Kamis, 22 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (91): Gambut di Indonesia, Sejak Zaman Kuno hingga Peta Masa Kini; Sumatra, Kalimantan dan Papua

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini

Bagaimana gambut Indonesia? Sebarannya terutama di pulau Sumatra, pulau Kalimantan dan pulau Papua. Itu satu hal tentang masa kini. Hal lain yang ingin diperhatikan adalah sejarah zaman kuno gambut itu sendiri. Anehnya dalam melihat peta gambut Indonesia pada masa ini, para peneliti menyebut gambut yang berada di dekat pantai juga sudah berumur ribuan tahun. Apa, iya? Nah, dalam hal ini kita harus kita kaitkan dengan sejarah zaman kuno di Indonesia.

Belum lama ini diketahui bahwa gambut Putussaibau (kabupaten Kapuas Hulu, provinsi Kalimantan Barat). Gambut Putussibau ini tebalnya 17 hingga 18 meter (bandingkan rata-rata gambut di Indonesia 5 sampai 6 meter). Kabupaten Kapuas Hulu  ratusan kilometer ke pantai barat Kalimatan. Wilayah dimana gambut di kabupaten Kapuas hulu  ini ada yang berada pada ketiggian 25 meter dpl.  Ini mengindikasikan bahwa pada zaman kuno berada tidak jauh dari pantai. Secara keseluruhan keberadaan gambut Indonesia sudah dipetakan yang dapat dilihat pada situs Badan Restorasi Gambut (BRG) Indonesia. Dalam peta itu luasan gambut Indonesia hanya signifikan di Sumatra, Kalimantan dan Papua. Dalam peta-peta itu juga diidentifikasi kawasan-kawasan gambut di pedalaman.

Lantas bagaimana sejarah gambut di Indonesia? Seperti disebut di atas, luasannya hanya signifikan di Sumatra, Kalimantan dan Papua. Lalu apakah ada luasan gambut di pulau-pulau lain sepertin Jawa dan Sulawesi? Seperti halnya Sumatra, Kalimantan dan Papua, bentuk rupa bumi pulau Jawa juga telah berbeda yang zaman kuno dengan yang sekarang. Dalam hal ini umur gambut sendiri berbeda-beda. Seperti disebut di atas gambut Kapuas Hulu dikatakn yang tertua, bahkan tertua di dunia. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Gambut Indonesia, Serajah Rupa Bumi Pulau-Pulau

Tanah gambut di Indonesia terjadi pada interval 6.800-4.200 tahun yang lalu. Tanah gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi, sekitar 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm hingga 8.260 tahun pada kedalaman 5 M. Itu keterangan yang sering digambarkan di berbagai tulisan Namun keterangan itu sangat samar, di satu sisi menyamaratakan untuk kawasan yang luas dan tidak menunjukkan titik koordinat dan waktu pembentukan gambut. Keterangan itu juga menyamaratakan secara vertikal (lapisan tanah) tentang waktu pembentukan.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan telah melakukan pemutakhiran klasifikasi kedalaman atau ketebalan gambut dari semula 4 kelas menjadi 6 kelas. Enam kelas tersebut adalah gambut dangkal (50-<100 cm); gambut sedang (100-<200 cm); gambut dalam (200-<300 cm); gambut sangat dalam (300-<500 cm); gambut sangat dalam sekali (500-<700 cm); dan gambut ekstrim dalam )>700 cm). Sementara ukuran tingkat kematangan setengah matang sampai matang dan setiap luasan gambut juga berbeda kandungannya. Belum lama ini dilaporkan bahwa gambut tertua Indonesia di Putussiabau kabupaten Kapuas Hulu berdasarkan penanggalan karbon dikategorikan sebagai lahan gambut purba dan setidaknya telah terbentuk sejak 47.800 tahun lalu. Lahan gambut Putussibau memiliki lapisan yang sangat dalam bahkan hingga 18 M dan sebagai perbandingan, rata-rata kedalaman lahan gambut di Indonesia adalah 5 sampai 6 M (lihat Environmental Research Letters, akhir 2020). Laporan ini juga menyebutkan umumnya, situs pesisir mengandung lahan gambut dangkal. sebab, lahan gambut di pesisir baru mulai terbentuk setelah zaman es terakhir berakhir dan setelah permukaan laut stabil yakni antara 4.000 dan 7.000 tahun lalu.

Okelah soal penyamarataan adalah hal lain. Dalam hal ini bagaimana sejarah gambut Indonesia dari sisi perubahan muka bumi Indonesia yang dikaitkan dengan peta gambut Indonesia tersebut. Dengan memperhatikan peta gambut Indonesia pada masa ini, hal itu merujuk bentuk peta Indonesia (rupa bumi) pada masa ini. Jika membandingka peta yang sekarang dengan peta yang dibuat Prolomeus pada abad ke-2, bentuk rupa bumi yang sekarang berbeda dengan yang sekarang.

Pada era Ptolomeus peta (rupa bumi) pulau Kalimantan (peta Taprobana) jauh lebih kecil jika dibandingkan sekarang. Garis pantai selatan Kalimantan (provinsi Kalimantan Tengah dan provinsi Kalimantan Selatan) pada peta Ptolomeus lebih dekat ke garis ekuator. Dengan kata lain, kawasan gambut di lahan pesisir pulau Kalimantan yang sekarang tampaknya terbentuk belum mencapai 2.000 tahun. Bandingkan dengan keterrangan yang dikutip di atas yang menyatakan tanah gambut di Indonesia terjadi pada interval 6.800-4.200 tahun yang lalu. Apa yang  salah dalam hal ini? Peta geografi Ptolomeus atau peta gambut Indonesia masa kini yang salah?

Sayang, dunia/Indonesia tidak memiliki (salinan) peta lain zaman kuno kecuali peta Kalimantan (peta Taprrobana). Peta Sumatra dan juga peta Jawa baru muncul pada era Portugis. Jika dibandingkan peta-peta perkiraan para pelancong sebelumnya, peta-peta Portugis sudah lebih baik karena para pelaut-pelaut Portugis mengukur langsung pulau-pulau dengan tingkat teknologi navigasi saat itu.

Peta-peta awal Portigis, yang dibuat para ahli katyografi berdasarkan informasi pelaut-pelaut Portugis yang sudah mencapai Hindia Timur masih terkesan bingung apakah peta Ptolomesus abad ke-2 adalah Sumatra atau bukan. Namun yang jelas bahwa kemudian diketahui bahwa peta yang dibuat Portugis adalah peta Sumatra. Namun karena bentuknya tidak sesuai dan lebih mirip Ceylon maka para ahli kartografi Portugis menyangka pulau Taprobana adalah pulau Ceylon (tentu salah salah, karena kini terbukti Taprobana adalah pulau Kalimantan). Dalam hal ini peta Sumatra dapat dikatakan peta tertua sejauh ini yang berasal dari Portugis. Peta Portugis ini juga sudah menyatkannnya dengan wilayah Semenanjung. Portugis sendiri menaklukkan dan menduduki Malaka sejak 1511.

Peta Sumatra berdasarkan sumber pelaut Portugis tampak telah menggambarkan bentuk umum pulau Sumatra sebenarnya seperti yang sekarang. Pada awal Sumatra ini para ahli kartografi Portugis menandai beberapa area kawasan pantai sebagai area gosong (perairan dangkal yang berparis) yang dapat mengancam navigasi pelayaran. Area-area gosong itu di pantai barat Sumatra berada di sekitar Singkil yang sekarang. Area gosong ini tampak lebih luas lagi di pantai timur Sumatra dan bahkan gosong ada ditemukan di tengah lautan. Pulau-pulau yang berdekatan di selat Malaka seperti di kepulauan Riau yang sekarang gosong ini seakan menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya.

Dalam peta-peta selanjutnya, terutama yang dikeluarkan oleh Belanda (VOC) area-area gosong ini tampaknya telah menghilang dan digantikan dengan terbentuknya daratan. Pada Portugis tersebut telah mengidentifikasi nama tanah dan pulau Daru (baca: Tanah Aru dan pulau Aru). Nama lainuya adalah Bengkalis, Siak dan Kamparr. Pada wilayah Bengkalis, nama tempat terpenting yang mungkin disebut Bengkalis letaknya masih jauh ke dalam. Kota (kerajaan) Bengkalis ini diduga berada di muara sungai yang di depannya terdapat dua pulau besar yang diduga pulau Bengkakalis dan pulau Rupat yang sekarang. Pada masa ini bagian barat daya pulau pulau Bengkalis telah menyatu dengan daratan Sumatra, Sedangkan muara sungai Bengkalis tempo doeloe yang berada dekat pulau telah bergeser seiring dengan muara sungai Rokan yang bergeser ke arah timur laut. Sungai Rokan di arah hulu bercabang dua (Rokan Kanan dan Rokan Kiri). Sungai Rokan Kanan di arah hulu dengan pusat percandian Padang Lawas.

Pulau-pulau yang diidentifikasi pada peta Portugis awalnya diduga adalah suatu pulau yang terbentuk dari proses sedimentasi jangka panjang yang sangat dipengaruhi sungai Bengkalis/sungai Rokan. Sungai Rokan yang berhulu di pedalaman di pegunungan Bukit Barisan telah memenuhi massa padat yang terbawa dari pedalaman apakan bentuk lumpur atau sampah organik batang-batang pohon dan dedaunan. Disamping itu juga kawasan hulu Rokan ini juga adalah tempat pertambangan emas sejak zaman kuno di sekitar Rao.

Dengan membandingkan peta gambut masa kini, pulau Bengkalis dan pulau Rupat adalah dua area gambut yang sangat luas, yang di masa lampau (peta Portugis) dua pulau yang terpisah satu sama lain, tetapi kini pulau Bengkalis sudah menyatu dengan daratan pulau Sumatra. Dalam hal ini perairan yang tempo doeloe memisahkan pulau Bengkalis telah menyatu dengan daratan Sumatra yang diduga kuat karena proses sedimentasi jangka panjang. Pulau Rupa sendiri. Perairan pulau rupat hanya menyisakan kawasa daerah aliran sungai Rokan. Pulau Bengkalis dan pulau rupat sendiri di zaman kuno diduga adalah pulau sedimen yang menjadi daratan. Jika diperhatikan peta gambut sekarang, di seluruh provinsi Riau yang sekarang tediri dari pulau-pulau gambut bahkan tampak pulau gambut di pedalaman di hulu sungai Rokan dan hulu sungai Siak.

Apa yang menyebabkan terdapatnya lahan gambut mulai dari sungai Barumun di utara hingga sungai Kampar di selatan (wilayah tangkapan air) diduga kuat karena adanya aktivitas manusia yang intens di pedalaman. Yang jelas di pedalaman terdapat pusat peradaban zaman kuno di sekitar candi. Kawasan pedalaman ini juga wilayah pertambangan emas. Sungai-sungai besar yang bermuara ke pantai timur menjadi jalur navigasi pelayaran yang juga jalan massa padat atau lumpur dari pedalaman.

Jika proses sedimentasi yang menjadi awal terbentuknya daratan yang mengandung gambut tebal, sudah barang tentu didahului oleh suatu aktivitas manusia di wilayah hulu yang kemudia terbentuk pusat-pusat peradaban di pedalaman. Ini mengindikasikan bahwa tanpa mengukur umur karbon sebenarnya dapat diperkirakan sejak kapan terbentuknya gambut di kawasan. Jika candi Padang Lawas dan candi Muara Takus sebagai patokan itu berarti sekitar abad ke-11 atau abad ke-12. Dalam hal ini pada zaman kuno era Hindoe Boedha pusat-pusat peradaban candi ini di pedalaman sebenarnya tidak terlalu jauh dari pantai (laut). Dengan kata lain di kawasan dimana kini terdapat pulau-pulau gambut pada zaman candi adalah lalulintas pelayaran yang ramai. Secara keseluruhan pulau Sumatra zaman kuno lebih ramping dibandingkan dengan sekarang, Dalam hal ini kehidupan manusia dimulai di pedalaman di sekitar pegunungan Bukit Barisan.

Lalu bagaimana dengan gambut di pulau Papua? Seperti di Sumatra dan Kalimantan, gambut di pulau Papua juga diduga berada di kawasan sedimen yang kemudian membentuk daratan pada zaman lampau. Pembentukan sedimen Papua ini tampaknya masih lebih muda jika dibandingkan dengan di Sumatra mapun di Kalimantan. Faktor penyebab terbentuknya gambut di Papua karena aktivitas manusia dalam hal pertambangan emas di pegunungan tengah Papua (Grasberg).

Pada peta VOC wilayah Mimika yang sekarang masih ditemukan pulau sedimen. Namun pulau sedimen ini sudah menjadi daratan. Proses sedimen ini karena faktor sungai Mimika yang berhulu di Grasberg dimana terdapat pertambangan emas yang masif sejak era Portugis atau sebelum kehadiran Portugis yang perdagangannya dilakukan oleh pedagang-pedagang Moor. Pulau Frederik Hendrik (kini pulau Yos Sudarso) diduga kuat terbentuk dari proses sedimen jangka panjang yang merupakan kawasan tangkapan air dari sungai-sungai yang bermuara ke pantai barat daya termasuk sungai Mimika.

Kawasan gambut di wilayah utara Papua terdapat di daerah aliran sungai Membramo. Namun yang perlu diperhatikan kawasan gambut di daerah aliran sungai Membramo ini terbagi dua area yakni kawasan pedalaman (Wamena) dan kawasan pantai (muara sungai). Daerah hulu sungai Membramo ini terbilang berada di sisi timur pegunungan tengah Grasberg (lembah Baliem). Lagi-lagi, peran aktivitas manusia yang menjadi faktor pemicu timbulnya kawasan gambut yang mana sungai sebagai penghubung antara pedalaman dan kawasan pantai.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Gambut Tertua di Indonesia: Mengapa Gambut di Jawa Tidak Terpetakant?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar