Minggu, 24 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (731): Kota Hilang Silimpopon di Tawau; Kota-Kota Tempo Doeloe, Kini Kampong Kecil Semata


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Silimpopon masa ini heboh. Disebutkan Silimpopon adalah kota yang hilang di pedalaman Borneo sebagai kota penghasil batubara se Asia Tenggara. Menjadi heboh karena tidak banyak yang mengetahui kecuali ditemukan foto-fotonya. Silimpopon sebagai suatu kota (tambang) disebutkan eksis antara tahun 1904 hingga 1932. Hal itulah boleh jadi banyak orang tidak mengetahui.


Jika Silimpopon adalah suatu kota yang hilang, lalu seberapa besar kota itu. Pada masa ini letak kota Silimpopon berada di wilayah Tawau di pedalaman. Pada masa ini lokasi Silimpopon dapat dijangkau dengan mudah melalui jalan raya dari Tawau ke arah barat di Kalabakan (lalu dari Kalabakan ditepuh melalui jalan darat ke arah selatan di sungai Silimpopon. Memperhatikan lokasinya yang terbilang terpencil, kota yang hilang Silimpopon bukanlah kota yang mudah diakses, baik melalui sungai maupun darat lebih-lebih tempo doeloe. Situasi dan kondisi semacam ini memang tipikal kota-kota tambang yang jauh di pedalaman. Sebagaimana sejarah kota-kota, ada kota baru dan ada kota tua. Kota-kota yang terbentuk dapat menghilang karena sebab tertentu. Kasusnyta banyak. Namun kota-kota tempoe doeloe dapat meredup dan kini hanya sebagai kampong kecil semata. Juka kasusnya banyak.

Lantas bagaimana sejarah Silimpopon yang disebut kota yang hilang? Seperti disebut di atas, kota-kota tambang dapay muncul tiba-tiba tetapi juga dapat menghilang karena kapasitas produksinya habis atau ditinggal penduduk karena factor tertentu. Lalu bagaimana sejarah Silimpopon yang disebut kota yang hilang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Silimpopon Tawau, Kota Tambang Tempo Doeloe: Mengapa Ditinggal?

Kebutuhan batu bara untuk kapal uap Inggris dari waktu ke waktu semakin meningkat. Awalnya produsen terbesar dan satu-satunya untuk kebutuhan batubara adalah Inggris. Ketika tambang batu bara Ombilin di pantai barat Sumatra tahun 1860an ketergantungan dunia terhadap batubara Inggris semakin berkurang. Batubara Ombilin yang dikuasai oleh Belanda adalah batubara terbaik yang pernah ada saat itu. Namun kebutuhan Inggris untuk mengoperasikan kapal-kapalnya di seluruh dunia tidak pernah cukup. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan tambang Inggris terus mencari sumber baru hingga ditemukan di Borneo Utara.


Pada tahun 1850 Pemeriuntah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di wilayah Koetai di Tenggarong. Kapal-kapal Belanda yang memasuki sungai Mahakam tidak terlalu kesulitan memperoleh logistic batubara yang selama ini hanya ada di Bandjarmasin. Hal itu karena di atas permukaan tanah sisi barat sungai Mahakam antara kampong Samarinda dan Tenggarong ditemukan batubara. Sejak itulah kebutuhan batubara di sekitar kawasab terpenuhi (tanpa harus mengisi ulang ke Bandjarmasin). Sebagaimana diketahui batubara adalah fosil, yang merupakan bentuk karbon dari massa berat zaman kuno sebagai vegtasi dan hewan yang tertimbun karena proses sedimentasi jangka Panjang di bawah tanah yang mana massa pasat itu terbawa arus sungai dari pedalaman. Tambang-tambang batubara di pulau Kalimantan tipikal sama, baik yang di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Borneo Utara di Sandakan dan di teluk Cowie.

Sukses tambang batubara Sandakan di Borneo Utara, ditemukan sumber baru batubara di sungai Silimpopon pada tahun 1903. Maskapai Borneo Utara memberikan konsesi pembukaan tambang di Silimpopon pada tahun 1904. Perusahaan baru didirikan pada tahun 1906 dengan nama Cowie Harbour Coal Company yang akan mengusahakan tambang di Silimpopon. Pengiriman pertama dari Silimpopon pada bulan Juli 1906.


Sejak perjanjian Inggris dan Belanda (tractaat London 1824) batas wilayah yurisdiksi Belanda dan Inggrsi pantai timur laut Borneo berada di Batu Tinagat, suatu area huk dimana terdapat batu karang berlobang karena di masa lalu dihempas ombak. Perkampongan yang ada saat itu adalah perkampongan penduduk yang masuk Kerajaan Tidoeng. Peta Belanda tahun 1883 (lima tahun setelah Overdeck menfdapat konsesi wilayah Borneo Utara dari Sulatn Brunai dan Sultan Sulu) menunjukkan batas yurisdiksi adalah Batu Tinagat dan sepanjang sungai Tawau. Tentu saja kampong Tawau adalah kampung asli orang-orang Kerajaan Tidoeng. Namun karena Kawasan itu kurang menguntungkan lalu penduduk bergeser ke muara sungai Sambakong. Dalam posisi kekosongan inilah Maskapai Borneo Utara menggeser batas wilayah ke wilayah teluk Cowie yang kemudian menjadi batas baru hingga kini (lihat Peta 1916).  Situasi dan kondisi di wilayah teluk St Lucia/teluk Cowie sendiri sudah dipetakan oleh Angkatan laut Hindia Belanda sejak tahun 1850an seiring dengan pembentukan cabang pemerintahan pantai timur Kalimantan (masih berada di wilayah residentie Zuid en Noord Oostkust van Borneo yang beribukota di Bandjarmasin). Dalam pembentukan cabang pemerintahan ini ditandatangani oleh para raja termasuk Sultan Koetai dan Radja Boeloengan. Saat itu Tidoeng bagian dari Boeloengan. Pemetaan ini dilakukan dengan kapal perang dalam rangka untuk menjaga Kawasan dan melindungi kawanan perompak laut yang kerap beroperasi di Kawasan.

Situasi dan kondisi di Kawasan teluk Cowie berdasarkan laporan Angkatan laut Hindia Belanda pada tahun 1913 pangkalan batubara dari Silimpopon berada di pulau Sebatik (lihat Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel, 1913). Ini mengindikasikan bahwa produksi batubara di Silimpopon sebelum diteruskan ke Sandakan dipool di pantai utara pulau Sebatik.


Berdasarkan laporan Angkatan laut Hindia belanda, sungai Serudong (Saodan) lebarnya hanya sekitar 250 meter di Merlinpoint, sekitar 6,5 mil laut dari muara. Kapal yang lebih besar hanya bisa berlayar sampai di sini. Di atas Dingle-point, 2 mil laut di atas Merlinpoint, dimana sungai itu disebut sungai Silimpopon, sungai ini hanya dapat dilayari oleh tongkang. Sekitar 1,5 mil laut di atas titik Dingle, tepi kiri merupakan depot batubara, dimana terdapat dermaga kecil. Batubara dari tambang diangkut dengan kereta api ke depot batubara, 1,5 mil laut dari mana dibawa dengan tongkang ke depot batubara di Sebatik. Antara depo ke atas sungai ini sangat sempit dan berkelok-kelok dan hanya dapat dilayari dengan kapal tongkang pada saat pasang. Tambang batubara Silimpopon terletak sekitar 3 mil laut di atas depot ditambang oleh Cowie Harbour Coal Company. Sekitar 100 ton diperoleh per hari (1910). Menavigasi sungai ke Merlinpoint tidak menimbulkan kesulitan, arus jarang mengalir dengan kecepatan lebih dari 1 mil laut, dan di muara paling dalam 4 depa, jika tidak 6 depa di tengah air. Berdasarkan laporan Angkatan laun selanjutnya (lihat Zeemansgids voor den Oost-Indischen Archipel, 1916-1922)_ menyebutkan bahwa panjang dermaga depo batubara sekitar 45 m di sepanjang kepala dermaga sepanjang 30 m dengan air rendah terdapat kedalaman air 5 depa. Kantor pusat tambang batu bara terletak di Silimpopon di sungai Silimpopon, anak sungai Serudong; 5.000 hingga 10.000 ton batubara disimpan dalam persediaan, dapat memuat sekitar 15 ton per jam. Kapal batu bara bisa mengangkut sekitar 500 ton per hari. Ada 3 tongkang berkapasitas 500 ton dan 4 tongkang berkapasitas 100 ton yang mengangkut batubara dari Sebatik ke Sandakan. Kapal-kapal yang hanya singgah di pelabuhan Cowie untuk memuat batu bara tidak memberi iuran pelabuhan dan dapat menyelesaikan bea cukai di pelabuhan Tawao. Ada koneksi ke Hong Kong melalui Sandakan setiap 5 minggu sekali. Kapal uap pesisir dating di Cowie Harbour sekitar sekali setiap 10 hari.

Kawasan wilayah teluk Cowie sangat minim penduduk sehingga tenaga kerja harus didatangkan dari luar termasuk dari Tiongkok. Perusahaan tambang baru bara di Silimpopon pernah mengalami keuslitan tenaga kerja (lihat De Indische mercuur; orgaan gewijd aan den uitvoerhandel, jrg 38, 1915, No 48).


Disebutkan perusahaan batu bara juga pernah mengalami tahun yang buruk, atau lebih tepatnya, empat bulan terakhir tahun ini buruk, seperti dulu dan masih sangat sulit untuk meneruskan pasokan batu bara, karena sulitnya mendapatkan angkutan dan penurunan urusan bunker. Pada pertemuan sebelumnya dijanjikan bahwa hasil penyelidikan Monsieur Moreau, insinyur Belgia yang telah ditugaskan untuk mengeluarkan laporan tentang tambang batu bara Silimpopon sehubungan dengan usulan rekonstruksi perusahaan batubara Cowie. Dia dengan tegas merekomendasikan beberapa perubahan radikal dalam pengelolaan pekerjaan, yang hasil langsungnya dapat berupa pengurangan biaya yang signifikan dan peningkatan hasil sekitar 50.000 ton per tahun, tanpa penambahan tenaga kerja lebih lanjut. Perusahaan batubara kemudian memutuskan, untuk menerima proposal Mr Moreau.

Perusahaan tambang batubara Cowie dalam produksi puncak pernah memiliki tenaga kerja sekitar 1.000 orang. Namun semuanya harus berakhir karena dua hal. Pertama permintaan batubara yang menurun karena semakin meningkatkan permintaan substitusi minyak yang dgunakan kapal-kapal. Kedua, tambang batubara Silimpopon tidak kompetitif dibandingkan tambang lain di luar Borneo Utara karena jarak yang jauh di pedalaman dan juga ketidaktersediaan modal cukup jika penggunaan teknologi baru digunakan. Seperti disebut di atas, tambang Silimpopon telah berhenti beroperasi pada tahun 1931.


Setelah sekian lama produksi Silimpopon berhenti, dalam laporan geologi tahun 1954 disebutkan deposit batubara di dekat Silantek di Sarawak dan di Silimpopon di Borneo Utara masih dalam penyelidikan (lihat Geologie & mijnbouw; orgaan voor de officieele mededeelingen van het Geologisch-Mijnbouwkundig Genootschap voor Nederland en Koloniën, jrg 16, 1954, No 2). Bagaimana hasilnya tidak diketahui secara pasti. Yang jelas Silimpopon sudah lama berlalu dan kini hanya dikenal sebagai kota yang hilang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kota Tempo Doeloe, Kini Kampong Kecil Semata: Ditemukan di Berbagai Wilayah

Bagaimana kota Silimpopon hilang atau ditinggalkan adalah satu hal dan hal lain adalah bagaimana kota tua yang dulu cukup ramai, tidak berkembang dan hanya tinggal sebagai kampong kecil semata, Kota-kota semacam ini ditemukan di Sabah, yang utama adalah kota Marudu, suatu kota yang diduga sudah berumur hampir 2.000 tahun. Dalam peta Ptolomeus pada abad ke-2 kota Marudu sudah diidentifikasi.


Setelah tambang batu bara Silimpopon tidak beroperasi (sejak 1932?), kota kecil di pedalaman Borneo Utara ditinggal oleh para warganya, yang Sebagian besar tanaga kerja yang didatangkan dari luar. Penduduk asli di sekitar, penduduk Dayak, yang tersebar di berbagai tempat di pedalaman, tentu saja tidak akan tertarik untuk menempati eks kota tambang tersebut, karena kehidupan yang tidak sesuai. Para pendatang juga tidak tertarik untuk mengambil tempat sebagai pemukim karena berada di wilayah ulayat penduduk Dayak. Oleh karena itu terbentuknya kota Silimpopon hanya semata-mata karena aktivitas tambang, setelah tidak beroperasi semuanya harus berakhir. Berbeda dengan kota Ombilin di pantai barat Sumatra, kota ini masih eksis hingga ini hari, meskipun tambang beroperasi maupun tidak karena situasi dan kondisi yang berbeda dengan di sungai Silimpopon, hulu sungai Serudong. Bahkan hingga ini haris area eks tambang Silimpopon tetap tidak muncul dan tumbuh, karena kota terdekat dengannya hanya di kota Kalabakan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar