Senin, 15 Juni 2020

Sejarah Lombok (7): Para Penemu Lombok; Sejak Cornelis de Houtman (1597) hingga Heinrich Zollinger, 1847 dan Wallace, 1856


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Lombok adalah narasi fakta dan data sejarah Lombok. Banyak kontributor yang menyediakan sejarah awal Lombok. Para kontributor ini mengumpulkan data yang kini dijadikan sumber sejarah Lombok. Dua yang terpenting adalah Cornelis de Houtman (1597) dan Heinrich Zollinger (1847). Cornelis de Houtman dapat dikatakan sebagai pemberi kabar pertama tentang keberadaan Lombok. Sedangkan Heinrich Zollinger dapat dikatakan sebagai seorang ilmuwan yang benar-benar berhasil menggambarkan situasi dan kondisi di Lombok.

Zollinger dan Wallace
Para penemu sejarah bukanlah orang yang pertama memasuki sutau wilayah tertentu. Para penemu sejarah tempat-tempat di Indonesia, dalam hal ini, adalah orang-orang yang lebih awal secara sadar menulis hasil pengamatan dan wawancanranya dengan penduduk setempat, yang kemudian ditulis dan terpublikasikan. Di Sumatra antara lain Charles Miller (Angkola, Tapanoeli 1772); Jung Huhn (Tapanoeli, 1850) dan lainnya. Di Jawa antara lain Radermacher (hulu sungai Tjiliwong dan Buitenzorg, 1777) dan Groneman (Jogjakarta, 1867), Mereka ini adalah para sarjana (yang memiliki pengetahuan dan metodologi).

Heinrich Zollinger adalah seorang Jerman ahli botani. Heinrich Zollinger datang ke Hindia (baca: Indonesia) pada tahun 1842 ketika seorang Jerman ahli geologi Jung Huhn tengah bekerja di pedalaman Tapanoelib (sejak 1840). Sebagai sarjana, mereka sangat mahir menulis dan memilah-milah dan memilih data yang diperlukan hingga jauh ke masa depan. Namun sangat jarang yang menulis kehadiran Heinrich Zollinger di Lombok. Okelah. Untuk menambah pengetahuan tentang siapa Heinrich Zollinger dan apa yang ditemukannya di Lombok, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Heinrich Zollinger dan Perang Bali

Pada tahun 1666 Pemerintah VOC mengubah kebijakannya dari kebijakan yang menjadikan pribumi sekutu menjadi kebijakan baru bahwa pribumi dijadikan subjek. Artinya hubungan yang longgar pedagangan di pantai yang selama ini akan bekerjasama (bersekutu) dengan penduduk baik di pantai maupun di pedalaman. Pedagang-pedagang VOC akan membuka ruang di daratan (pedalaman) apakah untuk kegiatan perdagangan maupun pengusahaan pertanian (perkebunan).

Sejak kebijakan baru ini, utusan dikirim ke berbagai tempat dimana kerjaan-kerajaan berada yang kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi-ekspedisi damai. Ekspedisi ini biasanya disertakan para ahli seperti ahli botani, ahli geologi, ahli linguistik dan ahli geografi sosial. Untuk urusan pertahanan dilakukan oleh militer yang mendampingi ekspedisi.

Besar dugaan pedagang-pedagangan VOC sudah memasuki pedalaman Lombok, paling tidak ke tempat dimana berada ibu kota kerajaan Lombok di Selaparang (sekitar Priggabaya yang sekarang). Sebagai wujud pemahaman pedagang-pedagang VOC, dalam Peta 1660an sudah diidentifikasi  bahwa wilayah kerajaan Lombok/Selaparang selain (pulau) Lombok juga termasuk pulau Poh (pulau Nusa Penida yang sekarang). Catatan: di sekitar ibu kota Selaparang juga terdapat nama kampong (kota) Poh Gading.

Pada saat tim ekspedisi pertama Belanda berkunjung ke Lombok pada tahun 1595, Cornelis de Houtman telah bertemu dengan penguasa pelabuhan (sjahbandar) Laombok (di teluk Lombok). Sementara kerajaan Selaparang berada di pedalaman. Sjahbandar ini memiliki sekitar 10 pria bersenjata, Disebutkan Cornelis de Houtman, kehadiran (perwakilan) Djapara sudah ada di Lombok sejak 1593. Selaparang diduga sebagai vassal dari kerajaan Djapara. Cornelis de Houtman juga singgah di Bali (diduga di Kloengkong). Sejak terbentuknya VOC yang beribukota di Batavia hubungan VOC dengan kerajaan Lombok dan kerajaan Bali tetap terjaga. Pada Peta 1720 di pulau Bali sudah teridentifikasi sejumlah kerajaan, sementara di pulau Lombok hanya sorangan diri di Selaparang (pantai timur Lombok).

Pada tahun 1740 kerajaan Karangasem melakukan invasi ke pulau Lombok, wilayah kerajaan Selaparang. Sejak inilah pulau Penida masuk wilayah Bali. Sejak inilah diduga pulau Lombok yang telah dididuki (kerajaan) Karangasem, pulau Lombok yang sebelumnya terbuka menjadi pulau yang tertutup. Kerajaan Karangasem membangun di atas kota (kampong) Mataram, sementara kota (kampong) Ampenan menjadi pelabuhannya. Kota Mataram diduga dibentuk oleh kerajaan Mataram yang telah mengalahkan (kerajaan) Djapara. Sebagai wujud kemenangan (keunggulan) kerajaan Karangasem di Lombok memberi nama kerajaan (pangeran) Karangasem dengan nama Bali Selaparang.

Pulau Lombok yang subur dan populasi yang banyak menjadi sentra produksi menyebabkan kerajaan Bali Selaparang (Karangasem) menjadi cepat tumbuh dan berkembang. Pelabuhan Ampenan sangat sibuk karena arus komoditi dari pedalaman seperti beras, kapas, tembakau, kuda, kulit kerbau dan sebagainya. Sementara arus impor seperti garam dan opium masuk ke padalaman. Kota Mataram menjadi kota besar, tetapi sangat tertutup bagi orang asing. Orang asing termasuk Eropa-Belanda hanya sampai di (pelabuhan) internasional Ampenan. Kerajaan Bali Selaparang (Karangasem) telah memainkan peran yang penting dalam perdagangan internasional tidak hanya dengan VOC (Belanda) tetapi juga dengan Inggris yang berbasis di Singapoera dan Sydney. Bali Selaparang (Lombok) telah mengungguli Bali Karangasem (induknya di pulau Bali).

Pada tahun 1839 terjadi perang saudara di Lombok antara pangeran Bali Selaparang (Lombok) dengan raja Karangasem. Raja Karang Asem berada di Tjikranegara, sedangkan di kota Mataram (pangeran) Bali Selaparang. Dalam perang saudara ini dimenangkan oleh pangeran Bali Selaparang, Atas kekalahan ini Radja Karang Asem di Tjikranegara membunuh semua punggawa dan pengikutnya termasuk istri-istri dan anak-anaknya yang kemudian diikuti oleh Radja Karang Asem sendiri masuk ke dalam bara api. Setelah itu pangeran Bali Selaparang menjadi penguasa tunggal di Lombok. Kerajaan Karang Asem di Bali dan Kerajaan Bali Selaparang putus sudah. Pangeran yang menjadi Raja menempati puri di Tjakranegara dan pangeran mahkota baru di Mataram.

Ampenan, Mataram dan Tjakranegara  (Peta 1895)
Pada tahun 1846 perselisihan pangeran (raja) Boeleleng yang dibantu oleh Radja Karangasem semakin kritis. Radja Boeleleng tidak hanya menguasai Boeleleng tetapi juga Djembrana. Jadi secara teknis pantai utara Bali adalah semua kerabat Kerajaan Karang Asem (kerajaan Bali Selaparang telah mandiri di Lombok). Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengultimatum karena palanggaran perjanjian yang dlakukan oleh pangeran Boeleleng. Ekspedisi militer di kirim ke Boeleleng. Kraton Boelleng di Singaradja hancur dan raja sendiri melarikan diri ke pedalaman. Dalam penyerangan Radja Boeleleng dan pasukannya juga didukung oleh kerajaan Bali Selaparang (Lombok) dengan satu kapal canggih yang dibeli di Sydney yang didalamnya terdapat pasukan Lombok (Bali Selaparang)..

Pasca Perang Bali (Perang Boeleleng) ini Pemerintah Hindia Belanda mengirim seorang ahli botani melakukan ekspedisi ilmiah ke Boeleleng. Ahli Botani itu adalah Heinrich Zollinger. Setelah selesai ekspedisi di Boeleleng dan tempat lain di Bali, Heinrich Zollinger diminta melanjutkan ke pulau Lombok. Sebagai sekutu Pemerintah Hindia Belanda, tampaknya ‘terpaksa’ memberi izin bagi Heinrich Zollinger untuk melakukan ekspedisi ilmiah ke pedalaman Lombok. Inilah orang Eropa pertama yang memasuki pedalaman Lombok sejak sekian dekade dan laporan Heinrich Zollinger juga dapat dianggap sebagai laporan terlengkap tentang situasi dan kondisi (pedalaman) Lombok.

Tijdschrift voor NI, September 1847
Laporan ekspedisi ilmiah Heinrich Zollinger ini dibuat dalam dua tulisan yang satu tentang pulau Bali dan yang satu lagi tentang pulau Lombok. Laporan ekspedisi Heinrich Zollinger di Lombok dipublikasikan pada jurnal Tijdschrift voor Neerland's Indie bagian kedua yang terbit pada bulan September 1847. Dalam laporan ini sangat detail tentang pulau Lombok termasuk gambaran tentang situasi dan kondisi di kota Mataram dan Tjakrangara dana kota-kota lainnya dimana orang Bali berada seperti Pengasahan, Pagoetan, Karangasem dan sebagainya. Juga dalam laporan ini tentang populasi Sasak yang terkait dengan kehidupan mereka, lingkungan, perdagangan dan gambaran lanskap Lombok sendiri. Begitu luas dan detilnya pengamatan dan uraian Heinrich Zollinger dan bahkan Heinrich Zollinger sendiri sampai ke pelosok-pelosok di Sembalun dan danua Segara di gunung Rindjani.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Heinrich Zollinger dan Alfred Russel Wallace

Penemuan-penemuan tempat di Hindia pada dasarnya telah didokumentasikan sejak era VOC seiring dengan pembentukan lembaga ilmu pengetahuan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang diinisiasi oleh Radermacher yang kali pertama menerbitkan publikasi pada tahun 1779 (Deel I).

Sebelumnya data-data yang dapat dikumpulkan hanya berdasarkan berita singkat dan artikel kecil di surat kabar, dokumen-dokumen pemerintah VOC dan laporan-laporan para traveller yang dibukukan. Catatan Kasteel Batavia (Daghregister) bahkan belum di katalogkan. Salah satu penulis yang sudah berinisiatif memanfaatkan Daghregister adalah Valentijn, seorag geografi sosial yang berdiam di Amboina yang bukunya dipublikasikan pada tahun 1727.  

Salah satu artikel publikasi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menyinggung tentang keberadan Lombok adalah artikel yang ditulis oleh Radermacher dengan judul Korte beschrijving van Celebes, Floris, Sumbawa, Lombok en Balie (Deel IV, 1782). Artikel lainnya yang terkait dengan Lombok adalah berjudul Narrative of the eflects of the eruption from the Tombora Mountain in the island of Sumbawa on the 11 and 12 of April 1815 yang dimuat pada Deel IX (1816). Dua artikel terdahulu ini tidak menggambarkan situasi dan kondisi di pedalaman pulau Lombok.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar