Senin, 20 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (664): Bapak Bahasa Indonesia SANUSI PANE; Bahasa Melayu Tumbuh Kembang Berbeda Zaman

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia kini sudah sangat jauh berbeda. Memang Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu, tetapi faktanya Bahasa Indonesia sudah sangat jauh berkembang dibanding bahasa Melayu. Salah satu tokoh lama bahasa Melayu adalah Raja Ali Haji (1808-1875). Nama Bahasa Indonesia sendiri muncul pada tahun 1920an dan namanya ditabalkan dalam Kongres Pemuda 1928. Tokoh di belakang pemberian nama baru dengan nama Indonesia adalah Sanoesi Pane. Dalam Kongres Bahasa Indonesia, Sanusi Pane tidak hanya  pengarah, juga membawkan makalah berjudul ‘Asal-Oesoel dan Sedjarah Bahasa Indonesia (lihat Het nieuws v dag voor Nederlandsch-Indie, 20-06-1938).   

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad juga dikenal dengan nama penanya Raja Ali Haji (lahir di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1808 - meninggal di Pulau Penyengat, Kesultanan Lingga (masa kini bagian dari Provinsi Kepulauan Riau), ca. 1873) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar (juga disebut bahasa Melayu baku) itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis. Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Bahasa Melayu Riau-Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasehat kerajaan. Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November 2004. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Bahasa Indonesia dan Sanusi Pane sebagai bapaknya? Seperti disebut di atas, sejarah bahasa Melayu tumbuh kembang berbeda zaman bahkan sejak era Sriwijaya (abad ke-7) yang mana salah satu tokoh terkenal kemudian Raja Ali Haji. Namun nama Bahasa Indonesia baru diproklamasikan pada Kongres Pemuda 1928, dimana tokoh bahasa di belakang penamaan Bahasa Indonesia tersebut adalah Sanoesi Pane. Lalu bagaimana sejarah Bahasa Indonesia dan sebagai bapaknya Sanusi Pane? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bapak Bahasa Indonesia Sanusi Pane: Sejarah Bahasa Melayu Tumbuh Kembang Berbeda Zaman

Penamaan Bahasa Indonesia belum lama (pada Kongres Pemuda 1928), sejarah Bahasa Indonesia mulai ditulis pada tahun 1938 oleh sanga pemberi nama Sanusi Pane. Dalam Kongres Bahasa Inodnnesia 1938, Sanusi Pane bertindak sebagai pengarah dimana sebagai ketua kongres ditunjuk Dr Portbatjaraka. Sebagai pemateri, Sanusi Pane mendapat kesempatan pertama pada hari dimulai yang mana materi kongres disampikan pada hari kedua kongres (26 Juni 1938). Sebagai seorang yang memberi nama Bahasa Indonesia pada tahun 1928, dalam Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938, Sanusi Pane membawakan makalah yang sesuai perannya dan sesuai urutan materi-materi. Makalah yang disampaikan Sanusi Paner berjudul: Asal-Oesoel dan Sedjarah Bahasa Indonesia (lihat De locomotief, 21-06-1938).

Dari sejumlah pembicara dalam Kongres Bahasa Indonesia yang telah berlalu, ada tiga pembicara yang bermuatan politis (lihat De Indische courant, 05-07-1938). Disebutkan lebih lanjut ‘yang pertama adalah Soekardjo Wirjopranoto (dari Jawa) yang mendukung perlunya setiap orang Timur yang memiliki kedudukan dalam badan-badan perwakilan harus menggunakan bahasa Bahasa Indonesia. Yang kedua adalah Mohamad Thabrani (Madoera) yang menganjurkan, antara lain, pembentukan sebuah lembaga, yang harus diberi tugas sebagai berikut: (1) Mendesak pemerintah untuk memberikan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar, menengah dan kejuruan. (b)  Dalam badan-badan perwakilan dari Regentschapsraad sampai den Volksraad menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa umum dan bahasa Belanda khusus. (c) Menyiapkan surat menyurat dan dokumen lainnya dalam bahasa Indonesia pada departemen dan dinas di bawahnya. (d) Mengangkat hanya mereka yang berbahasa Indonesia sebagai pejabat dan pejabat pemerintah, tanpa membeda-bedakan orang yang berpangkat lebih rendah atau lebih tinggi, dan apakah pelamar itu pribumi, asing, atau Belanda. Lalu yaang ketiga dengan tenang menyampaikan tetapi membahayakan yang, dengan alasan penggunaan umum Bahasa Indonesia menunjukkan bahwa ini dapat mengarah pada "kesadaran diri tertentu" dan "kemerdekaan. Lebih lanjut disebutkan Sanoesi Pane  menyatakan bahwa lembaga yang akan didirikan juga harus memiliki tugas "memberi nasihat dari segala jenis.". Sanoesi Pane disebutkan meyakinkan bahwa bahasa Belanda tidak penting dan harus dimasukkan dalam pendidikan sebagai mata pelajaran pilihan. Menurut kutipan yang diberikan disini, setidaknya pidato ketiganya memiliki cap politik yang kuat, lebih kuat: mereka harus, terutama Sanoesi Pane diberi label sebagai blak-blakan anti-Belanda. Secara keseluruhan meskipun belum mungkin untuk mengatakan ke arah mana "gerakan bahasa" ini akan berkembang, dapat dipastikan bahwa, jika para penganutnya membiarkan diri mereka terlalu dipengaruhi oleh tuturan seperti ketiganya di atas, "bahasa" sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dan ini akan menjadi jelas lagi jika para promotor Kongres ini mensubordinasikan perkembangan bahasa dibawah kepentingan-kepentingan politi’.

Pernyataan Sanoesi Pane di dalam kongres yang vulgar mengindikasikan bahasa Belanda tidak penting, pilihan di sekolah dan anti-Belanda mengundang reaksi pers (berbahasa) Belanda. Surat kabar De Indische courant, 06-07-1938 memberi reaksi (terutama terhadap pernyataan Sanoesi Pane) dengan judul yang sangat marah Onredelijk (Keterlaluan).

‘Kecewa kemarin, betapa patut disyukuri jika para pemimpin masyarakat adat sungguh-sungguh ingin meningkatkan taraf bahasa negeri sendiri, karena perkembangan bahasa pada hakikatnya berarti pembangunan masyarakat. Namun, seperti yang kami nyatakan pada saat yang sama, satu syarat harus diterapkan disini, yaitu bahwa tujuan itu harus bersifat eksklusif dan harus dijauhkan dari kecenderungan politik. Kecenderungan politik ini, bagaimanapun, terlihat pada Kongres Bahasa Indonesia pertama, yang diadakan di ibukota Kerajaan Sunan, dengan cara yang akan menyakitkan bagi setiap tanah air yang mencintai bahasa ibunya. bahasa kami (Belanda) dibicarakan oleh beberapa nasionalis pribumi dengan cara yang sangat meremehkan dan cap politik anti-Belanda yang ditekankan pada beberapa pidato. Mari kita lewati tanpa basa-basi lagi kata-kata menghina yang diucapkan di alamat bahasa kita yang indah, selain itu dengan sisi politik "gerakan bahasa" ini, dapat berfungsi untuk mengulangi kesepakatan faksi nasional di Volksraad yang akan digunakannya bahasa Melayu dalam pertimbangan umum tentang anggaran tahun yang akan datang, dimana diketahui bahwa sikap ini dapat dianggap sebagai pengesahan terhadap keputusan kongres bahasa tersebut di atas yang diadakan di Solo’.

Surat kabar Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 07-07-1938 menurunkan rangkuman hasil kongres yang diperolehnya dari berbagai surat kabar pribumi. ‘Surat kabar Tjaja Timoer (Batavia) menyoroti fakta bahwa konferensi bahasa di Solo menunjukkan bahwa Volkslectuur tidak memiliki kebijakan bahasa yang tetap. Dalam prae-nasihat St Pamoentjak bahwa ia ingin terus mendasarkan ejaannya terutama pada metode van Ophuyzen (Melayu Riouw), sedangkan St Takdir di bidang konstruksi bahasa dan tata bahasa, perubahan radikal sedemikian rupa sehingga bahasa menjadi ekspresi langsung dari apa yang disebutnya "generasi muda" (yang dia maksud adalah kelompok penulis muda, yang tidak benar-benar menyebut metode tetap mereka sendiri dalam bentuk apa pun). Saran St. Takdir adalah dalam bahasa Melayu Riouw, kami belum dapat menemukan aturan apa pun tentang "perubahan radikal". Adi Negoro (Pemimpin Redaksi Pewarta Dell, Medan) jauh lebih jelas dalam pra-sarannya. Ini mengambil bahasa sehari-hari Medansche (Melayu Riouw) sebagai dasarnya. diperkaya karena terus diperkaya oleh surat kabar berbahasa Melayu umum, serta oleh kata-kata asing (terutama istilah teknis). Dalam hal konstruksi bahasa, tata bahasa dan ejaan, dia berpihak pada Pak Panangian Harahap (Tjaja Timoer), yang mempertahankan metode van Ophuyzen (Melayu Riouw) dengan sukses besar’.

Disebutkan lebih lanjut, bahwa ‘Hasil Kongres Bahasa. Secara konkret, konferensi bahasa berakhir dengan hasil sebagai berikut: (1) Konstruksi bahasa Belanda yang akan digunakan dalam terjemahan dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu, yang terbukti didukung oleh Volkslectuur (St. Takdir dkk), dapat dianggap telah ditolak. (2) Ejaan dipertahankan menurut metode van Ophuyzen, kecuali untuk beberapa perbaikan kecil. (3) Sebuah kesimpulan samar dicapai berkaitan dengan tata bahasa; “untuk memperbaikinya (diperbaiki iagi)”. Namun, pada poin terakhir kongres belum menunjuk siapa pun dan para pra-penasihat yang telah muju dalam hal ini, St. Takdir, Yamin dan Sanoesi Pane, belum membuat rencana yang terperinci. Summa Sumrnarum: Di bidang bahasa itu sendiri (konstruksi bahasa-tata bahasa ejaan), semuanya tetap sama. Akan tetapi, para anggota kongres umumnya berpendapat bahwa hasil-hasil dari kongres pertama ini telah tercapai dalam arti bahwa mulai sekarang, alih-alih 'bahasa Melayu', orang akan lebih banyak berbicara dengan kata-kata dan tulisan dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. bahasa kesatuan dari populasi heterogen negara-negara ini’.

Dari Kongres Bahasa Indonesia di Solo tahun 1938 terindikasi hanya tiga orang yang sudah maju (piawai) dalam urusan bahasa yakni Soetan Takdir Alisjahbana, Mohamad Jamin dan Sanoesi Pane. Dalam hal ini, Sanoesi Pane tidak hanya menguasai bidangnya (bahasa), tetapi juga secara politis tampak lebih memiliki wawasan yang jauh ke depan, paling tidak soal bagaimana Sanusi Pane menyatakan bahwa bahasa Belanda tidak penting dan bahasa Belanda ditempaatkan sebagai pilihan di bidang pendidikan dan memajukan Bahasa Indonesia sebagai yang diwajibkan. Sanoesi Pane oleh pers (berbahasa Belanda) dicap sebagai anti (bahasa) Belanda.

Jika kita mundur ke masa lampau tahun 1928, dalam Kongres Pemuda 1928, sebelum keputusan menjadi final, terdapat suatu perbedaan pendapat antara Mohamad Jamin dan Sanoesi Pane. Mohamad Jamin sebagai sekretaris dalam Kongres Pemuda 1928 nama persatuan menginginkan dengan nama Bahasa Melayu, tetapi Sanoesi Pane tidak setuju dan mengusulkan nama Bahasa Indonesia, sehingga forum sepakat nama bahasa persatuan disebut Bahasa Indonesia (untuk melengkapi dua keputusan pertama yakni satu nusa (Indonesia) dan satu bangsa (Indonesia). Dalam Kongres ini selain ketiganya menyampaikan makalah, juga yang menyampaikan makalah seperti disebut di atas, Mohamad Tabrani (pers, ketua Kongres Pemuda 1926) dan Soekardjo Wirjopranoto (Volksraad)s serta Soetan Pamoentjak adalah Amir Sjarifoeddin Harahap (advokat, bendahara Kongres Pemuda 1928); Ki Hadjar Dewantara (guru), dan HB Perdi sendiri (pers). Sanoesi Pane adalah satu-satunya yang menyampaikan dua makalah yakni pada tanggal 26 Juni pukul 9 pagi dengan topik asal usul dan sejarah Bahasa Indonesia pagi dan pada tanggal 27 Juni dengan topik kelembagaan Bahasa Indonesia. Ketika membicarakan topik kelembagaan Bahasa Indonesia ini, Sanoesi Pane menyatakan bahasa Belanda tidak penting, harus dinomorduakan, sementara Bahaasa Indonesia diwajibkan.   

Sanoesi Pane adalah seorang yang komplit pada zamannya, tidak hanya urusan bahasa tetapi juga dalam urusan politik. Sanoesi Pane dan Soetan Takdir Alisjahbana sama-sama lulusan sekolah guru dan sama-sama menjadi guru (keduanya kebetulan sama0sama lahir di dua kota kecil yang berdekatan di Tapanoeli: Sanaoesi Pane lahir di Moearasipongi, Soetan Takdir Alisjahbana di Natal). Sanoesi Pane selepas Kongres Pemuda 1928 berangkat ke India untuk belajar sastra. Sanoesi Pane secara politis tetap berada di luar pemerintah, sedangkan Soetan Takdir Alisjahbana (bersama Armijn Pane, adik dari Sanoesi Pane) tetap berada di Balai Pustaka (milik pemerintah). Hal itulah mengapa di dalam Kongres Bahasa Indonesia 1938 ini usulan St Takdir ditolak mengenai urusan terjemahan di Balai Pustaka dari literatur Bahasa Belanda ke bahasa Melayu dengan menggunakan struktur (tata bahasa) Belanda.

Seperti halnya, Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin Harahap, Sanoesi Pane juga konsisten dalam visi misi politik sedari awal (sejak muda dibangku kuliah). Pada awal tahun 1928, di kota Padang, sejumlah siswa sekolah ditangkap karena membawa brosur/makalah yang ditulis oleh Sanoesi Pane. Dalam suatu rapat umum yang diadakan Boedi Oetomo cabang Batavia Sanoesi Pane mengajak anggota Boedi Oetomo untuk ikut berjuang secara nasional (karena saat itu Boedi Oetomo masih membatasi misinya hanya terbatas di Jawa dan Madoera dan bahasa resmi yang digunakan bahasa Belanda). Dalam urusan dengan Boedi Oetomo/Jong Java, sebelumnya Soekarno yang masih duduk di sekolah menengah (HBS) di Soerabaja pernah diadili dan akan dikeluarkan dari organisasi, karena Soekarno mengingin penggunaan bahasa Melayu di dalam organ.majalah Jong Java (bahasa resmi Jong Java juga bahasa Belanda). Dalam hal ini Soekarno dan Sanoesi Pane, tidak hanya sama-sama memiliki misi politik yang konsisten, keduanya juga saling kenal dekat. Pada tahun 1933 ketika Soekarno di tahanan (penjara Soekamiskin Bandoeng), Ir Soekarno menutup diri dari semua kunjungan/bezoek dari para nasionalis, dan hanya Sanoesi Pane yang diizinkannya untuk bertemu. Sanoesi Pane adalah penasehat kebudayaan Ir Soekarno. Untuk sekadar menambahkan dalam hal ini, sebelum sebelum penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia di Solo, pada bulan Mei, Ir Soekaro dipindahkan tempat pengasikan dari Ende (Flores) ke Bengkoeloe (Sumatra). Sudah barang tentu Ir Soekarno di Bengkoeloe tetap menyimak berita surat kabar terutama yang sedang hangat soal Bahasa Indonesia dimana sobat lamnya Sanoesi Pane mencampakkan bahasa Belanda. Ir Sokarno tentu sumringah. Meski dirinya dibatasi geraknya di tempat pengasingan, masih ada rekannya yang berani bersuara keras kepada (otoritas) Belanda.  

Like Son, Like Father. Sanoesi Pane anak seorang guru lulusan sekolah (kweekschool) Padang Sidempoean yang pernah menjadi guru ditempatkan di Moearasipongi (dimana Sanoesi Pane lahir). Setelah pensiun dari guru, ayahnya Soetan Pangoerabaan Pane menjadi sastrawan lokal di kota Padang Sidempoean dengan karyanya yang terkenal Tolbok Haleon yang diterbitkan di Pematang Siantar tahun 1930. Saudara Sanoesi Pane juga orang terkenal di zamannya, selain sastrawan Armijn Pane (yang menerjemahkan buku RA Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang), juga sang bungsu Prof Lafran Pane (pendiri HMI saat perang kemerdekaan di Jogjakarta tahun 1947 yang kini telah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional). Salah satu cucunya juga sangat terkenal Prof Sangkot Marzuki (Batoebara), Ph.D (kepala Lembaga Eijkman, Jakarta). Kakak perempuan Sanoesi Pane menikah dengan kakek Sangkot Marzuki. Dalam hal ini, Sanoesi Pane, bukan orang biasa, Sanoesi Pane berasal dari keluarga yang baik dan berpendidikan,

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sanusi Pane dan Raja Ali Haji Berbeda Zaman: Bahasa Indonesia Lahir dalam Konteks Persatuan

Pada saat Radja Ali Hadji menulis buku Gurindam Dua Belas di Riau tahun 1847, Asisten Residen (Afdeeling) Angkola Mandailing, mengintroduksi pendidikan modern (aksara Latin) dengan mendirikan sekolah pemerintah. Guru-guru Belanda yang mengajar di sekolah di Panjaboengan (onderafdeeling) dan Padang Sidempoean (onderafdeeling Angkola), bahasa pengantar adalah bahasa Melayu. Sementara itu di Riau belum ada sekolah (aksara Latin). Radja Ali Hadji menulis (pantun) Gurindam Dua Belas masih menggunakan aksara Jawi (huruf Arab gundul). Pada tahun 1954, dua lulusan sekolah di Angkola Mandailing diterima din sekolah kedokteran di Batavia yakni Si Asta Nasoetion (Panjaboengan) dan Si Angan Harahap (Padang Sidempoean). Dua siswa yang diterima ini (Docter Djawa School) adalah siswa-siswa pertama yang berasal dari luar Jawa.

Pada tahun ini (1854) Elisa Netscher melakukan studi bahasa Melayu di Riau (sudah barang tentu tidak di Jawa, tidak di Tapanoeli dan tidak di Minangkabau, karena bahasa Melayu dituturkan secara umum di wilayah Melayu, termasuk Riau). Dalam kesempatan inilah Elisa Netscher menerjemahkan (ke dalam bahasa Belanda) karya Radja Ali Hadji. Tujuan Elisa Netsher tidak sepenuhnya urusan bahasa (Melayu) ke Riau tetapi juga dalam penyelidikan etnografi dalam pembentukab cabang pemerintah di Riau. Sebagaimana kita lihat nanti, Elisa Netscher pada tahun 1862 diangkat menjadi Resident Riau yang berkedudukan di Tandjoeng Pinang (Bintan).

Pada tahun 1857 satu lulusan sekolah di Panjaboengan, Si Sati Nasoetion berangkat studi ke Belanda untuk mendapat akta guru (pribumi pertama studi ke Belanda). Pada tahun 1860 Si Sati alias Willem Iskander lulus dan mendapat akta guru. Pada tahun 1861 Willem Iskander kembali ke tanah air dan kemudian pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato (onderafdeeling Mandailing). Jumlah siswa yang diterma sebanyak 20 orang (lulusan sekolah di Angkola Mandailing). Sekolah guru (kweekschool) Tanobato menjadi sekolah guru ketiga di Hindia Belanda (setelah yang pertama didirikan di Solo tahun 1851 dan yang kedua di Fort de Kock).

Setelah mengetahui adanya sekolah guru di Tanobato, pada tahun 1864 Inspektur Pendidikan Pribumi Mr van der Chijs mengunjungi sekolah guru ini. Mr van der Chijs menemukan sekolah guru Tanobato ini diajarkan matematikan, fisika, biologi/botani, geografi, sejarah dan bahasa Melayu. Mr van der Chijs kaget, bahasa Melayu diajarkan di tanah orang bukan Melayu (Batak) oleh guru non Melayu. Mr van der Chijs sangat puas dalam kunjungan tersebut dan menyatakan kweekschool Tanobato adalah yang terbaik, dan sekolah guru di Fort de Kock tidak layak mendapat status (menyandang nama) sekolah guru. Disebutkan guru Willem Iskander menulis buku pelajaran sendiri dan telah menerjemahkan beberapa buku berbahasa Belanda. Mr van der Chijs menganganggap sekolah guru Tanobato sebagai suatu keajaiban, di wilayah yang kurang terinformasikan telah didirikan sekolah yang sangat bagus. Pada fase ini bahkan belum satu sekolah didirikan di Riau Untuk sekadar menambahkan Willem Iskander adalah kakek buyut Prof Andi Hakim Nasoetion, Ph.D (rektor IPB Bogor 1978-1987).

Lulusan sekolah guru Tanobato, kemudian dengan cepat memenuhi sekolah-sekolah di seluruh Angkola Mandailing. Kemajuan sekolah guru di (afdeeling) Angkola Mandailing (residentie Tapanoeli) telah memicu para pegiat pendidikan di Residentie Preanger yang kemudian pada tahun 1866 sekolah guru didirikan di Bandoeng. Guru-guru eks murid Willem Iskander juga menulis buku pelajaran sendiri. Beberapa buku Willem iskander dan juga beberapa karya muridnya diterbitkan di Batavia. Salah satu buku yang terkenal karya Willem Iskandern adalah Siboeloe-boeloe, Siroemboek-romboek yang berisi puluhan puisi dan belasan prosa yang diterbitkan di Batavia tahun1872 (masih digunakan hingga kini di sekolah-sekolah di Angkola-Mandaling (kini Tapanuli Selatan). Untuk memajukan pendidikan dan peningkatan kualitas guru, pemerintah pusat akan mengirim tiga guru muda untuk studi keguruan ke Belanda (layaknya Willem Iskander tempo dulu). Tiga guru muda itu adalah Raden Soerono dari Solo, Raden Adi Sasmita dari Bandoeng dan Barnas Loebis dari Tapanoeli (eks murid Willem Iskander). Untuk membimbing tiga guru muda ini, pemerintah menunjuk Willem Iskander dengan memberikan beasiswa untuk meningkatkan studinya di Belanda (akta guru kepala). Mereka berempat dari Batavia berangkat pada bulan Mei 1874. Seperti dikutip di atas Radja Ali Hadji pada tahun 1873 meninggal di Riau.

Oleh karena Willem Iskander berangkat studi (kembali) ke Belanda, maka sekolah guru Tanobato ditutup pada tahun 1873. Sebagai penggantinya, sekolah guru yang baru dibangun di Padang Sidempoean yang akan dibuka tahun 1879 dimana direkturnya diproyeksikan Willem Iskander sepulang studi dari Belanda. Namun di Belanda, Barnas Lubis meninggal dunia 1875, kemudian Raden Soerono sakit keras dan ketika dipulangkan ke tanah air (wilayah tropis) meninggal di tengahh pelayaran di Port Said. Adi Sasmita juga sakit, lalu yang tahun 1876 Willem Iskander dikabarkan meninggal di Belanda.

Pada tahun 1876, saat berita meninggalnya Willem Iskander sampai ke Mandailing, seorang Belanda yang masih belia yang menjadi opziener di Panjaboengan, merasa tertarik dengan sastra dan budaya Batak (dan kerap mengirim tulisannya ke . Lalu kemudian pegawai muda itu menjadi sangat dikenal di kampong halaman Willem Iskander. Pada tahun 1878 ketiga Gubernur Jenderal berkunjung ke Angkola Mandailing, dalam satu kesempatan sang GG tertarik dengan bakat pemuda tersebut yang lalu menawarkan pekerjaan baru sebagai guru. Nama pemuda yang jatuh cinta dengan sastra dan budaya Batak tersebut adalah Charles Adrian van Ophuijsen (yang nota bene anak dari Controleur di Natal yang kemudian menjadi Residen di residentie Padangsch Bovenlanden yang mendirikan sekolah guru Fort de Kock tahun 1856). Like father, Lika son.

Untuk memenuhi persyaratan guru, Charles Adrian van Ophuijsen, harus mengikuti ujian guru. Lalu pemerintah membentuk komite ujian dimana ujiannya diadakan di Padang (ibu kota Province). Pada tahun 1879 Charles A van Ophuijsen lulus ujian guru dan kemudian ditembatkan di sekolah guru Kweekschool Probolinggo sebagai guru bahasa Melayu. Dimanakah CA van Ophuijsen belajar bahasa melayu? Sudang barang tentu di Panjaboengan (kampong halaman Willem Iskander). Hal itu karena CA van Ophuijesen pada usia delapan tahun dikirim ayahnya JAW van Ophuijsen yang menjadi residen di Palembang untuk sekolah ke Belanda. Setelah lulus sekolah kedokteran di Belanda, CA van Ophuijsen yang awalnya ditempatkan di bagian kesehatan militer di Hindia, lalu dipindahkan sebagai opziener di Panjaboengan.

Pada tahun 1879 sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean dibuka. Oleh karena Willem Iskander telah tiada, maka yang ditunjuk adalah Mr Harmsen, direktur Kweekschool Fort de Kock. Pada tahun 1881 guru CA van Ophuijsen dipindahkan dari Kweekschool Probolinggo ke Kweekschool Padang Sidempoean. Setelah menikah dengan guru sekolah TK di Probolinggo, mereka segera berangkat ke Padang Sidempoean (CA van Ophuijsen kembali ke komunitas awalnya di Angkola Mandailing). Salah satu lulus pertama sekolah guru Padang Sidempoean ini adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Pada tahun 1884 CA van Ophuijsen diangkat menjadi direktur sekolah menggantikan Harmsen. Selama di Padang Sidempoean CA van Ophuijsen semakin produuktif meneliti dan menulis artikel di surat kabar dan jurnal ilmiah. Pada tahun 1887 salah satu lulusan terbaik murid van Ophuijsen adalah Radjieoen Harahap gelar Soetan Casajangan.

Setelah mengabdi sebagai guru di Padang Sidempoean selama delapan tahun, lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah guru, CA van Ophijsen diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi di Province Sumatra’s Westkust yang ditempatkan di Padang. Province Sumatra’s Westkust terdiri dari tiga residentie: Residentie Padangsche Benelanden ibukota di Padang, Residentie Padangsche Bovenlanden ibu kota di Fort de Kock dan residentie Tapanoeli ibukota di Sibolga). Meski tidak mengajar lagi, sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi, CA van Ophuijsen terus mengembangkan studinya tentang sastra dan budaya Batak serta studi bahasa Melayu. Sementara itu, mantan murid CA van Ophuijsen, Dja Endar Moeda setelah pensiun menjadi guru di Singkil, lalu berangkat haji ke Mekkah. Sepulang dari haji, Dja Endar Moeda memilih tinggal di Padang (ibukota provinsi) dan mendirikan sekolah swasta di Padang tahun 1895. Di kota Padang guru dan murid kembali bersua lagi setelah lama berlalu. Dja Endar Moeda, direkrut penerbit surat kabar di Padang Pertja Barat sebagai editor. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya. Masih tahun ini Dja Endar Moeda menginisiasi organisasi kebangsaan di Padang yang diberi nama Medan Perdamaian yang sekalgus menjadi direkturnya. Pada tahun 1902 Medan Perdamaian membanti peningkatan pendidikan di Semarang sebesar f14.000 yang diserahkan sendiri oleh Dja Endar Moeda melalui Inspektur Pendidikan Pribumi Sumatra;s Westkust CA van Ophuijsen. Pada tahun 1904 CA van Ophuijsen diangkat menjadi guru besar bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Pada tahun 1905 eks muridnya di Padang Sidempoean Soetan Casajangan tiba di Belanda untuk melanjutkan studi. Dalam pengajaran bahasa Melayu di Unniversiteit Leiden, van Ophuijsen dibantu sebagai asisten oleh Soetan Casajangan. Seperti halnya di Padang, Dja Endar Moeda mendirikan organisasi kebangsaan yang pertama (Medan Perdamaian), Soetan Casajangan di Belanda pada tahun 1908 mendirikan organisasi mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging (kemudian namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar