Sabtu, 16 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (175):Komunitas Islam di Ibukota Majapahit,Bagaimana Ada? Navigasi Pelayaran Arab - Canton via Barus

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah sudah ada komunitas Islam di kerajaan Majapahit? Dalam berbagai literatur disebutkan kerajaan Majapahit didirikan tahun 1293 M. Belakangan ini disebutkan bahwa di pemakaman tua di Trowulan terdapat batu nisan tua milik seorang Muslim yang mana pada nisannya tertulis tahun 1290 Saka atau 1368 M. Lantas mengapa di dalam teks Negarakertagama dari kerajaan Majapahit yang ditulis tahun 1365 M tidak ada indikasi adanya komunitas Muslim di Majapahit?

Islam pertama kali memasuki Jawa Timur pada abad ke-11. Bukti awal masuknya Islam ke Jawa Timur adalah adanya makam Islam atas nama Fatimah binti Maimun di Gresik bertahun 1082 M serta sejumlah makam Islam pada kompleks makam Majapahit. Penyebaran Islam di Jawa Timur tak lepas dari peran Walisongo. Lima wali di antara sembilan wali yang menyebarkan Islam di pulau Jawa berada di wilayah Jawa Timur. Lima wali tersebut adalah Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Gresik di Gresik, Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, dan Sunan Bonang di Tuban (Wikipedia). Seperti disebut di atas, bahwa di pemakaman tua di Troloyo/Trowulan (ibu kota kerajaan Majapahit) terdapat batu nisan tua milik seorang Muslim yang mana pada nisannya tertulis tahun 1290 Saka atau 1368 M.   

Lantas bagaimana sejarah adanya komunitas Muslim di tibu kota kerajaan Majapahit? Seperti disebut di atas, bahwa ditemukan makam tua Muslim di Gresik bertarih 1082 M. Lalu apakah komunitas Muslim di Gresik menyebar dan membentuk komunitas baru di ibu kota kerajaan Majapahit (di Mojokerto)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Navigasi Pelayaran Arab-Tiongkok via Barus

Sebelum (agama) Islam ada, sudah terbentuk rute perdagangan via darat dari jazirah Arab ke Tiongkok. Besar dugaan pedagang-pedagang Arab/Parsi sudah ada yang sampai ke Tiongkok. Produk-produk Tiongkok boleh jadi saat itu terbilang mutu tinggi seperti bahan sutra, keramik dan logam. Atas dasar ini, pada era kenabian (Muhammad sebagai utusan Allah dalam agama Islam) besar kemungkinan menjadi sebab munculnya nasehat Nabi Muhammad (hadits) yang berbunyi ‘Tuntutlah Ilmu Walau (jauh) ke Negeri Tiongkok’.

Sementara itu, navigasi pelayaran perdagangan sudah sejak lama dikuasai oleh pelaut/pedagang India (selatan) yang menghubungkan Sumatra/Jawa dan Tanah Arab. Tentu saja pedagang/pelaut India (selatan) membawa produk-produk nusantara (baca: Indonesia) ke Tanah Arab. Salah satu produk khas nusantara (Sumatra) adalah kamper yang mana kamper ini sudah dicatat oleh Ptolomeus dalam catatan geografinya pada tahun 150 M. Keberadaan produk (khas Tanah Batak) ini juga ditemukan dalam literatur Eropa pada abad ke-5 yang menyebutkan bahwa kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Baroes (kini kota pelabuhan di pantai barat Sumatra di Tapanuli Tengah). Kamper ini dalam bahasa Batak disebut kapur dan pencari kamper disebut parkapur (kini lebih dikenal sebagai kapur Barus). Kata ‘kapur’ inilah kemudian melalui pedagang/pelaut India masuk ke dalam bahasa Parsi sebagai ‘kafura’ yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab. Kelak, di dalam kitab suci agama Islam (Alquran) kafura (kapur Barus) disebut pada QS 76:5). Pedagang-pedagang Sumatra sendiri sudah sejak lama diketahui mencapai Tiongkok. Ini dapat diketahui dari catatan Tiongkok pada dinasti Han pada tahun 132 M yang menyebut utusan raja Yeh-tiao (Sumatra) diterima kaisar Tiongkok di istananya. Besar dugaan raja Yeh Tiao ini ingin menjalin hubungan dagang dengan Tiongkok (pertukaran produk kamper dari Tanah BaTak dengan barang industri dari Tiongkok). Eksistensi raja dari Sumatra (Yeh-tiao) ini dapat dibaca pada prasasti Vo Chan (kini Vietnam) abad ke-3.

Setelah berkembangnya agama Islam pada era kenabian (mungkin sebelum Hijrah ke Madinah), pedagang-pedagang Arab/Islam sudah menemukan rute navigasi pelayaran perdagangan ke Sumatra (dan akhirnya mencapai Tiongkok). Dengan demikian, rute darat yang melelahkan dan banyak rintangan/bahaya di jalan (dari Arab ke Tiongkok pp) menjadi lebih singkat, lebih lancar dan lebih aman. Produk perdagangan antara Tiongkok/Sumatra dan Jazirah Arab juga meningkat pesat (yang dengan sendirinya produk nusantara seperti kamper (kapur Barus) juga meningkat. Pedagang-pedagang Arab/Parsi inilah yang kemudian bersaing dengan pedagang-pedagang lama (India). Kehadiran pedagang-pedagang Arab/Islam di Sumatra (Barus) relatif bersamaan dengan di Tiongkok (Canton).

Keberadaan pedagang-pedagang Arab/Islam di Tiongkok bersumber dari catatan dinasti Tiongkok Min Shu yang dikompilasi pada akhir abad ke-16 berdasarkan sumber-sumber kuno oleh Ho Ch'iao-yüan menyatakan T'u-shu Chi-ch'êng, Chih-fang-tien, bab 1052, halaman 5a bahwa antara tahun 618 dan 626 empat orang Muhammad membawa Islam di Tiongkok. Satu orang mengajar di Canton, satu orang  di Yang-chow, dan dua orang lainnya di Ch'üan-chow. Sementara itu P'an-yü-hsien-chih bab 53 halaman la menyatakan bahwa ketika navigasi pelayaran perdagangan dibuka pada dinasti T'ang, Mohammad (beragama) Muslim adalah Raja Madinah. Sebagaimana diketahui turunnya ayat pertama (Al Quran) di gua Hira pada tahun 610 M. Nabi Muhammad sendiri lahir di Mekkah tahun 570 M, menikah pada usia 25 tahun dengan Khadijah. Pernah menjadi hakim di kota Mekkah pada usian 35 tahun. Muhammad menerima wahyu pertama 610 pada usia 40 tahun. Pada tahun 622 Nabi Muhammad dan pengikut pindah dari Mekkah ke Madinah (sebagai awal tahun Hijriyah). Jika dibandingkan catatan Tiongkok di atas, empat orang Muhammad sudah berada di Canton pada tahun 618 (sebelum hijrah).

Keberadaan pedagang-pedagang Arab/Islam di Barus (Sumatra) dapat diketahui dari adanya makam-makam tua orang Islam yang berasal dari abad ke-1 Hijriah. Pada salah satu nisan di Barus bertarih 44 H. Tahun pertama Hijriah adalah tahun 622 M. Nisan tertua di Barus tersebut 665 M (Dinasti Umayyah). Pada saat itu Kerajaan Aru di Tanah Batak sudah eksis. Kerajaan Aru pada saat itu masih beragam Hindoe.

Kerajaan Aru berada di Angkola Mandailing di suatu kota (Aru) di pertemuan sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis dimana kini ditemukan situs kuno candi Simangambat. Pelabuhan Barus diduga kuat adalah pelabuhan Kerajaan Aru. Hal ini karena hingga sekarang raja-raja Barus umumnya berasal dari Angkola. Kerajaan Aru pada saat yang beragam Hindoe dan mulai menerima kehadiran orang-orang Islam (komunitas di Barus) (seperti yang ditunjukkan makam kuno orang Islam). Kerajaan Aru diduga kuat adalah kerajaan tertua di Sumatra (bahkan sejak era Ptolomeus dan era dinasti Han (abad ke-2). Di Jawa sendiri sudah ada beberapa kerajaan yang sudah eksis: di Jawa bagian barat di sekitar Batujaya (kerajaan Tarumanagara), di Jawa bagian tengag (Kalingga) dan di Jawa bagian timur (perlu dilacak!). Keberadaan komunitas Islam saat itu sudah ada di beberapa tempat seperti pantai barat Sumatra di Barus (Kerajaan Aru), di pantai timur Tiongkok (Canton) dan pantai barat India (Goa).

Kerajaan Aru memiliki dua pelabuhan utama, di pantai barat berada di Baroes dan di pantai timur di Binanga (pertamuan sungai Baroemoen dan sungai Batang Pane). Pelabuhan Binanga ini terletak di sebelah timur Kerajaan Aru yang dibatasi oleh gunung Malea (merujuk nama gunung Himalaya). Pelabuhan Barus menjadi pelabuhan ekspor (kamper) ke barat (India, Arab dan Eropa sejak era Ptolomeus) dan pelabuhan Binanga menjadi pelabuhan ekspor (kamper) ke Tiongkok (sejak abad ke-2 dinasti Han) dan Jawa.

Keberadaan pelabuhan Binanga belum disebut pada catatan Tiongkok pada era dinasti Han abad ke-2 dan juga belum dicatat pada prasasti Vo Cahn abad ke-3. Nama pelabuhan Binanga baru ditemukan pada prasasti Kedudkan Bukit 682 M yang mana disebut sebanyak 20,000 tentara dari Binanga (Padang Lawas) yang dipimpin Radja Dapunta Hiyang Nayik tiba di Hulu Upang (Bangka) yang diterima oleh raja Sriwijaya. Ekspedisi Kerajaan Aru (dulu mungkin disebut Yeh-tiao) yang langsung dipimpin rajanya Dapunta Hyang Nayik dalam rangka menambalkan gelar kepada raja Sriwijaya dengan gelar Dapunta Hyang Srijayanaga (lihat prasasti Talang Tuo, 684 M). Raja Dapunta Hyang Srijayanaga inilah yang kemudian melakukan invasi ke Jawa (lihat prasasti Kota Kapur, 686 M).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bagaimana Ada Komunitas Islam di Ibu Kota Majapahit?

Apakah ada komunitas Islam di ibu kota Majapahit yang beragama Hidnoe? Nah, itu yang menjadi soal. Namun pada masa ini tidak perlu kaget. Seperti disebut di atas, komunitas Islam sudah ada sejak lampau, jauh sebelum keberadaannya di ibu kota Majapahit, yakni di Goa (di tengah komunitas Hindoe), di Barus pelabuhan Kerajaan Aru beragama Buddha sejak abad ke-1 Hijrah (sebelumnya Hindoe) dan di Canton (pelabuhan pantai timur Tiongkok era dinasti Tang abad ke-1 Hijrah). Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana komunitas Islam terbentuk di ibu kota Majapahit yang beragama Hindoe? Kerajaan Majapahit sendiri didirikan sejak 1293.

Pada tahun 2017, Kota Barus ditetapkan sebagai Titik Nol Islam Nusantara yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Adakah yang kaget? Tentu saja ada. Sejarah adalah sejarah. Sejarah adalah narasi fakta dan data. Dalam penetapan Kota Barus pada waktu sebagai Titik Nol Islam Nusantara ternyata tidak semua pihak sepakat. Lalu, suatu seminar diadakan di Aceh. Satu panelis menyebutkan Kota Pasai adalah Titik Nol Islam Nusantara. Panelis lainnya yang satu panggung menyatakan, bukan Pasai tetapi Peureulak; sedangkan panelis satunya lagi, Titik Nol Islam Nusantara bukan Pasai dan juga bukan Peureulak tetapi Lamuri. Berbeda pendapat dalam satu panggung itu berarti memiliki bukti empiris yang berbeda satu sama lain. Yang jelas ketiga kota itu ada di wilayah administrasi Aceh. Lalu muncul aksioma: Oleh karena ketiga tempat itu ada di Aceh, maka Titik Nol Islam Nusantara ada di Aceh (bukan di Pasai, bukan di Peureulak dan juga bukan di Lamuri). Kalau itu ada di wilayah administrasi Aceh berarti bukan di Kota Barus. Sebaliknya, ada tiga orang ahli mengatakan bahwa secara defacto Titik Nol Islam Nusantara di Barus. Tidak ada beda pendapat diantara ketiganya. Tidak ada pendapat yang mengatakan di Sorkam atau di Tapus. Semua mengatakan di Barus dan juga tidak mengatakan di Tapanuli. Okelah, supaya tidak ribut, jika tidakpun di Tapanuli dan juga tidak di Aceh, ya, di Sumatralah. Namun yang jelas Titik Nol Islam Nusantara itu sudah diresmikan Presiden Jokowi pada tahun 2017 di Barus. Sebab fakta dan data di Barus.

Soal komunitas Islam zaman doeloe, lain di Barus (Kerajaan Aru), lain pula di Trowulan (Kerajaan Majapahit). Seperti disebut di atas, bahwa pada tahun 1082 ditemukan makam tua Muslim (komunitas Islam) di Gresik dan komunitas Islam di (ibu kota) kerajaan Majapahit diketahui keberadaannya pada tahun 1368 M berdasarkan nisan yang ditemukan di Troloyo/Trowulan (Mojokerto). Ada perbedaan waktu antara Gresik dengan Mojokerto sekitar tiga abad (286 tahun). Antara Barus di Tanah Batak dengan Gresik di Tanah Jawa sekitar empat abad (417 tahun). Pada saat awal adanya komunitas Islam di Gresik (1082 M), kerajaan Majapahit belum ada. Kerajaan Singhasari juga belum ada (sebab kerajaan Singhasari pendahulu kerajaan Majapahit didirikan tahun 1222 M). Lantas kerajaan apakah yang sudah eksis di Jawa bagian timur pada tahun 1082 M? Tentulah kerajaan Kediri (didirikan pada tahun 1045 M).

Pada saat ini Kerajaan Aru mendapat serangan dari kerajaan Chola dari India (selatan). Berdasarkan prasasti Tanjore 1030 M, kerajaan Chola melancarkan invasi sejak 1025 ke pantai timur India dan ke selat Malaka (pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya). Kota-kota yang dihancurkan militer (kerajaan) Chola (berdasarkan prasasti Tanjore) antara lain Kadaram dan Malaiyur serta Mayirudingam, Mappapalam, Mevilimbangan, Valippanduru, Takkolam, Madamalingam, Ilamuri-Desam dan Nakkavaram serta Ilangasogam, Sriwijaya dan Panai. Nama-nama tempat yang disebut tersebut adalah nama-nama kota pelabuhan atau ibu kota. Nama Kadaram diketahui nama lama Kedah, Malaiyur diduga kuat Malaka, Madamlingam sebagai Mandailing, Ilamuri sebagai Lamuri dan Ilangasogam sebagai Binanga-Sunggam. Kota-kota Binanga-Sunggam, Mandailing dan Panai adalah kota-kota di Sumatra bagian utara (Kerajaan Aru). Seperti disebut di atas Binanga adalah pelabuhan utama kerajaan Aru di pantai timur Sumatra (sudah disebut pada prasasti Kedukan Bukit 682 M). Sementara itu Srwijaya adalah kota pelabuhan di Sumatra bagian selatan (Kerajaan Sriwijaya). Dalam hal ini saat ada komunitas Islam di Jawa bagian timur, kerajaan yang eksis saat itu adalah Kerajaan Kediri di Jawa dan di Sumatra (Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya). Apakah masih eksis kerajaan di Jawa bagian tengah (dinasti Sheilendra/Mataram kuno)?

Lantas bagaimana hubungan Kerajaan Kediri di pedalaman dengan komunitas Islam di pelabuhan Gresik? Lalu bagaimana hubungan Kerajaan Majapahit dengan komunitas Islam di Troloyo/Trowulan (Mojokerto)? Dua pertanyaan ini dapat diringkas menjadi bagaimana terbentuknya komunitas Islam sejak Kerajaan Kediri hingga Kerajaan Majapahit?

Pada saat era Kerajaan Kediri (didirikan 1045 M), wilayah Sidoarjo, wilayah Surabaya dan wilayah Gresik yang sekarang masih berupa perairan (laut). Dalam hal ini ibu kota (kerajaan) Kediri masih cukup dekat dengan pantai (teluk) di wilayah kabupaten Mojokerto yang sekarang. Lantas bagaimana bisa ada makam tua orang Islam tahun 1082 M di Leran/Manyar (Gresik) yang sekarang padahal waktu itu masih perairan? Apakah makam itu berada di suatu pulau (pos perdagangan)? Tampaknya tidak, Sebab wilayah kecamatan Manyar (Gresik), kecamatan Karang Binangun dan kecamatan Glaga (Lamongan) yang sekarang rata-rata ketinggian hanyalah 5-6 meter dpl. Bagaimana mungkin ada makam di desa Leran/Manyar (Gresik) pada awal era Kerajaan Kediri? 

Pada saat awal Kerajaan Kediri besar dugaan tidak ada komunitas Islam di Gresik (karena masih perairan/laut). Akan sangat mungkin makam di Troloyo (kerajaan Majapahit belum terbentuk). Pada waktu awal Kerajaan Kediri, Troloyo adalah pantai (teluk), suatu pelabuhan di pantai (muara sungai Kediri/sungai Brantas). Pada saat terbentuk kerajaan Majapahit di Troloyo/Trowulan diduga kuat sudah ada komunitas Muslim yang sudah terbentuk. Dalam hal ini, apakah kuburan di Leran.Manyar adalah kuburan yang direlokasi dari Troloyo/Trowulan?

Berdasarkan pemahaman yang ditemukan dalam eskavasi situs Trowulan (yang diduga ibu kota Kerajaan Majapahit) mengindikasikan area itu adalah daratan yang sangat dekat ke pantai. Dalam hal ini Troloyo berada di belakang Trowulan. Sangat masuk akal ada makam di Troloyo (tapi tidak mungkin di Trowulan/Mojokerto apalagi di Leran/Gresik. Pada peta-peta era Hindia Beland, sebagian besar wilayah (kabupaten) Gresik yang sekarang masih rawa-rawa..

Jika sudah ada komunitas Islam di Jawa bagian timur (di Troloyo), lantas dari mana berasal? Seperti disebut di atas, navigasi pelayaran perdagangan Arab/Islam sejak abad pertama Hijrah sudah terbentuk dari Goa, Barus dan Tiongkok (Canton) yang dalam perkembangannya muncul di (kerajaan) Champa (tempat dimana prasasti Vo Chan ditemukan). Pada saat terjadi invasi Chola (prasasti Tanjore 1030) yang beragama Hindoe, di kota-kota pantai timur Sumatra (wilayah Kerajaan Aru), kota pelabuhan Lamuri (pantai utara Sumatra/wilayah Aceh sekarang) dan kota-kota di Semenanjung masih Buddha (namun bisa jadi sudah ada kumunitas Islam (perkembangan lebih lanjut dari Barus dan Champa). Oleh karena komunitas Islam di Troloyo (Kerajaan Kediri) pada era invasi Chola, besar kemungkinan pedagang-pedagang Islam di Troloyo berasal dari Champa atau Baroes.

Perlu dicatat bahwa Kerajaan Kediri bukan kerajaan yang menguasai navigasi pelayaran perdagangan. Kerajaan pertama di (pulau) Jawa yang menguasai navigasi pelayaran perdagangan adalah Kerajaan Singhasari (dengan pelabuhannya dekat wilayah Pasuruan yang sekarang). Namun karena kerajaan Singhasari belum terbentuk, maka komunitas Islam di Troloyo adalah pedagang-pedagang dari manca negara termasuk pedagang-pedagaang Islam dari Baroes dan Champa (yang dalam perkembangannya Champa menjadi kerajaan Islam pertama). Kerajaan Aru sendiri masih Budha tetapi di pelabuhannya di pantai barat Sumatra sudah sejak lama terbentuk komunitas Islam. Kerajaan Aru sendiri beragama Islam diduga kuat baru pada era Kerajaan Majapahit (setelah era kerajaan Singasari berakhir). Pada saat ini kota-kota pelabuhan di pantai utara Sumatra juga mulai terbentuk komunitas Islam (dengan kerajaan pertamanya di Samudra/Pasai) dan baru kemudian menyusul di Lamuri (yang menjadi cikal bakal kerajaan Atjeh kelak). Pada saat kunjungan Ibnu Batutah ke selat Malaka dan Tiongkok tahun 1345, kerajaan-kerajaan Aru, (Samudra)Pasai, Kedah dan Malaya/Malaka sudah menjadi kerajaan Islam (diperkuat oleh orang-orang Moor).

Lalu bagaimana dengan makam tua Islam di Troloyo pada era kerajaan Majapahit (1368 M). Jika ini dianggap sebagai penanda komunitas Islam di ibu kota kerajaan Majapahit, besar dugaan bahwa komunitas Islam di Troloyo sudah eksis sejak era Kerajaan Kediri, tetapi sebagian atau seluruhnya relokasi ke Gresik pada era era Majapahit. Makam-makam Islam pertama (pionir) diduga direlokasi sementara makam-makan baru dibiarkan apa adanya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa makam muda di Troloyo yang tersisa adalah nisan bertarih 1368 M, sedangkan makam yang ditemukan di Gresik bertarik 1082 M adalah makam hasil relokasi dari Troloyo. Seperti kita lihat nanti lokasi komunitas Islam yang baru (di Gresik) yang diduga menjadi pusat pertama penyebaran (agama) Islam di Jawa (dimana muncul Wali pertama).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar