Jumat, 03 April 2020

Sejarah Air Bangis (7): Detik-Detik Terakhir Belanda pada Era Kolonial Belanda di Air Bangis; Kolonisasi Jawa di Ranah Batahan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Air Bangis termasuk salah satu daerah koloni Belanda tertua di Sumatra. Secara resmi Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan di Air Bangis tahun 1826. Sejak itu Air Bangis tumbuh berkembang. Namun kemudian ibu kota tempat dimana (Asisten) Residen berkedudukan dipindahkan dari Air Bangis ke Loeboeksikaping. Sejak relokasi ibu kota ini, laju pertumbuhan dan perkembangan mengalami turbulensi (stagnan) yang mengakibatkan Talu lebih maju dari Air Bangis.

Air Bangis (Peta 1941); Land Clearing di Ophir (1920an)
Pada era VOC kota Air Bangis pernah lebih penting dari kota Padang. Padang sempat ditinggalkan Belanda sebagai posthouder karena tidak aman, lalu diambil alih oleh Inggris. Padang saat itu belum dianggap sebagai kota penting, bahkan kota Air Bangis sendiri masih lebih penting dari kota Padang. Hal ini terindikasi dalam berita surat kabar Leydse courant, 04-05-1764 yang terbit di Leiden sebagai berikut: ‘Pemerintah VOC menempatkan Residen di (pulau) Chinco, (residen) di Air Bangies dan (residen) di Barros..sedangkan di Padang hanya menempatkan seorang administrateur tingkat dua'. Oleh karenanya, pada saat Pemerintah Hindia Belanda (setelah bubarnya VOC) mulai membentuk Pemerintahan Hindia Belanda di pantai barat Sumatra, pilihan kota untuk dijadikan ibu kota cukup banyak, salah satu diantaranya kota Air Bangis. Namun yang dijadikan ibu kota adalah Tapanoeli. Baru setelah Traktat London (1824: tukar guling antara Bengkulu/Inggris dan Malaka/Belanda) ibu kota pantai barat Sumatra dipindahkan dari kota Tapanoeli ke kota Padang. Setelah kota Padang ditabalkan sebagai ibu kota provinsi tahun 1837, dua tahun berikutnya kota Air Bangis dijadikan sebagai ibu kota Residentie.

Ketika Belanda memulainya, saat itulah kota Air Bangis tumbuh pesat. Namun semuanya harus berakhir. Ketika kota Air Bangis jatuh hingga posisi titik nadir, saat itu pula Belanda harus berakhir. Serupa apa situasi dan kondisi di kota Air Bangis jelang detik-detik berakhirnya Belanda di Indonesia? Mungkin kisahnya tidak penting, tetapi apapun yang terjadi pada setiap detik-detik terakhir, selalu menarik perhatian. Satu yang penting adalah penempatan 500 orang kolonisasi dari Jawa di dekat kampong Baharoe dan kampong Pasir Pandjang pada bulan Januari 1941 (lihat De Indische courant, 27-03-1941).  Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

NV Cultuur Mij Ophir dan Kolonisasi Jawa di Batahan

Rencana penempatan penduduk asal Jawa di Air Bangis paling tidak diketahui pada tahun 1940 (lihat De Sumatra post, 18-10-1940). Disebutkan Dr Stoker penanggungjawab laboratorium penyakit Malaria di Medan mengumumkan akan menempatkan satu orang dokter pribumi, tiga mantri malaria dan seorang mantri laborant sehubungan dengan kolonisasi di daerah Batahan (Air Bangis). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pada tahun 1941, ahli penyakit malria ini menyebutkan akan membangun banguna semi-permanent untuk polikliniek. Hal yang sama juga akan dilakukan di daerah kolonisasi lainnya di daerah Palcmbang dan daerah Djambi.

Pemisahan Batahan (Peta 1850)
Laboratorium penyakit Malaria di Medan sudah lama ada. Laboratorium ini dirintis oleh dokter WAP Schüffner. Pada tahun 1916 Achmad Mochtar yang baru lulus sekolah kedokteran STOVIA ditempatkan di Medan untuk ikut membantu Kepala Inspektur Dinas Kesehatan di Sumatra, Dr W Schüffnerm (De Preanger-bode, 05-07-1916). Dr Achmad Mochtar kemudian ditempatkan sebagai dokter pemerintah di Tapanoeli di Taroetoeng dan Padang Sidempoean dengan tetap membantu Dr W Schüffner (lihat De Preanger-bode, 23-12-1918). Saat itu wilayah malaria berada di Batangtoroe dan Mandailing. Seetelah selesai berdinas di Sumatra, atas rekomendasi Dr. W. Schuffner kemudian Dr. Achmad Mochtar melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1923. Dr. Achmad Mochtar akhirnya berhasil mencapai gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran pada tahun 1927 (De Telegraaf, 11-02-1927). Disebutkan bahwa Achmad Mochtar lahir di Bondjol dengan desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosplrenstummen’. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D kembali ke tanah air dan berdinas sebagai ahli laboratorium dari satu tempat ke tempat lainnya akhirnya dipindahkan ke Geneeskundig Laboratorium te Batavia pada bulan Mei 1937 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1937). Laboratorium ini kelak lebih dikenal sebagai Lembaga Eijkman. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D lahir di Bonjol tahun 1892. Ayahnya, Omar Mochtar adalah seorang guru di Bodjol yang berasal dari Mandailing. Kini nama Achmad Mochtar ditabalkan menjadi nama rumah sakit daerah di Bukittinggi.

Pada bulan Januari 1941 sebanyak 500 orang sudah ditempatkan di daerah Batahan Air Bangis di kampong Baharoe dan kampong Pasir Pandjang (lihat De Indische courant, 27-03-1941). Disebutkan mereka ini adalah kelompok pertama yang akan menempati lahan seluas 19.000 Ha yang diantaranya direncanakan 10.000 Ha lahan beririgasi. Dinas kesehatan DVD telah menempatkan satu dokter dan 2 mantri di kolonisasi baru yang dilengkapi satu gedung rawat jalan semi-permanen dan bangunan rawat inap yang mampu menampung 30 pasien. Penduduk asli menerima kehadiran kolonisasi karena mereka mendapat manfaat dari pengembangan irigasi pertanian.

De Indische courant, 27-03-1941
Kampong Baharoe adalah kampong baru. Kampong yang menjadi tempat kolonisasi ini kini menjadi satu dari dua kanagarian di Kecamatan Batahan (kabupaten Pasaman Barat). Kanagarian Silaping yang menjadi ibu kota Batahan sudah dikenal sejak tempo doeloe. Di daerah pengaliran sungai sungai Batahan tedapat dua kampong besar: di hilir adalah kampong Batahan (yang sudah diidentifikasi sejak jaman kuno) dan di hulu adalah kampong Silaping. Pembagian wilayah oleh Pemerintah Hindia Belanda (1826) dua kampong yang satu kerabat ini menjadi terpisah. Batahan di hilir menjadi district Natal (Mandailing Natal) dan Silaping di hulu menjadi district Air Bangis (Pasaman Barat). Kampong Silaping adalah wilayah Kerajaan Pakantan (lihat Beschrijving van het eiland Sumatra, 1789). Kelak nama district Air Bangis dijadikan  nama Afdeling, yang mana afdeeling Air Bangis terdiri dari lima laras (Air Bangis, Sikarbou, Odjoenggading dan Sikilang) yang dalam hal ini nagari Batahan masuk ke dalam laras Air Bangis. Dalam hal ini dapat dikatakan kecamatan Ranah Batahan (Pasaman Barat) secara historis terhubung dengan kecamatan Batahan (Mandailing Natal). Catatan: Nama kampong Batahan di hilir paling tidak sudah diidentifikasi pada peta kuno (1619).

Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa wilayah kolonisasi yang dipilih dan ditetapkan di daerah hulu sungai Batahan, laras Air Bangis, district Air Bangis, Onderafdeeling Ophir, Afdeeling Agam, Residentie West Sumatra? Tentu saja tidaklah karena alasan keberadaan NV Cultuur Mij Ophir yang berpusat di Taloe, tetapi diduga karena secara spasial district Air Bangis telah lama ditinggalkan dan pembangunan berpusat di jalur jalan poros Padang-Sibolga via Fort de Kock, Loeboeksikaping, Kotanopan, Padang Sidempoean dan Batangtoroe. Pemerintah tampaknya ingin mengembalikan harkat penduduk Air Bangis.

Kolonisasi (kata lain untuk transmigrasi) karena semata-mata untuk tujuan meningkatkan welfare penduduk (yang miskin di Jawa) dengan menyediakan lahan yang cukup di luar Jawa dan juga untuk untuk meningkatkan produktivitas penduduk lokal. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini tidak sedikit. Program kolonisasi ini sudah sejak lama di Lampong dan bersamaan dengan di West Java ini juga dilakukan di Palembang dan Djambi.

Program kolonisasi (kini program trasmigrasi) adalah program pemerintah pusat (di Batavia). Pemerintah pusat mengkoordinasikan antara pemerintah daerah (Residentie) asal dan Resident tujuan. Tentu saja pemerintah daerah (Residen) telah mendapat masukan dari para ahli (hasil studi kelayakan) dan para stakeholder lainnya termasuk para Asisten Residen, Controleur, anggota dewan Minangkabauraad dan para pemimpin penduduk di wilayah Air Bangis khususnya kepala kampong (nagari) Silaping dan kampong Baharoe di sekitar hulu daerah aliran sungai Batahan. Controleur berada di Air Bangis dan di Taloe serta Asisten Residen  berkedudukan di Loeboeksikaping. Sejumlah tokoh masyarakat yang berasal dari daerah setempat (Air Bangis dan Ophir Districten) sudah barung tentu telah diminta oleh pemerintah tentang pertimbangan mereka. Keputusan kolonisasi tidak mudah dan banyak pertimbangan strategis.

Tokoh-tokoh masyarakat dari sekitar kolonisasi antara lain Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, Dr Achmad Mochtar, Ph.D dan Dr. Abdoel Hakim. Kebetulan tiga tokoh ini berasal dari Mandailing. Dr Abdoel Hakim Nasution asal Goenoengtoea, Panjaboengan sejak 1931 adalah Wakil Wali Kota (Locoburgemeester) Padang; Dr. Achmad Mochtar, Ph.D kelahiran Bondjol asal Kotanopan adalah kepala laboratorium Batavia; Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D kelahiran Pajacoembo asal Pakantan sejak 1935 adalah kepala laboratorium Soerabaja; dan Soetan Kanaikan adalah pemilik sekolah pertanian di Loeboeksikaping yang juga anggota dewan Minangkabauraad. Tentu saja pemerintah pusat telah meminta pertimbangan dari empat anggota dewan pusat (Volksraad) yakni Dr. Abdoel Rasjid, Mangaradja Soangkoepon, Dr. Radjamin Nasution dan Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D. Dr. Abdoel Rasjid Siregar (dari dapil Tapanoeli) adalh kelahiran Padang Sidempoean yang pernah bertugas sebagai dokter pemerintah di Panjaboengan adalah adik dari Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Oost Sumatra). Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (dari dapil Batavia) kelahiran Padang Sidempoean pernah menjadi direktur sekolah HIS di Kotanopan dan Dr, Radjamin Nasution (dari dapil Oost Java) kelahiran Mandailing yang sebelumnya anggota dewan kota (Gemeenteraad) Soerabaja yang paling senior (Wethouder).

Belum lama koloniasi di Batahan, Air Bangis nasib buruk menimpa Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasan kepada Pemerintah Militer Jepang. Pada era rezim militer Jepang ini situasi dan kondisi kolonisasi di Batahan terabaikan. Pemerintah Hindia Belanda yang menyokong (anggaran dan pembinaan) koloniasi tidak diteruskan oleh Pemerintah Militer Jepang. Misi kedua rezim (penjajah) ini berbeda.

Selama pendudukan militer Jepang situasi dan kondisi di Indonesia khususnya di Sumatra Barat tidak terpantau dengan baik. Sudah barang tentusa situasi dan kondisi di area kolonisasi di Batahan tidak terpantau. Pada era perang kemerdekaan juga tidak terpantau situasi dan kondisi di kolonisasi Batahan. Sejumlah warga asal Jawa di kolonisasi di Batahan banyak yang pindah ke tempat lain.

Setelah era pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, dan setelah kembalinya ke bentun negara kesatuan RI (NKRI) wilayah kolonisasi di Batahan mulai diperhatikan. Ini bermula dari kunjungan Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Muljohardjo ke Pasaman, Air Bangis dan Batahan pada tahun 1951 (lihat De nieuwsgier, 13-10-1951). Disebutkan Gubernur Muljohardjo akan segera akan mengeksplorasi kemungkinan menggunakan kembali Batahar sebagai daerah kolonisasi.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar