Minggu, 15 Oktober 2017

Sejarah Kota Padang (44): Radja Boerhanoedin dan Surat dari Padang; Komandan Tanah Abang, Pahlawan di Deli dan Atjeh

Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Radja Boerhanoedin bukanlah orang biasa. Radja Boerhanoedin adalah orang yang luar biasa dan karena itu Pemerintah Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) memberinya bintang. Jabatan prestisius yang pernah diduduki oleh Radja Boerhanoedin adalah Komandan di Onderdistrict Tanahabang, Batavia (Distrik dikepalai oleh Demang dan Onderdistrict oleh Komandan; pada tahun 1910 terminologi Demang diubah menjadi Wedana dan Komandan menjadi Asisten Wedana). Radja Boerhanoedin pada masa awal karir adalah orang yang piawai di medan perang, dan pada masa akhir karirnya memiliki anak dan cucu yang tidak kalah hebatnya. Radja Boerhanoedin meninggal dunia di Batavia dan dimakamkan di tempat pemakaman dimana kelak anaknya (Tengku Radja Sabaroedin) dan juga cucunya (Tengku Radja Boerhanoedin) dimakamkan di Petamboeran.

Java-bode: voor Nederlandsch-Indie, 14-07-1866
Profil Radja Boerhanoedin sudah ditulis di Wikipedia. Namun yang tertulis dalam situs tersebut sedikit agak berbeda dengan dokumen sejaman di masa lampau. Disebutkan Radja Boerhanoeddin lahir di Padang, akan tetapi tidak ada dokumen yang dikutip. Lantas dimana Radja Boerhanoedin lahir? Banyak dokumen yang mengindikasikan bahwa Radja Boerhanoedin dan keturunannya (anak dan cucunya) dikaitkan dengan bangsawan di Sumatra’s Ooskust (Pantai Timur Sumatra). Bagaimana itu bisa terjadi?.

Siapa sesungguhnya Radja Boerhanoedin? Itu pertanyaannya. Mari kita telusuri. Untuk sekadar navigasi bagi pembaca, sejumlah data dan informasi dalam menulis artikel ini sudah pernah dikutip di dalam berbagai artikel saya dalam blog ini, selain di laman Sejarah Kota Padang, juga di laman-laman lainnya, yakni: Sejarah Kota Medan, Sejarah Jakarta, Sejarah Bogor, Sejarah Bandung, Sejarah Depok, Sejarah Tapanoeli dan Sejarah Padang Sidempuan. Oleh karerna itu tidak semua sumber disebut lagi. Mari kita mulai dengan sub judul: Radja Boerhanoedin di Siak Indrapoera.  

Radja Boerhanoedin di Siak Indrapoera

Nama Radja Boerhanoeddin kali pertama muncul tahun 1866. Radja Boerhanoeddin dengan Surat Keputusan Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, tanggal 10 Julij 1866, No. 9 diangkat sebagai pejabat pribumi yang diperbantukan kepada Assistent-resident di Siak Sri-Indrapoera (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-07-1866). Pengangkatan Radja Boerhanoeddin ini pada tahun 1866, sesungguhnya baru tiga tahun setelah ekspedisi Belanda ke Deli (Januari 1863). Ekspedisi ke Deli ini dipimpin oleh Resident Riaow yang berkedudukan di Tandjong Pinang, Elisa Netscher.

Peta Afd. Mandailing dan Angkola (Tapanoeli), 1862
Ekspedisi ke Deli ini bertujuan ganda: di pihak Belanda untuk invasi (memperluas wilayah kolonial) di pantai timur Sumatra sekaligus untuk menekan Atjeh; di pihak pribumi di Siak Indrapoera untuk mengembalikan supremasi Riaow terhadap Deli (yang sudah beberapa lama di bawah kekuasaan Atjeh) dan sekaligus mengusir Atjeh dari Laboehan (Deli); dan menekan pemimpin Batak di dalam garis pantai (sepanjang sungai Deli). Indikasi ini dimuat dalam tulisan Netscher yang dimuat di surat kabar pada tahun 1875. Netscher sebagai Resident Riaow sejak 1861. Netscher  memulai karis sebagai sekretaris Algemeene tahun 1848. Netscher melakukan ekspedisi ke Riaouw tahun 1847, 1856 dan 1857. Hasil ekspedisi ini ditulis dalam berbagai karya (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 03-04-1884). Pada tahun 1860 E, Netscher diangkat sebagai sekretaris Gubernur Jenderal dan juga merangkap sekretaris Raad van Ned. Indie (De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 16-07-1860). Elisa Netscher adalah saudara Resident Tapanoeli (1853-1856). Intensitas kunjungan Elisa Netscher ke Riaouw besar dugaan karena saran dari abangnya Franciscus Henricus Johannes (FHJ) Netscher (Resident Tapanoeli). Sebab saat itu Residentie Tapanoeli mencakup hilir sungai Baroemoen (Laboehan Batoe), yakni wilayah terjauh (ke timur dari Padang, kedudukan Gubernuri dan ke utara dari Batavia, kedudukan Gubernur Jenderal). Otoritas Belanda di Riaow dimulai tahun 1852 (Resolusi No 27 tanggal 29 Mei 1852) yang beribukota di Tandjong Pinang). Sedangkan penempatan controleur di Siak, Laboean Batoe, Panei, Batoe Bara dan Deli berdasarkan Beslit No. 8 tanggal 21 Februari 1965. Radja Boerhanoeddin ditempatkan ke Siak Indrapoera sehubungan dengan pembentukan pemerintahan di Siak Indrapoera.

Dalam ekspedisi ke Deli inilah Radja Boerhanoeddin ikut serta sebagai komandan pribumi dan setelah pulang kemudian diangkat sebagai pejabat di Siak Indrapoera. Radja Boerhanoeddin terbilang cukup berprestasi dalam ekspedisi Belanda ke Deli. Sebagai komandan perang (dari hulubalang pribumi) yang turun ke darat di Laboehan (Netscher sendiri hanya berada di atas kapal perang yang membuang sauh di hilir Laboehan (Deli), Radja Boerhanoeddin berhasil melucuti (senjata) hulu balang Atjeh dan juga berhasil bernegosiasi dengan empat pemimpin Batak untuk bertemu dengan Netscher di atas kapal. Hanya alasan inilah yang memungkinkan Radja Boerhanoeddin dianugerahi bintang medali perak untuk keberanian dan kesetiaan (de zilveren medaille voor moed en trouw). Bintang ini setara dengan Militaire Willemsorde 3de Klasse.

Peta Afd. Bengkalis, 1862
Pengangkatan dan penempatan Radja Boerhanoeddin sebagai pejabat pribumi di Siak Indrapoera besar kemungkinan untuk mendampingi Asisten Residen yang baru merelokasi ibukota lama dari Bengkalis ke ibukota baru di Siak Indrapoera. Otoritas Belanda pertamakali didirikan di Bengkalis tahun 1858, suatu pulau yang menghadap ke muara sungai Siak. Pendirian otoritas ini sekaligus mengangkat sultan (di Siak Indrapoera) sebagai yang ditinggikan (diantara sultan-sultan) di pantai timur Sumatra. Sebagai pegawai di Tandjong Pinang Riaouw dan Bengkalis  (hingga tahun 1862), Radja Boerhanoeddin besar kemungkinan memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Siak. Sementara itu, sangat jarang militer/pejabat Belanda merekrut penduduk untuk melakukan ekspedisi ke (negara/wilayah) tetangga kecuali hal khusus. Umumnya dari asal wilayah yang berjauhan, seperti Ambon ke Jawa dan Jawa/Madura ke Sumatra untuk menghindari pembelotan atau melarikan diri (Tidak ada indikasi Palembang ke Minangkabau, Minangkabau ke Tapanoeli dan Tapanoeli ke Atjeh. Namun karena adanya sejarah perseteruan Atjeh dan Siak (dalam soal Deli) perekrutan ini menjadi mungkin. Radja Boerhanoeddin seakan perwakilan Siak di dalam ekspedisi ke Deli. Siak dan Deli yang sesama Melayu terpisah karena faktor Atjeh. Dengan demikian perekrutan Radja Boerhanoeddin dalam kesatuan perang Belanda menuju ekspedisi Deli dilandasasi oleh keinginan mengembalikan supremasi Siak di Deli (atas Atjeh).Tentu saja tidak tertutup kemungkinan perekrutan justru dari Pantai Barat Sumatra mengingat Netscher (pemimpin ekspedisi ke Deli) adalah mantan pejabat tinggi provinsi Sumatra’s Westkust di Padang dan mantan Residen Tapanoeli di Sibolga. Peta 1862

Berdasarkan Staatsblad No.48 tanggal 27 Maret 1864 organisasi pemerintahan sipil di Siak terdiri dari Asisten Residen dan dua Controleur. Berdasarkan Almanak Pemerintah tahun 1867 ada tambahan controleur untuk Asahan, Deli, Batoebara, Laboehan Batoe, Siak. Sebagaimana diketahui Resident Riaou berkedudukan di Tandjong Pinang (Bintan). Residentie Riaou terdiri dari: Kepulauan Riaou dan Kesultanan Siak (pantai timur Sumatra). Dalam proses otorisasi Belanda di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) diduga peran Radja Boerhanoeddin sangat penting. Elisa Netscher mendapat bintang  Ridders dier orde (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 21-06-1864). Sedangkan Radja Boerhanoedin bintan Willemsorde 3.

Segera setelah penaklukan Deli, pada tahun yang sama pejabat setingkat controleur ditempatkan di Laboehan (Deli) yang bekerjasama dengan Sultan. Pada tahun 1865 controleur Deli, Baron de Caet digantikan oleh controleur C. de Haan. Pada masa de Haan datang Nienhuys dari Oost Java dengan dua investor dari Batavia untuk memulai merintis perkebunan tembakau di Deli. Pada akhir jabatan de Haan dilakukan ekspedisi ke Bataklanden (hingga ke pinggir danau Toba). Dalam perkembangan berikutnya Sultan Deli ditinggikan diantara sultan-sultan yang lainnya. Dua matahari di Pantai Timur Sumatra dalam fase berikutnya bersaing merebut hati Belanda (antara Sultan Siak dan Sultan Deli). Persaingan ini akhirnya mengakibatkan pada tahun 1870 Siak dipisah lalu Residentie Sumatra’s Oostkust dibentuk dengan ibukota di Bengkalis (pada tahun yang sama, 1870 ibukota Afdeeling Mandailing dan Angkola dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean).

Prestasi Elisa Netscher di Pantai Timur Sumatra menjadi alasan utama Elisa Netscher dipromosikan menjadi Gubernur Pantai Barat Sumatra pada tahun 1870. Kedatangan Elisa Netscher ke Pantai Barat Sumatra seakan melanjutkan tugas yang pernah dijabat abangnya sebelumnya FHJ Netscher, sebagai Residen Tapanoeli tahun 1853 (Bredasche courant, 04-08-1853). FHJ Netscher mengakhiri tugasnya tahun 1956 (lihat Almanak 1857). Di satu pihak, ketika berakhirnya masa jabatan FHJ Netscher, sebaliknya, Elisa Netscher justru baru memulai tugas yang sesungguhnya di Riaouw.

Tugas Elisa Netscher ini ke Riaow awalnya dimulai tahun 1849. Saat itu Netscher sebagai ilmuwan di bidang linguistik yang mendalami bahasa Melayu. Pada kurun waktu yang sama (1851) N. Van der Tuuk dikirim ke Tapanoeli untuk studi bahasa Batak.Sebelum van der Tuuk sudah ada dua ilnuwan yang bertugas di Mandailing dan Angkola yakni geolog dan botanis FW Junghuhn dan ahli geografi sosial, FT Willer. Kedua ilmuwan ini juga difungsikan untuk pembentukan (otoritas) pemerintahan Belanda. Hasil ekspedisi pertama Netscher ini diduga kuat yang membuka jalan dalam pembentukan otoritas pemerintahan Belanda di Riaow (tahun 1852) yang berkedudukan di Tandjong Pinang. Elisa Netscher kemudian melakukan ekspedisi kedua ke Riaouw tahun 1856. Kemudian ekspedisi ketiga dilanjutkan pada tahun 1857 untuk melengkapi pemahaman keseluruhan di Pantai Timur Sumatra. Hasil-hasil ekspedisi ini ditulis Netscher dalam berbagai karya ilmiah yang kemudian juga menjadi sebab yang kuat pembentukan otoritas Belanda di Bengkalis tahun 1858. Dalam ekspedisi ke Pantai Timur Sumatra besar dugaan dipandu oleh Radja Boerhanoedin yang telah menjadi pegawai pemerintah di Batavia yang dimutasi ke Tandjong Pinang (Kantor Residen). Radja Boerhanoedin memiliki latar belakang pendidikan guru (kweekschool). Tingkat pemahaman Elisa Netscher yang komprehensif tentang Pantai Timur Sumatra mengantarkannnya diangkat sebagai Residen Riaouw yang berkedudukan di Tandjong Pinang pada tahun 1860. Tugas utama Elisa Netscher sebagai Residen Riaow adalah memperluas otoritas Belanda hingga ke arah utara (perbatasan Atjeh). Dalam perluasan wilayah otoritas itu (invasi ke Pantai Timur Sumatra bagian utara) Radja Boerhanoedin dilibatkan (sebagai opsir pemerintah). 

Elisa Netscher berperan penting dalam persiapan invasi ke Atjeh. Radja Boerhanoedin dalam hal ini juga memainkan peran penting. Satu lagi tokoh penting dalam hal ini adalah WA Jellinghaus (pejabat eksekutif Menteri Koloni di Batavia). Saat itu Radja Boerhanoedin adalah komandan di Batavia. Besar dugaan Elisa Netscher yang mengusulkan Radja Boerhanoedin yang melakukan ekspedisi awal ke Atjeh. Elisa Netscher sangat kenal dengan Radja Boerhanoedin di Pantai Timur Sumatra.

Elisa Netscher menjadi Gubernur Pantai Barat Sumatra berakhir 1878. Abangnya FHJ meninggal dunia tahun 1878. Elisa Netscher lalu kemudian diangkat debagai anggota dewan (Raad van Ned. Indie). Elisa Netscher meninggal dunia tahun 1880 (lihat De standaard, 07-04-1880). Elisa Netscher masih tengah menjadi anggota Raad van Ned. Indie. Dua bersaudara yang berkontribusi untuk Sumatra tamat. WA Jellinghaus kemudian diangkat menjadi Residen Batavia. Lalu Radja Boerhanoedin diangkat kembali sebagai Komandan di Batavia.
  
Sepeninggal Elisa Netscher, boleh jadi Radja Boerhanoedin termasuk salah satu orang yang paham betul Pantai Timur Sumatra. Pada tahun 1879 ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan ke Medan (Afdeeling Deli) dan afdeeling Bengkalis dikeluarkan dan kembali masuk ke Residentie Riaow. Pada sekitar tahun 1879 ini Radja Boerhanoedin diangkat menjadi Komisaris Jenderal Atjeh dan Deli.

Pada tahun yang sama, 1879 di Padang Sidempoean dibuka sekolah guru atau kweekschool. Sementara di Portibie yang telah berubah nama menjadi Padang Lawas dibentuk kembali pemerintah tahun 1879 yang sempat dibubarkan pada tahun 1843). Loehat yang pertama dibentuk di Padang Lawas sebanyak lima loehat, yakni: 1. Tanah Rambei en Oeloe Bila, 2. Dollok, 3. Padang Bolak, 4. Baroemoen, 5. Sosa (lihat De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 05-07-1880). Dengan demikian, afdeeling Mandailing dan Angkola, Afdeeling Padang Lawas dan Afdeeling Laboehan Batoe terintegrasi di bawah sistem pemerintahan otoritas Belanda. Untuk kali pertama coast-to-coast terjadi antara Pantai Barat Sumatra dan Pantai Timur Sumatra. Namun dalam proses pembentukan Pantai Timur Sumatra ini ada satu persoalan yang muncul. Laboehan Batoe yang sebelumnya menyusul Asahan menjadi bagian Pantai Timur Sumatra kemudian disusul Kota Pinang yang sebelumnya bagian dari Residentie Tapanoeli. Ada dua lanskap yang tersisa yaitu lanskap yang dulu ditemukan FJ Willer sebagai komunitas emigran (keturunan) Soetan Mengedar Alam. Akan tetapi Dr. Angan berhasil memfasilitasi sehingga dua lanskap itu akhirnya dimasukkan ke Laboehan Batoe. Radja Boerhanoedin dan Dr. Angan besar kemungkinan memainkan peran dalam penuntasan pembentukan pemerintahan Pantai Timur Sumatra ini.

Radja Boerhanoedin Menjadi Komandan di Batavia

Dalam perkembangannya kemudian Radja Boerhanoeddin dimutasi ke Batavia sebagai pejabat (ambtenaar). Keberadaan Radja Boerhanoeddin terindikasi dari surat seorang pembaca di Padang yang memiliki jabatan sebagai Commandant Batavia yang mengucapkan terimakasih kepada Radja Boerhanoeddin yang telah menolong keluarganya dalam peristiwa banjir besar di Batavia beberapa waktu sebelumnya. Pembaca menulis yang terkesan dari beberapa idiom yang digunakan diduga seorang asal Jawa, yang kini boleh jadi tengah berada atau bertugas di Padang (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 16-03-1872).

Ini mengindikasikan bahwa Radja Boerhanoeddin sudah di Batavia sebelum tahun 1872. Jabatan Radja Boerhanoeddin di Batavia sebagaimana terungkap dari surat pembaca adalah sebagai ambtenaar (pejabat sipil). Kantor Radja Boerhanoeddin di Batavia tidak diketahui dengan jelas. De standaard, 20-09-1872 menyebutkan jabatan Radja Boerhanoeddin sebagai kommandant van het 3de district.

Setelah Radja Boerhanoeddin di Batavia, kabar beritanya tidak terdeteksi lagi. Baru tahun 1883 nama Radja Boerhanoeddin muncul kembali ketika dirinya diangkat sebagai komandan distrik keempat dan kelima (commandant in het vierde en vijfde district) di Batavia (lihat De locomotief, 10-01-1883).

Mengapa nama Radja Boerhanoedin begitu lama tidak muncul (1872-1883)? Apakah Radja Boerhanoeddin dilibatkan dalam ekspedisi ke Atjeh? Perang Atjeh sendiri mencapai puncaknya dan hancurnya kraton dan masjid Atjeh pada tahun 1874. Dengan melihat prestasi Radja Boerhanoeddin sebagai pemegang medali perang dan memiliki kedekatan emosional di Pantai Timur Sumatra sebelah utara (Noord-Oostkust van Sumatra) besar kemungkinan Radja Boerhanoeddin berpartisipasi dalam Perang Atjeh. Oleh karenanya, sepulang dari Atjeh dan pada tahun 1883 Radja Boerhanoeddin diangkat sebagai komandan distrik keempat dan kelima di Batavia. Jabatan komandan ini berbau-bau militer (hanya pimpinan militer pribumi yang berhasil di medan perang yang kapabel dalam jabatan ini?).

Java-bode: voor Nederlandsch-Indie, 20-01-1874
Secuil berita yang muncul tahun 1874, Radja Boerhanoeddin disebutkan sebagai Kepala Siak yang cerdik (een slim Siaksch Hoofd). Oleh karena itu, Radja Boerhanoeddin diajak kerjasama dan untuk menjaganya (memfasilitasinya) ditempatkan di Batavia sebagai komandan sebuah distrik pinggiran di Batavia, yang mana jabatan ini lebih merupakan sebuah gelar daripada sebuah kantor nyata. Radja Boerhanoeddin dianggap penting karena kedekatannya dengan Sultan Atjeh dan dapat dimanfaatkan. Diantara orang-orang non-Belanda yang terkait dengan Atjeh, Radja Boerhanoeddin terbilang paling sesuai (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-01-1874).

Pada fase pengangkatan Radja Boerhanoeddin menjadi komandan di Batavia menjadi heboh. Kehebohan ini bukan karena posisinya sebagai komandan (setingkat camat sekarang) di Batavia, tetapi latar belakangnya dari perspektif (sudut pandang) kolonial Belanda. Semua surat kabar di Hindia Belanda, di Belanda dan bahkan di Suriname melaporkan penempatan Radja Boerhanoeddin. Dari semua surat kabar itu tidak satupun yang menulis profilnya, hanya memberitakan keterkaitannya dengan Atjeh. Ini dapat dimaklumi karena peristiwa besar yang menyita perhatian di Hindia Belanda dan di Belanda adalah dalam perihal penaklukan (Kesultanan) Atjeh. Perang Atjeh adalah perang terbesar Belanda yang membutuhkan daya dan dana yang sangat besar. Sebagai perang besar, Perang Atjeh juga perang terakhir Belanda di Nederlandsch Indie. Untuk soal strategi penaklukan Atjeh, juga muncul pro-kontra tidak hanya dari orang Belanda juga dari orang pribumi, tidak hanya warga Belanda biasa tetapi juga (mantan) pejabat Belanda. Tentu saja Radja Boerhanoeddin tidak mengira begitu pada akhirnya (kraton dan masjid Atjeh hancur lebur). Namun ada satu surat kabar edisi 18 Maret 1874 yang menyusun profil Radja Boerhanoeddin secara lengkap (yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah).

Pada bulan-bulan yang sama, pada saat guru Willem Iskander berangkat studi ke Belanda, Willem Iskander mengeluarkan pernyataan yang menyesali dan tidak adanya yang peduli dengan kehancuran kraton (dan masjid) Atjeh. Provinciale Noordbrabantsche en 's Hertogenbossche courant, 28-04-1874: ‘Dari Tuan Iskander, direktur sekolah bagi guru asli Mandheling di Sumatera, yang pada saat ini dengan tiga magang dalam perjalanan ke Belanda,….menerima hari ini penduduk surat dari kediaman, yang antara lain mencegah jatuhnya kraton dari Atchin telah membuat kesan yang baik di sini....menulis asli yang sama, bahwa tidak ada yang simpati sedikit pun untuk Atchin, dan bahwa ‘Atchinees’ bahkan digunakan sebagai istilah pelecehan’. Sebagaimana diketahui pada bulan April 1874 guru Willem Iskander bersama tiga guru muda yakni Barnas (dari Tapanoeli), Ardi Sasmita (dari Madjalengka) dan Raden Mas Surono (dari Soerakarta) betolak dari Tanjung Priok ke Negeri Belanda dengan kapal Prins van Oranje. Mereka tiba di bandar Amsterdam pada tanggal 30 Mei 1874.

Pada tahun 1878 Radja Boerhanoeddin (sebagai Komandan Distrik ketiga di Batavia) mutasi. Ini terlihat dari adanya pelelangan berbagai perabotan, peralatan dan perlengkapan yang dilakukan oleh Radja Boerhanoeddin sebagaimana diiklankan di surat kabar (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-02-1878).

Kepindahan Radja Boerhanoeddin dari Batavia diduga terkait dengan posisinya yang diangkat sebagai 'Komisaris Jenderal' Atjeh dan Deli. Jabatan baru ini diduga berkedudukan di Laboehan atau di Medan (ibukota Afdeeling Deli dipindahkan ke Medan dari Laboehan tahun 1879). Juga diketahui Radja Boerhanoeddin telah mendapat bintang medali Willemsorde (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-03-1882). Bintang ini besar kemungkinan diberikan kepada Radja Boerhanoeddin dalam partisipasinya pada sebelumnya dalam ekspedisi ke Deli yang kemudian ekspedisi ke Atjeh. Perang (Atjeh) terjadi tahun 1874.

Pada tahun 1881 terinformasikan bahwa Radja Boerhanoeddin telah menjual dua persil lahan di Blok-M (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-06-1881). Ini menunjukkan bahwa Radja Boerhanoeddin terbilang kaya di Batavia. Sumber pendapatan utamanya sejak menjadi Komandan Distrik paling tidak sebesar f150 per bulan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-03-1882). Atas jasanya, pemerintah pernah memberikan Radja Boerhanoeddin bonus sebesar f2000..

Setelah sekian lama, Radja Boerhanoeddin kembali menduduki jenis jabatan yang dulu pernah dipegangnya, yakni kini diangkat sebagai komandan distrik keempat dan kelima (commandant in het vierde en vijfde district) di Batavia (lihat De locomotief, 10-01-1883). Jabatan ini tampaknya merupakan jabatan terakhir Radja Boerhanoeddin. Saat memulai menjabat ini muncul polemik karena banyak dan hampir seluruh bawahannya diganti dengan orang-orangnya. Lalu, nama Radja Boerhanoeddin mulai menghilang. Terakhir, Radja Boerhanoeddin terdeteksi pulang dari Medan yang teridentifikasi dalam manifes kapal (Bataviaasch nieuwsblad, 24-08-1896).

Radja Boerhanoeddin telah memainkan banyak peran dalam ekspedisi ke Deli dan juga dalam hal persiapan perang ke Atjeh (Perang Atjeh). Dengan latar belakang Radja Boerhanoedin sukses di Pantai Timur Sumatra, akhirnya mendapat medali ketika dirinya tahun 1871 menjadi Komandan di distrik Batavia (Tandjong Priok). Pejabat eksekutif Menteri Koloni WA Jellinghaus yang mengusulkan bintang diberikan kepada Radja Boerhanoedin. WA Jellinghaus diangkat menjadi Pejabat eksekutif Menteri Koloni 1 November 1871 (sebelumnya menjadi Residen Tegal 1865-1871). Jellinghaus menganggap itu pantas diberikan kepada Radja Boerhanoedin, tetapi dibalik itu Jellinghaus memroyeksikan Radja Boerhanoedin untuk tugas baru (yang lebih berat). WA Jellinghaus merekrut Radja Boerhanoedin untuk tugas ekspedisi ke Atjeh. Radja Boerhanoedin berangkat pada bulan Agustus 1872 dari Batavia menuju Tapak Toewan melalui Padang dan Singkel yang dibantu oleh Latib. Radja Boerhanoedin kembali ke Batavia bulan Oktober 1872. Ketika perang dimulai, pada bulan Januari 1873 Radja Boerhanoedin berangkat ke Tapak Toewan melalui Padang. Pemilik bintang Ridder der Orde v.d. Ned. Leeuw ini menjadi Residen Batavia pada April 1873. Setelah selesai bertugas di Pantai Timur Sumatra, tahun 1883 Radja Boerhanoedin (kembali) menjadi Komandan di Batavia yang mana bosnya sekarang adalah Residen WA Jellinghaus. Radja Boerhanoedin diberitakan surat kabar meninggal dunia di Batavia tanggal 25 September 1902. Penghargaan tertinggi Radja Boerhanoedin adalah menerima Ridderkruis der 4e klasse van de Militaire Willemsorde berdasarkan prestasinya pada ekspedisi kedua Atjeh.

Radja Sabaroedin, Anak Radja Boerhanoedin Ikut Ekspedisi ke Tamiang

Satu diantara anak Radja Boerhanoedin adalah (Tengku) Radja Sabaroedin. Pada tahun 1907, Radja Sabaroedin diangkat menjadi Komandan Pasar Senen yang sebelumnya menjabat sebagai Posthouder di Kepulauan Seribu (Bataviaasch nieuwsblad, 25-02-1907).

Komandan dalam hal ini, seperti ayah Radja Sabaroedin yakni Radja Boerhanoedin adalah jabatan setingkat camat pada masa ini. Pada saat itu, nama jabatan pemimpin pribumi belum seragam dan masih disesuaikan dengan penggunaan setempat. Di Residentie Padangsche dikenal sebagai Kepala Laras dan di Afdeeling Mandailing dan Angkola disebut Kepala Koeria. Di Batavia, setingkat Laras dan Koeria ini disebut Komandan (untuk pribumi dan Timur asing lainnya). Untuk orang-orang Tionghoa, secara khusus komunitas Tionghoa disebut Letnan, Kapten dan Mayor (tergantung besar kecilnya populasi komunitas). Pada tahun 1870an di Tandjong Balai, selain letnan Tionghoa juga ada letnan Mandailing. Oleh karena itu, pengertian komandan dalam struktur pemerintahan non-Belanda bukan diasosiasikan dengan (komandan garnisun) militer atau lainnya (meski para Komandan ada juga yang dari militer, seperti Radja Boerhanoedin). Komandan dalam hal ini adalah jabatan dalam struktur pemerintahan pada wilayah administrasi tertentu yang dijabat oleh pribumi.

Radja Sabaroedin adalah kerabat kesultanan yang terlibat mendukung militer Belanda. Radja Sabaroedin adalah pahlawan Belanda yang sukses berperang melawan penduduk Atjeh di Tamiang.

Hulubalang Deli di Perang Tamiang, 1893
Pada masa ini Tamiang adalah bagian dari Provinsi Aceh, tetapi Tamiang tidak termasuk dalam Perang Aceh yang dimulai tahun 1873 dan berakhir tahun 1904. Perang Tamiang terjadi tahun 1893 adalah perang yang setara dengan Perang Sunggal (1974). Perang Tamiang telah membawa korban banyak diantara tentara Belanda dan para hulubalang Kesultanan Deli. Untuk mengenang perang tersebut di Esplanade (kini Lapangan Merdeka) Medan tahun 1894 dibangun sebuah monument yang diberinama Monumen Tamiang. Pada tahun 1893 Afdeeling Tamiang masih bagian dari Residentie Sumatra’s Oostkust (seperti halnya Afdeeling Singkel bagian Residentie Tapanoeli). Perang Aceh adalah perang yang relatif bersamaan dengan Perang Batak (Sisingamangaradja). Perang Aceh dalam hal ini tidak termasuk wilayah Tamiang dan Singkel, tetapi sebaliknya menjadi wilayah sisi luar Perang Batak. Boleh jadi Sultan Deli dan parahulubalang Kesultanan Deli memiliki dendam terhadap para hulubalang dari Atjeh. Sebagaimana diketahui Kesultanan Deli di Laboehan baru terbebaskan dari para hulubalang Atjeh ketika Resident Netscher 1863 datang ke Laboehan (Deli). Sejak 1863 Deli berada dibawah penaklukan Belanda. Pada tahun 1903 Afdeeling Tamiang dipisahkan dari Sumatra’s Oostkust dan dimasukkan ke Residentie Atjeh. Selanjutnya pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkut. Afdeeling Singkel yang sebelumnya bagian dari Residentie Tapanoeli kemudian dimasukkan ke Residentie Atjeh.

Atas kontribusinya di Tamiang, Atjeh dan kesetiaannya terhadap pemerintah kolonial Belanda, Radja Sabaroedin dianugerahi bintang Zilveren Ster voor Trouw en Verdienste, Militaire Willemsorde 4de kl. Bintang ini kurang lebih sama dengan medali yang diperoleh ayahnya, Radja Boerhanoedin. Sehabis berdinas di perang Atjeh, Radja Sabaroedin terdeteksi bertempat tinggal di Tandjong Poera (De Sumatra post, 10-05-1902). Radja Sabaroedin menjadi posthouder di Kepulauan Seribu, Batavia. Lalu kemudian, pada tahun 1907 dipindahkan menjadi Komandan Pasar Senen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-02-1907). Jenis jabatan yang pernah dipegang ayahnya, Radja Boerhanoedin pada tahun 1870an di Batavia.

Wilayah Administrasi Res. Batavia (termasuk Afd. Buitenzorg)
Pejabat pemerintah non-Belanda di Batavia tertinggi adalah Demang (tingkat distrik) yang membawahi beberapa Komandan (tingkat onderdistrict). Pejabat-pejabat di Batavia ini ditransfer dari berbagai tempat di Nederlandsch Indie (terutama Jawa dan Sumatra). Residentie Batavia sendiri terdiri dari beberapa afdeeling (kabupaten), dua diantaranya Afd. Stad en Voorsteden dan Afd, Meester Cornelis. Di Afd. Stad en Voorsteden terdiri dari dua District (kecamatan) yakni Batavia dan Weltevreden. Afd, Meester Cornelis terdiri tiga Distrik yakni Kebajoran, Meester Cornelis dan Bekasi. District Batavia terdiri dari tiga onderdistrict (di bawah kecamatan tetapi di atas kampong) yakni Pendjaringan (1), Manggabesar (2) dan Tandjongpriok (3). District Weltevreden terdiri dari tiga onderdistrict yakni Tanah Abang (4), Gambir (5) dan Senen (6). Dalam hal ini, Radja Sabaroedin adalah Komandan (Pasar) Senen (6). Sedangkan ayahnya sebelumnya adalah Komandan distrik tiga (Tandjongpriok) pada tahun 1872 dan Komandan distrik  empat dan lima (Tanah Abang dan Gambir) tahun 1883. Pada tahun 1888 Soetan Abdoel Azis, pejabat di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang Sidempoean diangkat menjadi Asisten Demang di District Kebajoran dan pada waktu yang bersamaan Asisten Demang di District Weltevreden adalah Maharadja Soetan (Kepala Koeria Batoenadoea Padang Sidempoean). Soetan Abdoel Azis adalah ayah Dr. Haroen Al Rasjid dan kakek Dr. Ida Loemongga, Ph.D (perempuan Indonesia pertama bergelar doktor) sedangkan Maharadja Soetan adalah ayah dari Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging di Belanda tahun 1908). Soetan Abdoel Azis (Nasoetion) dan Maharadja  Soetan (Harahap) adalah murid-murid angkatan pertama Willem Iskander di sekolah guru Kweekschool Tanobato yang tidak menjadi guru tetapi berkarir di pemerintahan. Dalam perkembangan lebih lanjut (1910) terminologi Demang diubah menjadi Wedana dan Komandan diubah menjadi Asisten Wedana (Wakil Wedana).

Karir Radja Sabaroedin terus meningkat. Radja Sabaroedin kemudian diangkat menjadi Wedana di Weltevreden (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-08-1910). Kemudian Radja Sabaroedin ditunjuk menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Batavia (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-04-1913).

Dewan Kota (gemeenteraad) Batavia dibentuk tahun 1905 sehubungan dengan pembentukan kota (gemeente), lalu disusul di kota-kota lain seperti Bandoeng (1906), Padang (1906) dan Medan (1909). Anggota dewan ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah karena kapasitasnya. Pada tahun 1917 anggota dewan dipilih oleh konstituen. Di Medan, pribumi pertama yang terpilih dan menjadi anggota dewan kota tahun 1918 adalah Radja Goenoeng. Di Padang, salah satu anggota dewan yang terpilih adalah Dr. Abdoel Hakim. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, alumni Kweekschool Fort de Kock 1897 adalah penilik sekolah di Medan dan Dr. Abdoel Hakim (Nasoetion), alumni Docter Djawa School 1905 adalah Kepala Dinas Kesehatan di Padang.

Namun karir Radja Sabaroedin mendapat masalah. De Preanger-bode, 09-06-1915 melaporkan dalam kasus pembunuhan Fientje Phoenix, Radja Sabaroedin sebagai Wedana diduga terlibat menerima suap dalam pembebasan pelakunya. Atas kasus itu Radja Sabaroedin dipecat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1915). Radja Sabaroedin yang telah memiliki masa bakti selama 35 tahun dalam pelayanan negara tamat dan hilang sekejap. Radja Sabaroedin setelah menyelesaikan hukuman kemudian pulang kampong ke Medan.

Surat kabar Benih Mardeka muncul tidak lama setelah berlangsungnya Rapat Umum di Medan yang terdiri dari Sarikat Islam Medan, Sarikat Islam Tapanoeli, Boedi Oetomo, Roh Kita, Djamiatoel Moehabbah, Medan Setia, Sarikat Goeroe Goeroe, dll yang berkumpul di bioskop Oranje yang diperkirakan dihadiri oleh 1.000 orang. Isu yang dibahas dalam rapat umum tersebut tentang ketidakadilan oleh orang asing terhadap rakyat dimana pemerintah tidak hadir dan hanya menonton kepentingan Barat’ (De Sumatra post, 11-09-1916). Rapat akbar serupa tahun sebelumnya telah diadakan di Bandoeng. Motto surat kabar Benih Mardeka adalah ‘Orgaan oentoek menoentoet keadilan dan kemerdekaan’. Yang membidani surat kabar ini adalah M. Samin (dari SI), Mohamad Joenoes (Medan Setia) dan Abdullah Lubis (Sarikat Goeroe-Goeroe). Surat kabar Benih Mardeka menjadi surat kabar pribumi kedua di Medan (selain Pewarta Deli yang didirikan Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda tahun 1909, pemilik surat kabar Pertja Barat di Padang, 1900).

Dalam perkembangannya Radja Sabaroedin di Medan mulai menggeluti investasi pers yang dalam hal ini menjadi investor baru di Benih Mardeka. Radja Sabaroedin mengakuisisi saham Mohamad Samin dan Abdullah Lubis di surat kabar Benih Mardeka. Terjadi restrukturisasi dan Radja Sabaroedin lalu kemudian menjadi direktur NV. Setia Bangsa.

Karakter Benih Mardeka yang revolusioner mulai kendor setelah Radja Sabaroedin mulai intens di Benih Mardeka dan posisi kepala editor dipegang oleh M. Joenoes. Benih Mardeka sebelumnya tersandung kasus delik pers tentang laporan poenalie sanctie. Lalu Benih Mardeka dibreidel. Mohamad Samin memilih jalur politik di SI, sedangkan Abdullah Lubis bergabung dengan Pewarta Deli. Setelah Benih Mardeka dihidupkan kembali dengan masuknya investor Radja Sabaroedin. Parada Harahap sempat menjadi editor Benis Mardeka sebelum pulang kampung untuk mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919).

Meski M. Samin dan Parada Harahap tidak berada di Benih Mardeka lagi, tetapi kedua tokoh revolusioner masih kerap mengirim tulisannya ke Benih Mardeka. M. Samin semakin focus di SI sedang Parada Harahap focus di Sinar Merdeka Padang Sidempuan. Benih Mardeka, surat kabar yang pertama mengusung kata merdeka lambat laun mulai redup dan menghilang. Benih Mardeka yang di awal pendiriannya menarik garis lebar dengan para planter dan pemerintah colonial kemudian (di penghujung usianya) Benih Mardeka terkesan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang yang dulu menjadi seteru dari Benih Mardeka.   

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-09-1923: ‘Ulang tahun edisi surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang muncul di Medan, Benih Mardeka yang diterbitkan oleh NV. Setia Bangsa (yang kini) di bawah direksi Tengkoe Radja Sabaroedin pada tanggal 31 Agustus tahun ini dirilis sejumlah kegiatan yang dihiasi oleh berbagai potret termasuk anggota keluarga kerajaan dan otoritas administratif tertinggi dan pemerintah SOK (Sumatra’s Oostkust), pelopor perkebunan Deli Cramer dan Nienhuys’.

Tengkoe Radja Sabaroedin dikabarkan meninggal dunia tahun 1924 dalam usia 63 tahun di Batavia (De Sumatra post, 21-07-1924). Dalam awal karirnya, Radja Sabaroedin setelah perang di Tamiang dianugerahi bintang medali de Militaire Willemsorde 4de kl. (De Preanger-bode, 23-07-1924). Tengkoe Radja Sabaroedin dimakamkan di dekat makam ayahnya, Radja Boerhanoedin di Petamboeran, Batavia. Dalam berita ini juga terungkap bahwa Radja Boerhanoeddin adalah mantan ‘Komandan’ Tanah Abang (commandant van Tanah Abang).
Radja Boerhanoedin dilaporkan lahir di tahun 1835. Tidak diketahui kapan Radja  Boerhanoedin meninggal. Jika anaknya, Radja Sabaroedin meninggal dunia tahun 1924 dalam usia 63 tahun maka Radja Sabaroedin lahir tahun 1861. Ini artinya umur ayahnya pada saat Radja Sabaroedin lahir adalah 26 tahun. Radja Boerhanoedin sendiri menyelesaikan sekolah rakyat tahun 1855 lalu ditempatkan sebagai pegawai (klerk) pakhuismeester di Padang. Lalu kemudian Radja Boerhanoedin dipindahkan sebagai pegawai di Kantor Residen di Batavia, lalu magang di Kantor Residen Bantam di Serang, kembali lagi ke kantor Batavia sebelum dipindahkan ke Kantor Residen Riaou dan kemudian dipindahkan ke Kantor Asisten Residen Siak. Sejak 1862 Radja Boerhanoedin diangkat sebagai zandeling (misionaris) Residen Riaou (Netscher, mantan Residen Tapanoeli) ke wilayah-wilayah utama di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) yang menjadi prakondisi sebelum penaklukan Deli. Netscher sendiri sangat berpengalaman di Pantai Barat Sumatra dan diangkat sebagai Residen Tapanoeli tahun 1854. Salah satu anak buah Netscher yang berpengalaman di Pantai Timur Sumatra adalah Asisten Residen Mandailing dan Angkola, AP Godon (sejak 1847 hingga 1857). Senior AP Godon bernama TJ Willer (Asisten Residen Mandailing dan Angkola 1843-1846) seorang ahli geografi sosial pernah bertugas di setahun bersama-sama dengan ahli geologi dan botani FW Junghuhn di Afdeeling Portibie (kini Padang Lawas) di sepanjang aliran sungai Baroemoen menemukan emigran komunitas (keturunan) Sutan Mengedar Alam di Panai. Ini dengan sendirinya para pejabat-pejabat di Tapanoeli sudah sedikit banyak mengetahui situasi dan kondisi di Pantai Timur Sumatra. Oleh karena itu, pengangkatan Netscher sebagai Residen Riaou dalam upaya aneksasi Belanda ke wilayah di utara Pantai Timur Sumatra (Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara dan Deli) adalah realistis. Lantas apa hubungannya Radja Boerhanoedin dengan Netscher dan daerah-daerah di sebelah utara Pantai Timur Sumatra. Keduanya adalah tokoh penting dalam pembentukan otoritas Belanda di Pantai Timur Sumatra. Disebutkan dalam profil, Radja Boerhanoedin memiliki garis keturunan dari (kerabat) Sultan Alam Bagagar Sjah (menurut Alamank 1932 Soeltan Alam Bagagar Sjah adalah Regent van Pagaroejoeng dan Soetan Iskandar regent van Padang). Jika ditarik garis kekerabatan di Pantai Timur Sumatra (kerabat) Sultan Alam Bagagar Sjah dan (kerabat) Sutan Mangedar Alam di Laboehan Batoe dan Batoebara/Serdang terjadi hubungan yang dekat melalui perkawinan. Latar belakang ini menjadi alasan yang kuat, sejak Radja Boerhanoedin diangkat misionaris Netsher sejak 1862 di Pantai Timur Sumatra, tugas pertama Radja Boerhanoedin adalah melakukan pendekatan dengan para pihak di Koeboe, Panai, Bila, Kota Pinang dan Portibie (kini Padang Lawas). Sebagaimana diketahui wilayah-wilayah di daerah aliran sungai Baroemoen ini adalah wilayah Belanda di Residentie Tapanoeli (yang tahun 1845 Luit. Col. A, van der Hart menyisir habis sisa-sisa pengikut Tambusai hingga ke daerah pantai di Bila dan Panai; Hart sendiri adalah ‘anak kesayangan’ Jenderal AV Michiels yang berani langsung ke jantung pertahanan Padri di Bondjol, 1837 dan di Daloe-Daloe, 1838) namun belum secara intens diperhatikan. Kerjasama antara Netscher (Resident Riaow) dengan Radja Boerhanoedin di sisi utara Siak, Riaow (Koeboe/Rokan, Panai, Bila, Pinang dan Portibie) adalah seakan tugas lanjutan Netscher ketika sebelumnya menjadi Residen Tapanoeli. Tentu saja tidak sulit bagi Radja Boerhanoedin bertugas dan bernegosiasi di hilir sungai Baroemoen (yang didominasi penduduk Batak) yang menjadi batas pemisah antara Melayu di Siak dan Melayu di Batoebara/Serdang dan Deli/Langkat. Radja Boerhanoedin kurang berhasil di daerah pantai Asahan. Area ini melting pot: Batak, Melayu dan Tionghoa karena wilayah ini sangat terkait dan terikat dengan Radja-Radja di Silindoeng/Toba (lihat Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-10-1867) yang mana pengaruh Sisingamangaradja masih sangat kuat (di awal permulaan misi Nommensen di Silindoeng). Radja Boerhanoedin cukup berhasil di Batoebara (karena secara historis wilayah ini terkait dengan emigran Minangkabau pada awal krisis dengan Padri). Last but not least: sebagaimana di Asahan, di Deli juga tidak mudah, karena pengaruh kuat dari utara (Atjeh) sebagai pemegang supremsi di Deli, juga pengaruh kuat di belakang pantai hingga ke pedalaman (Batak) sebagai pemasok komoditi perdagangan dan market barang-barang impor industri. Singkat kata: dalam hubungan perdagangan secara historis secara bilateral Minangkabau sangat dengan Siak dan Batak dengan Atjeh. Dalam hubungan ini Radja Boerhanoedin orang paling kabel di wilayah-wilayah utara Pantai Timur Sumatra untuk kepentingan Belanda. Oleh karenanya Radja Boerhanoedin tidak terlalu asing di Pantai Timur Sumatra dan area di belakang garis pantai di pedalaman terutama di Afdeeling Portibie (yang mencakup Pinang, Panai dan Bila). Sebagaimana dilihat nanti, kelak anak-anak dan cucu-cucu Radja Boerhanoedin begitu powerful di Province Oost Sumatra. Dan, boleh jadi, Radja Boerhanoedin dalam hal ini Radja Boerhanoedin adalah ‘anak asuh’ yang dipersiapkan oleh Godon dan Netscher yang kerabatnya banyak ditemukan di Panai sebagai emigran?. Kedua orang ini tergolong pejabat Belanda yang humanis di Pantai Barat Sumatra seperti halnya senior mereka AV Michiels dan A. van der Hart (tentu saja analisis ini masih sangat prematur, masih memerlukan analisis lebih lanjut). Namun yang tetap menjadi teka-teki: apakah Radja Boerhanoedin secara genealogis berasal dari Pantai Barat Sumatra atau dari Pantai Timur Sumatra?. Sebab, sejak memulai karir di Batavia (1856) jejaknya tidak pernah muncul di Pantai Barat Sumatra tetapi justru jejak sepanjang hidupnya di Pantai Timur Sumatra (hingga cucu-cucunya).
Ini menunjukkan bahwa ayah (Radja Boerhanoedin) dan anak (Radja Sabaroedin) sama-sama pernah menduduki jabatan Komandan di Batavia. Radja Boehanoedin kali pertama menduduki jabatan komandan ini pada tahun 1872 (kommandant van het 3de district/) dan kemudian pada periode kedua pada tahun 1883 (commandant in het vierde en vijfde district). Sedangkan Radja Sabaroedin menduduki jabatan komandan pada tahun 1907 di (Pasar) Senen.


Chinese Markt (Pasar Senen) 1770-1772 (kanan, Kwitang)
Pasar Senen (asal-usul dari pasar hari Senen) pada sekitar tahun 1872 adalah pasar yang terbilang cukup ramai karena simpul perdagangan dari dua jalur perdagangan dari Buitenzorg. Jalur perdagangan timur disebut Oosternweg (sisi timur sungai Tjiliwong) dari Buitenzorg melalui Tjiloear, Tjibinong, Tjimanggis, Tandjong Oost (Pasar Rebo), Bidara Tjina (Pasar Djatinegara) lalu ke Pasar Senen. Jalur barat disebut Westernweg (sisi barat sungai Tjiliwong) dari Buitenzorg melalui Tjiliboet, Bodjonggede, (Pasar) Tjitajam, Depok, Pondok Tjina, Srengseng, Pasar Minggoe (Tandjong West), Tjikinie dan menyeberang sungai Tjiliwong menuju Pasar Senen (melalui jembatan Kwitang yang masih terbuat dari baja dan kayu). Pada tahun 1869 jembatan penghubung dibangun di Meester Cornelis (jembatan Slamet Ryadi yang sekarang) sehubungan dengan pembangunan rel kereta api Kota-Meeester Cornelis (stasion kereta berada di Dipo Bukit Duri sekarang). Sehubungan dengan perkembengan perkebunan di Paroeng dan Tjinere dari Buitebnzorg mulai dirintis jalur perdagangan dari Buitenzorg yakni melalui Paroeng dan Tjinere. Di Tjinere terbagi dua: satu jalur mulai terhubung dengan Tangerang dan satu lagi melalui Kebajoran menuju Angke via Tanahabang. Jalur Buitenzorg, Paroeng, Tjinere, Kebajoran, Tanahabang dan Angke pada awal tahun 1870an disebut Westernweg (sementara via Depok sebelumnya yang disebut Westernweg menjadi kerap disebut Middenweg). Pada awal tahun 1870an jalan dari Pasar Senen ke Tangerang melalui Tanahabang sudah terbentuk (sebagai jalan lintasan baru yang mana sejak doeloe era VOC jalan lintasan yang terbentuk hanya Batavia, Angke dan Tangerang). Dalam situasi dan kondisi tahun 1883 Radja Boerhanoedin sebagai komandan di distrik-4 (Tanahabang) dan distrik-5 (Gambir). Radja Boerhanoedin pada tahun 1872 sebagai komandan di distrik-3 di Tandjongpriok. Ini berarti bahwa Distrik Tanahbang sudah mulai ramai namun Pasar Tanah Abang masih berciri pasar tradisional (transaksi hasil-hasil bumi yang didominasi oleh orang pribumi terutama Sunda dan Betawi dengan orang-orang Tionghoa) yang ramai di hari Sabtu (lihat Almanak 1877), sedangkan Pasar Senen sudah lebih modern (pusat perdagangan industri atau produk-produk impor seperti peralatan, perlengkapan, kain, makanan olahan dan farmasi dan sebagainya) yang didominasi orang-orang Tionghoa plus Arab dan Eropa (sejak era VOC). Secara administratif Pasar Senen adalah bagian dari kota (urban) sebagai perluasan Batavia di sisi timur sungai Tjiliwong. Sedangkan distrik Gambir sekitar Balai Kota sekarang dan Distrik Tanahabang masih bersifat rural di sisi barat sungai Tjiliwong. Sebagai dua distrik yang masih jarang penduduknya (masih banyak rawa) distrik Gambir dan distrik Tanahabang dipimpin oleh satu komandan, yang dalam hal ini di tahun 1883 oleh Radja Boerhanoedin. Sedangkan distrik Senen yang luasnya sempit namun padat dijabat oleh satu komandan. Tentu saja saat itu orang-orang dari Pantai Barat Sumatra (Padangsch dan Tapanolei) belum teridentifikasi jika dibandingkan dengan kondisi yang ada sekarang. Daerah Menteng yang sekarang pada saat itu masih kebun-kebun tanaman keras dan jalan Thamrin yang sekarang kala itu masih rawa-rawa yang sangat luas. Si Pitung sendiri bahkan baru teridentifikasi tahun 1890an. Catatan: nama-nama kampong berdekatan berdasarkan Peta 1825: Peljote (Petojo?), Diemet, Tjidang, Menting, Slemba, Tjikenie, Kramat, Doekoe, Bazaar Baroe, Kare, Koenang Tiga, Panggilingan, Kwitang, Menting Pisang, Pagansang, Doerin, Panjoran, Dalam, Matraman, Kebon Manggis, Oetang Kaijoe, Tanarenda, Balie, Magran, Jawa, Malajo, Lalen, Pangadegan, Lengkong, Tandjong, Baroe, Bedara Tjina, Pataroeman (Petamburan?), Tanabang.

Radja Boerhanoedin, Anak Radja Sabaroedin Gugat Parada Harahap Kasus Delik Pers

Parada Harahap, sejak hijrah dari Padang Sidempoean ke Batavia tahun 1923, sejumlah aktivitasnya semakin berkibar di Batavia. Investasinya semakin meningkat tajam, jiwa revolusionernya semakin menyala. Parada Harahap di Batavia berada pada puncak setelah surat kabarnya yang baru Bintang Timoer (suksesi Bintang Hindia, didirikan 1923) yang didirikan tahun 1925 menjadi surat kabar pribumi dengan tiras tertinggi. Sebagai sekretaris Sumatranen Bond, Parada Harahap lalu mempelopori didirikannya supra organisasi tahun 1927 yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Organisasi PPPKI adalah induk organisasi-organisasi kedaerahan yang bersifat nasional. Supra organisasi ini berhasil menyatukan semua organisasi-organisasi kedaerahan yang mana organisasi kedaerahan ini diharapkan melebur menjadi satu organisasi nasional. Organisasi PPPKI ini dalam struktur organisasi yang pertama Parada Harahap sebagai sekretaris dan ketua adalah MH Thamrin. PPPKI berkantor di Gang Kenari. PPPKI adalah pembina diadakannya Kongres Pemuda tahun 1928 dimana komite kongres duduk sebagai bendahara Amir Sjarifoeddin (Parada Harahap selain sekretaris PPPKI juga adalah ketua pengusaha pribumi semacam Kadin di Batavia).

Pada tahun 1929 Tengku Radja Boerhanoedin, anak Tengku Radja Sabaroedin memulai perantauan ke Batavia tahun 1929 (lihat De Sumatra post, 19-04-1929). Disebutkan bahwa Tengku Radja Boerhanoedin adalah orang terkenal di Medan. Berita ini juga mengindikasikan bahwa Tengku Radja Boerhanoedin selama ini hanya tinggal di Medan dan kini sudah tinggal di Batavia.

Hijrahnya Tengku Radja Boerhanoedin ke Batavia tahun 1929, berselang lima tahun setelah ayahnya, Tengku Radja Sabaroedin meninggal dunia di Batavia tahun 1924. Tengku Radja Sabaroedin sendiri sendiri pada 1918 pulang kampong ke Medan setelah lama berdinas di Batavia (sebagai pejabat) dan memulai investasi di bidang media. Salah satu yang diajak Tengku Radja Sabaroedin berbisnis di bidang Media adalah Parada Harahap (seorang mantan editor Benih Mardeka). Namun hubungan kerja ini tidak lama dan Parada Harahap pulang kampong ke Padang Sidempoean untuk mendirikan surat kabar Sinar Merdeka. Sejak itu, Benih Mardeka di Medan semakin lembek (bekerjasama dengan Belanda) dan sebaliknya Sinar Merdeka di Padang Sidempoean semakin tajam (berlawanan dengan Belanda). Parada Harahap yang telah menjadi pentolan Sumatranen Bond di Pantai Barat Sumatra (sebagai ketua regional Tapanoeli) dalam perkembangannya hijrah ke Batavia tahun 1923 dan mendirikan surat kabar Bintang Hindia dengan Dr. Abdul Rivai (alumni Docter Djawa School di Batavia dan mantan editor Bintang Hindia yang pernah diterbitkan di Belanda). Sebagaimana diketahui, rekan bisnis Parada Harahap di bidang media di Medan tahun 1918, Tengku Radja Sabaroedin meninggal dunia di Batavia tahun 1924. Tentu saja Parada Harahap hadir dalam pemakaman Tengku Radja Sabaroedin. Catatan: tokoh-tokoh Sumatra yang meninggal pada dekade tersebut adalah: selain Radja Sabaroedin, 1924 yakni Dja Endar Moeda, pendiri sekolah swasta di Padang 1895, Radja Persuratkabaran Sumatra (1926); Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D, ahli hukum Belanda bergelar doktor pertama pribumi (1927); Mr. Soetan Casajangan, pendiri Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908 (1929) dan Dr. Abdul Rivai (1933).

Tengku Radja Boerhanoedin selama ini tidak terdeteksi sebagai seorang pejabat (sementara ayahnya Tengku Radja Sabaroedin dan kakeknya Radja Boerhanoedin terkenal sebagai pejabat di Batavia). Tengku Radja Boerhanoedin diduga berprofesi sebagai pebisnis di Medan dan (hijrah) memulai karir bisnis di Batavia tahun 1929. Setelah beberapa tahun sejak kedatangan Tengku Radja Boerhanoedin di Batavia namanya tidak pernah muncul di media. Namun tak diduga nama Radja Boerhanoeddin timbul ke permukaan tahun  1931. Persoalannnya cukup menyita perhatian publik karena kasus penggelapan dengan Firma Lindeteves-Stokvis yang berakhir dengan tuntutan pengadilan (dengan vonis kurungan penjara selama satu tahun).

Parada Harahap telah mengenal ayah Tengku Boerhanoedin yakni Tengkoe Sabaroedin di Medan. Tengkoe Sabaroedin di Medan memulai investasi media sekitar tahun 1918, saat mana surat kabar Benih Mardeka di rundung masalah. Awalnya Benih Mardeka digugat soal delik pers, namun di pengadilan tidak terbukti. Akan tetapi dalam perkembangannya Direktur Benih Mardeka digugat ke pengadilan karena masalah perdata (penggelapan dana proyek pembagunan sekolah bantuan pemerintah). Akibatnya Direktur M. Samin harus lengser dari Benih Mardeka. Saat Benih Mardeka diterbitkan kembali (setelah dibreidel) muncul investor Radja Sabaroedin. Awalnya Parada Harahap masih bersedia kerjasama dengan Radja Sabaroedin, namun akhirnya muncul keretakan apakah karena perbedaan orientasi politik atau sebab-sebab lain semisal perilaku tidak diketahui jelas. Secara politis, Parada Harahap sebelum investor baru masuk (era M. Samin) Parada Harahap mempelopori pelaporan kekejaman para planter terkait dengan poenalie sanctie, masalah investigasi pelacuran kelas bawah maupun kelas atas di Medan, promosi persatuan dan kesatuan di kalangan pribumi baik karena perbedaan etnis maupun agama dan kepercayaan.

Lalu dalam perkembangannya Boerhanoeddin muncul dan dikenal sebagai pengusaha di Kudus. Disebutkan Boerhanoeddin adalah voorzitter van den strootjes-fabrikantenbond di Koedoes. Pada waktu pembentukan Komisi Cukai yang anggotanya terdiri dari para residen, bupati dan anggota Volksraad. Dalam pembentukan komisi ini, strootjes-fabrikantenbond ingin memiliki perwakilan di komisi yang mana sebagai kandidat adalah Boerhanoeddin. Melihat persoalan ini, visi pergerakan dan naluri jurnalistik Parada Harahap bereaksi.

Parada Harahap saat itu tengah menjadi soroton. Di satu sisi Parada Harahap berada pada puncak karirnya di Batavia dan di sisi lain Parada Harahap telah ikut aktif memanaskan kebangkitan bangsa, pembentukan partai politik dan kedekatannya dengan konsulat Jepang (api dalam sekam di mata Belanda). Karena kiprahnya yang semakin menjadi-jadi membuat polisi dan intel menjadi gerah dan berusaha menjeratnya dengan berbagai dalih. Namun semua itu Parada Harahap bisa lolos (karena sudah berpengalaman dengan tekanan Belanda sejak dari kampungnya di Padang Sidempoean). Kabar berita pencalonan Boerhanoedin sebagai anggota komisi cukai tidak pula luput dari perhatiannya. Sebelumnya, Parada Harahap sempat menggoyang parlemen dengan menyebut anggota dewan pribumi di Volksraad sangat lembek. Singkat kata: Parada Harahap tengah menyuarakan hatinya melalui media yang dipimpinnya untuk menuju jalan lurus kebangkitan bangsa dan pergerakan politik yang jujur (tidak disusupi oleh orang-orang yang tidak bersih).

Pada bulan Desember 1932 dan Januari 1933 surat kabar Bintang Timoer yang dipimpin Parada Harahap menyoroti Boerhanoeddin. Surat kabar Bintang Timoer menulis bahwa Boerhanoeddin tidak memenuhi syarat untuk anggota komisi. Berbagai ulasan muncul dalam Bintang Timoer yang mengaitkan Boerhanoeddin adalah mantan narapidana dan bahkan riwayat orang tuanya Radja Sabaroedin pada masa lalu.

Pemberitaan tentang Boerhanoeddin yang dianggap menyudutkan Boerhanoeddin dalam pencalonan mendapat reaksi dari Boerhanoeddin sendiri yang dianggap menghina dan menuntut pasal penghinaan ke pengadilan. Parada Harahap lalu didakwa dengan pasal penghinaan. Di pengadilan, Parada Harahap berdalih, perihal latar belakang Boerhanoeddin (yang diketahui Parada Harahap) ditulis untuk kepentingan umum. Parada Harahap berganggapan bahwa tulisan itu tidak bermaksud untuk menyerang nama baik atau kehormatan Boerhanoedin tetapi hanya semata-mata untuk diketahui umum.

Pengadilan akhirnya memutuskan para terdakwa dianggap telah menghina dan diancam kurungan. Para terdakwa (Parada Harahap dan para wartawannya) mengajukan permohonan bahwa mereka tidak bersalah dan dilakukan pembebasan atau cukup dengan hukuman ringan. Pengadilan mengetok palu Parada Harahap dan kawan-kawan dihukum denda f50 atau kurungan 25 hari (tentu saja Parada Harahap dkk akan memilih bayar denda).

Parada Harahap sudah beratus kali menghadapi sidang 'meja hijau' dan semuanya dengan dalih delik pers (sejak dari Padang Sidempoean hingga Batavia). Sebagaimana diketahui, Parada Harahap tidak pernah berutang kepada Belanda dan justru Belanda (polisi dan intel) selalu mengincar Parada Harahap bagaimana untuk menjeratnya. Kasus-kasus pengaduan yang dialamatkan kepada Parada Harahap dengan dalih delik pers menjadi durian runtuh bagi Belanda. Bahkan soal iklan utang piutang di Bintang Timoer tahun sebelumnya tidak luput dari delik aduan. Simak berikut ini: De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan Parada Harahap ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya. Parada menjawab: Bagaimana saya bertanggungjawab?. Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’ Ya, tapi saya hanya bertanggung jawab untuk bagian jurnalistik, jawab Parada Harahap (enteng). Bagian administrasi bertanggungjawab untuk iklan. ‘Ah, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?. Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.

Lantas apa yang menjadi pangkal perkara gugatan Radja Boerhanoedin terhadap surat kabar Bintang Timoer milik Parada Harahap. Meski terdapat dalam tulisan, ternyata bukan soal latar belakang dirinya yang dikaitkan dengan ayahnya Radja Sabaroedin, melainkan soal mengungkit kembali apa yang pernah dialami Radja Boerhanoedin dalam persidangan tahun 1931 yang menyebabkan masuk penjara. Kasus persidangan Parada Harahap dan kasus persidangan Radja Boerhanoedin terjadi pada tahun yang sama. Parada Harahap bulan Januari, Radja Boerhanoedin bulan Juli 1931. Esensinya beda. Karena itu, Parada Harahap mengungkit kembali agar pencalonan Radja Borhanoedin menjadi perhatian. Parada Harahap bermaksud mengingatkan (publik) malah sebalikya mendapatkan gugatan (individu). Situasi pengadilan di era kolonial yang cenderung berat sebelah. Berikut hasil persdiangan Radja Boerhanoedin yang menjadi pangkal perkara Parada Harahap harus mendapat putusan denda f50 atau kurungan 25 hari.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-07-1931: ‘Radja Boerhanoedin mendapat order pembelian dari sebuah perusahaan untuk membeli mobil mewah di Batavia. Di dalam pengadilan disidangkan. Presiden Justitie bertanya: ‘Mengapa Anda menandatangani pesanan pembelian sementara dengan pihak pengorder belum ada kesepakatan?’. Lalu terdakwa (Radja Boerhanoedin) menjawab: ‘Karena majikan Lindeteves mengatakan bahwa masih ada sedikit permasalahan’. Presiden: ‘Bagaimana pembayarannya dengan pembayaran mobil tersebut?’, Terdakwa menjelaskan bahwa dia mengeluh bahwa dia tidak mempunyai uang tetapi dia telah mengeluarkan cek yang disimpan di Bank Escrivto Ned-Indie kepada Mr. Schotel sebesar f13.100.-. Presiden: ‘Apakah Anda memiliki cukup dana untuk memeriksa cek itu dengan bank?’ Terdakwa: ‘Saya tidak tahu itu lagi’. Presiden: ‘Kalau begitu saya akan memberitahu Anda bahwa pada tanggal 23 April 1930, kredit Anda dengan bank itu sudah nol’. Terdakwa: ‘Ya, tapi ketika saya memberikan cek itu, saya bilang cek itu hanya sebuah jaminan (saja) dan jangan ditebus (dulu)’. Presiden: ‘Apakah tidak terlalu aneh memberi cek sebagai jaminan bila tahu tidak memiliki dana untuk penutupnya? Terdakwa tidak menanggapi hal ini (lagi)’.  

Tentang delik pers di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) sudah sejak lama ada. Selain kasus delik pers Parada Harahap vs Tengku Radja Boerhanoedin baru-baru ini (1933), tentu saja kasus delik pers Parada Harahap tahun 1931. Parada Harahap digugat dengan mengunakan pasal delik pers selama ini tidak terhitung banyaknya, bahkan sejak dari Padang Sidempoean ketika pada tahun Parada Harahap mendirikan surat kabar Sinar Merdeka (1919). Kasus delik pers juga menimpa surat kabar Benih Mardeka di Medan (1918) ketika laporan Parada Harahap tentang kekejaman para planter di perkebunan dimuat surat kabar Benih Mardeka pada beberapa edisi tahun 1917 (yang dilansir surat kabar di Jawa, Soeara Djawa, 1918). Karena awalnya soal itu, surat kabar Benih Mardeka sempat dibreidel sebelum dihidupkan kembali oleh investor baru Radja Sabarroedin (ayah Tengku Radja Boerhanoedin). Beberapa tahun sebelumnya tahun 1905 di Padang juga terjadi kasus delik pers. Dja Endar Moeda, editor sekaligus pemilik investasi Pertja Barat dikenai pasal delik pers karena menyiarkan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang pejabat Belanda di Kajoetanam. Dja Endar Moeda dihukum cambuk dan diusir dari Kota Padang (editor Pertja Barat digantikan oleh adiknya Dja Endar Bongsoe, guru di Kotanopan). Sejak kasus pers itu, Dja Endar Moeda hijrah ke Medan dimana sebelumnya menerbitkan surat kabar Pembrita Atjeh di Kotaradja (kini Banda Aceh) tahun 1907 dan kemudian mendirikan surat kabar Pewarta Deli di Medan (1909). Kasus delik pers berikutnya muncul di Batavia tahun 1912 yang mana surat kabar Medan Prijaji, pimpinan Tirto Adhi Soerjo dalam soal pemberitaan yang dianggap mengandung unsur penghinaan terhadap seorang pejabat (setingkat aspirant controleur). Ganjaran yang diterima Tirto lebih ringan dari Dja Endar Moeda. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda selain hukum cambuk juga pengusiran di kota Padang, sementara Tirto Adhi Soerjo (yang kini disebut Bapak Pers Nasional) hanya diganjar pengasingan selama tiga bulan ke Lampoeng (setelah itu kembali ke Batavia). Oleh karena Medan Prijaji meninggalkan hutang selama tidak terbit kepada investor, lalu surat kabar itu tutup dan Tirto kemudian mulai sakit-sakitan dan meninggal dunia di Buitenzorg tahun 1918. Dja Endar Moeda dengan investasi kuat dari diri sendiri, medianya justru makin banyak mulai dari Padang, Sibolga, Atjeh dan Medan (yang menjadikannya mendapat julukan Radja Persuratkabaran Sumatra).

Dalam hubungan ini, saya coba menelusuri lebih jauh ke belakang sejak kapan soal delik pers di Nederlandsch Indie. Sangat tidak terduga, ternyata (dan boleh jadi) kasus delik pers pertama adalah gugatan Radja Boerhanoedin kepada surat kabar Java Bode pada tahun 1883. Gugutan ini terkait dan muncul ketika Radja Boerhanoedin menduduki jabatan untuk periode yang kedua kali sebagai Komandan di Batavia (periode pertama 1872). Intinya: Radja Boerhanoedin menggugat ke pengadilan editor Java Bode, Mr. J. Kieffer dan Majoor Chinese Oey Tjeng Tan. Java Bode pada edisi 13 Oktober telah menulis berita yang dikutip Kieffer atas perkataan Oey Tjeng Tan yang menyatakan Radja Boerhanoedin sebagai pejabat orang Melayu asal Sumatra yang ditulis Kieffer sebagai pejabat yang sangat kacau dan menekan orang-orang (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1883). Radja Boerhanoedin tidak menerima itu dan menganggap fitnah dan penghinaan. Kemudian di pengadilan terdakwa (Kieffer dan Oey Tjeng Tan) dengan bantuan advocaat Mr. Maclaine Pont dianggap tidak bersalah karena kurang bukti. Dalam sidang itu dihadiri banyak warga yang ingin tahu, kebanyakan orang-orang luar kota Batavia, Cina dan Arab. Tuntutan dua tahun penjara tidak terpenuhi dan para terdakwa dibebaskan. Anehnya sebagian warga yang hadir menentang Boerhanoedin, meskipun disebutkan Radja Boerhanoedin adalah pemegang bintang Willlemsorde.

Demikianlah sedikit tambahan catatan tentang sejarah delik pers di Hindia Belanda. Adalah orang yang kuat yang bisa melakukan penuntutan. Akan tetapi saat itu pers juga adalah pihak yang kuat. Pengadilan dalam soal penerapan pasal delik pers tentu saja ada kelemahannya. Sebab yang kuat melawan yang kuat. Hanya saja siapa yang menang di pengadilan tergantung angin. Sebab dikotomi antara Belanda dan non Belanda (pribumi) pada era itu masih kuat. Dalam kasus ini kebetulan dua pemimpin yang kuat: satu pihak adalah komandan (bos para kepala kampong) dan satu pihak yang lain adalah mayor (bos para letnan). Catatan: surat kabar Java Bode, surat kabar legendaris berbahasa Belanda (sejak 1853) telah diakuisisi oleh Parada Harahap pada era nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tahun 1952.

Kilas Balik: Peran Tokoh Padang Sidempoean di Deli dan Atjeh

Dua diantara tokoh penting dalam permulaan pembentukan otoritas Belanda di Riaow (Riau dan Siak), Pantai Timur Sumatra (Sumatra Timur) dan Atjeh (Aceh) adalah Elisa Netscher dan Radja Boerhanoedin. Kedua tokoh ini sentral sebagai kombinasi Belanda dan pribumi. Perluasan otoritas Belanda tersebut, karena sebelumnya sudah terbentuk otoritas Belanda di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) yang terdiri dari tiga residentie: Padangsch Benelanden (ibukota di Padang), Padangsch Bovenlanden (ibukota di Fort de Kock) dan Tapanoeli (ibukota di Padang Sidempoean). Peran Pantai Barat Sumatra sangat dominan dalam perkembangan lebih lanjut otoritas Belanda di Riau, Sumatra Timur dan Aceh.

Bagaimana proses berlangsung tidaklah bersifat acak tetapi terstruktur (by design). Pemerintah Hindia Belanda adalah pemerintahan yang sangat besar, berpengalaman dan para pejabatnya hampir semua berpendidikan tinggi alumni Eropa (Belanda). Sementara kaoem pribumi banyak yang tidak tahu apa yang dipikirkan Belanda, apa yang telah dan akan dilakukan Belanda, dan tidak tahu bagaimana semua itu terintegrasi satu sama lain. Pada saat inilah beberapa pribumi yang cerdas dan terpelajar dilibatkan. Meski mereka dilibatkan tetapi tidak sepenuhnya mereka pahami gambar besarnya. Mereka ini cenderung sebagai pemain di lapangan (bukan inisiator, bukan pemikir dan juga bukan pemilik otoritas atau pemilik kekuasaan). Singkat kata: mereka yang jumlahnya segelintir ini hanya sebagai alat pemerintah Belanda untuk mencapai tujuannya (kolonial).

Radja Boerhanoedin hanya satu diantara sedikit tokoh pribumi terpelajar saat itu. Radja Boerhanoedin dan Willem Iskander hidup sejaman. Mereka berdua terbilang adalah sejumlah penduduk Sumatra terawal yang diintroduksi dengan pendidikan modern yang menggunakan aksara latin.

Secara teknis pendidikan modern baru diperkenalkan pada tahun 1846 di Afdeeling Agam oleh Asisten Residen Steinmenzt. Introduksi pendidikan juga dilakukan di Afdeeling Mandailing dan Angkola oleh Asisten Residen AP Godon tahun 1851, Pada tahun 1854 dua siswa Mandailing dan Angkola dikirim untuk studi kedokteran di Batavia bernama Si Asta dan Si Angan. Sekolah kedokteran yang dibuka sejak 1851 ini kemudian disebut Docter Djawa School. Dua siswa asal Mandailing dan Angkola ini merupakan siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa.    

Radja Boerhanoedin salah satu diantara sejumlah penduduk yang mendapatkan pendidikan modern aksara latin yang memasuki pendidikan yang lebih tinggi (selain yang telah disebutkan Si Asta dan Si Angan).  Radja Boerhanoedin melanjutkan pendidikan ke sekolah guru (kweekschool) yang baru dibuka di Fort de Kock pada tahun 1855.

Saat itu, introduksi pendidikan modern baru ada di Jawa, Padangsch, Mandailing dan Angkola (Tapanoeli) dan Minahasa. Sementara sekolah tinggi baru dua bidang, yakni: pendidikan guru dan pendidikan kedokteran (di Batavia). Pendidikan guru baru dua buah yakni di Soerakarta yang dibuka tahun 1851 dan sekolah guru di Fort de Kock sebagai sekolah guru kedua yang dibuka tahun 1856. Yang mendirikan sekolah guru di Fort de Kock adalah JAW van Ophuijsen, Asisten Residen Agam.

Pada tahun 1857 Si Sati, siswa sekolah di Mandailing dan Angkola melanjutkan pendidikan ke pendidikan yang lebih tinggi. Tidak ke sekolah guru di Fort de Kock dan juga tidak ke Soerakarta serta tidak juga mengikuti kakak kelasnya Si Asta dan Si Angan di sekolah kedokteran (di Batavia) tetapi langsung studi ke Belanda. Si Sati di Belanda mengikuti sekolah pendidikan guru di Haarlem dan lulus tahun 1861 dengan akta guru. Pada tahun 1862 Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander pulang ke tanah air dan mendirikan sekolah guru (kweekschool) di kampong halamannnya di Tanobato. Dengan demikian, tahun 1863 Kweekschool Tanobato merupakan sekolah guru ketiga di Nederlandsch Indie.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Radja Boerhanoedin pada tahun 1863 ikut berpartisipasi dengan Elisa Netscher melakukan ekspedisi ke Deli (invasi dan pendirian otoritas Belanda). Radja Boerhanoedin yang telah mengikuti sekolah guru Kweekschool di Fort de Kock tidak diketahui jelas apakah berhasil menyelesaikan studinya. Namun hanya dilaporkan memulai kerja sebagai pegawai (klerk) pakhuismeester di Padang. Lalu kemudian Radja Boerhanoedin dipindahkan sebagai pegawai di Kantor Residen di Batavia, lalu magang di Kantor Residen Bantam di Serang, kembali lagi ke kantor Batavia sebelum dipindahkan ke Kantor Residen Riaouw dan kemudian dipindahkan ke Kantor Asisten Residen Siak. Sejak 1862 Radja Boerhanoedin diangkat sebagai zandeling (misionaris) Residen Riaou (Netscher, saudara mantan Residen Tapanoeli) ke wilayah-wilayah utama di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust). Radja Boehanoedin kemudian dimutasi dari Tandjong Pinang ke Siak Indrapoera tahun 1866.

Setelah Elisa Netscher dipromosikan dari Residen Riaouw menjadi Gubernur Sumatra Westkust tahun 1870, Radja Boehanoedin juga dipromosikan pada bulan Desember 1871 menjadi Komandan (setingkat camat) di Distrik 3 di Batavia. Meski dua tokoh ini berjauhan namun keduanya tetap berinteraksi. Pejabat eksekutif Menteri Koloni Jellinghaus di Batavia dan Gubernur Elisa Netscher memulai rencana untuk langsung aneksasi ke Kesultanan Atjeh (setelah adanya ekskalasi politik di Eropa antara Inggris dan Belanda tentang wilayah-wilayah jajahan). Sehubungan dengan itu, bentuk-bentuk perlawanan Si Singamangaradja di Toba (seputar danau Toba) meski tidak diabaikan, tetapi dengan langsung membentuk otoritas Belanda di Atjeh akan dengan sendirinya Sisingamangaradja akan terjepit diantara otoritas Belanda oleh pemerintah Sumatra Timur di timur, pemerintah Atjeh di utara dan pemerintah Tapanoeli di barat (Sibolga dan Singkel) dan di selatan (Mandailing dan Angkola).

Jellinghaus dan Elisa Netscher menjadi tokoh utama dalam  persiapan aneksasi ke Atjeh dan peran mereka diduga sangat berperan penting. Perang dimulai April 1873. Namun serangan dan pendudukan Atjeh ini terbilang tidak sukses. Perencanaan Jellinghaus dan Elisa Netscher tidak tepat.

Radja Boerhanoedin, bekas anak buah Elisa Netscher yang kini berada di Batavia sebagai Komandan di Distrik 3 mulai dipertimbangkan. Lalu  Jellinghaus mendiskusikannya dengan Radja Boerhanoedin untuk mempelajari lebih lanjut tentang Atjeh. Radja Boerhanoedin kemudian dikirim ke Atjeh pada bulan Mei 1873.

Radja Boerhanoedin tampaknya menggantikan peran ahli-ahli lain tentang Atjeh. Tentu saja Radja Boerhanoedin dikirim ke Atjeh tidak dalam konteks sebagai ilmuwan sebagaimana Elisa Netscher ke Riaouw (1850an) dan FW Junghuhn dan FJ Willer ke Tapanoeli (1840an). Sepulang dari Atjeh, Radja Boerhanoedin berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 17 November 1873 menerima bintang de Militaire Willemsorde 4a klasse. Catatan: Snouck Hurgronje  pada fase berikutnya dikirim ke Atjeh.

Perang Atjeh pertama  yang gagal (1873) dilanjutkan pada awal tahun 1874. Rencana perang frontal mulai dipersiapkan. Perang ini tergolong perang yang memerlukan dana dan daya yang sangat besar. Secara mominal nanti terhitung menghabiskan biaya sebesar f40.000. Perang ini menjadi perang Belanda terbesar di Hindia Belanda. Sebagai perang frontal menjadi muncul pro kontra tidak hanya diantara Belanda dengan pribumi, tetapi juga di antara orang-orang Belanda dan diantara orang-orang pribumi sendiri.

Peta Kraton dan Masjid Atjeh, 1873
Willem Iskander protes terhadap penghancuran kraton dan masjid Atjeh. Protes ini dimuat dan viral di surat kabar. Protes Willem Iskander tampaknya tidak ada kaitannya dengan kedekatan Atjeh dengan Sisingamangaradja, tetapi soal kemanusian yang diapungkan oleh Willem Iskander (satu-satunya guru pribumi di Hindia Belanda yang memiliki pendidikan Eropa, penganut pemikiran Alexander Herzien, humanis, demokratis dan anti perbudakan). Willem Iskander menyampaikan protes ini di tengah perjalanan menuju ke Belanda. Willem Iskander, guru di Kweekschool Tanobato sedang membimbing tiga guru muda (dari Soerakarta, Madjalengka dan Tapanoeli) untuk studi ke Belanda. Berita ini menjadi viral ketika empat guru tersebut tengah dalam perjalanan melalui pelayaran samudra.

Perang kedua Atjeh ini membuat pusat Kesultanan Atjeh luluh lantak. Kraton dan masjid hancur lebur. Dalam konteks inilah Willem Iskander melakukan protes. Boleh jadi Willem Iskander berpikir sama dengan orang-orang yang kontra dengan perang frontal bahwa kraton dan masjid adalah lambang masyarakt Atjeh. Belanda dalam hal ini tidak hanya mengalahkan pasukan dan kekuatan Atjeh tetapi juga sekaligus (prsikologis) rakyat Atjeh.

Denah lingkungan Kraton Atjeh, 1873 (no.5 masjid)
Dengan hancurnya kraton dan masjid Atjeh, rakyat Atjeh masih tetap bergelora melalui para pemimpinnya dengan cara bergerilya. Ini seakan pengulangan dimana ibukota kerajaan Sisingamangaradja dihancurkan dan lalu mengungsi dengan berperang dengan cara bergerilya. Pemimpin Atjeh dan Sisingamangaradja sudah lama saling mendukung. Sebelum terjadi penyerangan Atjeh banyak hulubalang dari Tapanoeli yang ikut membantu. Bahkan beberapa kelompok pasukan hulubalang dari Mandailing dan Angkola terutama dari Afdeeling Padang Lawas terdeteksi di Sibolga dan Singkel dalam perjalanan menuju Atjeh (sebagaimana diberitakan di surat kabar).

Perang Atjeh telah membuka jalan untuk pembentukan otoritas pemerintah Belanda di Kotaradja (kini Banda Aceh). Namun perang itu sendiri meninggalkan kesan yang belum selesai dianggap telah berlebihan. Para humanis Belanda terus protes. Anehnya penduduk pribumi di Hindia Belanda hanya berdiam diri kecuali di beberapa wilayah dan beberapa orang termasuk Willem Iskander.

Masjid Atjeh sebelum dihancurkan (1874)
Untuk memulihkan kondisi (psikologis) penduduk Hindia Belanda khususnya di Atjeh, muncul gagasan (entah siapa yang memulai) coba merangkul rakyat Atjeh dengan inisiatif membangun kembali masjid Atjeh. Iklan pengumpulan dana di surat kabar. Dalam tempo singkat terkumpul dana yang cukup besar untuk membangun masjid Atjeh yang sangat modern. Ternyata dana pembangunan ini tidak terpakai habis, sisanya kemudian dialokasikan untuk merenovasi masjid Bandoeng (1876). Mengapa Bandoeng? Sulit diketahui. Namun secara historis sejak koffiestelsel 1830 penduduk Preanger sangat menderita dan muncul kegelisahan. Boleh jadi ini alasannya, idem dito, dengan pembangunan (kembali) masjid Atjeh.

Sementara Perang Atjeh (Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien) dan Perang Batak (Sisingamangaradja) berlangsung (bergerilya) sejumlah persoalan belum selesai di Laboehan Batoe, Asahan, Batoebara, Deli dan Tamiang. Dalam hubungan ini peran Radja Boerhanoedin, Komandan di Batavia dikirim (lagi) ke Pantai Timur Sumatra sebagai pejabat pemerintah pusat dengan titel  Komisaris Jenderal Deli dan Atjeh. Tampaknya tugas Radja Boerhanoedin ini dimaksudkan untuk memperkuat teritori dengan pembentukan sturuktur pemerintahan sipil yang berada di sisi luar daerah operasi militer (DOM). Daerah operasi militer Belanda saat itu yang masih tersisa di Hindia Belanda adalah di Atjeh pedalaman dan di utara danau Toba.

Radja Boerhanoedin memainkan peran penting di Batoebara karena kekosongan kepemimpinan sambil membentuk pemerintahan. Radja Boerhanoedin sedikit kesulitan di wilayah Asahan dan Laboehan Batoe. Namun pada akhirnya dapat diselesaikan. Asahan berhasil dibentuk pemerintahan, lalu Laboehan Batoe. Dalam hubungan ini Kota Pinang dipisahkan dari Afdeeling Padang Lawas (Tapanoeli) dan dimasukkan ke Laboehan Bator. Dua lanskap diantara Asahan dan Laboehan Batoe (yang dulu ditemukan keturunan emigran Soetan Mangedar Alam) yang tidak masuk Asahan dan juga tidak masuk Laboehan Batoe, meski mereka ingin membentuk pemerintahan sendiri, akhirnya dimasukkan ke Laboehan Batoe. Tokoh yang terkenal dalam menyelesaikan wilayah sisi terjauh Tapanoeli dan sisi terjauh Sumatra Timur adalah Dr. Angan yang sejak lama bertugas di wilayah tersebut sebagai pensiunan dokter pemerintah. Jasanya diperlukan dalam kasus perkuatan struktur pemerintah di wilayah tersebut yang boleh jadi bekerjasama dengan Radja Boerhanoedin. Dr. Angan adalah adik kelas Willem Iskander, alumni Docter Djawa School). Dr. Angan adalah teman Dr. Asta (siswa kedokteran pertama dari luar Jawa). Persoalan di Deli adalah penyelesaian kisruh lahan dimana Sultan Deli mengokupasi lahan penduduk dengan memberi konsesi kepada para planter dimana muncul perlawanan dari penduduk Batak di hulu sungai Deli yang dipimpin oleh Datuk Sunggal (terkenal dengan Perang Sunggal). Sedangkan di Tamiang tidak dalam hal konsesi lahan perkebunan tetapi perihal yang terkait dengan ditemukannya pertambangan minyak. Perlawanan penduduk yang dipimpin oleh para pemimpin Tamiang dilakukan dengan pengerahan militer seperti di Sunggal. Perang di Tamiang (yang dikenal sebaga Perang Tamiang) ini membawa korban banyak di kedua belah pihak. Dalam perang Tamiang ini (1893), Radja Sabaroedin sudah tua dan tinggal di Batavia sebagai Komandan Distrik. Yang menggantikan peran Radja Boerhanoedin di Tamiang adalah anaknya Radja Sabaroedin (yang juga kemudian mendapat bintang).

Setelah perlawanan yang berlarut-larut di Toba dan Atjeh akhirnya Belanda berkuasa penuh di seluruh wilayah. Di Atjeh Teuku Umar melanjutkan perang dengan cara bergerilya. Beberapa kali Teuku Umar menyerah dengan bekerjasama dengan Belanda. Dalam perlawanan yang terakhir, Teuku Umar tewas tertembak di Meulaboeh dan meninggal 11 Februari tahun 1899. Perlawanan Teuku Umar dilanjutkan istrinya Tjut Nyak Dhien, Namun pada akhirnya Tjut Nyak Dhien berhasil ditangkap (1905) lalu diasingkan ke Jawa (1906) dan pada tahun 1908 meninggal dunia.

Perang Atjeh dan Perang Batak relatif bersamaan. Sisingamangaradja  terus melakukan perlawanan tanpa henti dan konsisten. Tidak sekalipun mau bekerjasama dengan Belanda. Sisingamangaradja tidak hanya berperang dengan Belanda (yang dibantu pasukan pribumi), tetapi Sisingamangaradja juga harus mempertahankan eksistensinya dari penduduk Batak karena dianggap beberda agama/kepercayaan. Pengaruh Nommensen, misionaris Kristen di Bataklanden (Silindoeng dan Toba) sangat kuat dan bahu membahu dengan Belanda untuk menghancurkan Sisingamangaradja. Akhirnya Sisingamangaradja XII tewas tertembak militer Belanda dan meninggal pada tanggal 17 Juni 1907 di Dairi (utara danau Toba). Habis sudah perlawanan heroik dari Sisingamangaradja XII (tampaknya tidak ada yang menangisinya kecuali para pengikut setianya yang memiliki kepercayaan yang sama). Meski demikian, Sisingamangaradja harum namanya, sebab perlawanan heroiknya hingga tetes darah penghabisan dan tidak pernah sekalipun menyerah. Sisingamangaradja benar-benar pahalawan sejati Indonesia, pahlawan Indonesia yang terakhir (The Last of the Mohicans Indonesia).

Berakhirnya Perang Atjeh dan Perang Batak maka berakhir pula perang Belanda di Indonesia. Mengapa disebut Indonesia, sebab pada tahun tewasnya Sisingamangaradja XII sudah muncul di berbagai tempat terutama di kota-kota besar kebangkitan bangsa Indonesia. Seperti di Padang muncul tahun 1900 organisasi kebangsaan yang disebut Medan Perdamaian yang digagas oleh Dja Endar Moeda. Lalu setahun setelah wafatnya Sisingamangaradja XII muncul organisasi mahasiswa kebangsaan di Belanda tahun 1908 yang digagas oleh Soetan Casajangan.

Berakhirnya Perang Atjeh dan Perang Batak dan tewasnya tidak The Last of the Mohicans Indonesia, Sisingamangaradja XII, maka babak baru perjuangan bangsa Indonesia dimulai. Tidak lagi dengan senjata tetapi dengan otak.

Para pemimpin Indonesia yang mulai banyak terdidik dengan pendidikan modern, strategi perjuangan berubah total: dari senjata bergeser dengan pemikiran yang jernih baik melalui pena yang tajam maupun organisasi yang revolusioner diantaranya: di Padang, Dja Endar Moeda mulai menyuarakan ketidakadilan (1898-1910), di Medan, Mangaradja Salamboewe idem dito menyuarakan ketidakadilan (1902-1908) dan di Belanda, Soetan Casajangan idem dito menyuarakan ketidakadilan (1907-1913). Ketiga tokoh ini murid Charles Adriaan van Ophuijsen, yang sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean.  

Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe mengawali karir sebagai penulis di Kantor Residen di Sibolga dan lalu menjadi Djaksa di Natal. Akan tetapi baru satu tahun jabatan ini ditinggalkannnya dan dipecat. Hasan Nasoetion lalu hijrah ke Medan dan menjadi editor Pertja Timor tahun 1902 (wartawan pemberani). Mangaradja Salamboewe adalah anak dari Dr. Asta (dokter pribumi pertama dari luar Jawa). Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah pendiri organisasi kebangsaan Indonesia pertama, Indisch Vereeniging di Belanda, Soetan Casajangan adalah anak dari Maharadja Soetan, kepala koeria Batoenadoea Padang Sidempoean yang pernah menjadi asisten Demang di Weltevreden (semasa Radja Boerhanoedin sebagai Komandan di Distrik Batavia). Maharadja Soetan sendiri adalah murid pertama Willem Iskander di Kweekschool Tanobato.

Berakhirnya Perang Atjeh dan Perang Batak meninggal penderitan yang mendalam di Atjeh dan Toba. Penduduk hidup susah dan kemiskinan di mana-mana, anak usia sekolah tidak bersekolah dan dunia luar tidak terinformasikan sama sekali. Pembentukan pemerintah secara perlahan dibenahi agar roda pemerintahan berjalan sebagaimana di daerah-daerah lain. Rekonstruksi terutama di Atjeh segera dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah sekitar. Untuk itu, pejabat, guru dan dokter adalah Mandailing dan Angkola dilibatkan. Mengapa harus dari Angkola dan Mandailing?

Guru-guru Tapanoeli yang dikirim ke Atjeh antara lain Mohammad Taib ke Kroeng Raba. Mohammad Taib kelak dikenal sebagai ayah dari SM Amin Nasution, kelahiran Atjeh yang menjadi Gubernur Sumatra Utara pertama; Aden Lubis, kelak dikenal sebagai ayah dari Kolonel Zulkifli Lubis (Kepala Intelijen RI pertama); Madong Lubis, kelak dikenal sebagai ahli Bahasa Melayu yang menjadi Bahasa Indonesia. Di bidang pers, untuk mencerdaskan bangsa, Dja Endar Moeda, setelah diusir Belanda dari Padang karena delik pers lalu hijrah dan mendirikan surat kabar Pembrita Atjeh di Kotaradja (Banda Aceh) pada tahun 1909. Dja Endar Moeda sendiri pernah menjadi guru di Singkel (sebelum hijrah ke Kota Padang). Pejabat-pejabat Tapanoeli tidak hanya dikirim ke Riaouw, Sumatra Timur dan Djambie, tetapi juga sangat banyak dikirim ke Atjeh, diantaranya: Djamin Soripada dikirim ke Sabang, kelak dikenal sebagai ayah dari Amir Sjarifoedin kelahiran Medan 1907 (Perdana Menteri RI); Mangaradja Gading dikirim ke Djambie, ayah dari Abdul Hakim Harahap kelahiran Saroelangoen 1907 (Wakil Perdana Menteri dan Gubernur Sumatra Utara keempat); Radja Panoesoenan, kelak dikenal sebagai ayah Mochtar Lubis, kelahiran Soengai Penoeh, 1922. Radja Panoesoenan sebelum ke Djambie adalah pegawai di Bengkalis dan di Medan. Tentu saja guru-guru lainnya dikirim ke Silindoeng dan Toba antara lain: Soetan Martoewa Radja (ayah MO Parlindoengan) ke Taroetoeng; Soetan Casajangan ke Dolok Sanggoel (HIS); GB Joshua Batoebara ke Balige (HIS). Sudah barang tentu guru, dokter dan pejabat serta jurnalis yang ditempatkan atau merantau ke Deli dan sekitarnya (Sumatra Timur). Jumlah mereka yang berasal dari Mandailing dan Angkola sangat banyak jumlahnya dan menjadi dominan di Medan dibanding dari daerah lain. Ini terutama setelah Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra's Westkust. Yang pertama terindentifikasi Sjech Hadjie Ibrahim yang bahkan sudah berada di Deli sejak tahun 1875 (saat Medan menjadi ibukota kecamatan). Sjech Hadjie Ibrahim diangkat sebagai kepala kampong Kesawan (kepala kampong pertama di Medan). Pejabat terawal yang ada di Medan yang berasal dari Mandailing dan Angkola adalah Soetan Goenoeng Toea (kakek Amir Sjarifoeddin) tahun 1885. .

Last but not least: Sebagaimana, guru, dokter dan pejabat serta jurnalis pers, di bidang politik juga tidak terkecuali. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, penilik sekolah di Medan menjadi anggota dewan kota pertama Kota Medan dari kalangan pribumi yang dipilih (pilkada) tahun 1918. Sementara di Atjeh sendiri hal ini dimulai ketika Residentie Atjeh dibentuk, Yang mana residentie yang masih tergolong baru ini diubah struktur wilayahnya dimana Afdeeling Singkel yang sebelumnya masuk Residentie Tapanoeli dimasukkan ke Residentie Atjeh, demikian juga dengan Afdeeling Tamiang dimasukkan ke Residenti Atjeh. Lalu pada pemilu kedua (1924) untuk menentukan wakil ke dewan pusat (Volksraad) di Batavia. Sumatra dibagi menjadi empat dapil: Oost Sumatra, West Sumatra, Zuid Sumatra dan Noord Sumatra (masing-masing dapil memilih satu orang untuk ke Volksraad).  Dapil Noord Sumatra merupakan gabungan Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh (penggabungan ini karena kedekatan emosional secara historis). Komposisi dapil ini berlangsung hingga era kolonial di Indonesia berakhir.

Pada pemilu 1924, semua suara Atjeh diberikan kepada Dr. Alimoesa. Demikian juga pada pemilu-pemilu selanjutnya suara dari Atjeh diberikan kepada Dr, Abdoel Rasjid (yang terpilih tiga periode).  Alimoesa Harahap dan Abdoel Rasjid adalah kelahiran Padang Sidempoean. Untuk dapil Oost Sumatra (Sumatra Timur) dimenangkan oleh Mr. Mangaradja Soeangkoepon (empat priode terpilih mewakili dapil Sumatra Timur). Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, alumni Belanda adalah abang dari Dr, Abdoel Rasjid. Mengapa Atjeh memberikan suara sepenuhnya kepada kandidat asal Mandailing dan Angkola? Apakah karena banyaknya guru, dokter, jurnalis dan pejabat asal Mandailing dan Angkola yang membantu rakyat Atjeh pasca perang? Ataukah karena Willem Iskander pernah membela Atjeh dan memprotes Belanda karena melancarkan serangan frontal terhadap Atjeh?

 
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar