Selasa, 17 Desember 2019

Sejarah Jakarta (63): Ridwan Saidi dan Kontroversi Sejarah Jakarta; Mari Kita Luruskan Jalan Rekonstruksi Sejarah Jakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Tidak ada seorang pun yang sangat peduli sejarah Jakarta, kecuali Ridwan Saidi. Upaya Ridwan Saidi untuk merekonstruksi sejarah Jakarta patut didukung. Ridwan Saidi tampaknya merasa ada yang salah atau keliru menulis narasi sejarah Jakarta dan karena itu Ridwan Saidi mulai melakukan pelurusan sejarah. Satu yang penting cara berpikir Ridwan Saidi adalah berani berpendapat, suatu yang langka selama ini tentang sejarah Jakarta.  

Sejarah adalah sejarah, suatu narasi fakta masa lampau. Sejarah bukan narasi yang bersifat fiksi. Narasi fiksi adalah skenario (drama) yang tujuannya untuk membuat terhenyak atau terhibur. Kesalahan penulisan sejarah adalah alamiah, suatu kesalahan yang bisa diperbaiki. Yang perlu dihindari adalah pembohongan dalam narasi sejarah. Kesalahan sejarah dan pembohongan sejarah akan sendiri akan terkoreksi sehubungan dengan tersedianya data sejarah yang lebih lengkap dan lebih valid.

Upaya Ridwan Saidi meluruskan sejarah Jakarta dengan rekonstruksi baru tetap kita dukung. Namun jika ditemukan terdapat kesalahan-kesalahan dalam cara berpikir dan cara menginterpretasikan yang dilakukan oleh Ridwan Saidi, sebagai pendapat baru harus kita kemukakan. Dengan demikian upaya yang dilakukan Ridwan Saidi dalam membangun sejarah Jakarta yang benar menjadi lebih kuat. Artikel ini sebagai log. Mari kita mulai dari yang ringan-ringan lebih dahulu.  

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Gang Scott, Mookervaart....

Dalam buku Ridwan Saidi berjudul ‘Jakarta dari Majakatera hingga  VOC’ (2019) terdapat interpretasi berbeda tentang nama Mookervaart, Schout dan Scott. Berdasarkan catatan yang ada Mookervaart adalah kanal dari (benteng) Tangerang ke (benteng) Angke. Kanal ini pada masa ini dikenal sebagai kali di sisi jalan Daan Mogot dari Jakarta ke Tangerang. Kanal Mookervaart selesai dibangun pada era VOC tahun 1687 oleh Cornelis Vincent van Mook. Karena van Mook yang membuat maka para pembuat peta menyebutnya kanal Mookervaart.

Jalan Budi Kemuliaan di era Hindia Belanda disebut gang Scott. Nama gang (jalan kecil) ini disebut karena dirintis oleh Mr. Scott yang menjadi tempat kediaman dan usahanya. Gang lain yang merujuk pada nama seseorang seperti gang Holle (tempat kediamaan KF Holle). Sebagaimana gang Scott dan gang Holle, nama jalan Berendes Laan juga mengacu pada nama keluarga orang Eropa/Belanda (sedikit berbeda perihal Beeren Laan yang menjadi Berlan). Sementara itu terminologi Schout digunakan pada awal pemerintah Hindia Belanda (pasca VOC) sebagai pemimpin Eropa/Belanda di wilayah tersebut. Semacam Sheriff di Amerika. Schout pertama kali diperkenalkan untuk wilayah district Tangerang yang berkedudukan di Tangerang dan district Bekasi yang berkedudukan di Bekasi. Fungsi Schout dua macam yakni pengamanan dan pengadministrasian wilayah. Schout terkenal di Bekasi adalah Schout Maijer yang terbunuh dalam pemberontakan 1869. Dalam perkembangannya fungsi Schout digantikan oleh fungsi Controleur/Asisten Residen. Lalu terminologi Schout ini fungsinya dibatasi (terbatas pada keamanan) dan wilayahnya dipersempit di dalam wilayah-wilayah dalam kota, seperti di Soerabaja, Semarang, onderdistrict Tanah Abang, onderdistrict Senen dan lainnya. Schout terkenal di Tanah Abang adalah Schout Hinne yang berhasil melumpuhkan Si Pitoeng (1893). Jadi Scott dan Schout adalah dua hal yang berbeda.

Soal nama geografis peran pembuat peta sangatlah minim. Mereka sangat tergantung pada data yang tersedia apakah data sekunder (berdasarkan laporan-laporan perjalanan) atau data yang mereka kumpulkan sendiri. Data ini tentu saja bersumber dari informan. Khusus mengenai nama sungai adakalanya muncul dua versi. Yang pertama berdasarkan sumber dari pedalaman (penduduk asli) dan yang kedua sumber dari lautan (pendatang). Misalnya sungai Tjisadane adakalanya disebut sungai Tangerang; sungai Tjiliwong disebut sungai Jacatra; sungai Tjilengsi disebut sungai Bekasi dan sungai Tjitaroem disebut sungai Karawang.

Semua wujud geografis sudah memiliki nama sendiri oleh penduduk asli seperti nama gunung, nama sungai dan nama kampong. Para surveyor/pembuat peta mengacu pada nama yang sudah ada. Sangat jarang nama asli diubah dan selalu dipertahankan karena nama geografis adalah penanda navigasi. Sungai-sungai di wilayah West Java namanya sudah eksis sejak lama (oleh penduduk asli). Mereka menyebutnya dengan sebutan Tji untuk sungai. Untuk sebutan kali atau sungai adalah oleh pendatang. Oleh karenanya adakalanya, seperti disebut di atas, sungai yang sama disebut (dipetakan) berbeda.

Bagaimana munculnya nama sungai secara teoritis bisa karena nama kampong menjadi nama sungai (sungai Tangerang, sungai Bekasi dll) atau sebaliknya nama sungai menjadi nama kampong. Penggunaan terminologi ‘tji’ diduga kuat lebih awal dari penggunaan terminologi ‘kali’. Dalam hubungan ini jika ada nama kampong yang menggunakan kata ‘tji’ itu berarti menunjukkan adanya sungai meski sungai tersebut bisa saja telah hilang (karena di masa lampau ada proses kanalisasi). Misalnya sungai Tjilandak sudah pasti ada meski belakangan hanya tinggal nama kampong saja. Demikian juga sungai Tjimanggis meski hanya tinggal nama kampong saja. Semua nama sungai di wilayah Soenda disebut ‘tji’.    

Masih di buku yang sama, soal nama jalan selain jalan/gang Scott ditafsirkan secara keliru, bahwa jalan Batu Tulis yang sekarang (kecamatan Sawah Besar) adalah untuk menggantikan nama jalan Berendes. Yang benar adalah jalan Batu Tulis sudah ada sejak lama hingga ini hari. Pasca pengakuaan kedaulatan Indonesia oeleh Belanda, jalan Berendrecht diganti dengan nama yang baru yakni jalan Batu Ceper. Lantas apakah yang dimaksud jalan Berendes adalah jalan Berendrecht?

Terminologi Berendes dalam bahasa Belada memang tidak ada. Nama Berendrecht sudah terdeteksi tempo doeloe pada era VOC/Belanda, Berendrecht adalah nama marga Belanda. Pada awal era Pemerintah Hindia Belanda nama Berendrecht dijadikan sebagai nama wijk. Jalan yang berada di wijk Berendrecht ini adalah Berendrechtlaan. Nama jalan ini diduga merujuk pada nama Berendrecht. Pada tahun 1821 tuan Berendrecht menjual lahannya tepat berada dimana nama jalan Berendrecht dipetakan. Boleh jadi lahan yang mana kini disebut jalan Batu Ceper awalnya dimiliki oleh tuan Berendrecht.    

Jembatan Busuk, bukan jembatan yang bau busuk

Ridwan Saidi pernah mengatakan, yang juga idem dito dengan Alwi Shahab, bahwa nama Jembatan Busuk karena dihubungkan dengan bau busuk. Ridwan Saidi pernah mengatakan bahwa: ‘Di kawasan Jakarta Kota ada daerah Jembatan Busuk. Letaknya persis di depan Gang Ketapang. Disebut demikian karena tempo doeloe kupu-kupu malam berpangkalan disekitar sini ‘menabur asmara busuk’. Pada kesempatan lain, Ridwan Saidi pernah  mendeskripsikan bahwa: ‘Perempuan penjaja berkeliaran di sekitar Bioskop Alhambra sampai Jembatan Ciliwung (di depan Gajah Mada Plaza sekarang). Di masa itu, penduduk menyebut kawasan itu sebagai Jembatan Busuk lantaran bau parfum WTS yang menyengat bercampur bau keringat selalu menyebar di malam hari’.

Alwi Shahab bertanya dan menjawab sendiri: ‘Mengapa jembatan--yang sampai saat ini masih kita jumpai--dinamakan 'jembatan busuk’? Penamaannya sangat terkait dengan adanya saluran gas yang digunakan penduduk Batavia. Pabrik gas terletak di Gang Ketapang, yang kini bernama Jalan KH Hasyim Ashari.

Entah darimana sumber kedua ahli sejarah Jakarta ini, tak taulah. Juga tidak pernah dikatakan sejak kapan munculnya nama jembatan itu disebut jembatan busuk. Yang jelas, nama Jembatan Busuk sudah diinformasikan paling tidak tahun 1835 (lihat Javasche courant, 22-08-1835). Nama jalan tersebut tetap eksis dan tidak ada masalah bagi warga. Hal ini karena jembatan itu disebut Djambatan Boezoek. Sebab boezoek dalam bahasa Belanda adalah mengunjungi (kini masih kerap disebut para pengunjung rumah sakit untuk besuk). Namun boleh jadi lambat laun karena lidah orang timur boezoek bergeser menjadi busuk. Nah, lo!

Hingga pada tahun 1914 masih disebut Djambatan Boezoek atau Djembatab Boezoek. Dalam hal ini, selama era kolonial Belanda Djambatan Boezoek tidak pernah disebut atau ditulis sebagai Djembatan Busuk. Baru setelah pengakuaan kedaulatan Indonesia (1950an) namanya mulai ada yang menulis Djambatan Boezoek dengan Djembatan Busuk. Penulisan semacam ini boleh jadi sebagai salah satu bentuk nasionalisasi nama-nama tempat atau nama jalan dan jembatan, tetapi keliru dalam menerjemahkan atau melafalkannya. Sejak era pengakuan kedaulatan Indonesia, khususnya nama-nama Eropa-Belanda telah disapu bersih dengan nama-nama non Belanda kecuali beberapa seperti Jalan Braga dan Jalan Pasteur di Bandung atau Jalan Multatuli di Medan. Namun di Jakarta cara menyapunya tidak benar, masih tersisa nama Jembatan Boezoek, eh Jembatan Busuk. Nah dalam hal ini, Ridwan Saidi dan Alwi Shawab sisa ‘kotoran’ yang tidak tersapu bersih justru menaruhnya di bawah karpet baru. Ada-ada saja ikut menyebarkan hoaks.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

2 komentar:

  1. Ridwan saidinya aja kontraversi bung, dengan pede mendeklarasikan sriwijaya adalah kerajaan fiktif.
    Itu 1 fakta peristiwa sejarah, gk bisa di selewengkan.

    Jadi mikir, gimana cerita2 sejarah lain yg beliau wartakan ya, ������������

    Mending cari sumber informasi, tanpa kata kunci nama beliau lah. Udh gak bener...

    BalasHapus