Sabtu, 16 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (174):Borobudur Candi Buddha Diantara Peradaban Hindu di Jawa; Mengapa Borobudur Menghilang?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Banyak ahli yang berpendapat bahwa candi Borobudur di Magelang sejak dimulainya dibangun tidak berumur panjang, lalu ditinggalkan (menghilang) yang kemudian hampir 700 tahun sempat tertimbun di dalam tanah dan baru ditemukan kemudian (dilaporkan) pada era pendudukan Inggris (1811-1816). Mengapa bangunan raksasa ini ditinggalkan atau menghilang? Tidak ada bangunan lain sebesar itu di (pulau) Jawa. Bangunan yang terbilang besar adalah candi (Hindoe) Prambanan di Klaten. Keduanya di Jawa bagian tengah.

Candi Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang. Candi ini terletak kurang lebih 100 Km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO. Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan (Wikipedia).  

Lantas bagaimana sejarah candi Borobudur di tengah peradaban Hindoe di Jawa? Seperti disebut di atas, bangunan raksasa ini dibangun pada era dinasti Syailendra. Lalu mengapa Borobudur menghilang? Yang jelas bangunan ini ditinggalkan dan kemudian tertimbun hampir selama tujuh abad. Mengapa bisa tertimbun? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Candi Borobudur di Tengah Peradaban Hindoe di Jawa

Seperti halnya di pantai barat Sumatra dan bagian utara Kalimanan, sudah sejak lama terbentuk peradaban (Hindoe) di (pulau) Jawa. Pengaruh Hindoe di Jawa dimulai dari pantao utara di sejumlah titik seperti muara sungai Banten, muara sungai Tjitaroem, muara sungai Bodri di Batang/Kendal, sungai Bengawan Solo di Lamongan dan sungai Kediri di Mojokerto. Kerajaan Hindoe yang sudah terbentuk sejak lama di pantai utara antara lain Kerajaan Taroemanagara (muara sungai Tjitaroem) dan Kerajaan Kalingga (muara sungai Bodri).

Pengaruh Hindoe semakin jauh ke pedalaman, terutama di Jawa bagian tengah. Pusat Hindoe di pedalaman berada di lereng sebelah barat gunung Merapi dimana terdapat candi (kini situs candi Gunung Wukir). Pada saat itu Giunung Wukir tepat berada di pantai sebelah timur suatu danau besar (wilayah Magelang yang sekarang). Beberapa pulau di danau besar itu antara area yang kini menjadi gunung Tidar dan area yang menjadi bagian puncak dari candi Borobudur. Candi Wukir dapat dikatakan adalah candi tertua di wilayah pedalaman Jawa bagian tengah. Pengaruh Hindoe sendiri menyebar dari India bagian selatan ke segala penjuruh termasuk ke utara India (yang kemudian menyebar ke Hindia Timur, termasuk Jawa). Sedangkan pengaruh Boedha menyebar dari India bagian utara ke segala arah hingga ke selatan India/Sri Langka dan juga menyebar ke IndoChina dan Hindia Timur termasuk Sumatra).

Di pantai barat Sumatra pengaruh Hindoe diantaranya berkembang di wilayah Angkola Mandailing (Tapanuli Selatan). Pusat peradaban Hindoe di Tapanuli Selatan berada di pertemuan sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis dimana kini terdapat situd zaman kuno candi Simangambat. Pusat perdaban Hindoe di Tapanuli Selatan ini menjadi cikal bakal Kerajaan Aru. Baroes adalah salah satu pelabuhan (ekspor kamper) dari Kerajaan Aru (ke India, Arab dan Eropa). Untuk meningkatkan volume perdagangan (kamper) ke wilayah timur dari pantai timur Sumatra muncul pelabuhan Binanga di pertemuan sungai Baroemioen dan sungai Batang Pane. Pelabuhan Binanga ini berada di sebelah timur pusat Kerahaan Aru (candi Simangambat) yang dibatasi oleh gunung Malea (merujuk pada nama Himalaya). Dengan demikian terdapat dua pelabuhan utama Kerajaan Aru, di pantai barat berada di Baroes dan di pantai timur berada di Binanga.

Penyebaran ajaran Boedha di kawasan selat Malaka, menyebabkan pengaruh Biedha menggeser pengaruh Hindoe di Kerajaan Aru. Oleh karena itu candi-candi tua yang ditemukan di sekitar Binanga (kini Padang Lawas) umumnya bercorak Budha. Hal itulah mengapa candi Simangambat mencerminkan ada unsur Hindoe dan unsur Budha. Seperti kita lihat nanti, bentuk dan motif candi Simangambat mirip dengan candi-candi di Jawa bagian tengah seperti Kalasan, Sewu dan Plaosari.  

Kerajaan Aru berkembang semakin pesat dengan produk kamper (dan kemenyan) yang didukung dua pelabuhan besar di pantai barat Sumatra yang berada di Baroes (yang melayani ekspor ke India, Arab dan Eropa) dan di pantai timur Sumatra yang berada di Binanga (yang melayani ekspor ke Tiongkok dan Jawa). Kerajaan Aru dapat dikatakan satu-satu saat itu di nusantara sebagai kerajaan Adidaya. Dalam posisi inilah Kerajaan Aru mulai melakukan penyebaran pengaruh dengan memperkuat Sriwijaya untuk melakukan invasi ke Jawa (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M, prasasti Talang Tuoa 684 M dan prasasti Kota Kapur 686 M). Melalui invasi (kerajaan) Sriwijaya yang didukung Kerajaan Aru pengaruh Budha memasuki wilayah Jawa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Borobudur Menghilang dan Baru Ditemukan 1814?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar