Sabtu, 12 Oktober 2019

Sejarah Sukabumi (7): Situ Gunung, Danau Kecil Tapi Indah di Lereng Gunung Gede Pangrango; Dikenal Sedari Doeloe (1888)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Banyak situ (danau) di Sukabumi, tetapi danau Situ Gunung disitu Gunung Gede Pangrango menawarkan suatu alam yang berbeda (eksotik). Situs ini pernah saya kunjungi tahun 1984 mengikuti rombongan wisata Imatapsel Bogor ketika saya masih kuliah di tahun kedua. Ketua rombongan kami adalah mahasiswa yang tahun sebelumnya pernah KKN di desa dimana situ berada. Wisata alam ini kami adakan hari Sabtu-Minggu dengan membawa tenda besar dipinjam dari Zeni-Bogor (semacam persamilah). Sejak itu, baru ketika menulis artikel ini saya merecall kembali memori tentang alam indah Situ Gunung.

Situ Gunung dan jembatan gantung (Peta 1899)
Danau Situ Gunung berada di desa Gede Pangrango, kecamatan Kadudampit, kabupaten Sukabumi. Nama desa Gede Pangrango adalah baru, seingat saya dulu bukan itu nama desa dimana situ berada (tetapi masuk desa Sukamantri, coba cek Pak Camat Cisaat). Nama kecamatan Kadudampit juga baru, saat itu situ masih termasuk kecamatan Cisaat. Menurut versi Eropa/Belanda sebelum saya ke Situ Gunung, satu abad di masa lampau (1888) danau (meer) Sitoe Goenoeng berada di district Tjimahi. Disebutkan bahwa kampong terdekat dari situ ini pada saat itu adalah kampong Tjibonar (baca: Cibunar).

Namun bukan kunjungan kami itu yang ingin ditulis tetapi adalah kesan para wisatawan Eropa yang mengunjungi Sitoe Goenoeng pada tahun 1888. Boleh dikatakan dari situlah (sejak 1888) sejarah Situ Gunung dimulai. Pada masa ini, berdasarkan informasi di internet, Situ Gunung kini sudah sangat heboh. Bahkan di kampong Pasanggrahan di dekat situ terdapat situs modern yakni jembatan gantung yang tidak kalah eksotiknya dengan situ. Jembatan suspensi Situ Gunung ini panjangnya 250 meter di atas ketinggian 150 meter dari dasar ngarai. Situs wisata ini berada di bawah Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Mari kita kunjungi! Akan tetapi sebelum ke sana mari kita tinjau lebih dahulu sejarahnya berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Situ Gunung dan jembatan gantung (suspensi)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Wisatawan Pertama ke Situ Gunung, 1888

Setelah dibukanya jalur kereta api dari Buitenzorg ke Soekaboemi tahun 1882, arus wisatawan ke Soekaboemi semakin banyak. Lebih-lebih Soekaboemi merupakan destinasi ideal daripada Tjiandjoer jika wistawan datang dari Batavia menuju Bandoeng. Soekaboemi adakalanya menjadi destinasi pendahulu sebelum para wisatawan stay lebih lama di Bandoeng. Itulah keunggulan komparatif Soekaboemi dibanding Tjiandjoer. Soekaboemi sudah mulai bersaing dengan destinasi Buitenzorg.

Cisaat masa kini
Sejak ibukota Residentie Preanger dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandoeng pada tahun 1871, para planter di (afdeeling) Soekaboemi tidak lagi berurusan ke kota Tjiandjoer. Hal ini karena Controleur Soekaboemi juga telah ditingkatkan menjadi Asisten Residen pada tahun 1871. Reorganisasi pemerintahan yang dimulai 1870 telah meneyebabkan Tjiandjoer adalah masa lalu, Soekabomi adalah masa kini.

Pada masa inilah satu per satu keindahan alam Soekaboemi terekspos ke luar, bahkan hingga tempat-tempat terpencil di wilayah yang lebih tinggi di lereng gunung Pangrango dimana Sitoe Goenoeng berada. Tempat yang eksotik menjadi tantangan tersendiri bagi pelancong Eropa yang mampir di Soekaboemi. Pemerintah Soekoeboemi sangat sadar arti penting para pelancong yang singgah di Seokaboemi dan karena itu akses jalan menuju Sitoe Goenoeng juga ditingkatkan sehingga kereta kuda dapat mencapainya. Oleh karena menuju titik GPS Sitoe Goenoeng berada di lereng gunung maka akses jalan hanya bisa dibangun hingga kampong Tjibonar. Selebihnya harus ditempuh selama satu jam dengan jalan kaki atau naik kuda. Mula-mula sedikit mendaki lalu mulai terlihat cekungan yang lebih lebar.

Tjisaat (Peta 1899)
Kesan pertama ini diceritakan oleh seorang pelancong yang tengah menunggu jadwal kapal ke Eropa dari pelabuhan di Batavia dan menyempatkan diri berwisata di seputar Soekaboemi. Kisah pelancong ini dimuat surat kabar Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie pada edisi tanggal 28, 29 dan 30 November 1888. Menurut si pelancong dari hotel tempat penginapannya di Soekaboemi naik kereta kuda dan setelak kantor kepala district belok ke kanan mengikuti jalan lurus dengan kemiringan yang stabil hingga sampai ke kampong Tjiboenar. Pelancong ini ditemani oleh seorang pemandu.  

Saat mulai mendaki wisatawan terkesan karena kaya dengan flora di ketinggian empat ribu kaki. Terlihat tjemara di sana-sini, yang batangnya dibalut lumut dan juga banyak pohon pakis anggun. Seekor burung hitam besar, anggun seperti spesies burung bangau, melayang tampak di kedalaman (jurang). Wisatawan juga memperhatikan disini, untuk pertama kalinya, semacam burung tertentu. Wisatawan bertanya kepada pemandu apa namanya dan mendapat jawaban bahwa itu adalah ‘manuk’ (burung). Wisatawan tidak puas jawaban lalu bertanya lebih lanjut dan pemandu itu menjawab dengan tambahan: ‘manoek goenoeng’. Wisatawan juga tidak menemukan pohon kelapa dan hanya terdapat di arah bawah sana.

Setelah beberapa waktu akhirnya jalan setapak berbelok dan jauh di bawah wisatawan melihat terbentang danau Sitoe Goenoeng, putih dan tenang. Wistawan kemudian mendesktripsikan apa yang diamati dipahaminya. ‘Dalam keindahan, baik dalam bentuk maupun di sekitarnya, lembag ini memiliki sedikit lebih rendah daripada Telaga Patengan, danau pegunungan yang menawan setinggi lima ribu kaki di lereng barat Patuha, situ seperti kuali, dimana dulu berapi dan berasap. Tetapi situ ini (Sitoe Goenoeng) tidak ada jejak aktivitas vulkanik disini, ini dapat dirasakan dari suhu air. Wisatawan menduga terbentuknya situ karena tenggelamnya dasar sebagai dampak yang berasal dari gunung berapi melalui kawah samping gunung Gede. Ini pemandangan yang keren, tidak saya duga begitu decak kagum si wisatawan. Di antara tepian yang tinggi, permukaan air tidak bergerak di kedalaman: tidak ada ikan yang berenang di atasnya, tidak ada burung yang meluncur dengan ujung sayap menyambar ikan. Di area ini tidak ada kesan tempat tinggal manusia yang mencerminkan mereka pernah mengalami banjir, tetapi kopi tampak ditanam. Sebagian besar, dinding bagian dalam cekungan yang indah telah dibersihkan dan ditanami dengan tanaman dan pada bagian yang terjal tampak gundul yang menjadi jatuh hujan ke dalam danau. Hanya bagian terkecil dimana sudut hutan asli masih menempel ke danau. Area danau tampaknya kantong kebun kopi milik pemerintah. Sebelum kopi pohon rasamala mengelilingi danau di semua sisi karena hutan. Besar dugaan sejak zaman Zwaardecroon dan van den Bosch area ini dibuka untuk tanaman kopi. Beberapa pohon rindang besar di pinggir danau dimana terdapat beberapa pondok yang luas yang dilengkapi dengan sebuah meja. Menurut pemandu juga ada yang datang untuk memancing di kedalaman. Pemandu mengatakan kepada saya di situ terdapat ikan mas yang mencapai ukuran yang cukup besar. Terlihat ada rakit yang ditambatkan di depan pondok, sebuah sasak di dua kano, saya diberitahu itu dibuat untuk melayani wedana (kepala distrixt), yang datang ke sini dari waktu ke waktu. Dataran rendah terlihat berawa dan dari situ air danau mengalir ke luar danau diantara semak belukar. Bagi pejalan kaki, yang bergerak sejajar dengan permukaan air, tepiannya tersembunyi di balik tanaman pakis, glagah dan pisang liar. Saya tidak melihat adanya bunga lili air yang dapat dijadikan sebagai penanda di masa lampau adanya bunga suci Buddha. Wisatawan mempertanyakan mengapa seorang dari jajaran Hindu tidak tinggal di sini dengan seorang widodari atau paling tidak seorang pahlawan legenda Jawa bisa ditugaskan di tempat ini. Wisatawan membandingkan danau Njalindoeng (di Tjitjoeroek?) lebih besar dari danau Sitoe Goenoeng.

Keterangan wisatawan ini tidak menjelaskan apakah sudah ada orang Eropa sebelumnya yang datang di danau Sitoe Goenoeng. Meski tidak ada informasi ini, paling tidak diketahui bahwa area Sitoe Goenoeng sudah dikenal sejak lama bahkan pada era van den Bosch (1830-1833) sudah dijadikan sebagai wilayah penananam kopi. Seperti diutarakan pemandu adanya rakit karena kebutuhan kepala district yang kerap mengunjunginya. Adanya pondok di bawah pohon rindang besar dugaan muncul sejak diberlakukannya koffiestelsel pada era van den Bosch.

Setelah tahun 1888, baru tahun 1910 ditemukan kunjungan wisatawan ke Sitor Goenoeng (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-06-1910). Wisatawan ini datang bersama istri dan dua anak. Namun mereka sempat mencak-mencak karena lingkungan yang indah itu tidak ada intervensi pemerintah (Asisten Residen) dalam menyiapkan spot. Apa yang dilihat wisatawan menjadi tidak maksimal. Wisatawan ini juga mengkritisi pemerintah yang tidak membuat akses ke air terjun Tjibeureum yang hanya dapat dipanjat ke lokasi dengan susah payah dan tidak bisa menyertakan wanita.

Sejak tahun 1913 kunjungan wisatawan ke Sitoe Goenoeng semakin sering diberitakan di surat kabar. Tidak hanya wisatawan lone ranger atau keluarga tetapi juga rombongan besar yang tergabung dalam asosiasi seperti klub pencinta alam, klub berkemah dan sebagainya.

Danau Sitoe Goenoeng, 1935
Pada tahun 1932 Wali Kota Soekaboemi mulai mengambil inisiatif untuk membangyun fasilitas perkemahan di danau Sitoe Goenoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1932). Boleh jadi ini karena semakin meningkatnya animo orang muda untuk melakukan wisata alam dan semakin seringnya Sitoe Goenoeng dikunjungi oleh para wisatawan. Faktor lain minat pengunjung ke Sitoe Goenoeng karena lokasi dapat dicapai dengan mobil dan perjalanan sehari (pp) dari Batavia dapat dilakukan. Jaraknya situ yang hanya 8 Km dari jalan raya tidak menyulitkan perjalanan. Pada tahun 1932 terungkap bahwa area Sitoe Goenoeng ini menjadi bagian dari cagar hutan (taman nasional).

Area Sitoe Goenoeng kemudian menjadi menarik bagi investor. Pada tahun 1934 area Sitoe Goenoeng disewa oleh E. Bartels pemilik Onderneming Sitoe Geoenoeng untuk usaha budidaya ikan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-05-1934). Disebutkan usaha yang dilakukan oleh pemuda enerjik didirikan sesuai dengan nama situ untuk membudidayakan sejumlah besar ikan muda di dalamnya, diperbesar pengembangbiakan ikan, terutama ikan mas, tawes, gurami dan banyak spesies lainnya.

Penginapan dan kendaraan air di Sitoe Goenoeng, 1938
Disebutkan danau ini memiliki luas ± 20 bau, sedalam 1-3 meter dengan ketersediaan air yang cukup sepanjang tahun yang jika di musim hujan mengalir melalui sungai. Air memiliki suhu 18 - 20 °C. Oleh karena itu sangat bermanfaat untuk budidaya ikan, tetapi ada lagi, disebutkan Sitoe Goenoeng sangat menawan dan karena terjepit di antara tembok gunung yang tinggi, ia tampak sangat mirip dengan danau di Swiss yang menawan. danau gunung, yang menarik pengunjung dari seluruh dunia, rakit bambu yang kuat, kebutuhan untuk berenang dan piknik, serta banyak kano ramping. Bagi penggemar dayung dapat memanjakan diri mereka sendiri. Paviliun yang ceria di tepi sungai akan dibuat menawarkan kesempatan untuk mengonsumsi makanan dan minuman dengan harga yang sangat wajar. Singkatnya, disebutkan sebuah objek yang sempurna untuk perjalanan satu hari. Sitoe Goenoeng dapat dicapai dengan mobil, berbelok ke utara di Tjisaat lalu berjalan ± 8 Km naik bukit di sepanjang kampung makmur dan sawah subur, lebih jauh melalui kebun teh, lebih jauh melalui hutan pemerintah, sampai tiba di area dimana di kakinya terdapat situ. Sungguh pemandangan yang tak terlupakan.

Dalam perkembangannya, area wisata di Sitoe Goenoeng tidak hanya dikelola oleh onderneming Sitoe Goenoeng juga para sukarelawan melalu klub-klub di beberapa kota berpartisipasi untuk turut membangun beberapa fasilitas seperti penginapan, bungalow dan bangun-bangunan untuk perkemahan. Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 16-08-1934 juga memberitakan sudah ada agen di Belanda yang memasuk situs Sitoe Goenoeng sebagai objek wisata yang dapat dikunjungi/

Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1941
Peresmian area wisata ini dilakukan pada bulan Oktober 1934 oleh Bupati Soekaboemi dimana Bartels dan istri menjadi tuan rumah (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1934). Dalam pembukaan ini diluncurkan sebanyak 160 buah rakit dimana penduduk dibebaskan untuk menagkap ikan (semacam ‘ngubek situ’). Asisten Residen Soekaboemi tidak bisa hadir dan diwakili oleh Controleur Bakker. Java Pacific Film Comp mendokumentasikan kegiatan tersebut.

Pada tahun 1941 di Soekaboemi diketahui sudah ada nama hotel dan restorang yang menggunakan nama Sitoe Goenoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1941). Ini menunjukkan bahwa area wisata Sitoe Goenoeng telah berkembang dan nama itu kemudian dibuat situsnya di tengah kota sebagai nama hotel dan restoran, Masih pada tahun 1941 diberitakan kesatuan angkatan laut yang berbasis di Tandjoeng Priok melakukan wisata yang dibagi ke dalam sejumlah grup dimana menjadi tujuan mereka wisata, yakni: Lido, (hotel en spa) Tjmelatie, Sitoe Goenoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-07-1941). Ini mengindikasikan bahwa Sitoe Goenoeng telah menjadi salah satu tempat destinasi wisata yang penting (yang tidak kalah dengan Lido dan Tjimelatie). Namun tidak lama kemudian semua itu menjadi gelap. Sitoe Goenoeng menjadi sepi sendiri.

Sitoe Goenoeng (Peta 1935) dan Kadoedampit (Peta 1899)
Pada tahun 1942 berakhir masa kolonial Belanda dan kemudian digantikan pendudukan militer Jepang. Tentu saja tidak ada lagi wisatawan yang datang ke Sitoe Geoenoeng. Pada era perang kemerdekaan wilayah Soekaboemi memang sudah dikuasai oleh Belanda/NICA tetapi sebagai bagian wilayah gerilya Republik Indonesia tentu saja dari sudut pandang wisatawan tidak termasuk kategori aman. Pada era perang merdekaan hanya sejauh wilayah Lido yang diberitakan dikunjungi oleh para wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Besar dugaan setelah pengakuan kedaulatan Indonesioa oleh Belanda (1950) nama Sitoe Goenong secara perlahan tenggelam di tengah hutan belantara.

Boleh jadi pada awal tahun 1980an kepala desa Soekamantri ingin mengembangkan area Situ Gunung menjadi hidup kembali. Kepala desa ingin mengangkat kembali nama Situ Gunung usaha untuk menciptakan peluang usaha bagi penduduk. Kebetulan saat itu desa Sukamantri menjadi salah satu desa KKN. Nah, senior yang ber-KKN tahun sebelumnya itulah yang menjadi sebab mengapa saya bisa mengenal situs wisata di danau Situ Gunung pada tahun 1984. Tenda parasut yang kami bawa mengindikasikan bangunan-bangunan perkemahan yang pernah eksis di era Belanda sudah tidak eksis lagi.  Anda ingin berwisata ke danau Situ Gunung? Inilah sejarah awalnya.


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar