Sabtu, 04 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (632): Orang Cina Juga Ikut Pemersatu Bahasa Indonesia; Orang Cina Malaysia Hilang Pijakan Bahasa

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia menyerap berbagai kosa kata dari Portugis dan Belanda serta Arab dan Cina. Tentu saja dari bahasa daerah. Sumbangan bahasa Cina dalam Bahasa Indonesia cukup signifikan. Namun jarang disinggung dalam narasi sejarah Indonesia, orang Cina juga berperan sebagai salah satu pihak yang turut mempromosikan Bahasa Melayu/Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

KOMPAS.com - Berbicara soal etnis Tionghoa, bangsa China punya peran besar terhadap perkembangan di Indonesia, juga dari sisi budaya dan bahasa. Mengutip buku "Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia" ditulis Alwi Shahab, orang-orang China memiliki beragam bahasa diserap menjadi bahasa Indonesia sendiri. Kata-kata tersebut nama makanan seperti teh, kecap, juhi, kue, lobak, kucai, lengkeng, capcai, tenteng, kwaci, tahun dan masih banyak lagi. Kata "soto" sendiri dari orang China, juga nama-nama makanan seperti bakso, siomay, lumpia, bakpau, bahcan, tongseng, mie, puyunghai dan masih banyak lagi, Sumbangan bangsa China sebagai bahasa Indonesia juga nama-nama alat keseharian seperti dacin, teko, kuli, piso, cawan, kemoceng, langkan, lonceng, loteng, sampan, bakiak, wayang, tong, gincu, cat, centeng bahkan bangsat. Dalam bahasa prostitusi juga ada berasal dari bahasa China, seperti gundik, cabo atau pelacur, kawin dan comblang. Di kalangan Betawi sendiri, bahasa China memiliki banyak pengaruh kebahasaan. Seperti istilah cingcong yang memiliki cerewet dan cingcai yang bisa berarti sudahlah. Encang dan encing menjadi bagian yang tak terpisahkan di masyarakat Betawi. Kata yang berarti paman dan bibi itu masih digunakan dan cukup familiar. Begitu juga dengan bahasa keseharian perdagangan di masyarakat betawi. Peran etnis China dalam perdagangan membuat penyebutan angka menjadi berubah dan masih sering digunakan hingga saat ini. Seceng, goceng, ceban menjadi bahasa keseharian masyarakat Betawi yang masih lestari hingga saat ini.

Lantas bagaimana sejarah perang oran Cina juga berperan mempromosikan bahasa Melayu/bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Seperti disebut di atas, hanya diketahui bahasa Cina menyumbang kosa kata dalam Bahasa Indonesia, dan kurang terinformasikan persan orang Cina mempromosikan bahasa Melayu/Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Indonesia. Lalu bagaimana sejarah gelar Pahlawan Belanda menurut pandangan AP Godon? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Cina di Indonesia Juga Pemersatu Bahasa Indonesia; Orang Cina Malaysia Hilang Pijakan Bahasa Melayu

Orang Tiongkok (kelak disebut orang Inggris sebagai Orang Cina), seajak era Portugis sudah dilaporkan keberadaan pedagang-pedagang dari Tiongkok antara lain di Malaka, Banten dan Zunda Kalapa. Konon, pelaut-pelaut Portugis dan pedagang-pedagang Tiongkok bekerjasama dalam penaklukkan Portugis terhadap (kota) Malaka tahun 1511. Hal itulah yang juga menyebabkan pelaut-pelaut Portugis segera membuka pos perdagangan di pantai timur Tiongkok di suatu pulau di muara sungai Canton. Meski tidak disebut, tetapi laporan-laporan itu mengindikasikan bahwa pedagang-pedagang Tiongkok bisa berbahasa Melayu.

Pelaut-pelaut Portugis dalam navigasi pelayaran perdagangan yang mencapai Hindia Timur dimulai di Malaka tahun 1509 para navigatornya adalah orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara (laut Mediterania) yang sudah lama menyebar hingga ke Hindia Timur. Oleh karena itu pelaut-pelaut Moor menjadi penerjemah pedagang-pedagang Portugis. Saat mana Portugis menaklukkan Malaka, tiga kapal Portugis, yang tentu saja dinavigasi oleh orang-orang Moor pada tahun 1511 ini juga telah mengunjungi kota-kota di utara Jawa seperti Banten, Zunda Kalapa dan Demak, yang seterusnya ke Solor, Koepang hingga ke Maluku (Amboina). Dalam konteks ini haruslah dipahami bahwa pedagang-pedagang asal Tiongkok juga telah intens hilir mudik hingga ke Jawa (bahkan hingga ke Maluku). Ini dengan sendirinya pedagang-pedagang Tiongkok sudah terbiasa dengan bahasa Melayu (sebagai lingua franca). Besar dugaan pedagang-pedagang Tiongkok sejak dari dulu sudah melakukan navigasi pelayaran perdagangan hingga ke Jawa dan diduga semakin intens sejak ekspedisi Cheng Ho pada tahun 1413. Dalam hal ini haruslah diartikan bahwa pedagang-pedagang Tiongkok dan pedagang-pedagang Portugis (dan tentu saja pedagang-pedagang Moor) adalah agen asing (di luar penduduk asli Nusantara) penyebar bahasa Melayu di Nusantara.    

Setelah kehadiran Eropa (Portugis dan Spanyol) di Hindia Timur, hampir selama satu abad, kemudian menyusul pelaut-pelaut Belanda pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (1595=1597). Pelaut Belanda tidak menggunakan navigator orang lain, tetapi para navigator sendiri dengan berpedoman pada peta-peta pelayaran terbaru (hasil update Portugis dan Spanyol). Para pelaut-pelaut Belanda dengan sendirinya hanya mengandalkan juru bahasa sendiri.

Dalam ekspedisi Belanda pertama ini yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman menyertakan satu ahli bahasa yakni Frederik de Houtman (adik Cornelis de Houtman). Dengan berpedoman dengan kamus bahasa Melayu yang beredar di Eropa (kamus bahasa Melayu Portugis), pelaut Belanda singgah di Madagaskan selama enam bulan untuk banyak hal seperti perbaikan kapal dan logistik. Dalam kesempatan ini di Madagaskar Frederik de Houtman mempelajari bahasa Melayu di pulau tersebut dimana banyak penduduk yang berdiam bisa berbahasa Melayu (bahasa Madagaskar ada sebagian kemiripan dengan bahasa Melayu).

Saat pelaut-pelaut Belanda melalui samudra Hindia tiba di Hindia Timur di pulau Enggano, terlebih dahulu menyusuri pantai barat Sumatra ke arah utara, lalu berbalik ke selatan menuju Banten. Dalam hal ini pelaut-pelaut Belanda dapat berinteraksi dengan para pedsgasngdi Banten, tentu saja dalam bahasa Melayu. Kekuatan asing di Banten yang sudah ada adalah pedagang-pedagang Portugis.

Dalam perkembanganya diketahui pelaut-pelaut Belanda terusir dari Banten dan kemudian bergerak ke arah timur ke Maluku melalui Zunda Kelapa dan Jepara. Pada saat di perairan Laut Bali di sekitar Madura salah satu kapal rusak dan ekspedisi haru berbalik kembali ke Belanda. Mereka mengitari pulau Lombok dan di selat Lombok kapal yang rusak dibakar dan ditenggalamkan dan dari arah selatan mendarat di pantai timur pulau Bali. Mereka cukup lama di Bali. Saat keberangkatan dua pedagang Belanda ditinggalkan di Bali.

Dalam laporan ekspedisi pertama ini, disebutkan banyak kapal-kapal jung asal Tiongkok yang berpapasan. Ini mengindikasikan bahwa pedagang-pedagang asal Tiongkok sudah sangat intens di nusantara terutama di Jawa. Dalam fase hampir satu abad, navigasi pelayaran perdagangan di Hindia Timur dapat dikatakan pengaruh Portugis dan Tiongkok cukup signifikan. Dalam konteks bahasa Melayu, kedua bangsa asing ini sudah sangat terbiasa dengan bahasa Melayu (sebagai lingua franca).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Cina di Indonesia: Kontribusi Bahasa dan Peran dalam Bahasa Persatuan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar