Kamis, 21 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (184): Reboisasi dan Ekosistem Global; Sejarah Penemuan Pohon Pinus di Sipirok, Jung Huhn (1840)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pepatah ‘asam di gunung, garam di laut’ boleh jadi adalah kata-kata sandi masa lampau yang bahkan sudah ada sejak zaman kuno. Pada masa ini pepatah lainnya dapat ditambahkan ‘tanaman mangrove di laut, tanaman pinus di gunung’. Pepatah yang pertama dikaitkan dengan soal perdagangan (economic exchange) di zaman kuno, sedangkan pepatah kedua adalah soal dampak yang ditimbulkan produksi dalam perdagangan sejak zaman kuno yang mana banyak lahan-lahan telah gundul. Menanam pinus dan menanam mangrove dapat mengurangi dampak pemanasan global.

Penanaman mangrove di wilayah pesisir untuk meningkatkan kualitas kawasan pesisir yang dapat dikaitkan dengan pemananasan global. Hal itu sudah dibicarakan pada artikel sebelumnya. Pada artikel ini penanaman pinus dihubungkan dengan upaya reboisasi, penghutanan kembali di wilayah pedalaman kawasan hutan. Seperti halnya penanaman mangrove, penghutanan kembali, reboisasi dapat juga dikatakan sebagai bagian dari penghijauan yang dapat dijadikan sebagai sebagai salah satu cara melestarikan alam yang mana pohon sendiri mempunyai banyak manfaat tidak hanya bagi ekosistem alama sendiri  juga bagi kebutuhan manusia maupun hewan. Manfaat dan ffungsi pohon dalam reboisasi antara lain: penghasil oksigen dari daun, menyerap dan menahan air dari fungsi akarnya, mencegah terjadinya banjir besar, mencegah terjadinya tanah longsor, mengatasi kekeringan, melindungi satwa dan dapat dimanfatkan oleh penduduk sekitar hutan.

Lantas bagaimana sejarah reboisasi di Indonesia? Seperti disebut di atas, sebelum soal pemanasan global dibicarakan, upaya reboisasi dilakukan untuk penghijauan (penghutan kembali) dari lahan-lahan gundul akibat peristiwa alam dan kegiatan manusia di masa lampau. Reboisasi kemudian dilihat lebih banyak manfaatnya dari yang diperkirakan. Lalu bagaimana sejarah reboisasi bermula? Seperti disebut di atas upaya reboisasi direkomendasikan ketika Ir. FW Jung Huhn menemukan pertama kali pinus di Sipirok (Ttapanuli Selatan) pada tahun 1840. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Reboisasi dan Ekosistem Global; Sejarah Penemuan Pohon Pinus di Siprok oleh Jung Huhn, 1840

Kapan upaya reboisasi dimulai di Indonesia? Tidak ada yang pernah menulis. Namun yang jelas program reboisasasi pada era Pemerintah Republik Indonesia sudah gencar dilakukan sejak tahun 1970an. Namun secara formal soal reboisasi ini baru mendapat perhatian dengan terbitnya Peraturan Pemerintah RI No. 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.

Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi ini kurang lebih sama pengertiannya dengan yang lama (reboisasi). Okelah, tidak masalah soal terminologi reboisasi atau rehabilitasi hutan dan lahan, Yang penting maksud dan tujuannya sama.

Lantas mengapa perlu rehabilitasi hutan dan lahan atau reboisasi? Kita harus kembali ke sejarah awal. Upaya reboisasi tampaknya baru dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda. Beberapa istilah yang digunakan pada era kolonial tersebut adalah reboisastie dan herbebossing. Ini bermula ketika W Buurman seorang rimbawan (houtvester) di Semarang memulai upaya kegiatan reboisasi (lihat De nieuwe vorstenlanden, 12-11-1883). Namun bagaimana hasilnya, tidak diketahui.

W Buurman menyebutkan bahwa beberapa tahun ini pemerintah telah melakukan eksperimen dengan mengunakan Eucalyptus telah dilakukan reboisasi di bawah otoritas pemerintah. Untuk tujuan ini, oleh pemerintah, bibit segar dalam jumlah besar didatangkan dari Australia, dipasok setiap tahun ke industri kehutanan, serta ke pejabat Pemerintah Pedalaman. Eksperimen ini tampaknya tidak memberikan hasil yang memuaskan atau setidaknya penanaman lebih lanjut dari spesies pohon yang berguna ini telah dihentikan dan penyediaan bibit Eucalyptus yang baru dipasok juga tampaknya telah dihentikan. Pada bulan Desember 1881 saya mengambil alih pengelolaan hutan kabupaten Semarang. Di Afdeeling Salatiga dan Kendal telah dimulai selama beberapa tahun dengan reboisasi lereng gunung Merbaboe dan Prahoe yang tandus. Di antara berbagai hutan yang tumbuh di sana, saya menemukan, antara lain, di Merbaboe merupakan perkebunan beberapa spesies Eucalyptus. Namun saya lihat pohon-pohon yang sudah ditanam itu tidak akan lama karena bersaing dengan alang-alang. Saya memperkenalkan jati, tetapi alang-alang segera menutup bibit jati yang ditanam. Dua metode ini kemudian tidak saya rekomendasikan untuk lebih lanjut. W Buurman memperkenal tanaman Eucalyptus lokal. Pada bulan April 1882 pohon-pohon sudah sangat baik dengan rata-rata pertumbuhan batang tertentu. Pada bulan Mei tahun ini (1883) tanaman itu telah memiliki panjang rata-rata 1 meter. Dengan cara ini akan dilanjutkan pada tempat-tempat di mana tanah dan iklim cocok untuk itu. Lantas bagaimana selanjutnya? Tentu saja tidak diketahui.

Jauh di masa lampau, pada tahun 1840 Gubernur Jenderal Pieter Merkus mengirim Ir Jung Huhn ke wilayah Tapanoeli di Afdeeling Angkola  Mandailing dan Afdeeling Padang Lawas. Tugas utamanya adalah meneliti geologi dan botani tetapi diperbantukan sebagai pejabat mewakili pemerintah di Afdeeling Padang Lawas. Selama tiga tahun di wilayah yang belum lama cabang pemerintah dibentuk, Jung Huhn tak menduga menemukan pohon sejenis cemara (di Eropa) yang tumbuh baik di wilayah district Sipirok. Jung Huhn berpendapat habitat terdekat yang diketahuinya yang terdekat berada di India. Jung Huhn bengong. Penduduk setempat menyebutnya pohon tusam.

Jung Huhn pada tahun 1841 melakukan ekspedisi geologi dan botani di Sipirok. Di dataran tinggi Sipirok inilah Jung Huhn menemukan adanya pohon tusam. ‘Setelah melihat tusam di sebelah utara Sipirok (Sipagimbar), Jung Huhn sangat terpesona, karena tidak menyangka disini di tengah-tengah daerah tropis ada kenyataan bahwa pinus tumbuh dengan baik. Penemuan ini disebutkannya sebagai salah satu yang paling penting dalam bidang geografi tanaman, bahwa ada Pinussoort ditemukan di daerah tropis. Setelah menyelesaikan sebagian tugas-tugasnya di bidang geologi (termasuk botani) dan topografi, Jung Huhn kembali ke Batavia. Berbagai data yang telah dikumpulkan mulai dikompilasi, dianalisis dan ditulis. Salah seorang koleganya adalah Prof. Vriese yang menjadi komisi untuk Botani di Hindia Belanda yang berkantor di Buitenzorg tertarik mendiskusikan temuan Jung Huhn. Dengan Vriese sejumlah temuan didiskusikan. Prof. lalu memberikan gambaran botani pertama dari spesies baru tersebut dengan menamainya Pinus merkusii Junghuhn et de Vriese. Penamaan ini merujuk pada alm Gubernur Jenderal P. Merkus yang mememerintahkan Jung Huhn. Pohon tusam asli Sipirok itu kemudian mendapat nama ilmiah.

Dalam perkembangannya, lokasi dimana pohon tusam di Sipirok lereng gunung Sibualbuali dan pohon Pinus merkusii Junghuhn et de Vriese (menurut bersi nama botani) hanya di tiga tempat, selain di district Sipirok, Afdeeling Angkola Mandailing, Residentei Tapanoeli adalah di district Kerintji (Djambi) dan di district Gajo (Atjeh) lereng gunung Leuser. Mengapa?

Banyak tanaman yang telah diintroduksi di Hindia Belanda (baca: Indonesia) seperti kina, karet, sawit dan sebagainya. Namun untuk hal yang terkait dengan reboisasi, seperti disebut di atas, tanaman Eucalyptus yang dintroduksi tampaknya gagal. Tanaman Eucalyptus lokal pilihan W Buurman tidak diketahui kelanjutannya. Lantas apakah pohon tusam atau pohon pinus Indonesia tersebut telah diintroduksi sejak zaman kuno untuk tujuan reboisasi? Sebagaiman diketahui bahwa tiga lokasi dimana ditemukan Pinus merkusii Junghuhn et de Vriese., habitat (populasi) terdekatnya hanya ditemukan di India. Apakah orang-orang India pada era Hindoe-Boedha telah membawa bibit tanam tusam dari India? Apakah untuk tujuan reboisasi? Tiga lokasi itu adalah tiga diantara koloni orang-orang India di pantai barat Sumatra pada era Hindoe Boedha. Pada ekspedisi ilmiah ke gunung Leuser tahun 1935 di puncak hunung :Leuser juga ditemukan tanaman langka yang hanya ditemukan di sekitar (pegunungan) Himalaya, India.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pohon Pinus dan Tanaman Mangrove: Pemanasan Global

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar