Kamis, 23 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (12): Islam, Orang Arab dan Haji di Bali; Orang Bali Hindu Tidak Mau Diganggu dan Terganggu (Toleransi)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
 

Dalam sejarah Bali, sesungguhnya jarang, jika tidak ingin dikatakan tidak pernah, pertikaian antar agama yang menyulut perang. Pertikaian yang intens terjadi justru antar kerajaan di Bali yang sama-sama penganut agama Hindu. Perang yang terjadi di masa lampau yang dilancarkan oleh orang Bali, baik antar sesama maupun dengan asing (Belanda) hanya karena atas dasar ekonomi. Aneksasi Karangasem (Hindoe) ke Lombok (Sasak Islam) juga hanya semata-mata motif ekonomi (bukan motif agama).

Agama Hindu Bali dapat dikatakan adalah sisa Hindoe di Jawa. Pulau Bali melestarikan ajaran Hindoe yang sebelumnya berkembang di Jawa. Sejumlah peneliti Bali di masa lampau menjelaskan bahwa orang-orang (dari pulau) Jawa yang membawa ajaran Hindoe ke pulau Bali (pasca jatuhnya Majapahit). Namun orang-orang Jawa yang beragama Hindoe tidak semua penduduk Bali menjadi Hindoe. Penduduk asli Bali ini tetap dengan kepercayaan lamanya (ada yang menyatakan sebagai Budha atau Bodha di Lombok). Mereka ini dikenal sebagai penduduk dari desa-desa Bali Aga yang di era kolonial Hindia Belanda masih banyak ditemukan. Dua yang lebih dikenal pada masa ini desa Tenganan dan desa Trunyan.

Desa-desa Bali Aga dengan desa-desa Bali umumnya (Hindoe) sama-sama eksis. Desa-desa Bali umumnya yang mayoritas dapat hidup berdampingan dengan desa-desa Bali Aga. Gambaran yang menyebabkan orang Bali Hindoe dapat menerima pendatang baru (Arab/Islam) dan orang-orang Cina. Orang Bali Hindu tidak mau diganggu dan terganggu. Mereka membiarkan Islam, orang Arab dan (ber)haji berkembang sendiri. Nah, bagaimana itu semua terbentuk? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jamah haji di Jawa (1878)
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Para Haji Islam di Bali

Dari mana memulai memahami sejarah Islam di (pulau) Bali? Mulailah dari adanya pemberangkatan haji. Satu informasi yang penting adalah laporan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1876 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1878). Dalam catatan pemerintah itu terdapat sebanyak 23 orang yang tercatat berangkat haji ke Mekah (dan pada tahun yang sama terdapat delapan yang pulang).

Jamaah haji (keberangkatan dan kedatangan) di Bali (1878)
Keterangan ini mengindikasikan bahwa haji sudah lama adanya di (pulau) Bali. Namun para haji ini hanya tercatat di Boeleleng dan Djembrana, suatu wilayah di Bali dimana sudah terbentuk cabang Pemerintah Hindia. Bagaimana dengan di wilayah-wilayah lainnya seperti Karangasem, Kloengkoeng, Badoeng dan Gianjar serta (pulau) Lombok? Tentu saja tidak dicatat, karena tidak (belum) terdapat cabang Pemerintah Hindia Belanda. Adanya keberangkatan haji juga mengindikasikan bahwa, jika tidak disebut kaya, ada penduduk di Bali yang mampu membayar biaya perjalanan dan akomadasi selama perjalanan (pp) dan selama di Mekah (dan Madinah). Sebagaimana diketahui, Pemerintah Hindia Belanda telah turut memfasilitasi penduduk yang akan menunaikan (rukun) haji.

Lantas mengapa harus Boeleleng dan Djembrana? Tentu saja bukan karena di dua wilayah ini Pemerintah Hindia Belanda telah membentuk cabang pemerintahan (Afdeeeling Boeleleng dan Afdeeling Djembrana). Akan tetapi, karena kebetulan, di dua wilayah ini penduduk asli Bali Hindoe atau Bali Aga) sudah sejak lama berinteraksi dengan suku (bangsa) lain. Menurut perkiraan pada tahun 1874 jumlah orang asing di Bali (selain penduduk asli Bali) terdapat sekitar  sepuluh ribu orang termasuk diantaranya lebih dari 1200 Cina. Yang lain adalah Bugis, Mandar, Kangean, Slajar, Jawa (termasuk Madoera) dan Arab. Sebagian besar dari mereka tinggal di kota-kota pantai, dimana mereka banyak melakukan aktvitas perdagangan.

Wilayah Boeleleng dan wilayah Djembrana secara geografis bersinggungan dengan wilayah lain. Wilayah Djembrana di bagian barat daya pulau Bali hanya dibatasi oleh selat Bali (sebelumnya dicatat sebagai selat Blambangan) yang begitu dekat dengan populasi Banjoewangi dan Madoera. Wilayah Boeleleng di bagian utara pulau Bali berhadapan langsung dengan laut lepas dimana kapal-kapal Melayu (Kalimantan) dan Bugis, Mandar dan lainnya hilir mudik dalam berbagai aktivitas perdagangan antar pulau. Menurut sejumlah ahli secara geologis selat Bali terbentuk karena patah akibay gempa bumi tempo doeloe. Hal ini yang menyebabkan flora dan fauna Jawa tidak begitu berbeda dengan Bali. Namun yang sedikit membedakan menurut para ahli (termasuk Wallace) harimau Bali (juga banteng liar) hanya ditemukan di wilayah Boeleleng dan wilayah Djembrana. Tidak hanya itu, dari segi navigasi menurut Heinrich Zollinger bahwa pantai-pantai Djembrana dan pantai-pantai Boeleleng lebih aman (apakah dari angin munson atau arus laut serta kedalaman laut dan wujud pantai untuk pendaratan perahu atau kapal). Semua karakteristik itu menjadi sebab mengapa dua wilayah itu sangat beragam populasi.

Pada wilayah-wilayah pantai inilah penduduk asli Bali (yang beragama Hindoe) berinteraksi dengan berbagai kelompok populasi pendatang. Para penduduk pendatang ini (kecuali Cina) umumnya beragama Islam. Meski orang Bali sebagian berasal dari (pulau) Jawa (Hindoe) namun sangat jarang penduduk asli Bali yang beragama Islam (kecuali sebab-sebab tertentu sebagaimana didiskusikan nanti di bawah). Dalam hal ini penganut agama Islam di Bali umumnya adalah pendatang.

Menurut sejumlah peneliti (antara lain WR van Hoevel, 1846 dan R van Eck, 1878), agama Hindoe terbentuk di Bali seiring dengan jatuhnya kerajaan Madjapahit (Hindoe) dengan semakin menguatnya pengaruh Islam (dimulai dari pantai utara Jawa). Para migran asal Jawa inilah yang bersama-sama dengan penduduk asli Bali yang menjadi populasi Hindoe di Bali. Sebagian penduduk asli tetap dengan kepercayaannya yang secara ekslusif ditemukan di banyak desa-desa Bali Aga. Dalam perkembangannya, pengaruh agama Islam semakin meluas di (seluruh) Jawa, mulai merangsek ke pulau-pulau kecil (Klein Soenda) termasuk Bali dan Lombok. Penduduk Bali yang sudah beragama Hindoe sulit dimasuki pengarus agama Islam meski secara historis Bali disebut sebagai bagian dari (pulau) Jawa. Fernando Mendez Pinto (1546) menyebut Bali sebagai salah satu pulau yang tunduk pada pangéran Adipati dari Demak (yang beragama Islam). Oleh karena itu penyebaran agama Islam bergeser ke pulau Lombok yang mana dalam catatan ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman bahwa di pulau Lombok sudah terbentuk koloni kerajaan Djepara sejak 1593.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mataram Islam vs Bali Hindoe

Para pendatang tersebut adalah pedagang-pedagang yang datang dari pantai utara Jawa termasuk Madoera (Mataram), Malaka dan Kalimantan (Melayu) dan Gowa (Makassar dan Boegis). Pada saat kedatangan pedagang-pedagangIslam ke Bali, posisi (kerajaan Jawa) Mataram sudah sangat kuat. Sebagaimana diketahui Mataram sempat melakukan penyerangan terjadap benteng VOC di muara sungai Tjiliwoeng (kasteel Batavia) pada tahun 1628. Sementara itu (kerajaan) Bali juga terbilang kuat.

Pada tahun 1633 ada laporan pedagang VOC di Bali bahwa kerajaan Bali akan menyerang Mataram. Tidak begitu jelas menyerang Mataram apakah menyerang pusatnya di pedalaman Jawa atau cabang-cabang pemerintah kerajaan Mataram seperti pantai utara Jawa (dan Madura) atau Lombok atau menghadang Mataram di Blambangan dan Panaroekan. Sebab sebelumnya Mataram (bersama orang Moor) sudah menaklukkan banyak kota penting seperti Soerabaja, Pasaroeang, Gricee dan Toeban. Laporan ini segera direspon oleh pemerintah VOCdi Batavia. Sebab Bali dan VOC memiliki musuh yang sama. Juga tidak diketahui apa motif Bali menyerang Mataram apakah karena Mataram yang sangat kuat di Lombok dan timur pulau Jawa atau apakah Bali sangat khawatir pengaruh Islam akan ke Bali melalui para pedagang-pedagang Mataram (yang termasuk orang-orang Arab) di pantai timur Jawa dan Lombok? Yang jelas tawaran VOC ini diterima Bali. Sebagaimana diketahui hubungan VOC dengan Bali sudah ada tempo doeloe bahkan sejak era Cornelis de Houtman. Hubungan itu semakin intens setelah Belanda berhasil menaklukkan Ambon tahun 1605. Namun setelah pos utama VOC dipindahkan dari Ambon ke Batavia (1619) hubungan Belanda-VOC sepi (tidak ada lagi pedagang VOC di Bali). Respon VOC terhadap Bali ini menyebabkan Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer mengirim segera utusan ke Bali sekaligus untuk membuka kembali kedubes (pedagang VOC) di Bali yakni dengan membawa beras satu kapal besar yang baru datang dari Siam [kini Thailand]. Musuh Belanda tidak hanya Mataram tetapi juga Portugis (yang berbasis di Malaka) yang mana para pedagang Portugis masih ada di timur pulau Jawa. Munculnya kolaborasi Portugis dan Mataram akan memperburuk posisi VOC, karena itu menjalin kembali hubungan diplomatik dengan Bali adalah langkah strategis. Informasi ini dapat dibaca pada artikel berjudul Het Gezantschap Naar Bali, Onder den Gouverneur Generaal  Hendrik Brower, in 1633 yang dimuat pada majalan Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856.

Namun yang menjadi persoalan bagi VOC adalah bahwa secara ekonomi (pulau) Bali kurang menguntung. Hal itulah sebabnya mengapa pedagang VOC sebelumnya meninggalkan pos perdagangan Bali. Akan tetapi, membuat hubungan yang baik dengan Bali akan memperkuat posisi pertahanan VOC. Lalu lahirlah gagasan perdagangan budak dari Bali sebagai komoditi yang dapat dipertukarkan dengan VOC di Batavia yang akan dapat menguntungkan radja Bali (selama ini budak untuk kebutuhan VOC di suplai dari Jawa dan tempat-tempat lainnya).

Tentu saja kolaborasi dengan Bali ini akan memperkuat kolaborasi yang sudah ada sebelumnya dengan Amboina. Hubungan yang intens antara Batavia dan Bali dengan Amboina di satu sisi akan sendirinya menghalangi kemungkinan Mataram meminta bantuan Portugis (yang berbasis di Malaka). Garis komunikasi antara Batavia dan Bali juga dengan sendirinya membuat ruang gerak Mataram terbatas di daratan (Jawa). Untuk sekadar tambahan: saat ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1596 saat berada di Idajoe pernah datang utusan Blambangan (Hindoe) meminta bantuan Belanda, namun karena sudah ada pergerakan pasukan Djepara (Islam) ke ujung timur Jawa, permintaan itu ditolak halus. Lalu saat kapal-kapal Cornelis de Houtman mampir ke Lombok (di teluk Lembok) mereka mencatat bahwa kerajaan Djapara sudah membuat kolonii di Lombok sejak 1593. Koloni Djapara juga sudah ada di pulau Soembawa (khususnya di Bima).

Untuk menaklukkan Mataram jelas Bali tidak akan mampu. Karena dalam banyak hal Mataram lebih unggul dari Bali apakah jumlah kapal, jumlah tentara dan posisi wilayah. Bagaimana Bali bersemangat untuk melawan Mataram tentu saja hanya karena faktor (kerajaan) Blambangan yang beragama Hindoe (terakhir di pulau) Jawa akan memperlemah kedudukan Hindoe di Bali. Jadi, perlawanan Bali terhadap Mataram adalah merebut kerajaan Blambangan (Hindoe) dari kemungkinan jatuhnya Blambangan ke tangan Mataram. Tawaran VOC untuk membentuk aliansi dengan Bali adalah saling menguntungkan.

Hubungan yang intens antara (kerajaan) Bali dan VOC (di Batavia) dapat dilihat pada catatan harian (Daghregister) Kasteel Batavia sejak 1659 sehubungan dengan adanya pedagang VOC di Bali. Satu yang penting dalam Daghregister 30 April 1659 menyatakan bahwa di bawah yurisdiksi VOC (di Batavia) sudah terdapat sebanyak 1.177 orang Jawa dan Bali. Orang-orang Jawa di yurisdiksi VOC sebelumnya sudah dilaporkan keberadaannya di Amboina. Mereka ini adalah pembantu orang-orang Belanda dan pasukan militer VOC. Orang Jawa dalam hal ini (jelas bukan orang Mataram) tetapi orang-orang yang direkrut dari (kota-kota) pantai utara Jawa. Seperti halnya, orang-orang Jawa, orang-orang Bali juga memilii fungsi yang sama sebagai pembantu orang Belanda dan pasukan militer VOC. Masih berdasarkan catatan Kasteel Batavia (Daghregister) tanggal 11 April 1661 dan tanggal 5 Agustus 1661 kapal dari Bali membawa budak, budak perempuan dan kacang (ijo). Beberapa bulan sebelumnya juga di dalam Daghregister 12 Februari 1661, kapal de Haes dari Batavia menuju Bima. Dalam Daghregister tahun-tahnn berikutnya dicatat kapal-kapal VOC dari Batavia ke Makassar juga ada yang melalui Blambangan dan Bali. Ini mengindikasikan pengaruh Portugis di ujung timur pulau Jawa telah menghilang.

Radja Bali tampaknya harus bersabar untuk melawan Mataram (menaklukkan Blambangan). Kekuatan Mataram masih kuat. Strategi VOC tidak sedang memprioritaskan (kerajaan) Mataram tetapi menghadapi persoalan yang muncul di kerajaan Gowa (Makassar). Dalam menghadapi semua itu, pemerintah VOC akan mengubah kebijakannya pada tahun 1666 yang mana sebelumnya kebijakan perdagangan yang longgar di pantai diubah menjadi kebijakan yang sama sekali baru yakni dimana penduduk asli (pribumi) akan dijadikan sebagai subyek VOC (lihat Hendrik Kroeskamp, 1931). Inilah awal yang sebenarnya orang Belanda (VOC) melakukan penjajahan (tidak hanya sekadar membentuk koloni).

Perwakilan dagang Belanda di Sambopp [Somba Opoe] sudah ada sejak 1607 yakni Class Leuers dan berakhir tahun 1608 (setelah penaklukan Portugis di Amboina pada tahun 1605). Gubernur Jenderal Anthony van Diemen mengangkat seorang pedagang (koopman) di Makassar N van Vliet sebagai gubernur (landvoogden). N van Vliet terbunuh pada tahun 1638 lalu digantikan oleh oleh kepala pedagang (opperkoopman) VOC di Makassar, Johan van Suijdewijk. Pengangkatan Johan van Suijdewijk sebagai gubernur hanya berlangsung hingga 1646. Setelah itu fungsi gubernur VOC di Makassar ditadakan, Namun pada tahun 1651 fungsi gubernur diaktifkan kembali dengan mengangkat Evert Jansz Ruijs. Pada tahun 1655 Ruijs digantikan oleh Abraham Verspreet. Namun belum lama menjabat sebagai gubernur, Abraham Verspreet harus ditarik kembali ke Batavia. Pada tahun 1661 diketahui keberadaan viceroy di Bima (lihat Dagregister 12 September 1661). Viceroy dalam hal ini adalah gubernur VOC. Bima menjadi tempat terpenting kedua VOC di timur (selain Amboina). Di Bima adalah tempat gubernur dan residen VOC. Setelah penarikan gubernur di Makassar tampaknya kedudukan gubernur di relokasi ke Bima.

Sehubungan dengan kebijakan baru VOC ini, pada tahun 1665 diketahui (pangeran) dari Bali Goesty Pangy (Gusti Panji?) bertemu dengan Gubernur Jenderal (Joan Maetsuycker) di Batavia (lihat Daghregister tanggal 28 Agu 1665).

Lalu dalam perkembangannya pemerintah VOC masih menganggap utang Gowa atas kematian pedagangnya tahun 1638. Pemerintah VOC memberikan ancaman kepada kerajaan Gowa. Kedua belah pihak kemudian dibuat perjanjian (contract) damai yang disebut Bongaisch Contract pada tahun 1667. Namun tentu saja isi perjanjian tersebut tidak mudah dipenuhi. Akhirnya terjadi Perang Gowa antara VOC dengan Kesultanan Gowa yang dipimpin oleh Soeltan Hasan Oedin. Perang ini berakhir pada tahun 1669. Setelah penaklukan Makassar, pada tahun 1669, Johan van Opzijnen seorang pedagang diangkat sebagai gubernur (landvoogden) di Makassar.

Penaklukkan Gowa (Makassar) telah menambah daftar taklukan VOC setelah Amboina, Batavia dan beberapa tempat lainnya (termasuk mengusir Atjeh dari Padang (Pantai Barat Sumatra 1665). Perjanjian (contract) antara Pemerintah VOC dengan (kerajaan) Bali tidak dalam posisi kalah perang tetapi suatu bentuk kerjasama yang saling menguntungkan, perdagangan budak dan janji untuk membantu Bali mengakuisisi Blambangan (dari infiltrasi Mataram).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang-Orang Arab di Bali

Orang Moor dan orang Arab adalah pelaut-pedagang yang handal. Sebelum orang Arab memperluas jaringan perdagangan ke Bali (dan Lombok), orang-orang Moor adalah pemain utama dalam urusan perdagangan di pelabuhan Boeleleng dan pelabuhan Ampenan. Namun secara perlahan-lahan peran orang-orang Moor digantikan oleh orang-orang Arab. Pesaing Arab adalah orang-orang Cina. Arab dan Cina banyak yang menjadi pedagang-pedagang utama. Yang menjadi feeder untuk mereka adalah pedagang-pedagang Bugis, Mandar, Makassar dan Melajoe. Orang Bali bukan pedagang antarpulau, karena orang Bali (juga orang Sasak di Lombok) bukan pelaut.

Untuk urusan diplomasi sejak era VOC hungga Pemerintah Hindia Belanda, pemerintah jika ingin berususan dengan penduduk pribumi yang banyak diminta bantuannya adalah orang-orang Moor dan orang-orang Arab. Orang-orang Cina jarang digunakan. Hal ini karena orang Moor dan Arab selain beragama Islam (banyak populasi Islam) juga karena orang Moor dan orang Arab lebih piawai berbahasa Melayu dan juga memiliki kecenderungan cara berbicara yang baik (beretorika). Untuk orang Eropa, pada era VOC, pemerintah Belanda lebih cenderung mengandalkan orang-orang Portugis atau Prancis, dan pada era Pemerintah Hindia Belanda pilihannya banyak jatuh pada orang Jerman. Orang Inggris adalah selalu menjadi musuh Belanda atau paling tidak selalu dicurigai oleh orang Belanda.

Pengaruh orang Arab di dalam perdagangan dengan orang Bali sudah sejak lama adanya, sejak era VOC. Pengaruh orang Arab tidak hanya di Bali dan Lombok tetapi juga hingga pulau-pulau terpencil seperti Banda, Kei (Toeal) dan Meraoeke (Papoea). Bukti pengaruh Arab ini lebih kuat dari Cina dalam komunikasi perdagangan karena penanggalan yang digunakan adalah penanggalan Islam dan aksara Arab-Melayu (Arab gundul). Atas dasar itulah, ketika terjadi kebuntuan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan radja-radja Bali (setelah diplomasi P van Broek gagal tahun 1818), pemerintah mengutus seorang (pedagang) Arab (Abdullah bin Mohamed el Maz'rie) sebagai ‘diplomat’ ke pedalaman Bali untuk menemuai para radja-radja.

Dalam perdagangan nusantara, termasuk di pantai-pantai Bali bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu (lingua franca). Bahasa Belanda hanya digunakan sesama orang Eropa atau orang Eropa dengan pedagang-pedagang Arab. Untuk penanggalan yang digunakan adalah penanggalan Eropa (Masehi) dan penanggalan Arab (Hijriah). Sementara aksara yang digunakan dalam perdagangan adalah aksara Latin dan aksara Arab (Arab-Melayu). Ini dapat dilihat dari surat pangeran (kerajaan) Karangasem ke Gubernur Jenderal VOC di Batavia pada tahun 1892 dan 1804 ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab dan penanggalan Hijriah. Seperti halnya orang Tionghoa aksara dan penanggalan Cina hanya terbatas pada orang-orang Cina, aksara Bali juga terbatas diantara orang-orang Bali.

Diplomasi Arab ini di pulau Bali hanya berhasil mempengaruhi radja Badoeng untuk melakukan perjanjian damai dengan Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian menempatkan seorang Portugis, du Bois di Badoeng sebagai perwakilan Pemerintah Hindia Belanda. Namun, du Bois hanya sampai pada tahun 1831. Tidak diketahui jelas mengapa kedubes di Badoeng dikosongkan. Setelah itu tidak ada lagi perwakilan Pemerintah Hindia Belanda di pulau Bali. Lalu kekosongan itu muncul seorang pedagang Inggris, GP King (namun tidak lama karena King relokasi ke Ampenen di Lombok).

Tampaknya pada fase permulaan Pemerintah Hindia Belanda, radja-radja Bali tidak terlalu menyukai (lagi) pedagang-pedagang Eropa khususnya Belanda. Perdagangan Bali kembali sepenuhnya dijalankan oleh orang-orang Arab dan Cina. Post perdagangan Arab berada di Boeleleng dan Djembrana, sedangkan pos perdagangan Cina berada di Sanoer. Para pedagang-pedagang Bugis, Mandar dan Melayu berada di pelabuhan-pelabuhan kecil lainnya seperti Sangsit, Koeta dan Laboehan Amok. Di wilayah Boeleleng dan wilayah Djembrana sudah sejak lama terdapat komunitas-komunitas Islam (Arab, Jawa, Madoera, Melayu, Bugis dan lainnya). Pantai-pantai selatan Bali dan Lombok dihuni oleh orang-orang yang berasal dari Celebes (Islam).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar