*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Karo
adalah salah satu kelompok etnis Batak yang menyebar dan menetap di Taneh Karo.
Etnis ini merupakan salah satu etnis terbesar di Sumatera Utara. Nama etnis ini
juga dijadikan sebagai nama salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara,
yaitu Kabupaten Karo. Etnis ini memiliki bahasa yang disebut cakap Karo.
Bahasa Batak Karo atau bahasa Karo adalah bahasa Austronesia rumpun bahasa Batak Karo yang mendiami dataran tinggi Karo, Langkat, Deli, Serdang, Dairi, Medan, hingga Aceh Tenggara. Bahasa Karo secara historis ditulis menggunakan aksara Karo yang termasuk dalam Surat Batak karena huruf yang dipakai berasal dari wilayah Angkola-Mandailing yang merupakan bagian dari Batak yang kemudian menyebar ke wilayah Batak Toba lalu ke Batak Simalungun dan Batak Pakpak-Dairi lalu yang terakhir adalah wilayah Batak Karo. Aksara Karo atau sering juga disebut tulisen Karo atau Surat Haru yang merupakan turunan dari aksara Brahmi dari India kuno. Namun kini hanya sejumlah kecil orang Karo dapat menulis atau memahami aksara Karo, dan sebaliknya alfabet Latin yang digunakan. Bahasa Karo merupakan bagian dari rumpun bahasa Batak utara, sehingga mirip dengan bahasa Batak Pakpak dan bahasa Alas-Kluet. Bahasa tersebut tidak dipahami oleh penutur bahasa Batak selatan, seperti Batak Toba, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Ada beberapa dialek dalam bahasa Karo, yaitu Karo timur dan Karo barat. Dialek-dialek tersebut dibedakan secara fonologis dan leksikal. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Karo di utara danau Toba? Seperti disebut di atas bahasa Karo dituturkan oleh orang Karo di utara danau Toba. Bahasa Melayu di pesisir dan bahasa Batak di pedalaman Sumatra. Lalu bagaimana sejarah bahasa Karo di utara danau Toba? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Karo di Utara Danau Toba; Bahasa Melayu di Pesisir dan Bahasa Batak di Pedalaman Sumatra
Wilayah Karo tidak terinformasikan hingga de Haan melakukan kunjungan dari Laoehan (Deli) ke wilayah pedalaman di ketinggian hingga mencapai danau Toba. Dalam laporan E Netscher (1865) di Laboehan tidak menyebut nama Karo, tetapi nama Batak. Dalam posisinya sebagai Controleur, de Haan di Laboehan kemudian melakukan ekspedisi ke wilayah pedalaman.
Dalam salah satu artikel de Haan yang dimuat dalam Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 04-12-1875 mencoba mendeskripsikan asal usul orang
Karo. Menurut cerita yang dikumpulkan de Haan, bahwa ada kisah lima anak seibu,
yang kemudian terbentuk lima marga Ginting, Pranginangin, Sembiring, Tarigan
dan Karaw- Karaw, yang di wilayah tetangga idem dito Moente, Sinaga, Soeanon, Girsang
dan Nabaho.
Kisah (di Jawa babad (adalah satu hal. Orang Eropa pertama berkunjung ke wilayah Karo adalah hal lain. Bagaimana sejarah (situasi dan kondisi wilayah) Karo dari waktu ke waktu dari masa lampau adalah hal lain lagi. Yang jelas, sejarah adalah narasi fakta dan data. Fakta bahwa de Haan pernah berkunjung ke wilayah Karo, kunjungannya didukung data di berbagai tulisan sejaman.
Salah satu akses dari wilayah pantai ke wilayah Karo di
pedalaman/pegunungan adalah di masa lampau melalui sungai Deli/sungai Babura.
Sisa-sisa peradaban masa lalu di wilayah hulu sungai Deli adalah benteng (Deli Tua).
Ekspedisi de Haan sendiri melalui jalan darat di sisi timur sungai Deli. Dalam
perdagangan luar di masa lampau kelompok populasi di wilayah Karo, tidak hanya
melalui sungai Deli, juga melalui sungai Tamiang dan bahkan ke arah barat
melalui sungai Singkil. Oleh karena itu kelompok populasi di wilayah Karo tidak
benar-benar terisolasi di pegunungan. Catatan: Kelompok populasi di wilayah
Karo berada diantara sejumlah kelompok populasi: di timur Melayu, di tenggara
Simaloengin, di selatan Toba, di barat Pakpak/Singkil, di barat laut Alas dan di
utara Gayo dan di timur laut Tamiang. Kelompok populasi di wilayah Karo
berinteraksi dengan sejumlah kelompok populasi lain. Namun perlu diperhatikan,
secara geomorfologis daerah aliran sungai Deli sangat penting bagi kelompok
populasi di wilayah Karo dari masa ke masa. Kerajaan Melayu di Laboehan
haruslah dianggap ibu kota kerajaan baru, sementara di masa lampau ada ibu kota
kerajaan di hulu sungai Deli (Deli Tua). Secara geomorfologis muara sungai Deli
bergeser dari waktu ke waktu ke arah laut. Sungai Deli dan sungai Hamparan Perak
di masa lampau bermuara ke suatu teluk (namun lambat laun teluk itu, akibat proses
sedimentasi jangka panjang telah terbentuk daratan. Kampong/kota Laboehan
dimana Sultan Deli dan Controleur de Haan berkedudukan adalah area/daratan yang
baru. Lantas pertanyaannya: apakah area Deli Tua di masa lampau berada di
pantai atau paling tidak cukup dekat ke pantai?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Melayu di Pesisir dan Bahasa Batak di Pedalaman Sumatra: Terbentuknya Bahasa Karo
Sumber bahasa Karo dalam sejarah bahasa tidak hanya lisan (yang diwariskan) juga sumber tertulis. Dr NH van der Tuuk telah mengumpulkan teks bahasa Toba dalam aksara Toba (pada tahun 1850an). Dalam ekspedisi de Haan ke wilayah Karo juga mengumpulkan teks bahasa Karo dalam aksara Karo. Lantas bagaimana bahasa Karo, dan bagaimana relasi bahasa Karo dengan bahasa Batak. Kebetulan kedua bahasa ini sudah ada sumber terawal tentang bahasa dan aksara yang digunakan.
Dalam studi bahasa-bahasa, terutama studi bahasa-bahasa di nusantara
selalu menarik perhatian para ahli linguistic dari masa ke masa. Pada masa ini
banyak studi bahasa yang dilakukan secara naif untuk mengidentifikasi sejarah bahasa-bahasa
dengan perbandingan gramatika dan khususnya (hanya) kosa kata (misalanya
merujuk pada Swadesh). Faklta bahwa bahasa-bahasa menagalami perubahan
(perkembangan atau kemunduran). Dengan analisis statistic bahasa maka
bahas-bahasa dibedakan di satu sisi sebagai bahasa dan di sisi lain sebagai
dialek, bahasa memiliki keterkaitan dan bahasa berbeda. Lantas apakah hasil perhitungan
statistic suatu bahasa dianggap berbeda (masa kini) sejatinya di masa lampau
berasal dari bahasa yang sama; atau sebaliknya, pada masa ini bahasa memiliki
kesamaan (dialek) sejatinya di masa lampau adalah dua bahasa berbeda? Oleh
karena itu, analisis bahasa dari bahasa masa kini adalah satu hal, dan sejarah
bahasa adalah hal lain lagi. Sejarah bahasa sangat tergantung dari data yang
tersedia.
Perihal bahasa Toba (sumber van der Tuuk) dan bahasa Karo (de Haan) mulai diperbandingkan (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1883). Namun sebelum ke situ, satu pertanyaan adalah sejak kapan nama Karo disebut. Secara geografis (lihat C de Haan) hanya disebut Batak (Bataklanden), dan di wilayah Karo yang sekarang dari lima marga yang ada disebut Karaw-Karaw.
Penamaan oleh orang luar adalah satu hal, penamaan oleh penduduk local adalah
hal lain. Nama Batak sudah diidentifikasi dalam peta-peta era Portugis. Nama
Batak merujuk pada suatu wilayah non Melayu. Seorang pedagang Cina (1703) dan Charles
Miller (1772) tidak menyebut nama Batak tetapi mengindentifikasi nama Angkola. Nama
Batak dengan tegas dinyatakan William Marsden sebagai suatu kelompok populasu (1781).
Nama Batak juga diikuti oleh Jonh Anderson (1823). Sejak cabang Pemerintah
Hindia Belanda dibentuk di pantai barat Sumatra, nama-nama awal yang disebut
adalah Natal, Angkola, Mandailing dan Tappanoeli. Pada tahun 1840 nama Tanah Batak
(Bataklanden) di dalam peta digunakan untuk mengidentifikasi wilayah Padang
Lawas. Namun tidak lama kemudian diubah menjadi Portibi dan kemudian saling
menggantikan antara Padang Bolak dan Padang Lawas. Nama Bataklanden kemudian
digunakan untuk wilayah-wilayah yang baru dikenal (Silindoeng dan Toba). Lalu
dalam perkembangannya dari sisi pantai timur Sumatra, C de Haan tahun 1870 (dipublikasikan
1875) mengidentifikasi wilayah pedalaman mulai dari wilayah Karo sebagai
Bataklanden. Sebelumnya E Netscher (1865) mengidentifikasi orang Batak untuk
warga di Laboehan yang berasal dari pedalaman. Lalu kapan nama Karo digunakan
untuk merujuk pada suatu lanskap (tanah). Dalam kunjungan de Haan menyebut nama
(kampong) Sibaraja, kampong Tenggieng (Tongging?).
Setelah C de Haan, penulis-penulis lain sangat memperhatikan kelompok populasi di pedalaman dari pantai timur memiliki aksara sendiri. Lalu diantara penulis ada yang berpendapat sebenarnya tidak ada bahasa Batak yang umum, namun terdapat berbagai bahasa di negeri-negeri Batak. Dari Poerba (yang berarti timur) hingga Tran ditemukan nama Karaw-karaw. Bahasa lain digunakan dalam bahasa Tran adalah bahasa Tebateba digunakan di sepanjang pantai utara danau. Lebih lanjut disebut di pantai selatan Pakpak.di pegunungan goenóeng-goenoeng barat daya Tënggieng, baliasa Alas, dan bahasa-bahasa tersebut sangat berbeda sehingga penduduk daerah tersebut tidak saling memahami.
Dalam bahasa Batak di pedalaman disebutkan tidak memiliki hitungan tahun.
Yang ada adalah hitungan bulan (12 bulan) dan setiap bulan sebanyak 30 hari.
Tidak ada hitungan minggu (bandingkan dengan di Jawa untuk tahun saka).
Disebutkan ada kuil, tetapi tidak ada imam/pendeta kecuali para guru. Guru
disebut adalah orang tua pembimbingnya, baik laki-laki maupun perempuan,
disebut guru dan dijunjung tinggi. Mereka dibedakan sebagai guru yang mengajar
membaca dan menulis. Ada juga guru yang mengajarkan pengobatan dan ilmu gaib,
seperti: dari mana datangnya penyakit; guru seni perang, yaitu kekebalan dan
cara-cara misterius lainnya untuk menaklukkan dan mengalahkan musuh. Dalam
hubungan social dikenal senina dan anakberu. Suku-suku yang sama-sama
disebut margas atau sukoe berjumlah lima Karaw-Karaw, Gintmg, Prangmangin,
Sembiring dan Tarigan. Dalam penyebutan C de Haan selalu menempatkan Karaw-Karaw
dalam urutan awal. Dalam kelembagaan ada tiga pihak satu panghoeloe, satu
sanina dan satu anakbëroe (dalihan natolu: mora, kahanggi dan anak boru). Di
antara tugas-tugas kepala suku, salah satu tugas yang paling penting adalah
memimpin peperangan, yaitu ketika seluruh kampung terlibat.
Apakah Karaw-Karaw yang menjadi cikal nama wilayah Karo? Pada saat C de Haan mengunjungi wilayah Karo yang laporannya dipublikasikan tahun 1875, cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur adalah Residentie Ooskust van Sumatra terdiri dari afdeeling: Siak, Laboehan Batoe, Asahan dan Deli (terdiri onderafdeeling: Deli, Langkat, Serdang dan Tamiang); di pantai barat adalah Residentie Tapanoeli (afdeeling Sibolga (termasuk Baros dan Singkil); Natal dan Angkola en Mandailing). Dalam perkembangannya wilayah Karo dikunjungi oleh Controleur Westenberg.
Nama Karo digunakan oleh CJ Westenberg dalam artikelnya berjudul Reis in
de Karolanden (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 08-03-1892). CJ Westenberg
adalah seorang Controleur di pantai timur Sumatra. Sesudah Westenberg ada seorang
Prancis melakukan kunjungan ke pedalaman wilayah Karo dan pada tahun 1891 Jules
Claine menyampaikanannya dalam kongres tentang Timur di London.
Setelah wilayah atas Deli (wilayah Karo) mulai dikenal semakin kerap dikunjungi oleh orang asing. Mereka itu antara lain kembali seorang Jerman von Brenner (lihat Deli courant, 26-02-1896). Juga disebutkabun kunjungan von Mechel yang juga ditemani oleh von Brenner. Mereka tampaknya dari misionaris Rhein. Dalam perkembangannya, pasca Perang Atjeh dan Perang Batak (1907) nama Karo dijadikan sebagai nama wilayah pemerintahan. Besar dugaan tulisan-tulisan Westenberg (yang juga anggota Batak Instituut) dijadikan sebagai sumber dalam pembentukan wilayah administrasi di Karolanden. Westenberg menjadi Asisten Residen di afdeeling Simaloengoen dan Karolanden (lihat Deli courant, 02-05-1908).
Di pantai barat Sumatra, wilayah Singkil dimasukkan ke wilayah Atjeh dan
di pantai timur Tamiang juga dimasukkan ke Atjeh. Sementara di pantai timur
dibentuk wilayah (afdeeling) Simaloengoen en Karolande (lihat Almanak 1909).
Dalam perkembangannya, Siak dipisahkan dari Residentie Oostkust van Sumatra.
Pada tahun 1915 Residentie Oostkust van Sumatra ditingkatkan menjadi province. Dalam
Alamank 1909 Afdeeling Simaloengoen dan Karolanden beribukota di Saeiboedolok.
Onderafdeeling Karolanden ibu kota di Sariboedolok, dan onderafdeeling
Simaloengoen ibu kota di Pamatang Siantar. Di wilayah onderafdeeling Karolanden
terdiri dari district: Radja Dolok (Oerang Silau); Radja Poerba (Kinalang);
Sibajak Lingga; Sibajak Beroe Djahe; Sibajak Soeka, Sibajak Sinembah; Sibajak
Koeta Boeloeh; dan Toean Nagasariboe. Sedangka Simaloengoen adalah Tanah Djawa,
Siantar, Panei dan Raja.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar