Jumat, 07 Januari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (340): Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Nadjamoeddin D Malewa:Sarikat Celebes hingga Negara NIT

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam sejarah Indonesia juga terdapat nama Nadjamoeddin Daeng Malewa, seorang tokoh penting di Makassar. Awalnya ikut bergabung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tetapi kemudian lebih cooperative dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pada saat perang kemerdekaan, dengan kembalinya Belanda (NICA) Nadjamoeddin Daeng Malewa yang awalnya pro kemerdekaan kembali berbalik menyambut kehadiran Belanda (NICA) hingga tampil sebagai pemimpin (perdana menteri) di Negara Indonesia Timur (negara yang diinisiasi Belanda/NICA).

Nadjamuddin Daeng Malewa (lahir di Buton 1907, meninggal di Makassar, 5 Januari 1950) adalah seorang politikus. Dia dibesarkan di dalam keluarga pengusaha kapal di Buton. Malewa memiliki darah Bugis pada akhir tahun 1920-an kembali ke Makassar dan bergabung dengan Perserikatan Celebes yang kemudian menjadi pemimpin cabang Makassar. Karena latar belakang politik yang sangat beragam di dalam organisasi, memunculkan konflik antara "Utara" dan "Selatan", Malewa pemimpin cabang Makassar kemudian mengambil alih dan mengganti namanya menjadi Partai Celebes yanh kemudian menjadi anggota Parindra. Pada November 1935, Malewa juga membentuk Roekoen Pelayaran Indonesia (Roepelin) sebagai upaya menyaingi Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Malewa kemudian keluar dari Parindra karena tidak mendapatkan dukungan untuk menjadi anggota Volksraad periode 1935 hingga 1939. Dia kemudian mendirikan Persatuan Celebes Selatan tetapi dengan sikap loyal pada pemerintah Belanda. Pada konferensi Malino tanggal 25 Juli 1946 Melewa menjadi peserta dimana tanggal 24 Desember 1946, Negara Indonesia Timur (NIT) dideklarasikan. Melewa salah satu kandidat untuk pemimpin (Presiden) NIT, namun demikian Malewa diangkat sebagai perdana menteri dari 13 Januari hingga 2 Juni 1947 dan periode kedua 2 Juni 1947 hingga 11 Oktober 1947. Pada tanggal 20 September 1947, Malewa diberhentikan sebagai perdana menteri dan diadili dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Pada tanggal 24 September 1947, melalui surat keputusan Residen Zuid-Celebes, dia tidak dapat bermukim di daerah kekuasaan NIT, khususnya daerah yang diberlakukan darurat militer seperti Sulawesi Selatan. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Nadjamoeddin Daeng Malewa? Seperti disebut di atas, Nadjamoeddin Daeng Malewa adalah salah satu tokoh penting di Makassar yang pro Belanda. Lantas bagaimana sejarah Nadjamoeddin Daeng Malewa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Nadjamoeddin Daeng Malewa di Makassar

Nama Nadjamoeddin mulanya dikenal di Makassar sebagai pegawai bea dan cukai di pelabuhan (douane ambtenaar) dengan pangkat verificateur. Bagaimana riwayat awalnya tidak terinformasikan, dimana sekolah, sekolah apa dan memulai karir douane ambtenaar dimana dan sejak kapan? Seperti kita lihat nanti, Nadjamoeddin disebutkan pernah sekolah MULO dan mengikuti kursus douane.

Pekerjaan douane ambtenaar tidak hanya diisi oleh orang-orang Belanda, juga orang-orang pribumi. Dua orang yang terpenting seperti kita lihat nanti adalah Abdoel Hakim Harahap dan Radjamin Nasoetion. Abdoel Hakim Harahap, lulus MULO di Padang dan melanjutkan studi ke Batavia, Setelah lulus HBS di Prins Hendrik School Batavia tahun 1927 mengambil pendidikan kursus dua tahun douane yang kemudian ditempatkan di Batavia lalu dipindahkan ke Medan, Pada tahun 1930 Abdoel Hakim Harahap sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad( Medan. Pada tahun 1938 Abdoel Hakim Harahap promosi menjadi kepala dinas keuangan Groot Oost di Makassar dan pada pendudukan militer Jepang diangkat sebagai wakil kepala dinas keuangan di Makassar (di bawah pejabat Belanda). Pada tahun 1943 Abdoel Hakim Harahap pulang kampong karena sang ayah meninggal di Padang Sidempoean, tidak kembali ke Makassar tetapi diangkat menjadi ketua dewab Tapanoeli. Singkat kata setelah pengakuan kedaulatan Indonesia Abdoel Hakim Harahap menjadi Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta (lalu kemudian pada tahun 1951 menjadi Gubernur Provinsi Sunmatra Utara). Sementara itu Radjamin Nasoetion lebih awal dari Abdoel Hakim Harahap. Setelah beberapa tahun di STOVIA, Radjamin Nasution memilih mengikuti pendidikan douane kursus dua tahun yang kemudian ditempatkan dan pindah beberapa kali di berbagai tempat hingga akhirnya dipindahkan ke Soerabaja. Pada tahun 1930 Radjamin Nasoetion terpilih sebagai anggota dewan kota di Soerabaja dari Partai PBI (Persatoean Bangsa Indonesia). Partai PBI didirikan oleh Dr Soetomo, Radjamin Nasoetion dkk di Soerabaja tahun 1929 (Soetomo pendiri Boedi Oetomo tahun 1908 sama-sama satu kelas dengan Radjamin Nasution di STOVIA . Tahun 1935 PBI fusi (merger) dengan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo yang kemudian terbentuk partai baru yakni Partai Indonesia Raja (Parindra) yang diketuai oleh Dr Soetomo. Pada tahun 1938 Radjamin Nasution menjadi anggota Volksraad dari dapil Oost Java mewakili Parindra. Pada era pendudukan Jepang Radjamin Nasution diangkat menjadi wali kota Soerabaja dan pada awal Proklamasi Kemrdekaan RI (1945) Radjamin Nasution juga tetap diangkat sebagai Wali Kota Soerabaja.

Pada tahun 1931, Nadjamoeddin, seorang verificateur di Makassar ikut membuat petisi yang akan diajukan kepada pemerintah, selain dua anggota dewan yang ada, agar wilayah (pulau) Sulawesi ditambah lagi anggota untuk dewan pusat (Volksraad) di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-02-1931). Disebutkan sejumlah besar orang dari Sulawesi telah mengajukan petisi yang panjang lebar dan terperinci kepada Pemerintah dengan permintaan bahwa, selain anggota yang sudah terpilih, Sulawesi harus ditambah anggota ketiga. Kandidat berdasarkan urutan rekomendasi adalah: AP Mokoginta, anggota Bataviaschen Cementeraad, Nadjamoeddin, verifikator Makassar, Ajoeba Wartabone, Bupati pertama di Gorontalo (Celebes) dan AD Kansil, kepala sekolah di Normaalschool di Meester Cornelis.

 

Petisi ini sebagai reakasi baru, karena selama ini jatah dua kursi dari Celebes untuk Volksraad (dapil Zuid Celebes dan dapil Noord Celebes) selalu dimenangkan oleh kandidat yang berasal (orang) Minahasa. Sebagaimana diketahui, umumnya orang-orang yang terpilih ke Volksraad adalah individu yang dapat dikatakan berpendidikan pengetahuan luas dan memiliki kapasitas menyuarakan aspirasi di pusat (Volksraad Batavia). Petisi ini mengindikasikan ada sentimen atau sikap. Namun bagaimana hasilnya? Tentulah sangat sulit bagi pemerintah. Kuota untuk Sumatra yang populasinya besar hanya empat kursi (empat dapil), dan masing-masing satu kursi untuk Borneo, Sonda Ketjil dan Maluku. Dalam komposisi ini tampaknya sudah ideal di Sulawesi sebanyak dua kursi, hanya saja yang terjadi soal preferensi atau sikap para kandidat yang terpilih?

Petisi dari Makassar tampaknya ditolak pusat, Tidak lama kemudian di Makassar diadakan rapat umum Persarikatan Celebes (lihat Soerabaijasch handelsblad, 25-03-1931). Disebutkan Minggu pagi, 15 Maret, Persarikatan Celebes mengadakan rapat umum yang diadakan di gedung Pergoeroean Rakjat. Nadjamoeddin, douane ambtenaar yang merupakan ketua Persarikatan Celebes (PC) cabang Makassar, membuka pertemuan dengan kata pengantar. Sejumlah pembicara presentasi. Salah satu pembeicara adalah Lengkong, Ketua Pengurus Pusat PC di Batavia berbicara tentang ‘nasionalisme’. Secara keseluruhan para pembicara atas nama berbagai asosiasi semuanya menyatakan ketaatan terhadap tujuan dan statuta PC. Setelah Lengkong menjawab semua pembicara, setelah itu kira-kira pukul 13.00 ketua menutup rapat. Isu Volksraad itu juga mengemuka dalam rapat umum tersebut.

Jong Celebes dan Persarikatan Celebes berbeda. Jong Celebes sebagai organisasi pemuda/pelajar didirikan pada tahun 1919. Yang pertama didirikan adalah Jong Celebes tahun 1917. Jong Ambon dan Jong Java tahun 1919. Sedangkan organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang tahun 1900, Sarikat Tapanoeli di Medan tahun 1907, Boedi Oetomo di Batavia 1908. Sumatranen Bond 1918 di Batavia, Sarikat Ambon di Semarang 1920. Dalam perkembangannya didirikan Persarikatan Celebes di Batavia. Sarikat-sarikat ini sudah banyak hingga pembentukan federasi organisasi kebangsaan pada tahun 1927 yang diinisiasi oleh Parada Harahap. Dalam pembentukan ini disepakati nama federasi Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI dimana ketua terpilih MH Thamrin (Kaoem Betawi) dan sekretaris Parada Harahap (Sumantranen Bond). Dalam pembentukan ini juga turut dihadiri Boedi Oetomo cabang Batavia, Islamietebn Bond, Pasoendan, Studieclub Soerabaja (diwakili Dr Soetomo) dan Perhimpoenan Nassional Indonesia (diwakili Ir Soekarno), Dalam Kongres Pemuda 1928 juga dihadiri Jong Ambon (Leimena dkk) dan Jong Celebes (Kajadoe dkk). Dalam Kongres PPPKI pada bulan September 1928 Sarikat Ambon dan Persarikatan Celebes tidak hadir.

Pada tanggal 22 Mei di Makassar terjadi protes terkait dengan hasil petisi sebelumnya dimana usulan jatah anggota Volksraad untuk Zuid Celebes yang disahkan pemerintah hanya dua kandidat yang terpilih berasal dari Minahasa (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-06-1931). Disebutkan aksi bersama ini inisiatifnya berasal dari Persarlkatan Celebes, yang mana perkumpulan ini menyelenggarakan pertemuan pada tanggal 22 Mei yang dihadiri lebih dari seribu orang. Panitia dipimpin oleh panitia yang dibentuk dari seluruh perkumpulan yang ada. Seribu yang hadir mewakili 38 perkumpulan dengan bersama-sama lebih dari 7.000 anggota. Rapat dipimpin oleh Nadjamoeddin ketua Perserikatan Celebes yang membuka rapat dan memberikan sambutan pertama. Dari rapat umum ini dua mosi disahkan,

Salah satu dari mosi itu disebutkan berisi tentang Gubernur -Jenderal Hindia Belanda yang telah menetapkan anggota Volksraad yang baru untuk periode 1931-1935, menyatakan kekecewaan yang mendalam atas kenyataan bahwa diantara anggota yang diangkat lagi tidak ada wakil dari kepentingan Ceiebes ditemukan, sejak berdirinya Volksraad pada tahun 1918, dua atau lebih Minahasser selalu memiliki kursi di Volksraad sebagai perwakilan untuk daerah pemilihan X, bahwa peraturan pemilihan yang ada saat ini membuat pemilihan anggota Volksraad Zuid Celebes mutlak tidak mungkin, justru untuk itulah tahun ini telah diambil tindakan untuk mengangkat perwakilan Zuid Celebe ke Volksraad bahwa seluruh kelompok penduduk Makassar dan Bugis telah benar-benar diabaikan oleh Pemerintah sekali lagi tahun ini,

Nadjamoeddin diketahui termasuk salah satu anggota dewan kota (gemeenteraad) Makassar (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-12-1931). Teman sejawatnya di lingkungan douane juga diketahui telah menjadi anggota dewan kota, Abdoel Hakim Harahap di Medan dan dan Radjamin Nasoetion di Soerabaja.

Volksraad periode 1931-1935 untuk pribumi melalui pemilihan, seperti disebut di atas dibagi ke dalam beberapa dapil dimana wakil dari Jawa sebanyak 11 kursi, Sumatra 4 kursi, Sulawesi 2 kursi dan masing-masing satu kursi Borneo, Maluku dan Soenda Ketjil. Dapil II (province) Oost Sumatra dimenangkan oleh Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (untuk yang kedua kali); dapil I Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh) dimenangkan oleh Dr Abdoel Rasjid Siregar yang mengalahkan incumbent Dr Ali Moesa Harahap. Untuk dapil Maluku dimenangkan oleh J de Queldjoe.

Pada tahun 1933 anggota Volksraad J de Queldjoe dikabarkan meninggal dunia. Sehubungan dengan itu, dari pihak Partai Celebes meminta ke pemerintah untuk menggantikannya (lihat Deli courant, 08-05-1933). Disebutkan pihak Partai Celebes meminta Gubernur untuk kepentingan tiga juta penduduk Zuid Celebes sebagai pengganti J de Queljoe yang baru saja meninggal dan agar verifikator Nadjamoeddin untuk diangkat dalam lowongan tersebut. Tentulah ini sangat sulit dipenuhi. Hal ini mengingat konstituen de Queldjoe juga mengusulkan pengganti yang baru.

Tidak diketahui apakah Nadjamoeddin masih berada di Makassar, Sebagai pegawai pemerintah, mutasi (perpindahan tempat) lazim terjadi. Besar dugaan bahwa Nadjamoeddin telah dipindahkan ke kota yang lebih besar di Soerabaja. Radjamin Nasoetion di Soerabaja diduga telah pensiun dari douane. Radjamin Nasution sebagai douane ambtenaar diketahui sejak 1912 di Batavia. Sudah beberapa kali pindah seperti di Medan, Perbaoengan, Djambi, Pangkalan Boen, Semarang dan terakhir di Soerabaja. Dalam pemilihan Volksraad, kandidat tidak tergantung dimana domisili kandidat tetapi tergantung dari dapil mana yang mengusulkan terhadap siapa yang dicalonkan. Radjamin Nasoetion tetap sebagai pengurus PBI di Soerabaja dan tetap mendapat tempat di dalam pemilihan gemeenteraad Soerabaja. Sejak tahun 1932 PBI telah mencoba memperbesar partai dengan merger dengan komunitas lain dari berbagai organisasi kebangsaan, termasuk antara lain Boedi Oetomo, Sumatranen Bond, Tirtajasa. Partai-partai lain setelah dibubarkannya partai PNI (Soekarno) lalu anggota eks partai membentuk partai baru yakni Partai Indonesia (Partindo) yang diketuai oleh Mr Sartono dan partai Pendidikan Nasional Indonesia yang diinisiasi oleg Soetan Sjahrir dkk, Ketua cabang Partindo Batavia adalah Amir Sjarifoeddin Harahap dan cabang Soerabaja adalah Mohamad Jamin. Setelah Ir Soekarno dibebaskan dari tahanan bergabung dengan Partindo, sementara Mohamad Hatta yang baru pulan studi di Belanda bergabung dengan partai Pendidikan Nasional Indonesia. Partai PBI sejauh ini masih solid dan ingin memperbesar partai dengan melakukan merger. Pada tahun 1934 merger antara PBI dan Boedi Oetomo semakin mengerucut.

Pada tahun 1935 Nadjamoeddin sebagai douane ambtenaar diketahui sudah ditempatkan di Soerabaja. Dalam hubungan ini, Nadjamoeddin sudah menjadi bagian dari pengurus PBI. Dalam perkembangan diketahui rapat umum yang dihadiri PBI dan BO di Soerakarta yang diadakan pada akhir 1935 (lihat De locomotief, 23-12-1935). Disebutkan menjelang rapat umum Dr Soetomo mengatakan bahwa jika dua komunitas ini bergabung maka namanya sudah disepakati dengan nama Partai Indonesia Raja (Parindra) dan untuk menentukan ketua dilakukan voting antara satu nama dari PBI dan satu nama BO. Dalam rapat umum tersebut diagendakan presentasi ‘Sejarah Gerakan Nasional Indonesia Menuju Fusi’ (De geschiedenis van de Indonesische nationale beweging tot de fusie) oleh Dr Soetomo, ‘Ekonomi’ (De economie) oleh Radjamin  [Nasoetion] dan ‘Pelayaran’ (De scheepvaart) oleh Nadjamoeddin.

Selain Dr Soetomo dan KRMH Woerjaningrat (ketua BO), Radjamin Nasoetion dan Nadjamoeddin termasuk tokoh yang penting dalam pembentukan partai baru Partai Indonesia Raja (Parindra). Dr Sotomo dan Radjamin Nasution sudah sejak awal di PBI. Bagaimana dengan Nadjamoeddin? Besar dugaan Partai Celebes telah lebih dulu bergabung dengan PBI dimana Nadjamoeddin menjadi bagian dari pengurus PBI di Soerabaja.

Dalam Rapat Umum (kongres) PBI dan BO yang diselenggarakan pada tangggal 24-26 Desember telah resmi partai Parindra dibentuk. Ketua terpilih adalah Dr Soetomo (eks ketua PBI). Dalam partai baru ini juga kemudian diketahui bergabung antara lain Sumatranen Bond dan Kaoem Betawi dimana Parada Harahap dan MH Thamrin juga menjadi pengurus pusat Parindra.

De locomotief, 20-07-1937: ‘Partai Indonesia Raja (Parindra) cabang Semarang akan menggelar rapat tertutup pada Minggu tanggal 25 bulan ini di gedung Sobo Kartti Karrenweg, mulai pukul 09.00 pagi. Dalam rapat tertutup ini yang juga akan dihadiri oleh Dr Soetomo, ketua umum partai dan Nadjamoeddin, ketua pengurus. keduanya berasal dari Soerabaja’.

Partai Parindra mendirikan perusahaan yang diberi nama Roekoen Pelajaran Indonesia yang disingkat Roepelin. Parindra memiliki sejumlah perusahaan, yang sudah ada sejak era PBI antara lain perusahaan penerbit surat kabar Soewa Oemoem yang terbit di Soerabaja dan sebuah bank yang diberi nama Bank Nasional yang berkantor pusat di Soerabaja. Roepelin juga berkantor pusat di Soerabaja. Sebagaimana Soera Oemoem dan Bank Nasional dipimpin oleh Dr Soetomo, perusahaan pelayaran Roepelin dipimpin oleh Nadjamoeddin. Namun, dalam perkembangannya Nadjamoeddin tersandung kasus penggelapan uang di tubuh Roepelin.

Bataviaasch nieuwsblad, 05-04-1939: ‘Mantan petugas bea cukai Nadjamoeddin, mantan ketua Roepelin, anak perusahaan (onderbouw) Parindra, hari ini dijatuhi hukuman oleh Kantor Pengadilan Surabaya (Soerabaiaschen Landraad) selama sembilan bulan penjara karena penggelapan uang lebih dari dua ribu dolar dan pemalsuan terhadap asosiasi tersebut’.

Permasalahan Nadjamoeddin di dalam badan Roepelin sudah muncul pada tahun 1938 (lihat De Indische courant, 02-04-1938). Disebutkan Nadjamoeddin, yang telah dengan cerdik memanipulasi uang dari Roepelin--yang juga disebut ‘laksamana’ Parindra—telah ditangkap. Roepelin yang berkantor pusat diduga telah memiliki cabang seperti di Semarang dan Makassar.

Pendirian Roepelin ini, sebagai onderbouw di bidang pelayaran diduga bermula sebagai rekomendasi pada saat rapat fusi (merger di Soerakarta pada akhir tahun 1935 dimana tiga makalah disampikan yakni ‘Sejarah Gerakan Nasional Indonesia Menuju Fusi’ (De geschiedenis van de Indonesische nationale beweging tot de fusie) oleh Dr Soetomo, ‘Ekonomi’ (De economie) oleh Radjamin  Nasoetion dan ‘Pelayaran’ (De scheepvaart) oleh Nadjamoeddin. Selain Roepelin, Bank Nasional, surat kabar Soeara Oemoem, Parindra juga memiliki onderbouw di bidang angkutan darat yakni Sarikat Kusir (koetsiersbond) dan Sarikat Pengemudi (chauffeursbond) serta Djagalbond (RPH), Parindra juga membangun gedung pertemuan yang diberi nama Gedong Nasional di Soerabaja. Itu semua baru di Soerabaja, tentu saja ada yang lainnya di kota lain seperti Soerakarta dan Djogjakarta.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Persarikatan Celebes hingga NIT: Mengapa Nadjamuddin Daeng Malewa Pro Belanda?

Besar dugaan pasca kasus Roepelin di Soerabaja, setelah menyelesaikan hukumannya, Nadjamoeddin kembalio ke Makassar. Tentu saja apa yang telah terjadi di Soerabaja sudah diketahui oleh orang-orang Belanda di Makassar. Namun orang-orang Belanda atas nama Pemerintah Hindia Belanda tidak lama kemudian berakhir seiring dengan pendudukan militer Jepang (sejak awal 1942).

Selama pendudukan militer Jepang (1942-1945) semua hal kurang terinformasikan. Satu sumber terpenting yang dapat diandalkan adalah buku yang diterbitkan pada pada era pendudukan militer Jepang yang berjudul ‘Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa’ yang diterbitkan Gunseikanbu tahun 1944. Oleh karena Nadjamoeddin sudah berada di luar Jawa (di Makassar?) tentu saja namanya tidak dicatat. Namun seniornya sesama orang keuangan (bea dan cukai) masih aktif seperti Abdoel Hakim Harahap (sementara Radjamin Nasution sudah pensiun). Abdoel Hakim Harahap setelah lama di Medan, pada tahun 1937 dipindahkan ke Batavia di Departemen Keuangan, divisi Akuntan dan Statistik Keuangan. Abdoel Hakim Harahap di Batavia dicalonkan untuk dewan kota (lihat De koerier, 16-07-1938). Pada tahun 1941 Abdoel Hakim Harahap dipindahkan ke Makassar (lihat De Sumatra post, 21-10-1941). Disebutkan Abdoel Hakim di Departemen Keuangan (Dept. van Financien) ditunjuk sebagai yang dipersepsikan untuk jabatan Administrator Keuangan kelas-3 di kantor pusat (Centraalkantoör) untuk akun Macassar. Pada masa pendudukan Jepang, Abdoel Hakim Harahap menjadi Wakil Kepala Comptabilia (Perbendaharaan Negara) di Makassar (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 13-08-1955). Pada saat pendudukan militer Jepang ini Nadjamoeddin (kembali) mendapat posisi di pemerintahan di Makassar. Dua pejabat keuangan pada era Hindia Belanda (Abdoel Hakim Harahap dan Nadjamoeddin) di kota yang sama. Namun pada tahun 1943 Abdoel Hakim Harahap harus pulang kampong karena sang ayah Mangaradja Gading meningfgal di Padang Sidempoean. Abdoel Hakim Harahap tidak kembali ke Makassar tetapi diangkat pemerintah militer Jepang sebagai ketua dewan di Tapanoeli (dan menjadi Residen Tapanoeli pada era perang kemerdekaan).    

Selama pendudukan militer Jepang, Nadjamoeddin kembali berada di pemerintahan di Makassar. Namun tidak terinformasikan bekerja di kantor apa. Pada awal kahadiran Belanda (NICA) Nadjamoeddin menentang kehadiran Belanda (NICA) tetapi sikapnya berubah menjadi (bersedia) cooperative dan menjadi salah satu wakil Zuid Celebes (Makassar) pada konferensi Malino yang akan diadakan pertengahan bulan Juli 1946.

Sikap Nadjamoeddin telah berubah 180 derajat. Ini dapat dibaca pada tulisan Nadjamoeddin yang dimuat Economisch Weekblad yang dilansir oleh surat kabar Nieuwe courant, 19-06-1946 dengan judul Economische aspecten van de Groote Oost en Borneo (Aspek Ekonomi Indonesia Timur dan Borneo). Disebutkan menurut Nadjamoeddin Daeng Malewa  bahwa ‘dalam diri kita dan khususnya di Indonesia yang berpikir secara sadar di Sulawesi Selatan dan di tempat lain, lebih dari yang dipikirkan banyak orang, dorongan untuk merdeka. Namun, yang sangat kami tolak adalah kekacauan, yang tentunya tidak cocok dengan orang Bugis dan Makassar yang mengakar dalam adatnya. Berjuang untuk kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri, bekerja sama dengan Belanda adalah keinginan dan keinginan sebagian besar orang. Kami mengandalkan kata-kata bangsawan….Sebelum saya mulai pertimbangan saya, saya akan gagal untuk menarik perhatian pada buah kerjasama yang baik antara Indonesia dan Belanda sejak kapitulasi. Pada hari kamp interniran dibuka yaitu tanggal 4 September 1945 sekelompok orang Belanda berkumpul dan membentuk Komisi Ekonomi. Komisi segera memimpin di bidang ekonomi dengan berkonsultasi dengan Dewan. Kerjasama dengan pihak Indonesia diupayakan dan diperoleh dan ketika pasukan pendudukan pertama dan detasemen NICA tiba beberapa minggu kemudian kasus di Makassar sedang ‘berjalan lancar’…Saya tidak perlu memberi Anda kesulitan. Pekerjaan harus dilakukan di bawah kondisi yang paling primitif, dengan sumber daya yang lemah di bagian kota yang dibom. Tapi kami membuat kemajuan perlahan tapi pasti. Melalui kebijakan bijak dari Conica--Dr Lion Cachet--mencapai kesepakatan ditutup dengan para pemimpin rakyat Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Januari 1946 yang dengannya juga timbul berbagai kesalahpahaman yang timbul sejak pembebasan. Pada tanggal tersebut, Belanda dan Indonesia saling bergandengan tangan dan momen dimana Lagu Kebangsaan Indonesia dinyanyikan setelah Lagu Kebangsaan Belanda menjadi momen yang tak terlupakan. Itu adalah simbol dari hubungan baru itu menandai tonggak sejarah dalam perkembangan baru dengan kesulitan besar yang titik akhirnya akan menjadi Indonesia yang bebas secara politik dan ekonomi…’.  

Dalam konferensi Malino yang diketuai oleh HJ van Mook (lihat Nieuwe courant, 19-07-1946), Nadjamoeddin sebagai pembicara kelima (pada hari pertama) dimana ia menyampaikan pidato yang lamanya satu jam, yang menarik banyak perhatian, dan dimana ia mengemukakan pandangan radikalnya, jauh lebih luas daripada pembicara sebelumnya. Pembicara menyatakan secara tegas kebutuhan bekerjasama dengan Belanda. Nadjamoeddin dalam pidatonya menyatakan bahwa ‘harapan kami disematkan pada Belanda, pembawa ide demokrasi baru. Bagaimanapun negara baru akan dibangun dan apa pun hubungannya dengan Belanda, kategori ini akan selalu mampu membentuk ikatan yang lebih kuat dari struktur politik manapun. Bisa jadi, jika dibangun atas dasar ini, pada dekade-dekade pertama lebih banyak orang Belanda akan berada di Hindia daripada sebelumnya, mengingat peluang besar untuk pembangunan ekonomi’.

Disebutkan lebih lanjut ‘bahwa pada konferensi yang diadakan kemarin sore, sebuah resolusi diajukan oleh Soekawati dari Bali, menyerukan pembentukan parlemen sesegera mungkin, termasuk pengangkatan perwakilan legislatif dengan penerimaan konferensi ini sebagai dasar, Nadjamoeddin, perwakilan Sulawesi Selatan, Metekohy dari Maluku Selatan, Asikin dari Kalimantan Selatan-Utara, Dengah dari Minahasa serta perwakilan West Borneo, ikut menandatangani resolusi tersebut’. Resolusi inilah yang menjadi dasar pembentukan Negara Indonesia Timur.

Nadjamoeddin dalam pidatonya menyatakan bahwa ‘masa depan politik Groot Indonesia dan Borneo pada umumnya dan Zuid pada khususnya tidak boleh ditentukan oleh keinginan para pemimpin republik di Jawa dan Sumatera saat ini. Jika Daerah Luar mencapai kesepakatan dengan Belanda berdasarkan prinsip ini, maka kami ingin segera membangunnya’. Nadjamoeddin yang mendapat mandat kosong dari Dewan Sulawesi Selatan, mengusulkan resolusi politik sebagai berikut: ‘Indonesia dan Belanda dua merdeka bangsa-bangsa bersatu dalam suatu persekutuan, yang lamanya akan ditentukan oleh konferensi nasional. Organisasi internal dan eksternal Indonesia didasarkan pada jaminan otonomi politik dan ekonomi serta tanggung jawab pemerintah kepada badan perwakilan’.

Nieuwe courant, 19-07-1946: ‘Nadjamoeddin Daeng Malewa, 39 tahun. Ia mengikuti pendidikan di sekolah MULO dan kemudian kursus bea cukai. Sebelum perang (era Hindia Belanda) ia adalah seorang pejabat (ambtenaar) di Dienst bij de In en Uit voerrechten en Accijnzen (Dinas Bea dan Cukai Impor dan Ekspor) dan sekarang menjadi konsultan perdagangan di Makassar dan anggota Dewan Sulawesi Selatan, yang dipilih oleh Dewan ini sebagai perwakilan pada konferensi Malino. Nadjamoeddin sebelumnya adalah pendukung terkemuka gerakan non-kooperatif dari Republik di Sulawesi Selatan. Ia kemudian mengubah sikapnya dan menyatakan bahwa ia bersedia bekerjasama dalam posisinya yang sekarang yang telah digantikan oleh BB/NICA’.   

Setelah konferensi Malino, Dr HJ van Mook berangkat ke Amerika Serikat untuk melakukan lobi-lobi dengan PBB dan pemerintah Amerika Serikat (lihat De Zaanlander, 11-08-1947). Disebutkan Dr Van Mook dengan rombongan berangkat dengan pesawat dari Kemajoran, menuju New York. Rombongan yang berangkat ke New York itu antara lain: Presiden Soekawati, Perdana Menteri Nadjamoeuddin, Anak Agoeng Gde Agoeng, Sultan Kalimantan Barat Hamid II dan lainnya termasuk perwakilan dari Sumatera Timur dan Pasoendan. Sepulang dari Amerika Serikat, dari Negara Indonesia Timur dikirim delegasi ke Belanda.

De Heerenveensche koerier: onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 16-09-1947: ‘Delegasi Indonesia Timur di Rotterdam. Terkait adopsi bersama oleh Rotterdam dan Amsterdam atas Makasar, Ambon dan Koepang, Presiden Indonesia Timur Soekawati melakukan kunjungan ke Rotterdam hari ini. Presiden didampingi antara lain oleh Perdana Menteri Nadjamoeddin; Agoeng, Menteri Dalam Negeri; M Hamelink, Menteri Keuangan; Soeltan, Hamid 11, Sultan Pontianak dan dan Ny Alkadri van Delden. Presiden negara bagian itu menyatakan bahwa dia senang berada di Belanda. Menurut Presiden, sangat membutuhkan bantuan Belanda untuk rekonstruksinya. Perdana Menteri Nadjamoeddin berpendapat bahwa secara umum terlalu sedikit yang diketahui tentang masalah Indonesia. Apalagi di luar Belanda terkadang orang bahkan tidak menyadari keberadaan Indonesia Timur. Bahkan tokoh-tokoh terkemuka di Amerika belum pernah mendengar tentang Indonesia bagian timur. Itulah sebabnya kunjungan ke Amerika, yang mengecewakan karena tidak diterima di Dewan Keamanan, Ketika ditanya tentang status pembentukan partai di Indonesia Timur, Perdana Menteri menjawab: ‘Ini sudah berjalan dengan baik. Ada kelompok dari kiri ke kanan. Itu menunjukkan keaktifan negara. Namun bahkan sebagian besar partai sayap kiri mengakui negara. Kami berkomitmen pada prinsip-prinsip federatif, dalam semangat Linggadjati’.

Tidak lama sepulang dari Belanda, Nadjamoeddin diberitakan telah mengundurkan diri. Ini dapat Eindhovensch dagblad, 24-09-1947 yang mengutif koresponden kantor pers Republik Antara di Djogjakarta.

Disebutkan bahwa kalangan politik di Djogjakarta yakin bahwa ‘faktor politik’ lain telah menjadi pemicu pemecatan Nadjamoeddin. Kalangan di Djogjakarta berpendapat bahwa faktor politik yang menyebabkan pengunduran dirinya mungkin adalah pernyataan Nadjamoeddin yang dibuatnya dalam kunjungannya ke Belanda, yang menuduh pemerintah Belanda telah melakukan blunder politik dengan tidak membuat kesepakatan dengan Indonesia bagian timur, seperti dengan republik. Masih menurut Antara, Nadjamoeddin menyatakan ‘akibat kekurangan itu, dunia kini mencap Indonesia Timur sebagai pemerintahan boneka yang dibentuk sepenuhnya oleh Belanda’. Beberapa kalangan di Djogjakarta menilai alasan pengunduran diri Perdana Menteri sudah terlalu jauh, dengan maksud menyembunyikan kondisi terkini di wilayah kepulauan itu. Belanda telah lama mengetahui fakta bahwa Nadjam:eddin memiliki reputasi buruk dan bahwa ia telah bekerja sama dengan Jepang’.

Nama Nadjamoeddin benar-benar telah menghilang. Sehubungan dengan konferensi yang akan diadakan di Bandoeng tidak terdapat nama Nadjamoeddin (lihat Nieuwe courant, 24-05-1948). Disebutkan delegasi Indonesia Timur dalam briefing pemerintah tentang Indonesia Timur telah diumumkan komposisi delegasi Negara Indonesia Timur untuk kongres federal di Bandoeng: Perdana Menteri yang juga Menteri Dalam Negeri Anak Agoeng, bertindak sebagai ketua delegasi. Berita ini memastikan Nadjamoeddin tidak lagi sebagai Perdana Menteri dan telah digantikan oleh Anak Agoeng. Lantas kemana Nadjamoeddin? Setelah lama, hingga terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (mulai berlaku 27 Desember 1949)  hanya berita duka yang muncul tentang Nadjamoeddin.

Overijsselsch dagblad, 07-01-1950: ‘Nadjamoeddin meningga. Makassar, 6 Januari (Aneta). Pada hari Selasa pagi, Nadjamoeddin Daeng Malewa, Perdana Menteri yang pertama Negara Indonesia Timur meninggal di rumahnya di Makasar, yang dicopot dari jabatannya pada akhir tahun 1947 karena malpraktik dan divonis penjara 3 tahun. Nadjamoeddin telah sakit untuk beberapa waktu karena kondisi jantung, karena itu ia dirawat di rumah sakit beberapa bulan yang lalu dan telah dibebaskan bersyarat (dari hukuman) karena kondisi fisiknya’.

Dalam berita ini Nadjamoeddin Daeng Malewa sebelumnya tidak hanya dipecat sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, tetapi juga telah dijadikan tersangka yang kemudian diadili dengan putusan hukuman penjara tiga tahun.

Apa yang menyebabkan Nadjamoeddin dituntut di pengadilan, sudah barang tentu tidak terkait dengan pemecatannya. Sebagaimana berita dari wilayah Republik di Djogjakarta yang dikutip di atas, Nadjamoeddin dipecat karena pernyataannya ke publik di Belanda yang berbeda dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda (NICA). Mengapa dituntut di pengadilan besar kemungkinan terkait dengan tindakan pidana (yang dalam hal ini masih diberlakukan KUHAP pada era Hindia Belanda sebelum pendudukan militer Jepang). Dalam berita disebut di atas divonnis tiga tahun karena malpraktik. Apa yang dimaksud malpraktik tentulah perihal yang melawan hukum (pidana) seperti pembunuhan, trafifcking dan sejenis yang terkait dengan orang Belanda (seperti Nani Wartabone di Gorontalo). Kasus Nadjamoeddin dalam hal ini diduga dihubungkan dengan malpraktik pada masa pendudukan militer Jepang. Kasus masalah trafficking ini pada era NICA ini pernah dituntut terhadap seorang wali kota Batavia pada era pendudukan Jepang.

Kasus penuntutan terhadap Nadjamoeddin yang berujung pada vonis tiga tahun pada ujung karirnya selama NICA, secara tidak langsung membuka perhatian, yang dapat dihubungkan dengan sikap Nadjamoeddin di awal NICA. Awalnya Nadjamoeddin anti Belanda tetapi tiba-tiba berubah sikap dan kemudian mendapat kesempatan yang luas bahkan hingga menjadi Perdana Menteri NIT yang pertama. Apakah awal kehadiran Belanda/NICA telah terjadi tawar menawar ‘kasus dibungkus’ dimana HJ van Mook kemudian menjadikan Nadjamoeddin sebagai taruhannya untuk mencapai tujuannya. Namun kemudian taruhan itu ‘dilanggar’ Nadjamoeddin yang kemudian dipecat lalu untuk membungkam kemungkinan Nadjamoeddin berubah sikap maka ‘kasus dibuka dan digelar’ di pengadilan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar