerjemahkan teks-teks Jawa kuno (Kawi) di Jawa.
Studi bahasa Kawi di Bali pertama kali dipelajari oleh Dr NH van der Tuuk
awal tahun 1870an. Sebelumnya bahasa Kawi sudah dipelajari oleh Prof Kern namun
merujuk pada bahasa-bahasa di India. Akan tetapi penemuan van der Tuuk dengan
membaca teks-teks yang ditemukan di Bali justru sangat membantu Kern dalam
menerjemahkan teks-teks bahasa Kawi di Jawa seperti Negarakertagama 1365 pada
tahun 1919. Dalam hal ini bahan-bahan bahasa Kawi di Bali dari van der Tuuk
diselesaikan oleh Dr HH Juynboll sebagai kamus (glossarium Kawi-Bali-Belanda) tahun
1902. Kamus inilah yang kemudian digunakan oleh Prof H Kern dan Dr NJ Krom.
Satu satu yang penting ditemukan dalam kamus bahasa Kawi-Bali ini adalah kosa kata elementer ‘inan’. Kosa kata ini tidak lagi ditemukan dalam bahas Bali masa kini (yang ada adalah biyan), demikian juga tidak ditemukan dalam bahasa Jawa masa kini (yang ada adalah emak atau mak atau mbok). Kosa kata ‘inan’ dalam bahasa Kawi-Bali adalah ‘ibu’. Sementara kosa kata ini masih ditemukan dalam bahasa-bahasa lainnya sebagai ‘ina’ seperti dalam bahasa Batak, Bisaya, Baree, Tagalog. Iban. Bugis dan Bima.
Pasangan ‘ina’ adalah ‘ama’ (ayah) sebagai kosa kata elementer dalam bahasa-bahasa
yang disebut di atas. Kosa kata ini tidak ditemukan dalam bahasa Bali Kawi.
Lantas dalam hal ini, apakah ‘inan’ bahasa asli di Bali (Bali Kawi)? Apakah
kosa kata ‘inan’ dipinjam dari bahasa lain, yang terdekat dari pulau Sumbawa?
Satu pertanyaan yang tersisa dalam hal ini adalah mengapa bahasa Kawi bisa
menghilang?
Dengan memperhatikan kamus bahasa Kawi yang disusun Dr HH Juynboll, bahasa Kawi (Jawa Kuno, bahasa kuno di Jawa) terkesan bahasa Kawi jauh dari bahasa Jawa masa kini, tetapi sebaliknya lebih dekat dengan bahasa Batak masa kini. Mengapa?
Seperti kosa kata ‘inan’ di atas, kosa kata elementer lainnya adalah ‘mpu’
dalam bahasa Kawi. Kosa kata ini tidak ditemukan dalam bahasa Jawa masa kini. Kosa
kata ‘mpu’ dalam bahasa Bali masa kini diartikan sebagai ‘brahmana’. Sementara ‘mpu’
dalam bahasa Batak adalah ‘ompu serta dalam bahasa Bugis/Makassar ‘opu’. Kata-kata
depan ‘ni’ dan ‘ri’ bahasa Kawi sama dengan bahasa Batak. Kosa kata ‘wwalu’
dalam bahasa Jawa adalah ‘wolu’ dan bahasa Batak sebagai ‘uwalu’. Kosa kata ‘caphata’
dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah ‘sapata’ sedangkan dalam bahasa
Lampung adalah ‘pata’. Kosa kata ‘cila’ adalah ‘sila dalam bahasa Batak, Jawa dan
Melayu). Kosa kata ‘cisya’ masih ditemukan dalam bahasa Batak sebagai ‘sisean’.
Murid dalam bahasa Sanskerta adalah ‘siya’, sementara siswa dalam bahasa Arab
adalah ‘murid’. Pada masa ini (KBBI) ‘siswa’ sama dengan ‘murid’. Kosa kata’sindura’
sama dengan bahasa Batak. Suffix ‘nya’ dalam bahasa Batak ‘niya’, dalam bahasa
Jawa ‘ne’.
Lantas bagaimana dengan bahasa Bali Aga di Bali? Bahasa Kawi bukan bahasa Bali dan juga bukan bahasa Bali Aga. Hanya saja teks kuno dalam bahasa Kawi ditemukan di Bali. Pada masa ini antara bahasa Jawa dan bahasa Bali ada perbedaan yang cukup besar. Persamaannya hanya sekitar 24 persen. Seperti kita lihat nanti, orang berbahasa Bali di Bali tidak mengenal sama sekali bahasa Bali Aga.
Persamaan (kekerabatan) bahasa Bali dan bahasa Osing adalah sebesar 25.5
persen (lihat Putri Angreni, 1915); antara bahasa Jawa dengan bahasa Madura
sebesar 52.0 persen (lihat EPI Rachma); antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda
sebesar 36.0 persen (lihat Shifa Nur Zakiyah, 2022); antara bahasa Jawa dengan
bahasa Bali sebesar 24.0 persen (lihat M Islaqudin, 2019); antara bahasa Jawa
dan bahasa Osing sebesar 75 persen (lihat Puspa Ruriana, 2018).
Lantas bagaimana terbentuknya bahasa Bali di Bali? Tampaknya tidak merujuk pada bahasa asli di pulau Bali (bahasa Bali Aga), tetapi juga tidak merujuk pada bahasa Jawa di Jawa. Besar dugaan bahasa Kawi di Bali adalah awal terbentuknya bahasa Bali di Bali. Namun bahasa Kawi ini tidak lagi ditemukan dalam pertuturan di Bali, tetapi masih ditemukan dalam teks-teks lama.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Studi-Studi Bahasa di Masa Lampau: Studi Bahasa Bali Aga Masa Kini
Bagaimana dengan bahasa Bali Aga? Apakah bahasa Bali Aga sama dengan bahasa Kawi? Yang jelas bahasa Kawi tidak sama dengan bahasa Bali dan bahasa Jawa masa kini. Sebaliknya sejumlah kosa kata elementer dalam bahasa Kawi masih ditemukan dalam bahasa Batak. Siapa orang Balik siapa orang Bali Aga?
Uit onze koloniën, 1903: ‘di wilayah Karang-Assem, “Bali Aga”, sisa-sisa
penduduk asli pulau tersebut, masih tinggal di desa Tenganan dan Timbra yang
sangat dibenci oleh masyarakat Bali masa kini, “wong Modjopait” yang datang
dari Jawa, “Bali Aga” ini masih menganut agama Polinesia kuno secara murni;
tidak membakar mayatnya, tetapi menempatkan mayatnya di hutan, tidak membedakan
kasta, dan berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh orang Bali
lainnya. Mereka tidak mengakui kewibawaan Padenda atau pendeta Hindu, dan tidak
percaya pada kekuatan “tojotirta”, yaitu air suci. Suku asli di Bali ini juga
masih terdapat di beberapa tempat di Boeleleng dan Kloengkoeng’ Orang Bali Aga juga
disebut Bali-mula, yang dapat dikatakan sebagai keturunan orang Bali asli, seperti
Badoej di Jawa. Awalnya mereka hanya tinggal di dekat danau-danau di pedalaman,
tempat persembunyian mereka saat mundur dari penjajah, namun kini mereka
tinggal lebih tersebar luas (lihat Nederlandsch Oost- en West-Indië,
geographisch, ethnographisch en economisch beschreven, 1905-1907).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar