Rabu, 24 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (793): Penemuan Kapal Tua di Pantai Jambi-Pantai Rembang; Kapal Hang Tuah-Kapal Relief Borobudur?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dunia sejarah kita pada masa ini kerap tergunjang karena penemuan baru. Yang membuat kita lebih terguncang adalah setiap penemuan, para ahli yang menemukannnya selalu memberi analisis dan interpretasi yang seringkaali berita hebohnya yang ditinjolkan daripada bagaimana penemuan itu dapat dijelaskan. Hal itulah yang terjadi pada penemuan serpihan kapal tua di Muaro Jambi dan rongsokan kapal-kapal tua di Rembang. Seperti biasa, berita penamuan kuno dihubungkan dengan hal yang heboh lagi. Penemuan di Jambi dihubungkan dengan kapal Hang Tuah dan penemuan di Rembang dihubungkan dengan kapal layar pada relief candi Borobudur.


Dimana temuan kapal kuno di dua tempat itu ditemukan? Di wilayah Jambi temuan itu berada di desa Kota Harapan, kecamatan Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Juga penemuan dihubungkan dengan penemuan di desa Lambur di kecamatan yang sama. Temuan di wilayah Rembang ditemukan di desa Punjulharjo di kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang. Satu yang pasti penemuan kapal kuno di dua wilayah itu sama-sama berada di pantai/pesisir laut. Pertanyaannya: Apakah penemuan di Jambi itu dapat dihubungkan dengan era Hang Tuah apalagi era Srieijaya? Juga apakah penemuan di Rembang itu dapat dihubungkan dengan Mataram Kuno? Menurut ahli sejarah, jika sesuatu yang hilang di masa lampau dan masih gelap, carilah ditempat yang terang.

Lantas bagaimana sejarah penemuan kapal tua di pantai Jambi dan pantai Rembang? Seperti disebut di atas, penemuan itu berada di garis pantai pada masa ini. Apakah garis pantai masa kini sama dengan garis pantai masa lalu di zaman kuno? Lalu bagaimana sejarah penemuan kapal tua di pantai Jambi dan pantai Rembang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Penemuan Kapal Tua di Pantai Jambi dan Rembang; Kapal Hang Tuah dan Kapal Relief Borobudur

Dalam studi sejarah, apalagi sejarah kuno, ada yang menggunakan pendekatan toponimi untuk menentukan nama tempat dan pendekatan geomorfologis untuk menguji apakah yang dipersepsikan dimana lokasi tempat tersebut sesuai dengan fakta (masa lalu) yang sebenarnya. Dalam hal ini kita focus pada penemuan kapal tua di Jambi dan Rembang. Temuan kapal tua di Jambi ditemukan di kecamatan Muara Sabak Timur, kabupaten Tanjung Jabung Timur. Nama ‘muara’ dan ’tanjung’ adalah dua nama geografis navigasi pelayaran yang penting.


Muara Sabak adalah ibu kota kabupaten Tanjung Jabung Timur, provinsi Jambi. Muara Sabak adalah suatu pelabuhan, berjarak kurang lebih 130 km dari Kota Jambi. Letaknya yang berada dekat dengan laut lepas menjadikannya sangat strategis untuk jalur masuk dan keluar kapal merupakan dermaga laut terbesar di Provinsi Jambi, yang dapat disandari kapal berbobot hingga 500 DWT.

Dalam hal ini nama Muara Sabak di masa lampau merujuk pada suatu titik muara sungai (Batanghari). Dengan kata lain posisi relatif GPS muara telah berubah, seakan pada masa ini muara (Sabak) berada jauh di pedalaman. Gambaran ini tentu saja berbeda di masa lampau semasih berada di pantai/pesisir pantai dengan situasi dan kondisi masa kini.


Muara dalam hal ini bisa berada di pedalaman yang mengindikasikan sungai bermuara di sungai yang lebih besar. Pertanyaannya: apakah ada sungai besar yang bermuara di sungai Batanghari dimana kini nama Muara Sabak (sebagai kota)? Tampaknya tidak. Dalam pendekatan geomorfologis, nama tempat Muara Sabak di masa lampau berada di pantai dimana sungai Batanghari bermuara (di laut) tetapi karena proses sedimentasi jangka panjang, muara sungai bergeser lebih jauh ke arah laut. Sebaliknya, pada masa kini cabang sungai Batanghari justru berada di Simpang, dimana sungai Batanghari bercabang, yang mana cabang kiri ke arah utara melalui kota Muara Sabak dan cabang kanan bermuara ke laut di sisi lain (selatan). Sebagai catatan ketinggian di kota Muara Sabak hanya 4 meter dpl (dan kota Jambi 10-60 meter dpl).

Penemuan kapal tua di wilayah Muara Sabak telah menjadi perhatian internasional. Boleh jadi karena kapal tua itu dikaitkan dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Sebagaimana telah diketahui hingga kini dimana pusat kerajaan Sriwijaya masih isu perdebatan. Nama Sriwijaya yang disebutkan kali pertama dalam prasasti Talang Tuwo (684 M) yang ditemukan di Palembang telah menjadi magnet sendiri dalam penyelidikan sejarah. Bahkan magnet itu telah menutup mata bahwa dimana itu bisa berada di tempat lain.


Dalam salah satu berita Agustus 2019 dengan judul: Arkeolog Teliti Penemuan Kapal Kuno di Jambi (Oleh : Radesman Saragih). Disebutkan lokasi situs kapal kuno di desa Lambur, Kecamatan Muarasabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi yang kini sedang diteliti dan digali Tim Arkeolog Universitas Indonesia. Ekskavasi atau penggalian situs kapal kuno yang disebut Kapal Zabag tersebut kini sedang dilakukan. Eskavasi kapal kuno tersebut melibatkan mahasiswa Universitas Jambi (Unja) dan warga masyarakat setempat. Eskavasi kapal kuno itu bisa dilakukan menyusul kondisi lokasi penemuan kapal kuni tersebut kini kering. Ketua Tim Arkeolog UI, Ali Akbar di Muarasabak, Tanjabtim, Jambi, Minggu (25/8/2019) menjelaskan, lokasi situs kapal kuno di Tanjabtim tersebut bukan lokasi kapal karam, melainkan galangan kapal tertua di Asia Tenggara. Bukti-bukti sementara yang ditemukan, yakni posisi kapal yang terparkir. Kemudian ada kayu bulat di bawah geladak. Beberapa bagian kapal yang ditemukan juga terpisah, termasuk posisi gading kapal. Kesimpulan kami sementara ini, Situs Kapal Zabag (kuno) ini merupakan tempat pembuatan atau perbaikan kapal. Selama ini belum pernah kami temukan di Indonesia galangan kapal kuno, kecuali di Muara Sabak ini,” ujarnya. Menurut Ali Akbar, observasi situs kapal kuno di Muarasabak tersebut dimulai sejak April 2018. Kemudian eskavasi situs kapal kuno itu mulai dilakukan 7 Agustus 2018. Observasi dan eskavasi situs kapal kuno tersebut melibatkan 10 orang arkeolog, termasuk seorang arkeolog asal Italia, Proses ekskavasi kapal kuno tersebut, lanjut Ali Akbar, kini baru mencapai sekitar 35 persen. Sebagian konstruksi atau bentuk kapal kuno tersebut sudah tampak, di antaranya papan kapal, pasak kayu, tali ijuk, gading dan gerabah tanah. Di sisi utara situs kapal kuno itu ditemukan tujuh papan. Papan-papan tersebut disambung dengan pasak kayu dan diikat dengan tali ijuk (tali) berwarna hitam. Dijelaskan, teknik pembuatan kapal dengan pasak kayu dan tali ijuk ini dikenal sebagai teknik pembuatan kapal di Asia Tenggara. Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Nusantara sudah membuat kapal dengan teknik ini sejak abad III. Misalnya temuan kapal kuno di Palembang, Sumatera Selatan dan Rembang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. “Di daerah Ponti, Malaysia ditemukan juga pembuatan kapal kuno menggunakan teknik seperti ini. Teknik pembuatan kapal seperti kapal kuno di Muara Sabak ini juga ditemukan di Filipina pada abad 13-14 Masehi,” katanya. Ali Akbar lebih lanjut mengatakan, situs kapal kuno di Muara Sabak tersebut sudah ditemukan dan dinyatakan menjadi peninggalan arkeologi penting sejak 1997. Karena kondisi situs kapal kuno tersebut cukup rapuh, maka situs tersebut sempat ditutup. Menurut Ali Akbar, pihaknya belum bisa memastikan usia situs kapal kuno di Muara Sabak tersebut. Contoh atau sampel kayu kapal kuno tersebut sudah dibawa ke Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di Jakarta. Namun perkiraan sementara, kapal kuno di Muarasabak tersebut berasal dari Abad III sampai XIV Masehi. Ukuran kapal tersebut diperkirakan mencapai lebar 5,5 meter dan panjang puluhan meter. Sementara itu, Chiara Nazarro, arkeolog maritime asal Italia yang turut dalam penelitian dan ekskavasi kapal kuno tersebut, mengatakan, situs kapal kuno di Muara Sabak tersebut sebuah situs kapal besar, bukan jenis perahu. Hal tersebut nampak dari kayu dan ketebalan papan. “Perkiraan saya, situs kapal kuno di Muarasabak ini lebih besar dari kapal pinisi nusantara. Teknologi pembuatan kapal kuno tersebut sama seperti pembuatan kapal pinisi nusantara. Karena itulah saya tertarik meneliti temuan situs kapal kuno di Muara Sabak ini,” ujarnya. Menurut profesor arkeologi dari Universitas Naple L’Orientale, Italia ini, dia sudah menemukan situs kapal kuno di Mesir dan Afrika. Namun temuan situs kapal kuno di Muarasabak tersebut dinilai lebih besar. Chiara Nazzaro lebih lanjut mengatakan, bentuk fisik kapal kuno yang terlihat saat ini diperkirakan baru bagian geladak kapal, haluan dan buritan. Bagian seluruh kapal belum terlihat. Kemungkinan di lokasi tersebut ada dua perahu. Hal ini nampak dari temuan bagian ujung atau haluan kapal sekitar 24 meter sebelah timur dari lokasi temuan kapal kuno tersebut.

Dengan membandingkan kesimpulan sementara para arkeolog yang menduga paling muda sejak abad ke-14 (bahkan ada disebutkan bisa jadi sejak abad ke-3). Jika dalam hal ini kita gunakan tarih termuada abad ke-14, pertanyaannya adalah apakah tempat dimana ditemukan kapal tua itu di desa Lembur dan desa Kota Harapan sudah menjadi daratan? Suatu pulau? Tentulah diperlukan keahlian ahli geologi. Hal ini karena secara geomorfologis wilayah daratan itu masih tergolong sangat baru. Dalam peta-peta pada era VOC/Belanda, Sebagian wilayah yang memjadi seluruh daerah Kecamatan Muara Sabak (Timur dan Barat) di Kabupaten Tanjung Jabung (Timur dan Barat) masih berupa perairan/laut (lihat Peta 1759).


Peta-peta VOC/Belanda jika dibandingkan dengan peta-peta yang berasal dari era Portugis, bentuk geomorfologis wilayah Jambi pada (ditulis: Sabi) dan Palembang (ditulis: Palimbao) sangat kontras dengan situasi dan kondisi pada masa ini. Proses sedimentasi jangka panjang diduga menyebabkan terjadi pembentukan daratan baru di hilir muara sungai baik di wilayah Jambi dan wilayah Palembang. Wilayah Jambi pada awalnya diduga adalah suatu teluk dimana sungai Batanghari bermuara.

Pada peta VOC/Belanda di teluk Jambi sudah terbentuk dua pulau. Satu pulau yang lebih kecil diidentifikasi pulau Trin yang lebih dekat ke suatu tanjong. Satu yang penting diidentifikasi nama tanjong yang diduga Tanjung Jabung (ditulis:Tanjong Bon). Sementara itu pada peta Portugis juga ditunjukan antara pulau Bangksa dan pulau Singkep terdapat gosong yang sangat luas (yang harus dihindari dalam navigasi pelayaran). Sementara itu di pantai barat diidentifikasi nama Indrapura (ditulis: Andepura) dan Batak (ditulis: Bata). Jika dibandingkan  Perbandingan peta dengan interval sekitar dua abad telah terbentuk pulau di teluk Jambi. Pulau Trin ini diduga yang menjadi cikal bakal daratan melalui proses sedimientasi jangka panjang hingga pada masa ini.


Nah, pertanyaannya, jika pada era Portugis (abad ke-16) di teluk Jambi belum terbentuk pulau, lalu bagaimana kini ditemukan serpihan kapal di desa Lembur dan desa Kota Harapan? Apakah serpihan kapal itu awalnya berada di suatu tempat yang terbawa arus ketika terjadi pada fase proses pembentukan pulau Trin dimana terdapat gosong yang kemudian akibat proses sedimentasi jangka panjang pulau itu tidak hanya meluas tetapi juga semakin tinggi (akibat hempasan pasir dari lautan akibat ombak dan proses pelapukan sampah vegetasi). Harus diingat bahwa ketinggian kota Muara Sabak hingga saat ini hanya 4 meter dpl (suatu ketinggian permukaan secara geomorfologis terbilang rendah (tipologi pantai semasa). Berdasarkan Peta 1901 bagian persisir pantai timur Jambi tidak banyak berubah jika dibandingkan sekarang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kapal Hang Tuah dan Kapal Relief Borobudur: Pendekatan Geomorfologi dalam Studi Sejarah Kuno

Lain situs kapal tua di Muara Sabak, Tanjung Jabung, Jambi, lain pula situs kapal tua di Rembang, pantai utara Jawa. Namun yang pasti dua lokasi dimana ditemukan kapal tua sama-sama berada di wilayah pesisir/pantai. Seperti dideskripsikan pada artikel lain dalam blog ini, (kota) Rembang dapat dikatakan kota baru dan wilayah daratan baru. Kota yang lebih tua adalah Lasem (tetangganya) dan lebih tua lagi adalah kota Pati dan Demak serta yang lebih tua lagi adalah kota Jepara dan Mandalika. Urutan sejarah ini haruslah diperhatikan seperti halnya di pantai timur Jambi yang dimulai dari kota tua di Jambi.


Untuk memahami wilayah Rembang secara geomorfologis harus dimulai dari Peta 1724. Peta ini dibuat oleh seorang ahli geografi Francois Valentijn, yang telah banyak mengunjungi tempat-tempat di wilayah Hindia Timur. Dalam peta juga diidentifikasi kedalaman laut di sekitar pantai. Ada dua sungai besar di Kawasan yakni sungai yang melalui (kota) Juwana (sungai Juwana) dan sungai yang melalui kota Lasem (sungai Lasem). Satu yang penting dalam pet aini adalah bahwa kerajaan yang paling besar di kawasan adalah Kerajaan Juwana. Sementara kerajaan Pati dan kerajaan Lasem diidentifikasi kurang lebih sama besar. Sedangkan Rembang sendiri tidak diidentifikasi sebagai kota/kerajaan, tetapi suatu benteng VOC/Belanda. Nama benteng biasanya mengikuti nama geografis, dalam hal ini Rembang saat itu masih berupa kampong (tempat kecil).

Dengan membandingkan Peta 1724 dengan peta satelit masa kini (peta yang ditampilkan di atas), secara geomorfologis harus mempertimbangkan secara tepat kota/sungai Juwana di sebelah barat dan kota/sungai Lasem di sebelah timur dimana diletakkkan benteng/kota Rembang dengan penemuan kapal tua pada masa ini. Yang jelas dalam hal ini Rembang bukanlah kota baru, dengan demikian wilayah di sekitar (termasuk desa Punjulharjo di kecamatan Rembang) bukanlah wilayah yang dikenal dari awal. Kota yang sudah dikenal sejak awal Portugis hanyalah kota Jepara dan kota Mandalika.


Benteng Rembang dibangun pada tahun 1708. Benteng ini dibangun setelah benteng Semarang dan benteng Soerabaja yang masing-masing pada tahun 1703. Belum yang lenih tua di di pantai utara adalah benteng Missier di Tegal (yang menjadi pintu masuk ke pedalaman di Mataram dan Soeracarta. Dalam perkembangannya untuk memasuki pedalaman melalui benteng Semarang. Dalam hal ini benteng Rembang dibangun sebagai benteng antara yang menghubungkan Semarag dan Soerabaja. Biasanya benteng dibangun agak terpisah dengan pemukiman penduduk dan letaknya cenderung di area strategis (escape ke hilir sungai/pantai).

Benteng Rembang dalam perkembangannya menjadi landmark kota baru Rembang. Dalam lukisan yang dibuat pada tahun 1760 benteng berada di latar belakang, agak sedikit berada di belakang garis pantai. Area benteng ini diapit dua aliran sungai/kanal, diduga adalah kanal buatan (kini berada di tengah kota). Sungai induk (sungai Rembang berada di barat benteng) dimana di muara terdapat pos perdagangan ikana/nelayan. Pemukiman penduduk berada di antara benteng dengan pos nelayan di sebelah kanan (barat benteng) dan area pembuatan kapal berada di sebelah kiri (timur kota).


Dimana posisi GPS benteng Rembang ini, tidak berada di pelabuhan Rembang yang sekarang, tetapi harus dicari di persimpangan jalan utama. Hal ini karena secara geomorfologis benteng tidak berada di muara sungai Rembang tetapi berada di suatu area pantai yang lebih stabil dan laitnya agak dalam. Posisi GPS benteng ini pada masa ini diduga di Taman Kartini yang sekarang.

Lantas dimana posisi GPS tempat pembuatan kapal tersebut yang berada di sebelah timur benteng Rembang. Fakta yang ada sekarang haruslah dicari di tempat dimana ditemukan situs kapal tua di desa Punjulharjo (kecamatan Rembang) seperti peta geomorfologi yang ditampilkan di atas. Dengan demikian  penemuan situas kapal tua di desa tersebut bersesuaian dengan gambaran yang dilukiskan pada era VOC/Belanda. Namun yang menjadi pertanyaan seberapa tua kayu-kayu kapal tua yang ditemukan di desa tersebut? Apakah ada relevansinya temuan kapal tua dengan gambaran perahu layar yang terdapat dalam relief candi Borobudur?


Serpihan kayu-kayu dari peninggalan kapal tua di Rembang disebutkan sudah diuji penanggalannya melalui analisis karbon dan disebutkan berumur sejak abad ke-7. Namun bagaimana uji karbon itu dilakukan kita tidak pernah mengetahui. Namun satu hal yang perlu dijelaskan di sini adalah (bahan) kayu adalah satu hal, tempat ditemukan kapal tua adalah hal lain lagi serta keberadaan candi Borobudur adalah hal lain lagi. Jelas bahwa candi Borobudur terdapat di Megelang, tetapi itu konteksnya akan berbeda dengan keberadaan kayu dan kapal tua di Rembang. Fakta bahwa kapal tua itu berada di pantai Rembang, lalu apakah tempat dimana ditemukan kapal adalah suatu sejarah sendiri di masa lampau (abad ke-7) atau sejarah baru abad ke 18 pada era VOC/Belanda? Seperti itulah yang kita lihat dengan penemuan kapal tua di Jambi. Kapal tua di pantai Jambi adalah satu hal dan kapal Hang Tuah adalah hal lain dan kerajaan Sriwijaya hal lain lagi.

Kapal tua di Rembang dan kapal tua di Jambi adalah dua isu yang mirip satu sama lain pada masa ini karena penemuan peninggalan sejarah lama dihubungkan dengan hal-hal lain yang lebih besar. Dalam hal ini kapal tua Rembang dengan sejarah candi Borobudur dan (kerajaan) Mataram Kuno. Kapal tua Jambi dengan sejarah kapal Hang Tuah dan kerajaan Sriwijaya. Namun seperti dideskripsikan di atas, sebenarnya tidak relevan mengaitkan suatu temuan di suatu tempat yang tidak berkaitan dengan di tempat lain, yang diperlukan dalam studi khususnya para peneliti lebih focus pada studinya di tempat dimana berada situs,

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar