Sabtu, 12 Oktober 2019

Sejarah Sukabumi (6): Sejarah Parung Kuda di District Tjitjoeroek; Jan Pieter van der Hucht dan Onderneming Parakan Salak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Ibarat roda kereta kuda, kota Parung Kuda adalah poros (as atau sumbu) di District Tjitjoereok pada masa lampau. Lokasi wilayah Parung Kuda yang berada di tengah (strategis) menyebabkan Parung Kuda memiliki dinamikanya sendiri. Dinamika tersebut yang mana kota Parung Kuda berkembang seiring dengan perkembangan perkebunan (onderneming) di Parakan Salak. Oleh karena itu sejarah Parung Kuda tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Parakan Salak. Sejarah Parung Kuda dan sejarah Parakan Salak ibarat roda kereta kuda antara yang kiri dan yang kanan (jika beroda dua); atau ibarat roda belakang dan roda depan (jika beroda empat).

Parakan Salak dan Paroeng Koeda (Peta 1899)
Keutamaan sejarah Parung Kuda tidak hanya karena terhubung dengan perkebunan (onderneming) Parakan Salak, tetapi juga menjadi faktor penting dalam pembangunan jalur kereta api antara Buitenzorg (Bogor) dan Soekaboemi tahun 1881. Pada era perang kemerdekaan (1945-1949) Parung Kuda terkenal karena pertempuran di Bodjong Kokosan. Pada masa ini, adanya halte/stasion kereta api di Parung Kuda juga menjadi faktor penting pengembangan wisata alam di Parakan Salak.
  
Lantas seperti apa awal mula sejarah Parung Kuda? Itu harus kita mulai dari Parakan Salak. Banyak tokoh penting muncul dari Parakan Salak. Yang pertama adalah sang pionier Jan Pieter van der Hucht yang membuka laha Parakan Salak pada tahun 1844. Lalu muncul AW Holle dan G Mundt. Paralel dengan sejarah Parakan Salah dan para tokoh-tokoh tersebut, sejarah Parung Kuda berlangsung. Untuk memahami lebih lanjut mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Jan Pieter van der Hucht: Pionir Onderneming Parakan Salak

Surat kabar yang terbit di Belanda, Algemeen Handelsblad edisi     24-04-1846 memuat berita duka bahwa pada tanggal 31 Januari 1846 di Parakan Salak, di pulau Jawa, setelah sakit singkat, pada usia 48 tahun, Jan Pieter van der Hucht meninggal tidak hanya disesali oleh janda yang nestafa dan delapan anak-anaknya, tetapi juga oleh semua orang yang mengenalnya dan memiliki hubungan dengan dia. Berita duka itu ditulis di Amsterdam, 22 April 1846.

Hampir tiga bulan jarak waktu antara kejadian meninggal di Parakan Salak dengan berita duka di Amsterdam. Pada saat itu pelayaran laut masih melalui Afrika Selatan dari Batavia ke Amsterdam. Lalu lintas Batavia-Buitenzorg memang sudah bisa dengan kereta kuda (roda empat), tetapi jalan pos dari Buitenzorg ke Bandoeng via Gadok dan Tjisaroea hanya dapat dilalui pada musim kerang. Dari persimpangan (sekitar Tjiawie) ke Parakan Salak hanya dapat dilalui dengan kendaraan berkuda. Telekomunikasi jarak jauh juga baru terbatas di Batavia. Koneksi telegraf sendiri dari Batavia ke Buitenzorg baru tersambung pada tahun 1855 (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 22-05-1855).

Di dalam stambuk keluarga Jan Pieter van der Hucht disebutkan lahir tanggal 5 Oktober 1797 di Zierikzee, Belanda. Istrinya Johanna Constanita W Lulofs lahir tahun 1796 dan meninggal tahun 1856. Anak mereka juga disebutkan sebanyak delapan orang. Satu orang anak meninggal pada tahun 1846 dan satu orang meninggal pada tahun 1856. Yang lainnya berumur panjang. Kedelapan anak mereka ini disebutkan semuanya lahir di Amsterdam.

Peta 1840
Yang meninggal tahun 1846 adalah anak yang keenam bernama Bathold Herman (lahir tahun 1834). Namun tidak diketahui meninggal sebelum atau sesudah ayahnya meninggal dan juga tidak diketahui apakah meninggal di Parakan Salak. Pada saat meninggal Bathold Herman sudah berusia 12 tahun. Anak yang bungsu Willem Frederik lahir tahun 1839 dan sudah berumur tujuh tahun pada tahun 1846 (meninggal pada usia 10 tahun 1856 yang pada tahun yang sama sang ibu meninggal). Peta 1840

Dari semua informasi yang ada, hanya keterangan tempat meninggalnya Jan Pieter van der Hucht di Parakan Salak. Sejak kapan (keluarga) van Hucht di Parakan Salak tidak diketahui. Namun demikian, lahan di Parakan Salak (di selatan gunung Salak) belum lama dibuka, dan boleh jadi Jan Pieter van der Hucht adalah de pionier. Lantas apa hubungannya KF Holle yang disebut tokoh penting Preanger dan AW Holle yang kelak menjadi penerus Jan Pieter van der Hucht di lahan Parakan Salak.

Frederik Holle lahir di Amsterdam pada tahun 1829. Pada usia 15 tahun pada tahun 1844 KF Holle bersama keluarganya berangkat ke Hindia Belanda. Beberapa tahun kemudian (1846) KF Holle diangkat sebagai pegawai sebagai schrijver di kantor Residen Preanger di Tjiandjoer dan pada tahun 1847 dipindahkan ke Batavia. Pada tahun 1853 KF Holle dipromosikan menjadi komisi pertama ditempatkan di Batavia (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-06-1888). Tiga tahun kemudian (1857) KH Holle mengundurkan diri sebagai pejabat pemerintah dan beralih jadi ahli bahasa (Soenda) dan mulai melakukan kegiatan yang menantang di Preanger (Limbangan).

Jan Pieter van der Hucht adalah kapten kapal Sarah Johanna yang membawa keluarga Holle dari Amsterdam ke Jawa (Hindia) pada tahun 1844. Pelayaran ini bagi Jan Pieter van der Hucht adalah yang terakhir dilakukannya. Jan Pieter van der Hucht adalah paman (saudara dari ibu) KF Holle sendiri. Seperti disebut di atas, Jan Pieter van der Hucht meninggal pada tanggal 31 Desember 1846 di Parakan Salak. Berdasarkan keterangan ini besar dugaan bahwa istri dan delapan anak-anak Jan Pieter van der Hucht berada di Amsterdam selama dua tahun Jan Pieter van der Hucht.merintis usaha pertanian di Parakan Salak. Hanya surat yang dikirim yang sampai ke Amsterdam, untuk sekadar memberitahu meninggalnya Jan Pieter van der Hucht di Parakan Salak.

Dari keterangan ini, Jan Pieter van der Hucht sebagai pionier terbilang belum lama mengusahakan lahan Parakan Salak (1844-1846). Tanaman yang diusahakan adalah teh. Adik KF Holle yakni AW Holle yang turut dalam pelayaran tahun 1844 adalah orang yang kemudian meneruskan lahan yang telah disuahakan oleh alm Jan Pieter van der Hucht. Pada saat Jan Pieter van der Hucht memiliki lahan Parakan Salak juga Jan Pieter van der Hucht memiliki lahan bersama dengan Pieter Holle di tanah partikelir (land) Bolang (kini wilayah kecamatan Cigudeg, Bogor Barat). Pieter Holle aadalah ayah dari KF Holle dan AW Holle yang turut dalam pelayaran tahun 1844 tersebut. Jan Pieter van der Hucht dan Pieter Holle adalah saudara sepupu.

Keluarga Holle dan Keluarga van Motman

Tanah-tanah partikelir (land) sejak era VOC sidah meluas hingga ke lereng gunung Salak seperti land Srogol (kini Cigombong) dan land Leuwiliang. Pada era pendudukan Inggris (1811-1916) menjual lahan di lereng gunung Gede sebelah selatan (lahan ini kemudian dikenal sebagai land Soekaboemi). Setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa pada tahun 1826 sejumlah district dibentuk di sebelah barat Tjiandjoer (Preanger). District-district tersebut adalah Goenoeng Parang, Tjimahi, Tjiheulang, Palaboehan, Djampang Koelon, Djampang Wetan dan Tjitjoeroek. Lalu pada tahun 1823 muncul kebijakan baru bahwa di wilayah Preanger tidak boleh ada tanah partikelir. Karena itu, land Soekaboemi yang berada di District Goenong Parang dibeli pemerintah dan kemudian diserahkan kepada Bupati Tjiandjoer. Status kepemilikan land Soekaboemi menjadi penyewa. Eks land Soekaboemi inilah yang menjadi cikal bakal Kota Sukabumi yang sekarang.

Peta wilayah Leuwiliang dan Parakan Salak
Sementara Residen berkedudukan di Tjiandjoer, di District Tjitjoeroek ditempatkan seorang Controelur (semacam pembantu Residen). Ibukota District Tjitjoeroek berada di kampong Tjitjoeroek tempat dimana kepal district (Demang) dan Controleur. Kampong Tjitjoeroek cepat tumbuh menjadi kota (kota paling barat di Regentschap Tjiandjoer). District Tjitjoeroek adalah berbatasan lansung dengan tanah-tanah partikelir (land) di Afdeeling Buitenzorg (kini kabupaten Bogor). Land terdekat dari kota Tjitjoeroek adalah land Tjikoppo/Srogol (kini kecamatan Cigombong).

Dalam perkembanganya, seperti disebutkan di atas, pada tahun 1844 Jan Pieter van der Hucht menyewa lahan di kampong Parakan Salak untuk usaha pertanian tanaman teh. Pada waktu yang sama Jan Pieter van der Hucht bersama Pieter Holle (ayah KF Holle) membeli land Bolang (kini kecamatan Cigudeg). Namun kiprah Jan Pieter van der Hucht tidak lama karena tahun 1846 dikabarkan meninggal dunia di Parakan Salak. Pada saat Jan Pieter van der Hucht masih hidup, yang menjadi Administrateur land Bolang adalah Pieter Holle. Lalu kemudian Pieter Holle digantikan oleh sang anak, AW Holle (adik KF Holle).

Tetangga land Bolang adalah land Tjoeroek Bitoeng (Nanggoeng) dan land Sading Djamboe (Djamboe). Dua land ini dimiliki oleh keluarsga van Motman di land Dramaga. Pada tahun 1848 tiga land diantara land Sading Djamboe dan land Dramaga disewa oleh keluarga van Motman dari keluarga van Riemsdijk. Tiga land tersebut adalah land Tjiampea, land Tjoboengboelan dan land Panjawoengan (Leuwiliang).  

Andriaan Walraven Holle menikah dengan putri Jan Casimir Theodoor van Motman bernama Johanna Adriana Louise van Motman. Pada tahun 1852 land Bolang diketahui telah dimiliki oleh FHC van Motman (saudara putri Jan Casimir Theodoor van Motman). Boleh jadi Pieter Holle telah menjual land Bolang karena ingin fokus di Parakan Salak. Lagi pula land tersebut akan tetap dipimpin oleh sang anak, AW Holle (sang menantu dari keluarga van Motman).

Pada tahun 1855 land Bolang dijual keluarga vat Motman karena ingin membeli land baru, land Kedong Badak. AW Holle dan istrinya Johanna Adriana Louise van Motman beserta putra semata wayang Alexander Albert Holle kemudian pindah ke Parakan Salak. AW Holle menggantikan sang ayah. Keberadaan AW Holle di Parakan Salak paling tidak sudah diketahui pada tahun 1861 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-05-1861). Disebutkan AW Holle menjadi salah satu anggota yang hadir dalam pertemuan Dewan Nasional Masyarakat Industri dan Pertanian (NI Maatschappij van Nijverheid en Landbouw) di Buitenzorg.

Secara sosiologis dan psikologis perkembangan perusahaan (onderneming) Parakan Salak lebih condong ke Buitenzorg daripada ke Preanger. Tidak hanya karena adanya relasi keluarga pemilik lahan di Parakan Salak dengan pemilik lahan di Buitenzorg tetapi secara geofrafis Parakan Salak lebih dekat ke Buitenzorg daripada ke Tjiandjoer (Preanger). Namun secara ekonomis, karena hambatan moda transportasi produk-produk dari Parakan Salak ke Palaboehan (Preanger).
  
Onderneming Parakan Salak dan Paroeng Koeda

Meski Tjitjoeroek adalah suatu ibu kota distrixt dan wilayah Preanger paling dekat dengan Buitenzorg, tetapi wilayah Tjitjoeroek dari sudut pandang pemerintah daerah yang ber ibu kota di Tjiandjoer, dipandang sebagai wilayah terpencil. Oleh karena itu koneksi antara Buitenzorg ke Soekaboemi via Soekaboemi tidak masuk dalam perencanaan. Jalan yang ada antara Tjitjoeroek dengan Soekaboemi tidak terlalu terpelihara dengan baik dan koneksi antara Tjitjoeroek dengan Buitenzorg tidak terhubung dengan baik (karena adanya tanah-tanah partikiler antara Tjiawie dan Tjigombong). Dalam situasi ini kampong Tjitjoeroek yang sudah mulai tumbuh menjadi kota, kampong Paroeng Koeda hanya sebuah kampong kecil. Dari kampong kecil Paroeng Koeda inilah akses jalan menuju onderneming Parakan Salak.

Pada era koffiestelsel (era van den Bosh 1830-1833) dimulai di Residentie Preanger, ibu berada di Tjiandjoer. Jalan pos yang dibangun sejak era Daendels (1808-1811) dari Batavia ke Buitenzorg terus ke Tjiandjoer melalui Tjisaroea. Kota Tjiandjoer sebagai pusat jalan akses untuk program koffiestelsel dibuka ke segala arah. Ke arah barat daya dibangun jalan akses utama dari Tjiandjoer ke Soekaboemi. Jalan akses utama ini diteruskan hingga Palaboehan Ratoe. Sedangkan jalan akses sekunder dari Soekaboemi ke arah barat laut menuju Tjitjoeroek melalu Nagrak. Antara nagrak dan Tjitjoeroek terdapat kampong Paroeng Koeda. Antara kampong Paroeng Koeda dengan Parakan Salak adalah jalan pribadi (jalan yang dikembangkan sendiri oleh pemilik lahan Parakan Salak).

Produksi kopi dari program koffiestelsel, pengangkutannya tidak dilakukan melalui jalan pos. Jalan pos hanya digunakan untuk lalu lintas pos dan lalu lintas pergerakan militer. Produksi kopi di sebelah barat Regentschap Tjiandjoer diangkut dan dikumpulkan ke gudang-gudang kopi pemerintah di Soekaboemi, Tjiheulang, Tjikembar, Tjaringin, Bodjong Genteng, Paswahan dan Tjikawoeng dan Sagaranten. Lalu dari gudang-gudang kopi pemerintah ini (termasuk gudang-gudang pemerintah di Tjiandjoer) diteruskan ke Palaboehan untuk diekspor (ke Eropa/Belanda).

Produksi kopi di district Tjitjoeroek dalam hal ini dikumpulkan ke gudang kopi pemerintah di Tjikembar. Sementara pengangkutan garam dari gudang pemerintah di Palaboehan diangkut ke gudang garam pemerintah di Soekaboemi dan Tjiandjoer. Untuk wilayah (onderafdeeling) Soekaboemi garam didistribusikan dari Soekaboemi ke seluruh wilayah melalui pedagang (yang umumnya dilakukan oleh pedagang Tionghoa) termasuk ke Tjitjoeroek.  

Pada tahun 1865 lalu lintas militer mulai diubah yang awalnya melalui Tjisaroea (Megamendoeng) beralih ke arah selatan melalui Tjitjoeroek dan Soekaboemi terus ke Tjiandjoer (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-09-1865). Hal ini karena jalur Tjisaroea dianggap sudah terlalu ramai (baik oleh perjalanan pegawai negeri, investor maupun para pelancong). Pada saat inilah terjadi peningkatan mutu jalan dari Tjiawi ke Tjiandjoer melalui Tjitjoeroek dan Soekaboemi. Perubahan rute militer ini menjadi berkah bagi ibu kota district Tjitjoeroek dan kampong Paroeng Koeda. Pada saat ini onderneming Parakan Salak sudah terkenal dan produksinya diangkut menuju Palaboehan.

Pada tahun 1870 terjadi reorganisasi pemerintahan. Dalam reorganisasi ini Resident Preanger yang sebelumnya berkedudukan di Tjiandjoer dipindahkan ke Bandoeng. Sementara itu status Controleur Soekaboemi yang berkedudukan di Soekaboemi ditingkatkan menjadi Asisten Residen. Dalam reorganisasi ini juga ditempatkan seorang Controleur di Tjitjoeroek. Dengan adanya pemerintahan yang ditingkatkan, district Tjitjoeroek akan tumbuh dan berkembang lebih cepat. Reorganisasi pemerintahan ini juga menjadi berkah bagi Tjitjoeroek dan kampong Paroeng Koeda. Para investor juga akan banyak yang datang (onderneming baru sudah terbentuk di Pakoewon), dan juga para pegawai negeri dan pelancong juga akan mengalir. Lalu lintas jalur Tjiawi ke Soekaboemi melalui Tjitjoeroek (dan kampong Paroeng Koeda) akan semakin ramai. Era baru kampong Paroeng Koeda dimulai. Arus pelancong semakin ramai sehubungan dibukanya jalur kereta api dari Batavia ke Buitenzorh pada tahun 1873.

Dengan berubahnya rute militer (yang sebelumnya via Megamendoeng) dan dibukanya jalur kereta api dari Batavia-Buitenzorg, maka district Tjitjoeroek yang dulu dianggap terpencil dari sudut pandang Tjiandjoer, kini lambat laut district Tjitjoeroek menemukan jalannya sendiri. Tidak lagi berorientasi ke Tjiandjoer, bahkan tidak lagi ke Soekaboemi, tetapi sudah  bergeser ke Buitenzorg.

Pergeseran orientasi penduduk di wilayah district Tjitjoeroek semakin besar lagi sehubungan dengan adanya rencana pembangunan jalur kereta api dari Buitenzorg ke Bandoeng melalui Soekaboemi dan Tjiandjoer. Salah satu halte yang akan dibangun di ruas Buitenzorg-Soekaboemi tepat berada di kampong Paroeng Koeda. Era baru perkembangan kota Paroeng Koeda dimulai. Seperti kita lihat nanti, kampong Paroeng Koeda menjadi kota dan dijadikan sebagai ibu kota onderdistrict Paroeng Koeda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perang Kemerdekaan di Parakan Salak dan Paroeng Koeda

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar