Rabu, 08 April 2020

Sejarah Air Bangis (12): Sejarah Simpang Ampek, Mengapa Bukan Simpang Ampat; Memang Benar-Benar Simpang Empat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Pada tahun 2003 Kabupaten Pasaman dimekarkan dengan membentuk kabupaten baru: Kabupaten Pasaman Barat. Ibu kota kabupetan ditetapkan di kota Simpang Ampek. Lantas mengapa kota Simpang Ampek yang dipilih sebagai ibu kota kabupaten. Tentu saja ada pertimbangan sendiri. Yang juga menjadi pertanyaan mengapa namanya Simpang Ampek, padahal tempo doeloe namanya Simpang Ampat. Tentu saja ada sebab dan akibat penjelasannya sendiri.

KampongSimpat Ampat (Peta 1904)
Pada saat Air Bangis adalah kota besar di era VOC, belumlah ada nama Simpang Ampat (kini Simpang Ampek). Kota-kota besar di wilayah Pasaman (induk dan pemekaran) yang sekarang tempo doeloe selain Air Bangis adalah Odjoenggading dan Rao. Pada fase era VOC belum diidentifikasi (kampong) Loeboeksikaping tetapi sudah diidentifikasi (kampong) Taloe, Kiawai, Tjoebadak dan Loender (kini Panti) dan Sasak. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1826 ibu kota kabupaten (Noordelojke Afdeeling) berada di Natal. Pada tahun 1839 ibu kota wilayah (Residentie) direlokasi dari Natal ke Air Bangis. Pada saat ini kota Taloe berkembang pesat. Pada tahun 1845 Residentie Air Bangis hanya tinggal tiga afdeeling: Air Bangis, Rao dan Ophir Diostricten. Dalam perkembangannya Afdeeling Rao dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden, tetapi dikembalikan lagi Residentie Padangsche Benelanden dengan membentuk dua onderafdeeling: Rao en Loeboeksikping (kini menjadi kabupaten induk Pasaman) dan Air Bangies en Ophir Districten.(kabupaten pemkaran Pasaman Barat). Meski sempat terjadi perubahan kecil, namun dalam perkembangan selanjutnya dua onderafdeeling ini tetap eksis hingga pada era kemerdekaan RI dua onderafdeeling ini dsatukan dengan membentuk Kabupaten Pasamn. Kampong Simpat Ampat (yang kini menjadi Simpang Ampek) berada di District Pasaman, onderafdeeling Ophir. Kota terdekat dari kampong Simpang Ampat adalah kota Parit Batoe. Kampong Simpang Ampat benar-benar simpang empat: barat: Sasak; selatan: Kinali; timur: Taloe; dan utara: Kiawai).

Bagaimana kampong Simpang Ampat tumbuh dan berkembang tentu menarik diperhatikan. Hal ini karena Simpang Ampat telah berevolusi menjadi kota Simpang Ampek dan ditransformasikan menjadi ibu kota Kabupaten Pasaman Barat. Satu yang penting, kampong Simpang Ampat cepat berkembang seiring dengan ditetapkannya pada awal tahun 1950an sebagai wilayah koolnisasi (transmigrasi). Okelah. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja* Peta 1903

Parit Batoe, District Pasaman

Tempo doeloe, Kota Simpang Ampek yang sekarang, diduga kuat adalah area kampong-kampong orang Mandailing, letaknya terpencil di antara hutan-hutan lebat, antara jalan Sasak dan Taloe. Dalam perkembangannya terbentuk perlintasan baru (jalan setapak) antara Kiawai dan Kinali. Nama-nama kampong orang Mandailing tersebut antara lain kampong Tjoebadak, kampong Panindjaoean, kampong Parit dan kampong baru yang terbentuk setelah masuknya investor Eropa-Belanda membangun usaha perkebunan yang disebut kampong Simpang Ampat.

Situasi dan kondisi pada tempo doeloe tidak selalu kongruen dengan kondisi dan situasi sekarang. Adakalanya terkesan pangling. Siapa yang menduga kota Simpang Ampek awalnya dibuka oleh orang-orang Mandailing. Pada era Perang Padri, Pemerintah Hindia Belanda membangun benteng di kampong Parit dalam hubungannya mengepung benteng Padri di Bondjol. Kampong ini kemudian diidentifikasi sebagai kota Parit Batoe (untuk membedakan dengan kota Parit (dekat Ondjoenggading). Di Taloe sendiri pada tahun 1836 terjadi pertempuran yang sengit antara pasukan Padri dengan militer Belanda (yang didukung pasukan pribumi asal Jawa). Sejumlah perwira Belanda dan perwira Jawa tewas dalam pertempuran ini.

Setelah berakhirnya perang Padri, benteng Parit Batoe ditinggalkan dan Pemerintah Hindia Belanda hanya mempertahankan benteng Rao dan benteng Fort de Kock. Pada tahun 1840an akhir terjadi perang antara kerajaan Tikoe (Toeankoe Tikoe) dan kerajaan Pasaman (Toeankoe Pasaman), Kerajaan Pasaman berpusat di Sasak. Dalam perkembangannya diketahui Toeankoe Pasaman merelokasi tempat tinggal di pantai yang rawan banjir ke pedalaman di Parit Batoe (di area perkampongan orang-orang Mandailing). Parit Batoe adalah wilayah District (kerajaan) Pasaman. Catatam: Pada era VOC ibu kota kerajaan (district) Pasaman berada di muara sungai Pasaman. Kerajaan Tikoe awalnya bagian dari Afdeeling Ophir Districten, tetapi setelah perang ini kerajaan Tikoe dimasukkan ke Afdeeling Pariaman.

Pada tahun 1850an suatu tim ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda melakukan survei untuk mengkaji kemungkinan pengembangan wilayah Ophir Districten sebagai wilayah investasi baru dalam pembangunan perkebunan. Wilayah Ophir Districten direkomendasikan layak dengan pusat perkebunan di Taloe dan membangun pelabuhan bongkar muat di Sasak serta membangun jalan baru antara kedua tempat (kota).

Rekomendasi didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara laian. Di District Pasaman terdapat hutan primer yang dapat menyuplai kebutuhan kayu yang sangat bagus dan sesuai untuk bangunan orang Eropa dan pembuatan jembatan-jembatan. Pertimbangan lainnya adalah penduduknya yang masih jarang jika dibandingkan jalan poros lama antara Air Bangis-Taloe via Odjoenggading dan Kiawai. Faktor penting lainnya, boleh jadi yang terpenting, tidak menemuai kesulitan (residtensi) dalam pembebasan lahan-lahan (konsesi). Satu hal lain lagi karena kota Sasak dapat dijadikan sebagai pelabuhan karena alamnya yang sesuai untuk pelabuhan (terlindung).

Meski tidak segera, para investor akhirnya berdatangan untuk membangun usaha pertambangan dan usaha perkebunan ke Ophir Districten.

NV Cultuut Mij Ophir bangun jembatan di Kodjai (1929)
Satu perusahaan tampaknya mengikuti rekomendasi para ahli tempo dulu yakni membangun jalan antara Taloe dan Sasak. Jalan yang dibangun ini pada dasarnya jalan setapak yang sudah ada tempo doeloe dari Sasak ke Taloe via Parit Batoe. Pada ruas Parit Batoe, perusahaan membangun jalan di utara Parit Batoe (kini jalan Tuanku Imam Bonjol, Simpak Ampek). Oleh karena jalan lintas Kiawai-Kinali dari selatan ke utara melalui Parit Batoe, maka jalan baru yang dibentuk di utara Parit Bantoe juga menjadi simpang empat (kini Bundaran Simpang Ampek). Pada persimpangan inilah muncul nama kampong baru yang disebut kampong Simpang Ampat. Sementara ruas jalan Parit Batoe menjadi jalan lama (kini jalan M Natsir, Simpang Ampek). Pembangun jembatan di Kodjai (1929)

Dalam perkembangannya investor baru masuk yakni perusahaan pertambangan di gunung Ophir, lalu menyusul perusahaan lain membuka perkebunan di Tjoebadak dan Simpang Tonang. Selanjutnya muncul perusahaan dengan investasi besar untuk membuka perkebunan di Ophir (district Taloe dan district Pasaman) yakni NV Cultuur Mij Ophir. Sejak munculnya perkembunan NV Cultuur Mij Ophir diduga kuat kampong Simpang Ampat berkembang.

Simpang Ampat pada mas kini
Kampong Simpang Ampat lambat laun menjadi lebih populer dari kampong-kampong lama. Kampong Parit Batoe juga lambat laun namanya meredup, hanyut dengan derasnya pertumbuhan dan perkembangan Simpang Ampek. Dalam perkembangan selanjutnya jalan dari selatan (Kinali) ke utara (Kiawai) menjadi berkembang. Rute jalan dari Taloe ke Kiawai tidak lagi lewat Kadjai tetapi lewat kota Simpang Ampat. Ruas jalan lama antara Kiawai dan Kajai lambat laun mati suri dan airkhirnya putus sudah.

Perkembangan kota Simpang Ampat semakin kencang.

Simpang Ampat Menjadi Simpang Ampek

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar