Sabtu, 11 April 2020

Sejarah Air Bangis (14): Sejarah Cubadak dan Simpang Tonang; Riwayat Mandailing di Pasaman dan Kisah Natal di Mandailing


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini
 

Kota Cubadak dan kota Simpang Tonang bukanlah nama baru, tetapi nama-nama lampau. Nama Cubadak dan Simpang Tonang tidak seterkenal Rao, tetapi Simpang Tonang menjadi penting karena tempo doeloe merupakan persimpangan dari Rao ke Cubadak dan dari Rao ke Air Balam. Jalur Panti-Cubadak tentu saja belum ada, jalur kuno adalah Rao-Simpang Tonang lalu dari Simpang Tonak ke Cubadak dan ke Air Balam. Namun dalam perkembangannya nama Cubadak menjadi lebih penting ketika dibuka jalur Cubadak ke Loender (Panti) pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda. Simpang Tonang lambat laun meredup lalu kalem diketenangan.

Tjoebadak, Simpang Tonang, Rao (Peta 1835)
Nama wilayah dua kota hampir tidak ditemukan di Sumatera Barat kecuali di kabupaten Pasaman. Namanya Kecamatan Duo Koto. Kecamatan ini hanya tersdiri dari dua nagari yakni Cubadak dan Simpang Tonang. Pada jaman dulu, suatu wilayah jumlah kota paling sedikit tiga dan paling banyak lima puluh.

Nama demikian, Cubadak dan Simpang Tonang tidak terpisakan satu sama lain. Karena itu ikatan abadi mereka masih terlihat pada masa kini sebagai nama kecematan: Kecamatan Duo Kota. Mengapa demikian. Karena dua kota ini penduduk awalnya sama-sama asli Mandailing ( di sekitar lerang gunung Kulabu). Pergeseran batas wilayah di era Hindia Belanda menyebabkan ada kesan Mandailing ada di Pasaman (dan Natal ada di Mandailing). Untuk menambah pengetahuan dan wawasan Sejarah Air Bangis, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Sejarah Air Bangis adalah bagian dari Sejarah Menjadi Indonesia.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja* 

Nama Simpang Tonang dan Nama Cubadak

Penduduk Simpang Tonang dan penduduk Cubadak sejatinya bukan pendatang. Mereka adalah penduduk asli. Mereka yang secara turun temurun (genealogis) berdiam di wilayah tersebut sejak jaman lampau. Pemerintah Hindia Belanda, karena alasan untuk memudahkan pengadministrasian wilayah karena hambatan gunung Kulabu akhirnya District Tjoebadak (Simpang Tonaang dan Cubadak) dimasukkan ke wilayah Residentie Padangsche Benelanden (yang berpusat di Padang). Sementara wilayah Residentie Padangsche Bovenlanden berada di Fort de Kock. District Bondjol adalah batas wilayah Residentie Padangsche Bovenlanden dengan Residentie Padangsche Benelanden. Hal yang sama wilayah District Natal yang lebih menyatu dengan District Air Bangis, juga karena halangan geografis dimasukkan ke Mandailing (Residentie Tapanoeli). Jadi, penduduk Natal bukanlah penduduk pendatang dari Air Bangis (Sumatra Barat), tetapi penduduk Natal adalah asli penduduk Natal (Sumatra Utara).

Distrik Pakantan dan Distrik Cubadak di gunung Kulabu (Peta 1843)
Sebagaimana gunung Ophir (Talamau) dan gunung Pasaman, gunung Sorik Marapi dan gunung Malintang serta gunung Kulabu adalah sentra produksi tambang emas sejak jaman kuno. Di seputar gunung Kulabu berdiam penduduk Mandailing, yang mana di sebelah utara gunung kemudian disebut District Pakantan dan di sebelah selatan disebut District Tjoebadak. Penduduk di dua distrik di leterang gunung Kulabu tersebut berkerabat. Intervensi (pemerintah) Hindia Belanda memisahkan dua district gunung Kulabu ini secara administratif terpisah tetapi secara genealogis satu kesatuan.

Sejarah masa lampau adakalanya beberapa penulis pada masa ini menginterpreasinya secara keliru dan bahkan terkesan kekanak-kanakan. Itu terdapat dimana-mana, tidak hanya sejarah di lereng gunung Kulabu tetapi juga di wilayah lain di Indonesia. Akibat dari penulisan sejarah yang dangkal tersebut pembaca dapat mejadi bingung. Itu bukan dari tujuan penulisan sejarah.

Sejarah adalah narasi fakta dan data. Data otentik semakin jauh ke masa lampau adalah data yang dapat diverifikasi (bersifat empiris, dapat dibuktikan fakta dan waktu). Bagaimana kita pada masa ini mengatakan District Tjoebadak adalah Sumatra Barat dan Natal adalah Sumatra Utara padahal sebelum ada pembagian wilayah, kedua district ini sudah eksis. Bagi generasi muda, dalam hal ini haruslah dibedakan penafsiran antara wilayah administrasi (politik-pemerintahan) dan wilayah teritorial (sosial-budaya). Analisis sejarah adalah analisi cover both side. Bukan dengan hanya kaca mata kuda (yang tidak melihat kiri dan kanan apalagi belakang).

Orang Cubadak-Simpang Tonang adalah raja di wilayahnya. Raja yang membuka huta sebagai cara perluasan wilayah teritorial di jaman kuno. Orang Natal Air Bangis-Natal juga adalah raja di wilayahnya. Para pangeran yang membuka kota sebagai cara menemukan wilayah teritorial baru di jaman kuno. Belum ada perebutan wilayah karena tanah-tanah kosong masih jauh lebih banyak dari populasi yang ada. Baru pada perkembangan berikutnyalah, terutama di wilayah yang populasi lebih padat terjadi pertikaian perbatasan seperti yang pernah terjadi antara radja Pasaman dengan radja Kinali (1850an). Hal serupa juga ditemukan di wilayah Tapanoeli yang mana pernah terjadi perang antara satu kampung dengan kampung yang lain yang berbatasan soal batas hak ulayat.

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, penentuan wilayah administrasi tidaklah dilakukan secara gegabah. Pemerintah telah lebih dahulu mengirim tim ekspedisi (yang terdiri dari ahli bahasa, ahli geografi sosial, landmeter dan ahli lainnya) sebelum dibuat draf. Draf ini kemudian dikonfirmasi kepada para ahli waris wilayah (ulayat). Metode ini berlaku sama di seluruh Hindia apakah di Maluku, di Jawa atau di Kalimantan. Upaya ini dilakukan oleh pemerintah agar tidak bertentangan dengan hukum formal. Yang lebih penting dari itu pengukuran dan penentuan yang tepat tentang batas-batas wilayah sesuai batas wilayah tradisonal (teritorial) untuk menghindari pertikaian atau peperangan.

Kejadian peperangan di tengah populasi bagi pemerintah adalah biaya yang terbuang sia-sia. Pemerintah melihat populasi (penduduk) sekecil apa pun wilayah teritorinya adalah partner untuk menghasilkan produksi yang secara langsung mendukung tujuan mereka (keuntungan pemerintah). Dengan demikian pembagian wilayah administrasi selalu berdasarkan pertimbangan sosial-budaya (asal-usul) dan dalam hal tertentu (pada fase berikutnya) baru atas dasar pertimbangan ekonomis (regionalisasi pembangunan). Kolonisasi adalah wujud lain dari tanah-tanah teritorial.

Kolonisasi adalah hal yang berbeda dengan tanah ulayat (tanah teritorial). Kolonisasi adalah dapat dikatakan sebagai pendatang. Ketika Pemerintah Hindia Belanda tahun 1940 mulai menempatkan populasi (asal) Jawa di Batahan juga mempertimbangkan segala aspek. Salah satu aspek terpenting adalah kebersediaan penduduk setempat menerima kehadiran mereka dan kebersediaan untuk melepaskan sebagian tanah-tanah ulayat mereka untuk kebutuhan kolonisasi.

Hak ulayat (negeri raja) berbeda dengan hak kolonisasi (negeri yang diserahkan). Hak ulayat tidak bisa ditelusuri ke asal. Hal ini karena tidak ada yang memberi dan tidak ada yang menerima. Namun hak kolonisasi bisa dilihat ke awal.

Contoh kasat mata adalah kolonisasi Belanda di Indonesia. Hal ini karena bisa ditelusuri ke awal ketika para pedagang-pedagang VOC atau para pejabat Pemerintah Hindia Belanda membuat perjanjian dengan para raja-raja. Dalam hal ini pemilik portofolio Hindia Belanda adalah para raja-raja tempo doeloe yang bertransformasi menjadi Indonesia. Dengan demikian terminologi orang Cubadak-Simpang Tonang berasal dari Tapanoeli adalah keliru.

Penduduk asli Cubadak-Simpang Tonang adalah orang Mandailing di wilayah Sumatra Barat. Hal ini karena mereka sudah eksis sebelum adanya batas wilayah dan pemerintahan Tapanoeli dan pemerintahan Sumatra Barat. Demikian juga orang Natal berasal dari Sumatra Barat adalah keliru. Setelah ada pembatasan wilayah hukum barulah orang yang datang berikutnya dapat dikatakan sebagai pendatang.

Terminologi pedatang dan asli haruslah dilihat sejarahnya pada kurun waktu yang berbeda. Pada masa ini di Natal tidak hanya orang asli tetapi juga ada pendatang dari Mandailing dan Sumatra Barat. Demikian juga di Cubadak-Simpang Tonang tidak hanya penduduk asli tetapi juga ada pendatang yang datang dari wilayah lain di Sumatra Barat dan Tapanuli. Ada pendatang lama dan ada pendatang baru. Tentu saja akan ada lagi pendatang di masa datang. Itulah situasi dan kondisi di wilayah-wilayah perbatasan budaya (Batak-Minangkabau, Batak-Melayu, Batak-Aceh; Minangkabau-Bengukulu, Minangkabau-Kerinci, Minangkabau-Melayu Riau dan Minangkabau-Melayu Jambi).

Pemisahan dan penyatuan wilayah administratif tentulah harus diartikan bersifat relatif. Dalam hal ini terminologi pedatang dan asli juga harus dipandang bersifat relatif. Jika itu urusan masa lampau, katakalah di jaman kuno, sulit mengatakan suatu populasi adalah asli. Boleh jadi penduduk Indonesia adalah semua pendatang, entah darimana datangnya di jaman kuno. Itu ibarat suatu batang sungai, yang absolut tetap eksis adalah batangnya, tetapi air yang mengalir di atasnya adalah relatif. Batang itu sudah ada sejak jaman kuno tetapi air yang mengalir di atas batang pada saat ini adalah air yang berbeda dengan air di jaman kuno (sebagaiman kita ketahui air mengalir dalam satu detik).

Dalam hal ini suatu wilayah tanah adalah absolut, namun penduduknya dapat bersifat relatif. Demikian dengan halnya dengan kebiasaaan (sosio-budaya) dapat bersifat relatif. Kebiasaan nenek moyang kita di jaman kuno bisa jadi berbeda dengan kebiasaan kita masa kekinian. Itulah esensi relativitas. Memahami pergerakan atau pergeseran relativitas lebih berguna daripada mempersoalkan absolutism. Bukti terdekat dari relativitas di suatu kawasan (wilayah) adalah populasi saling memperkuat apakah melalui hubungan ketetanggaan atau karena hubungan perkawinan.

Persoalan yang serupa juga kita temukan di Malaysia. Siapa yang menjadi penduduk asli siapa yang menjadi penduduk pendatang. Sangat relatif. Sebelum terbenruk batas wilayah Inggris (bahkan sebelum Inggris mengklaim Tanah Semenanjung) populasi Minangkabau dan Mandailing sudah ada yang menetap di Semenanjung, katakanlah district Selangor dan district Negeri (Nagari) Sembilan. Apakah populasi Makassar pasca Perang Gowa yang lebih dahulu menetap dikatakan asli daripada Mandailing dan Minangkabau? Tentu saja tidak. Mereka yang berasal dari Sumatra (Minangkabau dan Mandailing) menganggap mereka penduduk asli (bukan pendatang, karena mereka tidak perlu paspor di jaman dulu, sebelum Inggris). Mereka menganggap diri mereka semua berkontribusi dalam pembentukan populasi yang kemudian menjadi negara Malaysia. Seperti kita ketahui, orang Malaysia semakin mengakui bahwa yang mendirikan kota Kualalumpur (ibu kota Malaysia) adalah orang Mandailing yang dipimpin oleh Raja Soetan Poeasa (bermarga Lubis). Itulah esensi relativitas dalam ruang kewilayahan di masa lampau. Last but not least. Apakah kita orang Minangkabau dan Mandailing pada masa ini adalah populasi yang sama dengan populasi yang (pernah) mendiami wilayah pada jaman doeloe (jaman kuno)? Jika kita tidak mengetahui, kita tidak perlu mempersoalkannya.

Kisah Kuburan Dua vs Kampong Koeboeran Doea

Antara kota Cubadak dan kota Panti terdapat wilayah-kawasan yang disebut Kuburan Dua. Namun kawasan ini kerap dihubungkan dengan suatu kisah yang entah siapa yang mengawali ceritanya dan entah kapan bermula. Kisah Kuburan Dua ini tampaknya diwariskan secara turun temurun hingga ini hari. Pertanyaannya apakah asal-usul nama Kuburan Dua sesuai dengan ceritanya?

Memang jarang nama tempat menggunakan kuburan, tetapi ada juga kampung atau gang disebut kuburan. Di Jakarta dan sekitar ditemukan gang yang disebut gang Kober (kober bahasa Belanda adalah kuburan). Ada nama desa Makam di Jawa (apakah makam maksudnya kuburan, entahlah). Di Jakarta juga banyak ditemukan kampong Kramat (biasayanya ada kuburan kramat). Di Jawa ada kampung di tengah pekuburan. Di Medan ada nama Kampung Kubur. Jadi, kuburan dijadikan nama tempat sah-sah saja.

Kawasan yang disebut Kuburan Dua diantara Cubadak dan Panti tempo doeloe adalah nama kampong. Kampong tersebut memang benar dicatat sebagai Koeboeran Doea (lihat  Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 13-05-1865). Disebutkan Pemerintah akan membangun jalan dari Panti hingga Air Bangis melalui kampong-kampong Koeboeran Doea, Simpang Geta, Tjoebadak, Tanah Koening, Taloe, Oeloe, Batang Paroman, Loeboek Sorik, Kajoe Aarang, Tambang Randa, Moeara Keawe, Alin, Kasih Poetih, Soengei Aur, Oedjoeng Tandjoeng, Oedjoeng Gading, Parit, Batang Lapoek, Air Balam dan Silawe. Kampong Koeboeran Doea jelas nama suatu kampong tempo doeloe. Besar dugaan awal kampong ini disebut Koeboeran Doea karena terdapat dua kuburan.

Tidak jelas siapa yang dikubur di tempat itu. Jika mengacu pada berita tahun 1865, nama kampong tersebut disebut kampong Koeboeran Doea sudah lama. Pada era Perang Padri (1835-1837) belum ada jalan antara Loender (kelak disebut Panti) Panti dan Tjoebadak. Jalan perlintasan penduduk adalah dari Air Bangis melalui Taloe, terus ke Tjoebadak dan Simpang Tonang terus ke Rao. Jalan setapak (yang hanya bisa dilalui kuda beban) ini juga digunakan militer Belanda sebagai rute militer dalam Perang Padri. Benteng militer Belanda berada di Rao dan pos militer (benteng kecil) juga dibangun di Loender. Oleh karena adanya pos militer di Loender maka diduga ada perlintasan militer antara Loender dan Tjoebadak (Air Bangis adalah pusat pemerintahan pada saat itu). Besar dugaan dua kuburan ini adalah kuburan orang yang terluka dalam perang dan kemudian meninggal di sekitar apakah korbanya Eropa atau pasukan Padri. Dalam perkembangan selanjutnya ketika penduduk membangun pertanian (berladang) di dekat dua kuburan tersebut lalu disebut penanda navigasi Kuburan Dua yang kemudian menjadi nama kampong. Pada Peta 1850 sudah terbentuk jalan setapak dari Cubadak ke Loender (jalan dari Cubadak ke Rao via Simpang Tonang telah bergeser via Loender (kelak disebut Panti).

Lalu kemudian muncul kisah Kuburan Dua. Namun sayangnya kapan cerita itu bermula dan oleh siapa tidak diketahui. Pada buku atau lembar apa cerita ini ditulis juga tidak diketahui. Namun menurut cerita, hanya diceritakan dari waktu ke waktu. Namun kapan waktu ceritanya bermula juga tidak diketahui apakah sudah lama atau baru muncul belakangan. Jadi, cerita tetaplah cerita. Kisah Kuburan Dua tidak dapat dijadikan sejarah. Sebab sejarah adalah narasi fakta dan data. Dari perspektif sejarah nama Kuburan Dua awalnya adalah nama kampong, Nama kampong Kuburan Dua paling tidak telah diberitakan pada tahun 1865. Pada Peta 1905 nama kampong Kueburan Dua tidak ada lagi, hanya diidentifikasi sebagai penanda nama bukit: Bokeit Koeboeran Doea (demikian juga pada Peta 1941). Bahwa ada kisah yang muncul dengan nama Kuburan Dua adalah hal lain.

Boleh jadi kisah Kuburan Dua hanya sebagai rekaan, Suatu cerita untuk tujuan tertentu apakah untuk sekadar bercanda atau memberi nasehat hanya masalah bahasa menjadi pertumpahan darah. Kearifan lokal tidak selalu dalam wujud fisik tetapi juga dalam suatu bentuk fiksi untuk penduduk. Cerita fiktif yang kemudian merakyat. Celakanya ada yang menganggap itu fakta, namun nyatanya sulit dibuktikan.

Era Modern: Mandailing di Pasaman dan Natal di Mandailing

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar:

  1. Keren,, terimakasih informasinya pak,, saya penduduk asli simpang Tonang, lahir dan tinggal disini, tp baru melalui tulisan bapak ini saya bisa mengetahui sejarah tentang tanah yang saya pijaki ini,,
    Mudah-mudahan ini menjadi cikal bagi generasi kedepan untuk lebih menggali sejarah tanah tumpah darah ini...

    BalasHapus