Rabu, 27 Maret 2024

Sejarah Padang Lawas (7): Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra Era Portugis; Mendes Pinto dan Kerajaan Malaka di Semenanjung


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini

Sejarah adalah narasi fakta dan data, fakta yang benar-benar ada atau terjadi dengan didukung bukti. Bukti-bukti sejarah masa lampau di Indonesia, sangat terbatas, hanya berupa teks prasasti atau bentuk lainnya. Dukungan teks dari asing sangat diperlukan untuk menambah pemahaman, terutama yang berasal dari Tiongkok dan dari Eropa. Salah satu sumber sejarah tentang keberadaan Kerajaan Aru yang jarang dicermati laporan seorang Portugis, Mendes Pinto.

 

Fernão Mendes Pinto (c.1509-8 Juli 1583) seorang penjelajah Portugis. Pelayarannya dicatat dalam Peregrinação;1614), memoar otobiografinya. Banyak aspek dari karya ini yang dapat diverifikasi. Pinto meninggalkan Lisbon 1537 menuju India melalui Mozambik. Lalu berlayar dengan kapal kargo Portugis ke Goa. Sejak tahun 1539, Pinto tetap berada di Malaka di bawah Pedro de Faria, kapten Malaka yang baru diangkat. Pinto diutus menjalin kontak diplomatic dengan kerajaan-kerajaan kecil yang bersekutu Portugis melawan umat Islam di Sumatera bagian utara. Pada tahun 1569, ia menemukan armada Ottoman yang dipimpin oleh Kurtoğlu Hızır Reis di Aceh. Setelah misi Pinto ke Sumatra, dia dikirim ke Patani, di pantai timur Semenanjung Malaya. Pinto melanjutkan operasi perdagangan di di Teluk Tonkin. Pinto memasuki Tiongkok dari Laut Kuning. Pinto memfasilitasi perdagangan antara Portugis dan Jepang. Pinto kembali ke Malaka lalu ke Goa. Sekembalinya Pinto ke Goa, Faria mengirimnya ke Banten, Jawa, untuk membeli lada untuk dijual ke Cina. Pada tahun 1558, Pinto kembali ke Portugal. Pinto memulai memoarnya pada tahun 1569 (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra era Portugis? Seperti disebut di atas, sumber sejarah Kerajaan Aru di era Portugis berasal dari penulis-penulis Portugis. Mendes Pinto dan Kerajaan Malaka di Semenanjung. Lalu bagaimana sejarah Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra era Portugis? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra Era Portugis; Mendes Pinto dan Kerajaan Malaka di Semenanjung

Sebelum ini sudah banyak sumber informasi yang telah diverifikasi. Nama Sriwijaya yang sangat minim, hanya terdapat dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) dan prasasti Tanjore (1030), diperkaya sumber dari catatan Tiongkok, tetapi ternyata salah interpretasi. Misalnya nama San-fo-ts’i diasosiasikan dengan nama Sriwijaya (Crivijaya), tetapi sebenarnya lebih tepat sebagai nama Tambusai; Shih-li-fo-shih lebih tepat sebagai Sungai Musi (daripada Sriwijaya); San-fo-qi yang diasosiakan dengan nama Sriwijaya, seharusnya harus dibaca sebagai Tambesi/Tembesi. Hampir satu abad San-fo-ts’i, Shih-li-fo-shih dan San-fo-qi dianggap sebagai Sriwijaya.


Hanya sedikit data yang tersedia untuk sejarah lama. Diantara sumber-sumber lama yang hanya sedikit, banyak data dibaca salah. Banyak para ahli sejarah lama merasa benar telah membaca sumber catatan Tiongkok dengan benar, tetapi ternyata keliru. Sebaliknya banyak para ahli merasa tidak bisa/merasa kesulitan membaca (memaknai) sumber Portugis, lalu ‘menghukumnya’ dengan tuduhan ‘banyak aspek dari karya Portugis yang harus diverifikasi’. Salah satu sumber sejarah lama di Indonesia yang berasal dari penulis Portugis adalah Mendes Pinto. Catatan: Sumber berasal dari era Portugis antara lain Tomé Pires, Antonio Pigafetta, Mendes Pinto, Duarte Barbosa. Faria y Souza, Diego Robeiro (1529), Odoardo Barbosa (1516) dan Diego Pacheco (1520).

Sebenarnya kehadiran orang Eropa di Indonesia, sedikit banyak telah mendokumentasikan banyak hal. Tulisan-tulisan orang Eropa, dalam hal ini penulis Portugis banyak yang diterbitkan (secara lengkap dengan atau tanpa anotasi) yang kemudian dapat kita akses pada masa kini. Mendes Pinto menjadi penting, karena fungsi/peran yang berikan kepadanya, merupakan orang Eropa pertama yang memasuki wilayah-wilayah pedalaman, termasuk di Sumatra. Salah satu, dan yang utama yang dikunjungi Mendes Pinto di Sumatra adalah wilayah yang menjadi wilayah Kerajaan Aru.


Sebelum ini sudah dideskripsikan sumber-sumber yang berasal dari Tiongkok. Salah satu yang penting dari sumber Tiongkok adalah Ma Huan, seorang Tiongkok muslim yang menulis Yingyai Shenglan yang berisi catatan pelayaran ekspedisi Cheng Ho pada abad ke-15. Pelayaran ke-1 Tiongkok (Chen Ho) tahun1405 hingga1407; Pelayaran ke-4 tahun 1413 hingga1415; Pelayaran ke-7 (terakhir) tahun 1430 hingga 1433. Ma Huan hanya menyertai beberapa ekspedisi tetapi dalam bukunya Yingyai Shenglan mendeskripsikan semua pelayaran. Ma Huan dalam Yingyai Shenglan juga mendeskripsikan tentang (kerajaan) Aru, sesuai peta yang disajikannya letak geografis Kerajaan Aru itu berada di daerah aliran sungai Barumun.

Dalam laporan Mendes Pinto tentang Kerajaan Aru dideskripsikan panjang lebar. Dari 81 bab, Mendes Pinto sebanyak tujuh bab (bab-6 hingga bab-12) bertajuk nama Kerajaan Aru (Raja Batak-Raja Aru). Bagaimana Mendes Pinto mendeskripsikan tentang Kerajaan Aru tidak menarik dan lengkap, juga banyak informasi yang disajikan bertalian dengan catatan Ma Huan satu abad sebelumnya. Intinya Mendes Pinto menunjukkan Kerajaan Aru (Aru Batak Kingdom) adalah kekuatan terbesar di Sumatra yang kemudian digantikan oleh Kerajaan/Kesultanan Atjeh. Nama Kerajaan Aru juga dilaporkan oleh Tome Pires (1512-1515).


Tujuh bab buku Mendes Pinto terkait kerajaan Batak Aru dalam terjemahan bahasa Inggris sebagai berikut: CHAP. VI. What passed till such time as Pedro de Faria arrived at Malaca; his receiving an Embassador from the King of Batas; with his sending me to that King, and that which arrived to me in that Voyage; CHAP. VII. What happened to me at Penaiu with the King of Batas expedition against the Tyrant of Achem; and what he did after his Victory over him; CHAP. VIII. What past between the King of Batas and me, until such time as I imbarqued for Malaca; my Arrival in the Kingdom of Queda, and my return from thence to Malaca; CHAP. IX. The Arrival of an Embassador at Malaca from the King of Aaru to the Captain thereof; his sending me to the said King, my coming to Aaru, and that which happend to me after my departing from thence; CHAP. X. By what means I was carried to the Town of Ciaca, and that which befell me there; my going to Malaca with a Mahometan Merchant; and the Tyrant of Achems Army marching against the King of Aaru; CHAP. XI. The Death of the King of Aaru, and the cruel Iustice that was executed on him by his Enemies; the going of his Queen to Malaca, and her reception there; CHAP. XII. The Queen of Aaru's departure from Malaca; her going to the King of Jantana; his summoning the Tyrant of Achem to restore the Kingdom of Aru, and that which past between them thereupon.

Mendes Pinto menyatakan Kerajaan Aru Batak Kingdom memiliki pasukan dengan kekuatan 15.000 orang, yang mana sebanyak 8.000 orang Batak dan tambahannya didatangkan dari Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo. Pasukan Aru ini memiliki 40 gajah perang dan 12 meriam. Pasukan cadangan ada di dataran tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?). Selama Pinto berada di ibu kota Kerajaan Aru di Panaju ditemani oleh seorang Moor, dan Pinto sempat melihat ada sebanyak 63 kapal yang tengah bersandar di bandar Panecao. Masih menurut Mendes Pinto Kerajaan Aru Batak Kingdom sangat kuat tidak bisa dipenetrasi dikelilingi oleh pegunungan dan jaraknya ratusan mil dari laut. Radjanya adalah seorang Moor. Kerajaan ini memiliki banyak (orang) Mandarin yang di sisi luar (di pantai/pesisir) kerap melakukan penjarahan dan ancaman terhadap kapal-kapal yang lalu lintas di selat.


Pelaut-pelaut Portugis sendiri sudah hadir di Malaka pada tahun 1509 yang dua tahun berikutnya menaklukkan Kerajaan Malaka pada tahun 1511. Mendes Pinto berkunjung ke Kerajaan Aru Batak Kingdom pada tahun 1537 menyebut nama (kerajaan) Minangkabau tetangga Aru Batak Kingdom yang dapat sewaktu-waktu diminta ikut membantu jika Aru Batak Kingdom diserang. Ibu kota Kerajaan Aru Batak Kingdom berada di Panaju (Pane) yang berada di sungai Paneticao (sungai Batang Pane?). Menurut Mendes Pinto Kerajaan Malaka selalu waspada kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka. Ini mengindikasikan, sebelum ditaklukkan Portugis 1511 Malaka sangat lemah dibandingkan Kerajaan Aru.

Apa yang digambarkan oleh Mendes Pinto Kerajaan Aru Batak Kingdom memiliki hubungan dengan kerajaan Minangkabau dan kurang harmonis dengan Malaka. Dalam menjaga supremasi Keajaan Aru di selat, untuk mendukung kekuatan pasukan Kerajaan Aru juga ada yang didatangkan dari Minangkabau, Luzon (Manila), Indragiri (Indragiri), Jambi dan Borneo. Bagaimana bisa?


Dalam laporan Ma Huan (1405-1415) ada empat tempat di Sumatra yang disinggahi oleh ekspedisi Cheng Ho, yakni Palembang (sungai Musi), Aru (sungai Barumun), Sumentala (Sungai Karang/Sungai Ular), Nakur (hulu Sungai Bah Bolon Simalungun) dan Lamuri (ujung utara Sumatra di Aceh). Tidak terinformasi nama-nama tempat lain, dan juga tidak diketahui bagaimana relasi lima tempat (kerajaan) di Sumatra juga tidak terinformasikan. Berdasarkan catatan Tiongkok dinasti Ming (sejak 1368) menyebut di wilayah (kerajaan) San-fo-tsi (Tambusai) terdapat tiga orang raja: di Sengk'ia-li-yu-lan, di Ma-ha-na-po-lin-pang dan di Ma-na-cha-wu-li. Nama-nama ini diduga adalah Sangkilon (hulu sungai Barumun), Palembang (sungai Musi) dan Mauli (hulu sungai Batang Hari). Dalam hal ini catatan Tiongkok disebut San-fo-tsi (Tambusai), sementara dalam catatan di Jawa disebut Kampe. Demikian juga nama Mauli di Tiongkok dan nama Darmasraya di Jawa. Wilayah Pane, Haru/Mandailing, Rokan, Siak dan Darmasraya merupakan bagian dari wilayah kerajaan San-fo-tsi (Tambusai). Besar dugaan, dalam perkembangannya, kerajaan San-fo-tsi (Tambusai) berubah menjadi Kerajaan Aru dan Kerajaan Darmasraya menjadi Kerajaan Minangkabau. Sesuai Mendes Pinto, hubungan kerajaan Aru dan kerajaan Minangkabau tetap terjaga (dan juga dengan kerajaan Indragiri (di sungai Indragiri/sungai Kuantan) dan kerajaan Jambi (di sungai Batang Hari). Bagaimana dengan Broenai (Borneo) dan Luzon (Filipina)?

Lantas bagaimana hubungan Kerajaan Aru dengan kerajaan-kerajaan di utara sebelum terjadinya perselisihan antara Kerajaan Aru dan Kerajaan Atjeh? Dalam catatan Ma Huan terjadi perselisihan antara Kerajaan Sumentala/Sungai Karang (di pesisir) dengan Kerajaan Nakur (di pedalaman). Apakah dalam hal ini ada relasi antara Kerajaan Aru (Padang Lawas) di selatan dengan Kerajaan Nakur di utara (Simalungun)?


Pada era Portugis hubungan Baros dan Aru ini agak menyulitkan peneliti-peneliti Portugis membedakan secara tegas Baros dan Aru yang di dalam tulisan Pires dan Pinto kerap tertukar (saling menggantikan) antara Baros, Bata dan Aru. Hal itu dapat dimaklumi karena poros perdagangan Baros dan Aru berada di alam teritori penduduk Batak. Nama Aru dicatat penjelajah Portugis Barbosa. Ekspedisi Barbosa dilakukan setelah Tome Pires. Barbosa menyebut hanya tujuh bandar penting di Sumatra, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Barbosa tampaknya mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires. Dalam laporan Barbosa ini secara eksplisit membedakan antara Baros dan Aru. Barbosa menyebut Baros sebagai Pansem yang merupakan nama lain Baros yang disebut Pansur atau Pancur. Sedangkan Aru ditulisnya sebagai Ara. Boleh jadi Ara atau Aru sama saja. Jadi, Aru atau Ara adalah bandar yang terletak di hulu sungai Baroemoen, dimana  muara sungai Baroemoen berseberangan dengan Malacca. Penulis peta Portugis adakalanya menyebut nama Aru sebagai de Aru yang kemudian d’Aru dan lalu Daru.

Kerajaan Aru di pedalaman (sungai Barumun) dan kerajaan Nakur (sungai Bah Bolon). Dalam laporan Ma Huan disebut nama pelabuhan Lambri; pada era Portugis Barbosa menyebut nama Pedir dan Aceh. Besar dugaan kerajaan Lambri telah digantikan oleh kerajaan Aceh. Dalam hal ini Kerajaan Pedir telah menggantikan kerajaan Samodra/Perlak. Pada era Portugis diduga kuat kekuatan hanya terdiri di tiga wilayah: Kerajaan Minangkabao (di selatan); Kerajaan Aru (di tengah) dan Kerajaan Aceh di utara.


Dalam laporan Mendes Pinto disebut awal perselisihan Kerajaan Aru dan Kerajaan Atjeh karena kerajaan Atjeh merebut wilayah kerajaan Aru dan tiga anaknya tewas di Nagur (Iacur) dan Lingau (Lingua). Mendes Pinto juga menyebut Kerajaan Aru diperkuat oleh para pedagang/pedagang Moor; Kerajaan Atjeh dibantu tentara Turki. Lingau sendiri diduga kuat kini menjadi Lingga (sekitar daerah Karo) dan Nakur/Nagur (sekitar daerah Sialungun). Kerajaan Lingau wilayahnya mencapai ke wilayah paling utara Sumatra di Aveh (Daru). Kerajaan Atjeh (di Lambri) diduga telah relokasi ke Daru (pusat kerajaan yang sekarang di Banda Atjeh). Hal itulah mengapa ada nama Daru di kota (stad) Atjeh. Kerajaan Atjeh di Lambri juga menaklukkan kerajaan Hindoe di Pidie (dulu disebut Pedir) dan Pasai (Pacem) di pantai timur daerah Atjeh yang sekarang. Catatatn: Pacem berada di Lhoksukon atau Lhoknibung yang sekarang (antara sungai Pase dan sungai Ambuara atau Jambu Air). Sungai Ambuara adalah sungai terbesar kedua di bagian utara pulau Sumatra (setelah sungai Baroemoen). Sungai Ambuara ini berhulu di Gayo (sekitar danau Laut Tawar). Dimana posisi GPS Iacur dan Lingua? Iacur diduga Nagur di Simalungun; Lingua diduga Lingga di Tanah Gayo.

Tiga putra Radja Aroe yang terbunuh oleh kerajaan Atjeh di Iacur dan Lingua di satu sisi kerajaan Aceh di utara semakin menguat dan di sisi lain Kerajaan di selatan mulai terancam. Disebutkan Kerajaan Atjeh dengan tentara Turki menyerang Pacem (Pasai) sebelum terjadi pertempuran di Iacur dan Lingua. Atas kehilangan tiga putra ini, Radja Aroe, Batak Kingdom membuat aliansi di Semenanjung Malaya (Malaka) dengan Portugis.


Sejarah spasial (pulau) Sumatra dapat dihubungkan pada tiga era: Penduduk asli Sumatra awalnya berada di belakang pantai tempat dimana terdapat danau: danau Tangse dan danau Takengon (Gayo); danau Toba dan danau Siais (Batak), danau Maninjau, danau Singkarak dan danau Kerinci (Minangkabau pra Pagaroejoeng) dan danau Ranau (Komering dan Lampong). Pada saat itu pulau Sumatra masih sangat ramping (belum terbentuk daratan Manggala, Palembang, Djambi, Indragiri, Siak, Rokan, Laboehan Batoe, Tandjoeng Balai, Pulau Sicanang, Lhokseuawe, Pedir dan Atjeh). Pada era ini masuknya orang-orang India-Ceylon beragama Boedha-Hindoe. Hal itulah mengapa penduduk di sekitar danau dari Ranau hingga Tangse memiliki aksara yang mirip satu sama lain. Beberapa flora dan fauna didatangkan ke Sumatra. Pinus ke Kerinci, ke Siais dan Takengon. Agama Boedha-Hindoe tidak berkembang lebih lanjut di Sumatra (tetapi tidak demikian di Jawa). Mengapa? Oleh karena itu penduduk-penduduk asli Sumatra kembali pagan. Beberapa situs peradaban Boedha-Hindoe yang tersisa di Sumatra antara lain prasasti Kedukan Bukit, candi Simangambat (Siais). Candi Padang Lawas dan candi Muara Takus. Dengan semakin berkembangnya penduduk asli di pedalaman, melalui perantara pedagang-pedagang India muncul kota-kota perdagangan seperti Martapura (Lampong), Loeboek Linggau-Palembang, Muara Tebo-Telainapura-Djambi, Rengat-Indtragiri, Bangkinang-Siak, Pasir Pangaraian (Rokan), Panai (Baroemoen), Oedjoeng Gading (Pasaman), Lingga Bajoe (Batang Natal), Loemoet, Baroes, Indrapura, Kampei (Hamparan Perak), Lhoknibong dan Loksoekon (Pasai), Singkil, Daja, Pedir dan Atjeh. Pada kota-kota pelabuhan inilah pedagang-pedagang Islam datang yang kemudian membentuk koloni (kerajaan dan kesultanan). Pada era Islam ini (Persia) kerajaan-kerajaan pagan masih eksis di pedalaman (termasuk Kerajaan Mianangcabo dan Kerajaan Aroe). Semakin menguatnya kerajaan-kerajaan pantai (kesultanan), kerajaan-kerajaan di pedalaman mulai memudar. Pada saat mulainya memudar kerajaan-kerajaan di pedalaman, muncul orang-orang Eropa (Portugis) yang didahului oleh orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara (Mauretania, Morocco dan Tunisia) yang malenggangkan tradisi Islami. Bersamaan dengan kehadiran Eropa-Portugis, Kerajaan Atjeh menguat yang lalu menaklukkan Pasai yang kemudian memuncak persaingan kerajaan Atjeh (Islam) yang diperkuat Turki dengan kerajaan Aroe (pagan) yang diperkuat orang Moor (dan membuat aliansi dengan Portugis di Malaka). Catatan: Kota Malaya lebih dulu eksis dari Kota Atjeh. Kota Malaya sendiri terbentuk pada abad ke-13 oleh orang-orang Islam, suatu tempat yang sebelumnya dihuni oleh pedagang-pedagang India. Nama Malaya merujuk pada nama Himalaya. Pedagang-pedagang Moor menyebut Malaya sebagai Malaka. Orang-orang Moor sendiri bermukim di Muar (tanggara Malaka). Nama Muar merujuk pada nama Moor kemudian Moar, Moear dan kini Muar. Orang Moor adalah pedahulu (predecessor) orang Portugis. Orang Portugis kemudian mencatat Malaka sebagai Malacca.

Setelah jatuhnya Pasai, dan terbunuhnya putra-putra Radja Aroe di Iacur dan Lingua, kerajaan Atjeh semakin kuat dengan tentara Turki dan semakin meluas wilayahnya. Dalam situasi inilah memuncak persaingan antara kerajaan Atjeh (Persia dan Turki) dan kerajaan Aroe (Moor dan Portugis). Dua kekuatan inilah yang menjadi polarisasi navigasi pelayaran. Kerajaan Aroe di selat Malaka bagian tengah dan selatan; kerajaan Atjeh di selat Malaka bagian utara dan perairan kepulauan Nicobar dan Andaman.


Perluasan kekuatan kerajaan Atjeh tidak hanya di Pedir (Pidie) dan Pasai (Pacem), juga Daja. Dalam perkembangan lebih lanjut di pantai barat Sumatra mencapai Labo (Meulaboh) dan Singkil, sementara di pantai timur menacapai Tamiang hingga Deli (berhadapan dengan Siak-Djohor). Dalam perkembangan lebih lanjut di pantai barat Sumatra semakin meluas ke Baros, (teluk) Tapanoeli, Natal, Airbangis, Pasaman, Ticoe, Pariaman dan Padang (berhadapan dengan Indrapoera-Djohor).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mendes Pinto dan Kerajaan Malaka di Semenanjung: Kerajaan Aru Diantara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Minangkabau

Setelah perang antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan Aru, situasi kondisi berubah drastic. Kerajaan Aru melemah dan Kerajaan Aceh semakin digdaya. Sedang terjadi perkembangan Islam yang pesat di wilayah pantai di Sumatra bagian utara, tetapi agama asli semakin berkembang di pedalaman.


Kerajaan (kesultanan) Atjeh memiliki aliansi dengan Perak-Kedah yang berhadapan dengan Portugis di Malaka dan Djohor. Lantas bagaimana kesultanan Atjeh dengan pantai barat Siam dan Pegu, Arakan? Dalam situasi dan kondisi inilah kepulauan Nicobar dan kepulauan Andaman penting bagi kesulatan Atjeh (sebagai area transit perdagangan) seperti halnya kesultanan Ternate ke Mindanao (Filipina) melalui wilayah transit (kepulauan Sangir dan kepulauan Talaut) dan kerajaan Djohor ke Borneo dan Mindanao  melalui kepulauan Natoena dan kepualaun Soeloe. Sementara Belanda (VOC) di Jawa, Bali dan Amboina, semakin menguat Spanyol di Luzon (Filipina) membuat ruang jelajah perdagangan Djohor terbatasi. Demikian juga Inggris yang semakin menguat dai di India dan Bengalen membuat ruang jelajah perdagangan Atjeh terbatasi.

Lantas bagaimana dengan wilayah Padang Lawas?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar