Senin, 09 Oktober 2017

Sejarah Kota Padang (43): Promosi Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia Bermula di Pantai Barat Sumatra; Peran Awal Guru-Guru Asal Padang Sidempuan

Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia tidak dibangun dalam tempo singkat. Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia mengikuti jalan evolusi. Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia diproklamasikan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dinyatakan sebagai hasil keputusan Kongres Pemuda. Meski Bahasa Indonesia sudah dinyatakan sebagai bahasa persatuan (nasional) orang Indonesia, tetapi dalam kenyataannnya di awal proklamasi Bahasa Indonesia belum diterima sepenuhnya dalam kehidupan nyata. Kini, Bahasa Indonesia tidak terbantahkan lagi. Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa nasional Republik Indonesia tetapi juga telah menjadi bahasa internasional.

Sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean (sejak 1879)
Pada bulan Oktober setiap tahun dijadikan sebagai bulan bahasa (Indonesia) secara nasional. Penetapan bulan Oktober sebagai bulan bahasa di Indonesia mengacu pada Proklamasi Bahasa Indonesia tanggal 28 Oktober 1928.

Lantas bagaimana awal mula pembentukan Bahasa Melayu sehingga pada akhirnya terbentuk Bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, dinamika penggunaan Bahasa Melayu di Kota Padang memainkan peran penting dalam mewujudkan promosi Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Namun satu hal, ternyata orang Mandailing dan Angkola (Padang Sidempoean) tidak sedikit perannya dalam mempromosikan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan Bahasa Melayu (daerah) menjadi Bahasa Indonesia (Nasional). Bagaimana itu terjadi? Mari kita telusuri. Kronologis ringkasnya sebagai berikut:
Penyusun Tata Bahasa Melayu (Maleische spraakkunst) yang terkenal adalah Charles Adrian van Ophuijsen yang diterbitkan pada tahun 1910. Beberapa tahun sebelumnya (1902) ejaan yang diusulkannya diadopsi pemerintah yang dikenal sebagai ejaan van Ophujisen. Pada tahun 1904 van Ophuijsen diangkat sebagai dosen (guru besar) di Universitas Leiden dalam bidang bahasa Melayu. Charles Adrian van Ophuijsen sebelumnya adalah Inspektur Pendidikan di Provinsi Pantai Barat Sumatra (Province Sumatra’s Westkust) yang selama delapan tahun menjadi guru di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoen dari tahun 1881-1889) yang mana lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Salah satu mantan murudnya, guru di Padang Sidempoenan, Soetan Casajangan menyusulnya ke Belanda tahun 1905 untuk studi dalam mendapatkan akta guru sekolah. Sambil kuliah Soetan Casajangan turut membantu van Ophuijsen dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universitas Leiden. Revitalisasi studi dan pengajaran Bahasa Melayu ini didorong oleh Dr. A. Fokker yang datang ke Padang pada tahun 1903 untuk membicarakan soal media dengan Dja Endar Moeda. Dalam tahun itu Fokker mengajak Dja Endar Moeda dan Dr. A. Rivai, dua pribumi terpelajar berkunjung ke Belanda. Sepulang dari Belanda Dja Endar Moeda berpartner dengan Fokker, sebagai koresponde surat kabar (bulanan) Bintang Hindia yang dikelola Fokker di Amsterdam. Saat itu Dja Endar Moeda sudah memiliki tiga media di Pantai Barat Sumatra (Pertja Barat, Tapian Na Oeli dan Insulinde). Sementara Dr. A. Rivai langsung menetap di Belanda untuk menggantikan Fokker sebagai editor Bintang Hindia. Dja Endar Moeda, mantan guru dan pemilik sekolah swasta di Padang (1895) adalah mantan murid Charles Adrian van Ophuijsen dan kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda, sebagai editor Pertja Barat yang terbit di Padang tahun 1898. Sebagaimana dilaporkan surat kabar Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898 Dja Endar Moeda mengusulkan agar di sekolah pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda. Pernyataan Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran Sumatra Courant mengkonfirmasi Menteri Pendidikan di Batavia. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang terjadi di sekolah guru’. Ini mengindikasikan bahwa Charles Adrian van Ophuijsen, Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan adalah pegiat generasi pertama dalam pengajaran Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Ayah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan adalah murid-murid Willem Iskander di Kweekschool Tanobato (Afdeeling Mandailing en Angkola). Sebagaimana diketahui, Willem Iskander adalah siswa pertama pribumi studi ke Belanda tahun 1857 dan setelah lulus dan mendapat akta guru tahun 1861 kembali ke kampung halaman dan mendirikan Kweekschool Tanobato (1862). Kweekschool pertama di Sumatra berada di Fort de Kock didirikan tahun 1856 (setahun sebelum Willem Iskander berangkat ke Belanda). Pendiri Kweekschool Fort de Kock adalah JAW van Ophuijsen (ayah Charles Adrian van Ophuijsen), mantan Controleur Natal yang kemudian menjadi Asisten Residen berkedudkan di Fort de Kock. Pada tahun 1864, Inspektur Pendidikan Nasional (JA van der Chijs) berkunjung ke Kweekschool Tanobato. Laporan Chijs dari Tanobato membuat heboh di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) karena Kweekschool Tanobato terbaik dan Kweekschool Fort de Kock tidak pantas menyandang nama sebagai kweekschool. Satu hal dalam laporan ini, menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola. Singkat kata: atas prestasi Willem Iskander, pemerintah di Batavia menetapkan untuk membimbing tiga guru (Soerono dari Soerakarta, Sasminta dari Madjalengka dan Barnas dari Tapanoeli) untuk studi ke Belanda sementara Willem Iskander melanjutkan studinya untuk mendapatkan akta kepala sekolah yang akan diproyeksikan menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1879. Namun keempat pribumi ini tidak kembali karena satu persatu meninggal dunia. Sementara itu, pada November 1876 seorang alumni Belanda diangkat sebagai panitera di kantor Controleur di Panjaboengan, Afdeeling Mandheling en Ankola. Di tempat baru ini Charles justru jatuh hati dan belajar sendiri (otodidak) dalam bidang sastra dan kebudayaan Batak. Rupanya perilaku dan kemampuan belajar otodidak Charles ini diketahui oleh Menteri Buijs yang tengah berkunjung ke Panjaboengan lalu menawarkan apakah Charles dengan bakat dan kemampuannya itu bersedia untuk menjadi guru di sekolah Kweekschool. Sekolah yang dimaksud Pak Menteri membutuhkan guru Eropa yang akrab dengan satu atau lebih bahasa asli dan etnologi di Nederlandsche Indie. Profesi ini sangat jarang dan Charles tidak keberatan, malah sangat bersemangat. Jalan hidup Charles yang sebenarnya kini muncul ke permukaan di daerah terpencil di Mandheling en Ankola. Lalu Charles Adriaan van Ophuijsen diuji sebagai guru di depan komisi pendidikan (1879). Laporan yang dipertahankannya di depan sidang komisi pendidikan berjudul 'Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Kehidupan Kekeluargaan Orang Batak). Setelah dinyatakan lulus Charles ditempatkan di Probolinggi. Pada tahun ini juga (1879) Kweekschool Padang Sidempoean akhirnya dibuka dengan direktur pertama LK Harmsen (pengganti Willem Iskander). Harmsen sebelumnya ditempatkan kali pertama (guru dari Belanda) di Kweekschool Fort de Kock sambil menunggu penempatan permanen ke Kweekschooll Padang Sidempoean. Charles Adriaan van Ophuijsen sebagai peneliti dan guru muda bahkan diangkat menjadi anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (semacam perhimpunan ilmu dan pengetahuan) di Batavia tahun 1880. Pada tahun 1881 Charles Adriaan van Ophuijsen lalu dipindahkan dari Probolinggo ke ke Kweekschool Padang Sidempoean (sebagaimana yang diinginkannya). Saat itu JW van Haastert adalah direktur Kweekschool Padang Sidempoean yang untuk sementara menggantikan Mr. Harmsen yang sudah beberapa waktu sakit (dan kembali ke Belanda). Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-09-1882: ‘C.A. van Ophuijzen mengajar bahasa Melayu di Kweekshool Padang Sidempoean dengan mendapat tunjangan sebesar 50 Gulden per bulan di atas gajinya’. Pada tahun 1883 Mr. Haastert dimutasi ke Probolinggi, dan posisi yang ditinggalkannya dipromosikan Charles Adriaan van Ophuijsen menjadi Direktur Kweekshool Padang Sidempoean. Salah satu alumni pertama di sekolah guru Padang Sidempoean ini adalah Saleh Harahap yang kelak dikenal sebagai Dja Endar Moeda (Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda). Sebagaimana kelak kita lihat guru-guru asal Padang Sidempoean memainkan peran dalam promosi Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia: Radja Goenoeng berhasil melakukan reformasi pendidikan pribumi di Sumatra (1915) yang diangkat menjadi penilik sekolah di Sumatra Timur yang berkedudukan di Medan (1916-1920) dan pribumi pertama di Sumatra anggota dewan di gemeenteraad Kota Medan; Mohammad Taif (ayah SM Amin Nasoetion, Gubernur pertama Sumatra Utara) sebagai penilik sekolah di Riau yang berkedudukan di Tandjong Pinang); Emil Harahap, mantan murid Soetan Casajangan yang menjadi guru di Depok yang menulis buku Arti Logat Bahasa Melajoe (terbit 1917); Soetan Casajangan, Direktur Normaal School di Meester Cornelis (1920-1929); Armijn Pane dan Sanusi Pane (anak guru Soetan Pangoerabaan Pane di Padang Sidempoean); Soetan Goenoeng Moelia (anak seorang guru di Padang Sidempoean) yang menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua (menggantikan Ki Hadjar Dewantara) dan Madong Loebis, Ketua Panitia dan guru senior Bahasa Indonesia dalam Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan tahun 1954.
Studi Awal Bahasa Melayu di Mandailing dan Angkola

Bahasa Melayu sudah sejak lama menjadi bahasa pengantar di pusat-pusat keramaian seperti pusat transaksi dagang dan pelabuhan. Bahasa Melayu yang sudah menjadi lingua franca juga dengan sadar diadopsi oleh Belanda sebagai bahasa pengantar agar komunikasi orang-orang Belanda dengan penduduk pribumi yang berlainan etnik (dan bahasa)  menjadi efektif.

Pada fase permulaan ini, penggunaan Bahasa Melayu baru sekadar komunikasi lisan, sangat jarang digunakan sebagai bahasa tulisan karena belum adanya tata bahasa (grammar) yang dijadikan rujukan dalam penulisan. Bahkan dalam buku Almanak tahun 1811 hanya terdapat sebatas kosa kata (dictionary) dan terjemahannya dalam Bahasa Belanda. Daftar kosa kata di dokumen Belanda diduga kuat bersumber dari buku William Marsden. Singkat kata: Bahasa Melayu belum ada yang mempelajarinya secara mendalam (komprehensif).

Studi tentang bahasa (etnik) di Hindia Belanda sesungguhnya baru dimulai di Tanah Batak. Ini sehubungan dengan kebutuhan lembaga misionaris untuk menerjemahkan Injil ke dalam Bahasa Batak. Tugas ini dilakukan oleh N. Van der Tuuk tahun 1850an yang diawali dengan pembuatan kamus dan tata Bahasa Batak dalam aksara Latin. Tata bahasa hasil karya van der Tuuk ini boleh jadi merupakan tata bahasa (etnik) pertama yang sudah dipelajari dan terdokumentasi untuk digunakan lebih luas.

Ada dua aspek yang diintroduksi dalam hal ini yakni penyalinan kosa kata dari aksara Batak ke aksara Latin dan penyusunan pedoman dalam berbahasa (tata bahasa). Saat itu sangat umum dimana-mana bahasa etnik ditulis dalam aksara lama: aksara Batak di Tanah Batak, aksara Arab di Ranah Minangkabau, aksara Jawa di Tanah Jawa dan Tanah Sunda. Penulis-penulis atau peneliti-peneliti Belanda boleh dikatakan sebagai pionir dalam introduksi dan pengalihan aksara bahasa-bahasa (etnik) ke dalam aksara Latin, seperti halnya di Tanah Batak oleh N. van der Tuuk.

Penerapan aksara Batak dan tata bahasa Batak besar kemungkinan terjadi di afdeeling Mandailing dan Angkola. Sebagaimana diketahui, pada fase studi van der Tuuk ini sudah tersedia sekolah (aksara Latin) di Mandailing dan Angkola dan van der Tuuk sendiri kerap datang dan boleh dikatakan cukup intens van der Tuuk di afdeeling Mandailing dan Angkola. Sebab saat itu, orang Eropa hanya terdapat di Mandailing dan Angkola (Asisten Residen di Panjaboengan dan Controleur di Padang Sidempoean).

Penerapan aksara Latin di sekolah-sekolah di afdeeling Mandailing dan Angkola dikatakan terbilang sukses karena pada tahun 1854 sudah ada dua siswa asal afdeeling Mandailing dan Angkola (Si Asta dan Si Angan) yang mengikuti sekolah kedokteran di Batavia (kelak disebut Docter Djawa School). Dua siswa ini merupakan siswa pertama yang diterima dari luar Jawa. Pada tahun 1857 Si Sati berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Sebagaimana diketahui, Si Sati (yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander) lulus tahun 1861 dan kembali ke tanah air. Di kampong halamannnya di Tanobato (Onderafdeeling Mandailing) Willem Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) tahun 1862. Sekolah guru ini mengasuh calon guru, siswa-siswa terbaik dari sekolah-sekolah yang ada di Afdeeling Mandailing dan Angkola.

Sumatra-courant, 20-09-1871
Sekolah guru Tanobato di bawah bimbingan langsung Willem Iskander ternyata tidak hanya Bahasa Belanda yang diajarkan tetapi juga Bahasa Melayu. Pengajaran bahasa (Belanda dan Melayu) yang dimaksudkan di sekolah guru tersebut sudah barang tentu dengan menggunakan metode (pendekatan) tata bahasa. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Maharadja Soetan, kelak dikenal sebagai ayah daro Soetan Casajangan, pendiri Himpoenan Mahasiswa di Belanda (Indisch Vereeniging), 1908

Buku-buku yang berkaitan dengan sastra dan tata bahasa Melayu sesungguhnya sudah ada. Buku tata bahasa Melayu yang ada masih terbatas (khusus) dan baru ditujukan bagi orang Belanda yang akan bertugas di Hindia Belanda. Pada tahun 1861 terbit kamus bahasa (Melayu-Belanda) dan Tata Bahasa Melayu (Maleische Spraakkunst) di Belanda (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 22-07-1861). Buku-buku ini diduga menjadi bahan rujukan Willem Iskander mengajarkan bahasa Melayu di Kweekschool Tanobato sejak 1862..

Pengakuan adanya pengajaran bahasa Melayu (tata bahasa) di Kweekschool Tanobato ini diumumkan oleh Inspektur Pendidikan, CA van der Chjis. Pada tahun 1864 Chjis melakukan kunjungan ke Tanobato (Mandailing dan Angkola) setelah mengetahui bahwa di Kweekschool Tanobato di bawah asuhan Willem Iskander memiliki metode pengajaran yang baik. Pengakuan CA van der Chjis adalah sebagai berikut:

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini (Afdeeling Mandaling dan Angkola) telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali ke kampungnya. Ketika saya tiba (di Tanobato) disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa, murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda…. Di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non-Melayu di negara (daerah) non-Melayu dengan sangat baik... (selain itu) buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola. saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.

Keberhasilan Willem Iskander dalam bidang pengajaran penduduk pribumi menyebabkan dirinya diminta pemerintah untuk membimbing tiga guru muda untuk studi ke Belanda: Raden Soerono dari Soerakarta, Raden Sasmita dari Madjalengka dan Barnas Lubis dari Tapanoeli.

Para pegiat pendidikan di Padangsch mulai gelisah karena mutu Kweekschool Fort de Kock tidak pernah membaik. Lalu para pegiat ini meminta pemerintah untuk mengangkat Radja Medan, kepala sekolah swasta di Padang untuk diangkat sebagai kepala sekolah di Kweekschool Fort de Kock. Namun permintaan ini ditolak pemerintah.

Namun sangat disayangkan tiga guru muda yang dikirim ke Belanda meninggal dunia dan juga Willem Iskanders sendiri. Lalu kemudian Kweekschool Padang Sidempoean dibuka tahun 1879. Untuk menggantikan posisi Willem Iskander, pemerintah mendatangkan guru dari Belanda LK Harmsen. Sebelum melakukan tugas di Kweekschool Padang Sidempoean (sambil menunggu pembukaan), LK Harmsen terlebih dahulu bertugas sebagai kepala sekolah di Kweekschool Fort de Kock.

Pada saat Kweekschool Tanobato yang ditutup sejak 1874  (sambil menunggu dibukanya sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean tahun 1879) pada November 1876 seorang alumni Belanda diangkat sebagai panitera di kantor Controleur di Panjaboengan, Afdeeling Mandheling en Ankola. Di tempat baru ini Charles justru jatuh hati dan belajar sendiri (otodidak) dalam bidang sastra dan kebudayaan Batak. Rupanya perilaku dan kemampuan belajar otodidak Charles ini diketahui oleh Menteri Buijs yang tengah berkunjung ke Panjaboengan lalu menawarkan apakah Charles dengan bakat dan kemampuannya itu bersedia untuk menjadi guru di sekolah Kweekschool. Sekolah yang dimaksud Pak Menteri membutuhkan guru Eropa yang akrab dengan satu atau lebih bahasa asli dan etnologi di Nederlandsche Indie. Profesi ini sangat jarang dan Charles tidak keberatan, malah sangat bersemangat. Jalan hidup Charles yang sebenarnya kini muncul ke permukaan di daerah terpencil di Mandheling en Ankola. Lalu Charles Adriaan van Ophuijsen diuji sebagai guru di depan komisi pendidikan (1879). Laporan yang dipertahankannya di depan sidang komisi pendidikan berjudul 'Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Kehidupan Kekeluargaan Orang Batak). Setelah dinyatakan lulus Charles ditempatkan di Probolinggi.

Pada tahun 1879 Kweekschool Padang Sidempoean akhirnya dibuka dengan direktur pertama LK Harmsen (pengganti Willem Iskander). Harmsen sebelumnya ditempatkan kali pertama (guru dari Belanda) di Kweekschool Fort de Kock sambil menunggu penempatan permanen ke Kweekschooll Padang Sidempoean.

Charles Adriaan van Ophuijsen sebagai peneliti dan guru muda bahkan diangkat menjadi anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (semacam perhimpunan ilmu dan pengetahuan) di Batavia tahun 1880.

Pada tahun 1881 Charles Adriaan van Ophuijsen dipindahkan dari Probolinggo ke ke Kweekschool Padang Sidempoean (sebagaimana yang diinginkannya). Saat itu JW van Haastert adalah direktur Kweekschool Padang Sidempoean yang untuk sementara menggantikan Mr. Harmsen yang sudah beberapa waktu sakit (dan kembali ke Belanda).

Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-09-1882: ‘C.A. van Ophuijzen mengajar bahasa Melayu di Kweekshool Padang Sidempoean dengan mendapat tunjangan sebesar 50 Gulden per bulan di atas gajinya’.

Pada tahun 1883 Mr. Haastert dimutasi ke Probolinggi, dan posisi yang ditinggalkannya dipromosikan Charles Adriaan van Ophuijsen menjadi Direktur Kweekshool Padang Sidempoean. Salah satu alumni pertama di sekolah guru Padang Sidempoean ini adalah Saleh Harahap yang kelak dikenal sebagai Dja Endar Moeda (Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda).

Lantas bahasa apa yang digunakan di Kweekschool Padang Sidempoean? Yang digunakan adalah Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda. Salah satu mata pelajaran adalah Bahasa Batak. Pada saat inilah Charles Adrian van Ophuijsen terus mempelajari Bahasa Melayu dengan perbandingan Bahasa Batak beserta askara Batak dan Bahasa Minangkabau (aksara Arab).

Charles Adrian van Ophuijsen sendiri terhitung selama delapan tahun menjadi guru di Padang Sidempoean, lima tahun terakhir sebagai direktur Kwekshool Padang Sidempoean. Alasan Charles Adrian van Ophuijsen tidak lagi menjadi direktur sekolah karena diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Pantai Barat (Sumatra Sumatra’s Westkust) yang berkedudukan di Padang. Pengajaran bahasa Melayu yang sistematis dan komprehensif di Kweekschool Padang Sidempoean (yang notabene juga sebagai lanjutan dari pengajaran bahasa Melayu di Kweekschool Tanobato) dapat dianggap berhasil. Ini terbukti banyaknya guru alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang menjadi penulis (sebagaimana guru-guru alumni Kweekschool Tanobato yang juga banyak menjadi penulis). 

Beberapa mantan siswa Charles Adrian van Ophuijsen yang kelak menjadi penulis dan terkenal adalah Dja Endar Moeda (penulis buku pelajaran, pengarang novel dan editor surat kabar), Dja Endar Bongsoe (penulis buku pelajaran dan editor surat kabar), Soetan Casajangan (penulis makalah, editor surat kabar dan penulis buku umum), Soetan Martoewa Radja (penulis buku pelajaran, buku umum dan novel) dan Mangaradja Salamboewe (penulis di kantor Residen dan editor surat kabar).

Dja Endar Moeda: Bahasa Melayu vs Bahasa Belanda

Meski sebagai pejabat, namun Charles Adrian van Ophuijsen tidak lupa terhadap studi Bahasa Melayu. Dengan pengalaman dalam studi Bahasa Batak dan (kemudian) studi Bahasa Minangkabau, Charles Adrian van Ophuijsen merintis penulisan tata bahasa Bahasa Melayu. Saat Charles Adrian van Ophuijsen menjadi pejabat Inspektur Pendidikan Pantai Barat Sumatra di Padang, salah satu mantan muridnya di Kweekschool Padang Sidempoean, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda hijrah ke Kota Padang untuk membuka sekolah swasta karena terbatasnya sekolah pemerintah tahun 1895. Menjadi editor sejak 1897. Saat ini (1897) Dja Endar Moeda mengajukan usul agar Bahasa Melayu dijadikan sebagai pengantar di sekolah-sekolah. Usulan ini mendapat reaksi dari Gubernur Jenderal di Batavia.

Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat dan percetakannya pada tahun 1900. Pada tahun akuisisi ini juga Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu Tapian na Ooeli dan majalan Insulinde. Pada tahun 1902 salah satu siswanya di Kweekschool Padang Sidempoean, Hasan Nasoetion gelar Mengaradja Salamboewe diangkat menjadi editor surat kabar berbahasa Melayu di Medan, Perja Timor. Ini berarti dua mantan murid Charles Adrian van Ophuijsen menjadi dua orang pribumi pertama yang menjadi editor surat kabar (Dja Endar Moeda tahun 1897 dan Mangaradja Salamboewe tahun 1902).

Dengan berbekal pengalaman sebagai guru, kepala sekolah dan peneliti bahasa (Batak, Melayu dan Minangkabau) menjadi password Charles Adrian van Ophuijsen yang kemudian diangkat menjadi dosen di Universiteit Leiden.

Salah satu hasil karya Charles Adrian van Ophuijsen sebelum berangkat ke Belanda untuk menjadi dosen adalah pengenalan ejaan baku yang dikenal sebagai ejaan van Ophuijsen (1902).

Beberapa tahun setelah Charles Adrian van Ophuijsen mengajar di Universiteit Leiden, pada tahun 1905 tiba di Belanda salah satu muridnya di Kwekshool Padang Sidempoean, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Keberangkatan Soetan Casajangan ke Belanda untuk studi lebih lanjut untuk mendapatkan akta kepala sekolah, suatu akta yang dulu tidak berhasil dicapai Willem Iskander (karena meninggal sebelum selesai studi).

Di Universiteit Leiden Soetan Casajangan, selain studi juga turut membantu gurunya Charles Adrian van Ophuijsen dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Sebagaimana diketahui Soetan Casajangan juga aktif berorganisasi dan bahkan menggagas didirikannya Perhimpoenan (Pelajar) Hindia Belanda (Indisch Vereeniging) tahun 1908.

Charles Adrian van Ophuijsen sebagai guru besar di Universiteit Leiden kemudian menghasilkan sejumlah karya. Hasil karya yang spektakuler adalah buku berjudul Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu) yang diterbitkan tahun 1910. Charles Adrian van Ophuijsen dan Soetan Casajangan telah mempelopori pengajaran Bahasa Melayu secara terstruktur di Eropa (Belanda).

Soetan Casajangan lulus tahun 1912. Sebelum pulang ke tanah air, Soetan Casajangan sempat mengajar Bahasa Melayu di sekolah di , Den Haag (lihat Algemeen Handelsblad, 18-08-1910). Berita ini juga dilansir surat kabar De Sumatra post, 13-09-1910 yang dengan sendirinya berita itu tersiar di kampung halamannya di Padang Sidempoean. Namun berita itu menyebutkan sebagai guru di sekolah Bahasa Melayu pada tingkat HBS di Handelsschool di Haarlem. Ini mengindikasikan bahawa Soetan Casajangan merupakan guru pribumi pertama berlisensi Eropa yang mengajar di Eropa. Saat-saat inilah besar kemungkinan Soetan Casajangan membantu gurunya Charles Adriaan van Ophuijsen dalam pengajaran Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Satu karya Soetan Casajangan adalah yang terbit tahun 1913 di Barn. Pada tahun 1914 Soetan Casajangan pulang ke tanah air. Sebelum penempatannya, sempat mengajar di sekolah Eropa di Buitenzorg dan pada tahun 1915 dipindahkan ke Fort de Kock sebagai guru (dan pada tahun yang sama menerbitkan surat kabar Poestaha di Padang Sidoempoean).

Pada saat Soetan Casajangan mengajar di Buitenzorg tahun 1914/1915 salah satu muridnya (di sekolah dasar Simapil-Apil Padang Sidempoean) bernama Emil Harahap sudah beberapa tahun sebagai guru di Depok. Emil Harahap setelah lulus sekolah dasar melanjutkan studi ke Depok. Besar kemungkinan guru dan murid ini secara intens berdiskusi apakah di Buitenzorg atau di Depok. Pada tahun 1915 Emil Harahap bersama koleganya di Depok D. Iken menerbitkan buku berjudul Arti Kitab Logat Melajoe (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-01-1915).

Buku-buku yang berkaitan dengan sastra dan tata bahasa Melayu sesungguhnya sudah lama bahkan jauh sebelum Charles Adriaan van Ophuijsen studi Bahasa Melayu di Padang Sidempoean. Pada tahun 1861 sudah terbit kamus bahasa (Melayu-Belanda) dan Tata Bahasa Melayu (Maleische Spraakkunst) di Belanda (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 22-07-1861). Buku ini diduga menjadi bahan rujukan Willem Iskander mengajarkan bahasa Melayu di Kweekschool Tanobato tahun sejak 1862. Sementara tata bahasa Melayu pertama pernah muncul tahun 1824 karya George Henrik Wenrlij dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh penerjemah pemerintah C. Van Angelbeek (lihat Bataviasche courant, 10-01-1824). Sedangkan pada saat Charles Adriaan van Ophuijsen merampungkan studi bahasa di Padang Sidempoean, penulis tata bahasa Melayu yang ada saat itu adalah AHL Badings dengan judul bukunya ‘Nieuw Hollandsch-Maleisch en Maleisch-Hollandsch Woordenboek’ dan ‘Spraakkunst der Maleische Taal’ (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 25-02-1891).      

Charles Adriaan van Ophuijsen dikabarkan meninggal dunia di Leiden pada tanggal 15 Februari 1917. Charles Adriaan van Ophuijsen lahir di Solok tahun 1856. Charles Adriaan van Ophuijsen adalah  anak seorang Controleur di Natal bernama RAW Ophuijsen. Lalu RAW Ophuijsen kemudian menjadi Asisten Residen di Padangsch Bovenlanden yang berkedudukan di Fort de Kock. Saat di Fort de Kock, RAW Ophuijsen mendirikan Kweekschool Fort de Kock tahun 1856 (setahun sebelum Si Sati alias Willem Iskander berangkat studi untuk mendapat akte guru ke Belanda tahun 1857).

Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 16-02-1917: ‘Profesor Ch. A. van Ophuysen meninggal tadi malam. Almarhum adalah Komisaris Tinggi dalam Bahasa dan Sastra Melayu dan Berbagai Bahasa Nusantara di Nederlandsch Indie. Prof. van Ophuysen lahir 31 Desember 1854 di Solok (Sumatera) dan menjadi guru pendidikan pribumi di Padang Sidempoean. Setelah mengajar beberapa lama Charles A. Van Ophuijsen mengajar diangkat sebagai Direktur Sekolah Guru Pribumi di Kweekschool Padang Sidempoean dan kemudian sebagai Inspektur Pendidikan di Pantai Barat Sumatra di Padang. Dalam perkembangannya, ia lalu ditawari kesempatan untuk mengajukan studi perbandingan bahasa Melayu dan bahasa lainnya. Pada tahun 1904, ia menerima posisinya sebagai dosen (di Universiteit Leiden) dengan alasan kapasitas pengajar dan peneliti bahasa Melayu. Ada juga banyak karya dan artikel yang dihasilkannya, antara lain Tata Bahasa Melayu (1910) dan buku teks Melayu dengan glossary (1912). Prof. van Ophuysen adalah seorang yang mendapatkan bintang orde Orange-Nassau’.

Kabar meninggalnya Charles Adriaan van Ophuijsen sangat ditangisi oleh penduduk di Pantai Barat Sumatra terutama orang-orang Padang Sidempoean (Mandailing dan Angkola). Charles Adriaan van Ophuijsen tidak hanya banyak kontribusi dalam pendidikan di Mandailing dan Angkola (Padang Sidempoean), juga selama karirnya sebagai guru tidak berhenti meneliti dan mengajar Bahasa Melayu. Tentu saja, saat pemakaman ini turut hadir seorang mahasiswa asal Padang Sidempoean di Belanda, namanya Sorip Tagor Harahap.

Sorip Tagor baru sebulan yang lalu mempelopori didirikannya Sumatranen Bond di Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain di Soematra  (lihat De Sumatra post, 31-07-1919).

Charles Adriaan van Ophuijsen adalah kelahiran Sumatra. Sejak berumur delapan tahun telah meninggalkan rumah orangtuanya di Palembang, pindah sekolah ke negeri Belanda. Charles masuk sekolah dasar berasrama (kostschool) van den Heer Van der Kamp di Hees dekat Nijmegen. Pada umur 11 tahun diterima di sekolah tinggi Hoogere Burgerschool di Nijmegen. Di sekolah ini ada guru fisika terkenal P. Van der Burg. Lalu pada kelas keempat dilanjutkan di Nijmeegsche gymnasium untuk belajar de rechten of in de letteren namun tidak tuntas. Hal ini karena Charles diminta negara untuk mengikuti pelatihan kedokteran untuk ditugaskan di Nederlansch Indie. Sebelum mengikuti ujian akhir, Charles selama tiga tahun (September 1872 sampai Desember 1875) melakukan penelitian ‘médecin malgré lui’.

Parada Harahap, Sanusi Pane dan Armijn Pane

Kongres Pemuda 1928: Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

Proklamasi RI 1945: Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi

Kongres Bahasa Indonesia di Medan 1954: Bahasa Indonesia Berasal Bahasa Melayu

Tunggu deskripsi lengkapanya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar