Kamis, 09 April 2020

Sejarah Air Bangis (13): Sejarah Pariaman di Padangsche Benelanden; Nama Priaman, Prjaman, Preaman, Piaman dan Bariaman


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Sejauh mana dan sebanyak berapa sejarah Pariaman? Sejauh sebanyak namanya. Lantas mengapa sejarah Pariaman tidak ditulis dengan baik, padahal Pariaman adalah kota besar di pantai barat Sumatra sejak era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Okelah, itu satu hal. Hal yang lain adalah banyak nama menuju Pariaman: Priaman, Prjaman, Preaman, Periaman, Piaman dan Bariaman.

Nama tempat dan nama geografis lainnya adalah penanda navigasi yang penting untuk menelusuri sejarah kota hingga jauh ke masa lampau. Mengabaikan nama-nama yang banyak untuk satu titik geografis hanya akan membatasi diri untuk sampai ke tujuan akhir. Nama-nama tempat di Indonesia pada masa ini, adakalanya berbeda cara yang ditulis pada masa lampau. Seperti (kota) Yogyakarta ditulis dalam belasan cara, kota Pariaman juga ditulis dengan sejumlah cara. Berbeda cara boleh jadi berbeda era. Semua itu terjadi karena belum terbentuk sistem baku, beda orang, beda bahasa beda pula cara mengkoding lisan ke tulisan. Dalam hal ini, sistem baku dalam penulisan sejarah adalah mengikuti apa adanya (apa yang tertulis dan tergambarkan) di eranya.

Pariaman sebagai bagian pantai barat Sumatra, sejarah Pariaman tidak berdiri sendiri. Sejarah Pariaman adalah sejarah yang terkait dengan sejarah di tempat lain, paling tidak di sekitar wilayah pantai barat Sumatra. Semakin jauh di masa lampau, metode sejarah konvensional semakin tidak memadai. Oleh karena itu pendekatan kontekstual (holistic) pada ruang spasial akan lebih mampu menjelaskan bagaimana sejarah suatu tempat berlangsung. Untuk lebih memahami sejarah Pariaman dalam ruang spasial, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja* Peta 1903

Nama Pariaman

Sejarah pantai barat Sumatra dimulai sejak era VOC. Pada era Portugis sangat minim informasi tentang pantai barat Sumatra. Informasi tentang pantai barat Sumatra baru muncul secara intens sejak VOC menjalin hubungan dengan kerajaan Indrapoera (yang mana Inggris sudah berada di Bengkoelen). Dalam dasawarsa ini, Gubernur Jenderal VOC di Batavia memerintahkan Laksamana Spelman untuk menyerang kerajaan Gowa, sementara seorang Majoor dengan pasukannya (yang juga dibantu pasukan Palaka) melakukan ekspedisi ke pantai barat Sumatra Hasilnya para hulubalang Atjeh berhasil diusir dari Padang (1663).

Pada era Portugis kerajaan Aroe (di daerah aliran sungai Baroemoen) masih eksis. Tetangganya adalah kerajaan Minangkabau (Pagaroejoeng). Kerajaan-kerajaan lainnya di seputar utara Sumatra adalah Atjeh dan Malaka. Saat kedatangan Belanda (VOC) dibawah komandan Conelis de Houtman (1595) kerajaan Atjeh dalam puncaknya yang bersaing dengan Malaka (Portugis). Kerajaan Minangkabau sudah redup dan kerajaan Aroe sudah mati suri. Kerjaan Djohor mulai berkembang. Dua kapal VOC pada tahun 1600 dari Bantam berangkat menuju pantai barat Sumatra di Priaman. Kapal-kapal ini juga singgah di Tikoe dan Passaman sebelum tiba di Atjeh. Kapal-kapal ini dalam perjalan pulang ke Belanda. Inilah kali pertama orang Belanda ke Priaman (tentu saja Padang belum ada). Pada tahun 1618 kembali VOC ke Tikoe en Priaman yang dipimpin oleh van den Broek.

Setelah VOC mulai menguat di Ambon, lalu relokasi ke muara sungai Tjiliwong (Soenda Calapa) pada tahu 1619. Meski ada satu dua pedagang VOC ke pantai barat Sumatra, karena VOC sudah lebih fokus di Djawa khususnya seputar Batavia, situasi dan kondisi di pantai barat Sumatra tidak begitu banyak terinformasikan. Surat dari Panglima Padang yang dicatat di Kasteel Batavia (Daghregister) pada awal tahun 1661 boleh dikatakan satu-satunya informasi penting di pantai barat Sumatra. Surat ini diduga menjadi faktor penting dimulainya keterlibatan VOC di pantai barat Sumatra. Sebelum surat dari Padang ini sudah lebih dahulu di Batavia diterima surat dari Priaman. Surat-surat dari pantai barat ini diduga setelah dasawarsa-dasawarsa sebelumnya kapal VOC Gerad Kalf tahun 1642 di bawah Generaal van Dieman ke pantai barat Sumatra.

Seiring dengan perang Gowa, Pemerintah VOC mengubah kebijakannnya yang sebelumnya hanya melakukan perdagangan yang longgar di kota-kota pantai dengan kebijakan baru yang mana penduduk dijadikan subjek. Dalam hubungan ini, di utara Bengkolen, pantai barat Sumatra mulai dikapitalisasi oleh VOC. Semuanya bermula di sekitar Indrapoera (sekitar pulau Chinco). Fase inilah saat dimana kerajaan-kerajaan di pantai barat Sumatra mulai membelakangi kerajaan Pagaroejoeng (Minangcabao) dan kerajaan Atjeh. Kerajaan-kerajaan pantai di pantai barat Sumatra mulai menemukan partner baru (selain Minangkabau dan Atjeh). Perjanjian pertama di mulai di Sapoeloh Boha Bondar (Bandar Sepuluh) pada tahun 1667 dengan empat penghulu di Panai Kampei, Tiga Laras (Songe Pagoe) dan Malajoe (lihat Francois Valentjn, 1726). Empat penghulu tersebut adalah Radja Canpa, Radja Poetra Dalam, Radja Lilo Wangsa dan Radja Macoca. Kerajaan-kerajaan yang beralisasi dengan VOC ini mulai dari yang paling selatan (Salibar) hingga paling utara (Singkel) termasuk Priaman.

District Bandar Sepuluh mengindikasikan penduduk melting pot. Keragaman mereka diduga mencerminkan bangsa-bangsa Minangkabau, Melayu, Batak dan Jawa. Nama Panai Kampei mengindikasikan nama kota di kerajaan Aroe (Baroemen) dan Pertibie. Dalam hal ini kerajaan Indrapoera sebelumnya terhubung dengan sejumlah kerajaan seperti Minangkabau, Aroe, Malaka-Djohor dan Palembang.

Kerjasama VOC dengan Bandar Sepuluh ini juga termasuk dengan kepala Kota Tonga (Kota Tengah di dekat Padang) yang membawahi sejumlah kampong, antara lain Anackan, Liamau Manis; Pulo Tello (delapan penghulu); Karanti dan Sungai Pagu, Piamanpura (Raja berasal dari Sungai Pagu) dan  Air Adji. Peta 1835

Dalam perkembangannya kelak di Bandar Sepuluh muncul nama Painan. Mengapa disebut Painan? Tentu saja ilmu toponimi tidak cukup untuk menjelaskan ini. Painan adalah suatu kota, suatu kerajaan baru. Painan bertetangga dengan Salida. Mudahnya VOC menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Indrapoera seakan mengindikasikan mereka tidak terlalu terikat dengan Minangkabau (Pagaroejoeng). Indrapoera sangat dekat dengan Kerintji. Sungai Pagoe dan Kerintji adalah dua kerajaan kuat di pedalaman. Keturunan kerajaan Sungai Pagu banyak membentuk kerajaan baru di pantai? Lalu apakah kerajaan Kerintji telah menurunkan kerajaan-kerajaan di sekitar Indrapoera? Pertanyaan dapat ditambahkan mengapa muncul nama Painan? Apakah nama Painan adalah nama Pannai pada tempo doeloe? Dalam hal ini juga perlu dipertanyakan mengapa ada nama-nama Taloe, Tjoebadak dan lain sebagainya di sekitar Indrapoera, suatu nama-nama yang sudah dikenal sejak jaman kuno di sekitar Rao? Semua itu menjadi misteri (jaman kuno memang sulit dilacak). Semakin misteri lagi ketika para pengeran dari Indrapoera dan Selebar pada era VOC membuka kerajaan baru di Air Bangis dan Natal. Apakah mereka kembali ke awal di sekitar Pasaman dan Rao? (perlu kajian lebih lanjut).

Priaman berada tujuh mil di utara Kotatengah, VOC menempatkan seorang pedagang. Priaman adalah suatu lanskap yang terdiri dari empat kampong: Kampong  di Hoeloe, Kampong di Hilir, Kampong Dalam dan Kampong Atjeh. Wilayah Priaman ini dipimpin dua Orangkajo dan sepuluh penghulu. Pada tahun 1670 raja-raja di lanskap Priaman ini bergabung dengan VOC. Para raja-raja ini berada di bawah Panglima Radja di Padang. Pada tahun 1674 terjadi perang yang dipimpin oleh Tujuh Kota. Panglima Radja dan VOC berhasil membuat situasi kondusif yang mendatangkan pasukan Aroe Palaka (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indi, 1902).

Kerajaan-kerajaan dari Tikoe hingga Air Bangis berasal dari orang-orang Silebar. Pada tahun 1667 kerajaan-kerajaan ini bergabung dengan VOC. Sementara Taboejoeng termasuk wilayah Baros yang juga ikut bergabung dengan VOC.

Pada tahun 1684 seorang utusan Inggris dari Madras ke Atjeh untuk membangun pos perdagangan di pantai barat Sumatra. Permintaan itu ditolak, karena Atjeh belum lama terusir dari pantai barat dan tentu akan melakukan perhitungan dengan Belanda. Pedagang-pedagang Inggris mulai berinisiatif mendatangi radja-radja di pantai barat Sumatra (dalam perdagangan lada). Kemudian pedagang-pedagang Inggris berdatangan menjalin kerjasama dengan radja-radja di pantai barat Sumatra. Namun mendapat perlawanan dari Belanda di Priaman.

Pihak Inggris pada tahap awal berhasrat untuk mendirikan pos perdagangan di Priaman, tetapi di Priaman orang-orang Inggris dicegah oleh Belanda. Inilah awal perseteruan antara Belanda dan Inggris sejak tahun 1685 yang akan berlangsung secara terus menerus. Sejak 1686 Inggris lebih ke selatan di Benkoelen yang segera mulai berkembang dan pada akhirnya tahun 1714 Fort Marlborough didirikan. Sempat terjadi pemberontakan penduduk 1719 dan nyaris Inggris meninggalkannya.  Bencoelen semakin meningkat oleh perdagangan lada.

Sementara itu jumlah pedagang VOC di pantai barat Sumatra terus meningkat. Pada tahun 1740, pada saat perang Cina di Batavia, jumlah pedagang VOC di pantai barat Sumatra sebanyak 600 pedagang. Jumlah ini sempat menurun pada dua dasawarsa berikutnya yang mana pegawai VOC hanya terdiri 250 Eropa dan 80 orang pribumi. Pada tahun 1760 jumlah orang Eropa di Priaman sebanyak lima orang. Jumlah terbanyak di Padang sebanyak 150 orang lalu disusul di Air Hadji, Baros dan Poeloe Chinko masing-masing 20 orang. Sementara di Natal, Tapanoeli, Tikoe dan Air Bangis masing-masing sebanyak lima orang Eropa.

Inggris yang sudah sukses di Bengkoelen mulai mengembangkan perdagangan di pos yang lain. Pada tahun 1752 Inggris membangun pusat perdagangan di Natal dan Tapanoeli. Seperti halnya ketika Inggris sebelumnya ingin mebuka pos perdagangan di Priaman, pembukaan pos Inggris di utara wilayah yang dekat dengan wilayah Be;anda kembali menjadi sumber perselisihan baru. Benteng Marlborough yang dinilai oleh Inggris sangat penting, setelah Perdamaian Paris 1763, Bengkoelen dinyatakan bebas dari Madras dan Bengkoelen dinyatakan sebagai wilayah administasi yang terpisah.

Pada tahun 1781, satu skuadron Inggris berangkat dari Madras dialihkan ke pantai barat Sumatra. Langkah Inggris ternyata membuat Belanda ciut dan mulai meninggalkan Padang dan semua pos perdagangan lainnya di pantai barat Sumatra. Inggris sudah menyapu habis semua kekuatan Belanda bahkan di pulau-pulai kecil. Setelah itu Sir Stamford Raffles ditempatkan sebagai Gubernur di Benkoelen. Inggris menjadi Radja di Sumatra. Inggris pada tahun 1795 membuka cabang pemerintah (setingkat Residen) di Padang.

Residen Inggris di Padang (1795-1819)
Inggris yang juga mulai melemah di Jawa dan Maluku, sehubungan dengan semakin menguatnya posisi mereka di Sumatra, Inggris memindahkan banyak pohon dari pulau rempah-rempah Ambonia ke Benkoelen. Upaya ini adalah kerja keras. Pada tahun 1821 di Bengkoelen terdapat lebih dari seratus ribu pohon pala dan sekitar tiga puluh ribu pohon cengkeh sedang mekar-mekarnya. Produksi pala dan cengkeh yang terus melimpah di Bengkoelen menjadikan Inggris tidak tergantung lagi dengan Maluku. Kondisi yang menguntungkan di Bengkoelen ini Inggris menganggap Bengkoelen sebagai bagian terpenting di Sumatra.

Cinta pertama Belanda di Sumatra (sejak di Padang 1666 yang membuka pos pertama di Priaman) tidak pernah dilupakan Belanda meski Inggris telah merampasnya dari pelukan Belanda. Di antara kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra, Priaman selalu menjadi pokok perseteruan antara Inggris dan Belanda. Mengapa demikian? Priaman adalah pos perdagangan yang cukup dekat dengan TKP (sumber produksi di pedalaman di Minangkabau). Atas dasar itu, Belanda kembali melakukan penjajakan di pantai barat Sumatra di Priaman (Inggris sudah bercokol di Padang).

Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686
Belanda kembali ke Priaman dan Tkoe (lihat  Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Keutamaan Priaman bagi Belanda tidak hanya karena cinta pertama, tetapi juga Priaman dipandang sebagai pusat perdagangan garam yang penting dan banyaknya aliran emas yang dibawa dari pegunungan (pedalaman). Selain Priaman, juga dijajaki kembali Air Bangis dan Baros. Untuk Air Bangis cukup berhasil, tetapi berbeda dengan Baros yang mana Belanda melakukan salah perhitungan dan menutup perdagangannya di Baros pada tahun 1693. Radja-Radja di sekitar Baros menjadi tidak terikat lagi dengan perjanjian (independen). Penutupan ini juga terkait dengan Inggris yang berada di Natal dan Tapanoeli, sehingga Baros seakan terpisah sendiri.

Inggris cepat mengendus perceraian Belanda dan Baros tersebut. Inggris segera menjalin cinta dengan Baros. Inggris memanfaat situasi dan menyimpulkan kontrak Belanda dengan para radja-radja Baros telah terputus sepihak oleh Belanda (independen). Ketika Belanda mengetahui terjadi main mata antara Inggris dan Baros, Belanda tidak bisa berbuat banyak lagu, karena Belanda sendiri telah mengakui kemerdekaan radja-radja Baros. Pengaruh Belanda lambat-laun berkurang di Baros. Namun pada akhirnya Air Bangis juga dilepaskan karena Belanda lebih tertarik untuk membesarkan Padang. Kekuatan Inggris di Natal juga menjadi faktor lain Air Bangis lepas. Di pantai barat Sumatra, Belanda hanya terbatas di Padang (yang dibawah supremasi kerajaan Indrapoera) dan daerah Indrapoera di utara Bengkoelen. Meski demikian, Belanda kembali telah mendapatkan haknya wilayah Palembang dan Banka serta Biliton. Sebelumnya Inggris ingin bertahan di Padang, yang awalnya ditolak Raffles untuk dikembalikan, karena Raffless ingin menyatukan Padang dengan Benkoelen (agar lebih dekat dengan pos-pos perdagangan Inggris di Utara (utara Priaman).

Nama Pariaman di Awal Era Pemerintah Hindia Belanda

Keutamaan Pariaman di pantai barat Sumatra karena mendapat kehormatan dikunjungi oleh kapal-kapal VOC pada tahun 1601. Meski kerap terjadi ketegangan dalam perebutan Priaman diantara Belanda dan Inggris, Priaman selalu di pihak Belanda. Kota-kota di pantai barat Sumatra dapat dikatakan Priaman adalah wilayah yang tidak pernah jatuh ke tangan Inggris. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra tahun 1819, Priaman termasuk yang mendapat perhatian pertama.

Pemerintah Hindia Belanda menempatkan ibu kota pantai barat Sumatra di Tapanoeli tempat dimana Asisten Residen WJ Waterloo berkedudukan yang dibantu sejumlah pejabat sipil. Aktivitas Inggris di Padang masih intens. Sebagaimana juga diketahui belum lama, pada tahun 1818 Raffles melakukan ekspedisi ke pedalman di Minangkabau (Pagaroejoeng). Dalam struktur Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra ini, komandan militer berpangkat Major ditempatkan di Natal yang membawahi komandan berpangkat letna di Priaman dan Padang. Sementara itu komandan berpangkat Kapitein tempatkan di Padangsche Bovenlanden yang membawahi komandan berpangkat letnan di Samawang dan Agam. Sedangkan petugas sipil sebagai havenmeester dan pakhuismeester di tempatkan di Natal dan Padang.

Penempatan pejabat (militer) di Priaman, sudah barang tentu tidak hanya karena semata-mata terdapat properti Belanda di Priaman sejak era VOC, tetapi juga karena alasan strategis yang mana (pelabuhan) Priaman dijadikan sebagai hub perdagangan di kota-kota pantai dan aliran produksi dari pedalaman (dimana pejabat sudah ditempatkan di Agam). Priaman juga menjadi satu dari empat kota terpenting di pantai barat Sumatra (Padang, Tapanoeli, Natal dan Priaman). Sementara dua tempat penting yang diplot di pedalaman adalah Samawang (Tanah Datar) dan Agam.

Belanda pada tahun 1819 telah menerima otoritas pantai barat Sumatra dari Inggris. Tentu saja pengembalian hanya terbatas pada kota-kota di sepanjang pantai barat Sumatra. Untuk wilayah-wilayah di pedalaman Minangkabau (Pagaroejoeng) telah melakukan negosisiasi dengan Belanda di Padang (sehubungan dengan keluhan mereka terhadap tindakan Padri). Perjanjian dengan para pengeran Pagaroejoeng ini yang kemudian Pemerintah Hindia Belanda menempatkan tiga pejabat militer di Minangkabau yang dipimpin oleh seorang Kapitein dan dibantu dua letnan di Samawang dan Agam. Penempatan tiga pejabat militer Belanda ini mendapat resistensi dari Padri. Ketegangan mulai muncul. Pemerintah Hindia Belanda yang dalam hal ini pejabat militer telah mendapat legitimasi dari pangeran Pagaroejoeng. Untuk mengusir Padri dari Minangkabau kemudian Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirim satu ekspedisi militer di bawah komando Luitenan Kolonel Raaf yang tiba di Padang pada bulan Desember 1921.

Pada tahun 1924 dilakukan perjanjian tukar guling antara Belanda dan Inggris yang mana Malaka diserahkan kepada Inggris dan Bengkoelen diserahkan kepada Belanda (dengan demikian seluruh Sumatra menjadi wilayah Belanda dan seluruh Semenanjung (termasuk pulau-pulau seperti Penang dan Singapura) masuk wilayah Inggris. Pasca perjanjian tersebut (Traktat London 1824) Pemerintah Hindia Belanda menata kembali dan membentuk cabang-cabang pemerintah baru di seluruh pantai barat Sumatra (lihat Bataviasche courant, 29-11-1826).

Dalam struktur pemerintahan yang baru ini. Yang pertama adalah ibu kota pantai barat Sumatra dipindahkan dari Tapanoeli ke Padang. Hal ini mengingat posisi strategis Padang yang berada diantara ujung selatan (Bengkoelen) dan ujung utara (Baros). Disamping itu, properti Belanda dan peninggalan Inggris di Padang cukup banyak yang dapat digunakan dalam permulaan suatu ibu kota pemerintahan. Selain itu di Padang sudah ada pemimpin lokal tertinggi (Panglima Radja) sejak era VOC.

D Priaman diangkat seorang posthouder dengan gaji sebesar f600 per tahun yang dibantu dua opas yang masing-masing bergaji f120 per tahun. Di Priaman juga diangkat seorang bupati dengan gaji f560 per tahun (setara dengan posthouder orang Belanda). Ini mengindikasikan di Priaman bupati dan posthouder adalah dua pejabat tertinggi di Priaman. Bupati lainnya di Tanah Datar, Agam dan Indrapoera. Bupati Tanah Datar bergaji f2400 per tahun dan bupati Agam sebesar f1200 per tahun.

Untuk di Padang pemimpin lokal tertinggi adalah Panglima Radja dengan gaji f5600 per tahun yang membawahi empat bandahara yang masing-masing dengan gaji f624 dan 12 penghulu yang masing-masing dengan gaji f480 per tahun. Pemimpin lokal lainnya diangkat di sejumlah tempat di Bengkoelen (di bawah pimpinan seorang Asisten Resident), Natal, Linggabajo, Air Bangis, Tapanoeli, Sibolga. Besarnya gaji pemimpin lokal mencerminkan besar kecilnya tanggungjawab. Gaji tertinggi Eropa sebagai Residen di Padang adalah f15.000 per tahun dan di bawahnya sekretaris sebesar f4200 per tahun, seorang komisi di Tapanoeli sebesar f5000 dan pejabat pemerintahan Padang sebesar f6000 per tahun (setara dengan Panglima Radja).

Pada tahun 1835 di Afdeeling Noordelijke diangkat Asisten Residen yang berkedudukan di Natal. Ini sehubungan dengan masuknya Mandailing dan Rao ke dalam sturuktur Pemerintah Hindia Belanda. Noordelijke Afdeeling hingga ke Tikoe di selatan dan Baros di utara. Pada tahun 1840 wilayah Noordelijke Afdeeling dibentuk menjadi satu residentie dengan nama Residentie Air Bangis dimana Residen berkedudukan di Air Bangis dan seorang Asisten Residen di Mandailing en Angkola. Sehubungan dengan pembetukan residentie baru ini, wilayah Bengkulu dipisahkan sebagai satu residentie tersendiri. Dalam hal ini Priaman masuk Residentie Padangsche Benelanden yang beribukota di Padang. Residentie Padangsche Bovenlanden ditetapkan di Fort de Kock.

Pada tahun 1845 dibentuk Residentie Tapanoeli dengan ibu kota di Sibolga. Pada tahun 1846 Afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Sehubungan dengan itu Residentie Air Bangis dilikuidasi. Afdeeling Air Bangis dan Afdeeling Rao dan Afdeelung Ophisr Districten dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden.

Perkembangan Lebih Lanjut Pariaman

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar