Rabu, 21 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (90): Gunung di Maluku, Tertinggi Gunung Binaia di Pulau Seram; Gunung Api di Utara dan di Selatan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Meski Maluku adalah kepulauan namun cukup banyak ditemukan gunung. Gunung tertinggi adalah gunung Binaia di pulu Seram dengan tinggi 3.027 M dan tertinggi kedua gunung Kapalatmada di pulau Buru dengan tinggi 2.700 M dan ketiga gunung Buku Sibela di pulau Bacan dengan tinggi 2.111 M. Hanya itu, selebihnya hanya tinggi kurang dari 2.000 M. Meski demikian cukup banyak gunung rendah yang tergolong gunung api. Deretan gunung api ini berada di utara dan di selatan (pada gugus cincin api Pasifik).

Gunung-gunung api di wilayah Maluku selatan adalah api di pulau Teon, pulau Nila, dan pulau Serua. Tidak jauh dan yang cukup dikenal adalah gunung Banda Api. Di wilayah Maluku Utara yang tergolong gunung api adalah gunung Gamalama (1.715 M) di pulau Ternate, gunung Gamkonora (1.571 M) dan gunung Ibu (1.377 M) di pulau Halmahera (barat) dan gunung Dukono (1.259 M) di pulau Halmahera (utara) dan gunung Makian (1.300 M) di pulau Makian. Di wilayah lain ada satu gunung api di Maluku Barat Daya (gunung Wurlali, 868 M). Ini mengindikasikan bahwa di bagian tengah kepulauan Maluku terbilang aman, tetapi di wilayah utara dan wilayah selatan dengan adanya gunung api memberi jalan kepada pulau-pulau yang subur yang di masa lampau terkenal dengan rempah-rempah (pala dan cengkeh).

Lantas bagaimana sejarah gunung-gunung kepulauan Maluku? Seperti disebut di atas, kepulauan Maluku banyak gunung api yang terdapat di pulau-pulau yang subur (asal dari rempah-rempah). Setelah produk kuno kamper dan kemenyan berlalu di zaman kuno, sebelum muncul komodi lada, penghasil komodidi berharga untuk diekspor ke Eropa adalal pala dan cengkeh dari Maluku. Itulah sejarah awal gunung-gunung di kepulauan Maluku. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Gunung-Gunung di Maluku: Nama-Nama Zaman Kuno

Nama gunung tertinggi di pulau Maluku disebut Binaia (di pulau Seram). Nama Binaia ini mirip nama Minanga atau Binanga, yang diduga kuat nama pelabuhan Kerajaan Aru (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M dan prasasti Laguna di Luzon 900 M). Binanga sendiri sebagai pelabuhan Kerajaan Aru tepat berada di pertemuan sungai Panai dan sungai Barumun di pantai timur Sumatra. Ibu kota Kerajaan Aru diduga kuat berada di pedalaman di antara gunung Lubu Raja dan gunung Malea (tempat dimana kini ditemukan situs candi Simangambat yang dibangun pada abad ke-8).

Kerajaan Aru diduga sudah eksis jauh di zaman kuno (lihat prasasti Vo Cahn abad ke-3). Keberadaan Kerajaan Aru ini diduga terkait dengan catatan geografi Ptolomeus abad ke-2 yang menyebut sentra produksi kamper di Sumatra bagian utara. Catatan Tiongkok pada abad ke-2 menyebut utusan Raja Yeh-Tiao telah menghadap Kaisar untuk membuka pos perdagangan di Yeh-shin (beberapa peneliti Yeh-tiao adalah Sumatra dan Yeh-shin adalah Annam, tidak jauh dari ditemukan prasasti Vo Cahn). Selanjutnya berdasarkan literatur Eropa pada abad ke-5 menyatakan kampet diekspor melalui pelabuhan yang disebut Barus. Pelabuhan Kerajaan Aru di pantai barat Sumatra. Aru, B-aru-s dan B-aru-mun diduga kuat merujuk pada kata ‘aru’ yang diartikan sebagai ‘sungai’ (rivier). Pada prasasti Kedukan Bukit 682 disebut Raja yang datang dari Minanga bernama Dapunta Hyang Nayik. Sementara nama raja (kerajaan) Sriwijaya disebut Dapunta Hyang Srijayanaga (lihat prasasti Talang Tuo, 684 M) dan Raja di Jawa disebut Dapunta Seilendra (lihat prasasti Sijomerti awal abad ke-8).  

Nama Seram (di kepulauan Maluku) sudah dicatat dalam teks Negarakertagama (yang ditulis pada tahun 1365 M). Nama tempat yang dicatat di sekitar (pulau) Seram adalah Muar dan Ambwan (Amboina?) serta Wandan (Banda?) di selatan, Hutan Kadali (Buru?) di barat dan Maloko (Maluku?) di atas (lihat Prof Ken, 1919). Berdasarkan prasasti Watu Tunti di Bima disebut Raja Saparua, Sang Haji (Sangaji?). Dalam hal ini nama gunung tertinggi di (kepulauan) Maluku yang disebut Binaia berada di pulau Seram dekat dengan pulau Amboina, Muar dan Saparua. Pada era Hindoe Bodha nama tempat yang penting kerap dikaitkan dengan gunung tinggi (seperti di Minahasa dengan gunung Empung dan di Toraja dengan gunung Latimojong).

Berdasarkan Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke ibu kota Kerrajaan Aru pada tahun 1537 di Panaju (Panai?) mencatat jumlah tentara Keajaan Aru sebanyak 15.000 orang yang mana sebanyak 7.000 didatangkan dari Indragiri, Jambi, Brroenai dan Luzon. Mendes Pinto juga menyebut militer Kerajaan Aru diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor (beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara seperti Maroko, Mauritania dan Tunisia). Koloni orang Moor di selat Malaka berada di Muar (selatan kota Malaka). Nama Muar atau Moar merujuk pada nama Moor. Nama Muar di kepulauan Maluku mirip dengan nama Muar di Semenanjung (Malaka). Boleh jadi nama Maloko atau Maluku juga merujuk pada nama Malaka. Nama Malaka sendiri adalah sebutan orang-orang Moor untuk kota Malaya (yang merujuk pada nama Himalaya). Keberadaan orang-orang Moor di Semenajung sudah lama ada, bahkan jauh sebelum Ibnu Batutah, seorang Moor asal Tunisia berkunjung ke kota-kota di selat Malaka (dan juga Tiongkok) pada tahun 1345.

Nama Binaia, seperti disebut di atas, mirip nama Binanga, kota di pertemuan sungai Panai dan sungai Barumun. Salah satu pelabuhan Kerajaan Aru di utara adalah Ambo-aru (kini Jambu Air) mirip Amboina, Nama Muar tempio doeloe di kepulauan Maluku menghilang dan pulau itu kini lebih dikenal sebagai pulau H-aru-ku dan nama Hutan Kadali menjadi pulau B-aru (kini lebih dikenal pulau Buru). Maluku sendiri merujuk Malaka dan Wanda kemudian disebut sebuah bandar (pelabuhan) di pulau Neira (kini lebih dikenal Banda Neira). Dengan demikian, diduga kuat sudah ada jalur navigasi pelayaran perdagangan sejak era kamper dan kemenyan, dari Sumatra bagian utara (Kerajaan Aru) hingga ke (kepulauan) Maluku jauh sebelum Kerajaan Majapahit membina hubungan dagang dari Jawa ke kepulauan Maluku. Jangkauan navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru ini, diduga yang menjadi sebab mengapa pulau di tenggara pulau Banda disebut pulau Aru (di laut Aru-furu). Orang-orang Moor kelak menjadi cikal bakal (bangsa) Moro di Mangindanao (Filipina).

Pengaruh navigasi pelayaran perdagangan orang-orang Moor ini begitu luas di Hindia Timur sejak awal. Mereka inilah yang menggantikan peran navigasi pelayaran pedagangan awal orang-orang India (era Hindoe Boedha) untuk menghubungkan Hindia Timur dengan Eropa. Orang-orang Moor ini tidak punya negara lagi di Eropa (stateless) pasca Perang Salib. Orang-orang Moor telah memiliki kebudayaan tinggi di Eropa dengan kota-kota mereka yang terkenal Cordoba dan Andalusia. Pelaut-pelaut Moor dapat dikatakan adalah pendahulu (predecesson) pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol. Dalam beberapa tulisan disebutkabn pelaut-pelaut Moor masih mendampingi pelaut-pelaut Portugis pada awal navigasi pelayaran perdagangan Portugis hingga mencapai (kota) Malaka pada tahun 1509. Oleh karena orang Moor stateles maka mereka menetap dimana ada sumber perdagangan (ibarat dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung). Ciri-ciri kota-kota yang diinisiasi oleh pedagang-pedagang Moor sebagai pelabuhan biasanya menggunakan awalan Ma (Manila, Makao, Mangindanao, Manado, Makasar, Maluku (kini Ternate), Makian, Mangarai bahkan hingga Maori. Sementara tempat-tempat dimana komunitas Moor cukup banyak disebut orang lain sebagai Muar atau Moro (seperti Amoerang, Morotai, Morowali, Moresby dan sebagainya). Sedangkan komunitas orang Kerajaan Aru (Angkola Mandailing) disebut Minanga, Aru, Daruba, dan mungkin dalam hal ini Haruku, Saparua dan Binaia serta Amboina)

Peta-peta Portugis mengudentifikasi pulau Halmahera dengan nama Batachini del Moro dan pantai barat pulau yang berhadapan dengan pulau Ternate dan Tidore sebagai Custa del Moro (pantai Moro). Tidak begitu jelas mengapa pulau Hale-Mahera diidentifikasi sebagai pulau Batachini del Moro. Namun jika diperhatikan nama yang terkandung dalam nama tempat ini seakan ingin menyebut tiga nama: Bata[k], China dan Moro. Dalam perkembangannya, pada peta-peta baru (VOC) identifikasi nama geografi Batachini del Moro sebagai Halmahera dan pulau di utaranya diidentifikasi sebagai pulau Morotai (dimana di dalam pulau disebut nama tempat Daruba).

Dalam peta-peta awal Portugis identifikasi peta berasal dari arah utara (sebelah utara ekuator). Sebagaimana diketahui ketika Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511, tiga kapal Portugis langsung menujuk Maluku melalui pantai selatan Sumatra terus ke pantai utara Jawa dan seterusnya utara pulau-pulau Nusa Tenggara dan kemudian ke Maluku. Lalu pada tahun 1514 pelaut-pelaut Portugis telah membuka hubungan dagang dengan Tiongkok di pulau Tunmmen. Namun terjadi perselisihan pada tahun 1520 yang menyebabkan pelaut-pelaut Portugis terusir dari Tiongkok dan kemudian pelaut-pelaut Portugis menjalin hubungan dagangan dengan Broenai (dan juga dengan Manila) pada tahun 1521. Lalu pada tahun 1524 pelaut-pelaut Spanyol dari Amerika selatan melalui lautan Pasifik tiba di Zebu (Filipina). Situasi inilah yang kemudian menjadi intens navigasi pelayaran perdagangan di utara ekuator. Yang dalam peta lengkap pertama Portugis dibuat arahnya dari utara (Mare de la China-Laut China). Di horizon paling selatan diidentifikasi Timor dan Ambon (kurang tepat, mungkin Manggarai). Pada bagian depan peta ini diidentifikasi nama Zebu dan Mindanao dan di sebalah barat Zolo (Sulu?), Sarigan (Basilan?) dan Sanghi (Sangihe?). Lalu lebih ke selatan lagi di sekitar garis wkuator diidentifikasi pulau Tidore dan Bachan, Machan, Ternate dan lainnuya. Kemudian lebi ke selatan lagi diidentifikasi nama Ambon dan Banda. Juga nama Noesa Toloe dan Mahua. Lalu di sebelah barat nama Buru dan pulau besar sebagai Celebes. Last but not least, pada pulau besar di kepulauan Maluku diidentifikasi dengan nama Gilolo.

Di pulau Halmahera atau Batachini del Moro, pada peta lebih awal hanya diidentifikasi nama Gilolo, Boleh jadi koding yang dibuat pelaut-pelaut Portugis ini untuk mengeja nama Djailolo (Raja Ilolo?). Dalam hal ini dapat dikatakan sudah terindentifikasi nama-nama penting yang diduga juga nama-nama kerajaan (Gilolo, Ternate, Tidore, Machan, Bachan, Buru, Ambon, Banda dan Nusa Toloe) plus di Filipina (Zebu, Mindanao)

Selain gunung-gunung di pulau kecil, di pulau Halmahera atau Batachini de Moro atau Gilolo terdapat beberapa gunung (lihat tabel). Diantara gunung-gunung ini diduga kuat nama gunung Jailolo yang dikenal lebih awal, karena lokasinya yang dekat ke laut di pantai barat. Gunung ini diduga merujuk pada nama gunung raja, raja dari pulau (Dja Ilolo). Lalu ada bama gunung Ibu kemudian gunung Tobaru. Ini mengindikasikan bahwa semua gunung di pulau Halmahera berada di wilayah utara (kabupaten Halmahera Barat ibukota di Jailolo dan kabupaten Halmahera Utara ibukota di Tobelo’ dan kabupaten Morotai ibu kota Daruba), Dengan gunung-gunungnya terbilang tinggi tinggi, besar dugaan populasi penduduk dimulai dari arah utara ini. Tidak jauh sari wilayah ini di pulau-pulau kecil terbentuk populasi penduduk di pulau Ternate, pulau Tidore dan lainnya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Maluku Era Modern: Rempah-Rempah Era Eropa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar: